Edukasi Agraria dari Kasus Tanah
Laba Pura di Tengah Laju Pariwisata Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan
Tidak hanya perbatasan desa, laju
pariwisata di Nusa Penida (NP) juga menyenggol tanah laba pura. Kasus ini
dialami oleh pengempon Pura Sad
Kahyangan Penida. Pura yang diempon oleh 4 desa adat yakni Desa
Adat Sakti, Desa Adat Sompang, Desa Adat Bunga Mekar, dan Desa Adat Pundukkaha
Kaja ini menjadi terusik ketika 13 hektar tanah laba puranya
dikontrakan oleh Pemprov Bali kepada investor. Ketegangan melanda pihak pengempon
pura dengan investor. Syukurnya, tidak menimbulkan korban jiwa. Karena konon
tanah laba pura itu sudah kembali ke pangkuan sang pengempon—setelah melalui
negosiasi yang alot antara pihak Pemprov Bali, investor dan pengempon.
Sebetulnya, kasus tanah Laba Pura Sad Kahyangan
Penida sudah berlangsung cukup lama. Kasus ini bermula ketika Pemprov Bali
menyertifikatkan tanah laba pura konon secara sepihak per tahun 2004 (era
Gubernur Mangku Pastika). Cerita bermula ketika masyarakat setempat tidak dapat
menunjukkan bukti kepemilikan (sertifikat) tanah di sekitar daerah Penida.
Karena itu, Pemprov Bali mengambil alih dengan menyertifikatkan semua tanah
yang tidak bertuan. Celakanya, termasuk tanah Laba Pura Sad Kahyangan Penida.
Warga yang konon tidak diajak kompromi
sebelumnya, menjadi kaget. Mereka tidak menyangka bahwa pendataan tanah tak
bertuan di daerah Penida menjadi awal mimpi buruk bagi pengempon Pura Sad
Kahyangan Penida. Bukan hanya tanah garapan warga (tak bertuan) yang
disertifikatkan, tetapi termasuk tanah laba pura.
Pasca kejadian tersebut, pihak pengempon pura
terus melakukan sejumlah langkah negoisasi kepada Pemprov Bali, tetapi hasilnya
nihil. Pihak Pemprov Bali rupanya kukuh, tetap mengakui bahwa tanah laba pura
itu milik pemerintah. Namun, pihak pengempon tidak putus asa. Mereka terus memohon
kepada Pemprov Bali dengan berbagai pendekatan. Lagi-lagi, hasilnya nol besar.
Kemudian, muncullah momentum pariwisata di NP.
Pemprov Bali mengontrakan tanah di sekitar daerah Penida kepada investor. Sekali
lagi, termasuk tanah laba pura. Pihak investor rupanya akan memanfaatkan tanah
kontrakkannya untuk membangun sarana akomodasi pariwisata. Karena memang daerah
ini merupakan tempat yang strategis untuk pengembangan pariwisata. Tanah laba
pura berada di pesisir, sekitar Pantai Crystal Bay. Salah satu objek andalan
pariwisata NP.
Ketika tanah laba pura jatuh ke tangan investor
(pengembang), warga setempat menjadi cukup resah. Konon, kini akses melasti
menuju Pantai Crystal Bay mulai terganggu karena aktivitas investor. Belum
lagi, gesek-gesekan kecil lainnya. Misalnya, ketika pengempon hendak membangun toilet di
sekitar pura untuk pamedek dan para wisatawan yang berwisata ke Pantai Crystal
Bay, tiba-tiba ada surat dari investor yang isinya akan membongkar toilet
tersebut (Balipost.com).
Kemudian, sempat pula
terjadi ribuan massa pengempon pura tumpah ruah menghentikan proyek pengembang
villa di areal pura (14/12/2019). Warga pengempon terpaksa menghentikan
aktivitas pengembang karena dianggap melanggar kesucian pura. Bayangkan,
jaraknya kurang 100 m dari areal pura. Jarak ini melanggar Perarem dan
Awig-Awig Pengempon Pura dan termasuk melanggar Perda No 16 Tahun 2009 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali dan bhisama PHDI Bali
(Metrobali.com).
Situasi yang tak
kondusif inilah yang mungkin menyebabkan pihak Pemprov dan pengembang menjadi
melunak. Permohonan tanah laba pura sebanyak 13 hektar itu akhirnya
dikembalikan kepada pihak pengempon pura. Keputusan yang membahagiakan pihak
pengempon, tetapi merugikan pihak Pemprov dan investor. Namun, itulah keputusan
yang dianggap paling bijak.
Sebelum tender kontrak
jatuh kepada pengembang PT
Empora Dana Laksmi, konon pihak Pemprov awalnya memprioritaskan investor
lokal (dari NP). Namun, ketika beberapa investor NP sudah bersatu untuk
mengajukan tender, malah tidak direspon oleh Pemprov Bali. Entah apa dasar
pertimbangannya, tender akhirnya jatuh kepada tangan investor luar NP.
Kasus yang menimpa
tanah Laba Pura Sad Kahyangan Penida memang cukup unik.
Karena pihak yang bersengketa bukan kelompok masyarakat satu dengan masyarakat
yang lainnya. Namun, kelompok masyarakat dengan pemerintah yang mengayominya.
Sepintas, kasus ini mungkin cukup menggelikan. Bagaimana
tidak? Pihak pemerintah pasti lebih detail memahami tentang tanah laba pura. Lebih
detail memahami bagaimana kedudukan tanah laba pura dalam kerangka
bermasyarakat dan bernegara. Saya curiga, jangan-jangan pemerintah punya alasan
kuat mengklaim tanah laba pura tersebut, sehingga disertifikatkan atas nama
Pemprov Bali. Mungkin, alasan kuat itu tidak dipaparkan kepada masyarakat
setempat.
Atau bisa jadi, tindakan penyertifikatan tanah
laba pura itu sengaja dilakukan oleh pihak Pemprov dengan modal kekuasaan dan
memanfaatkan keluguan masyarakat. Sebab, masyarakat setempat memang mayoritas
sebagai petani. Tentu mereka sangat awam tentang agraria atau legalitas tanah.
Benar atau tidak, menurut tokoh masyarakat
setempat, tidak ada ajakan berunding ketika tanah laba pura mereka dieksekusi
ke dalam kertas keramat yang bernama sertifikat itu. Pantas saja, warga menjadi
kaget ketika tahu bahwa tanah laba pura mereka sudah menjadi milik (aset)
Pemprov Bali.
Jika demikian keadaannya, ada sesuatu yang kurang
beres dalam proses penyertifikatan tanah laba pura itu. Hal inilah yang mungkin
disembunyikan oleh Pemprov Bali. Ditambah lagi, hasil penolakan berulang-ulang
dari pemohon (pengempon) kepada Pemprov tidak pernah sampai ke ranah publik.
Kita tidak pernah tahu persis apa alasan Pemprov menolak permohonan berulang-ulang
tersebut.
Selama ini, publik hanya bersimpati kepada pihak
pengempon. Menilai pihak pengempon yang benar. Sementara, pihak Pemprov berada
pada posisi salah. Ya, mungkin kesannya sewenang-wenang-lah. Jika benar tidak
ada alasan rasional-yuridis, bolehlah masyarakat mengatakan bahwa Pemprov Bali
telah menjadi contoh “ber-agraria” yang kurang baik kepada masyarakat. Tentu kurang
baik dilakukan oleh pemerintah untuk kedua kalinya kepada masyarakat mana pun.
Pariwisata
dan Melek Agraria
Dalam konteks kasus tanah Laba Pura Sad Kahyangan
Penida, momentum pariwisata seolah-olah menjadi umpan untuk mengungkapkan
kejelasan kasus agraria. Pariwisata denga ikon kapitalismenya, telah memancing
watak-watak kapitalis (sesungguhnya) untuk keluar ke permukaan. Lalu, di sisi
lain mempertontonkan masyarakat kecil (masyarakat pengempon pura) sebagai
korban dari kapitalisme itu.
Para pengempon pura Sad Kahyangan Penida sangat
merasakan kondisi tersebut. Bahkan, mereka mendapatkan penderitaan ganda. Tidak
hanya dari investor, pun dari pemerintah yang semestinya sebagai penganyom mereka.
Di sinilah, pelaku kapitalis seolah-olah menjadi bias. Bukan hanya investor,
tanpa disadari pemerintah (jangan-jangan) juga menjadi pelaku kapitalis.
Investor (maaf) menindas dengan “kuasa ekonominya”, sedangkan pemerintah
menekan dengan “kuasa kekuasaannya”.
Itulah sebabnya, investor dan pemerintah sering
menjadi pasangan “soulmate”. Investor berkuasa dengan modalnya, kemudian
pemerintah melindungi dengan kuasa powernya. Drama “soulmate” ini mungkin sudah
menjadi adegan klasik di negeri ini. Sebuah drama konspirasi (persekongkolan)
yang mungkin sudah menjadi rahasia umum. Seolah-olah negara (pemerintah) kurang
berpihak kepada rakyatnya sendiri. Lucu, bukan?
Padahal, idealnya pemerintah harus melindungi
rakyatnya dari rasa sejahtera, makmur dan nyaman. Salah satu caranya ialah
mengedukasi masyarakatnya agar paham betul tentang agraria. Karena itu, peran
pemerintah sangat diperlukan untuk mengadakan penyuluhan hukum tentang agraria.
Masyarakat harus dituntun dan disadarkan mengenai pentingnya pendaftaran tanah.
Mereka harus diedukasi dari prosesi awal hingga akhir yaitu produk sertifikat
tanah.
Saya pikir, kasus penyertifikatan tanah (garapan
warga) dan termasuk tanah laba pura di daerah Penida (tahun 2004) oleh Pemprov
Bali kurang didukung oleh edukasi agraria yang optimal dari pemerintah.
Padahal, penyuluhan hukum agraria ini sangat dibutuhkan terutama oleh
masyarakat petani pedesaan seperti di daerah Penida.
Pada umumnya kebanyakan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di sebuah
desa baik untuk pertanian maupun untuk pemukiman masih belum disertifikatkan. Selain
minim pengetahuan tentang agraria, mungkin juga karena tidak menimbulkan
masalah yang signifikan. Padahal, sertifikat itu sangat berguna untuk menjamin
kepastian hukum tanah milik masyarakat. Selain itu, dapat pula meningkatkan
nilai tanah tersebut. Misalnya, dapat dijadikan jaminan bank untuk mencari
modal tambahan dalam mengembangkan usaha.
Dalam konteks inilah, pentingnya peran
kepala desa untuk menggandeng tim ahli agraria untuk memberikan penyuluhan
hukum agraria kepada masyarakat. Boleh sewaktu-waktu dan
akan lebih bagus jika dilakukan secara berkala. Masyarakat daerah Penida dan
daerah lainnya di NP, sangat membutuhkan hal tersebut. Apalagi, NP menjadi
daerah pariwisata yang sedang melejit sekarang.
Sebelum pariwisata betul-betul
berkembang pesat, masyarakat memang dituntut untuk “melek agraria”. Karena pariwisata
membuat nilai tanah mendadak meroket. Konsekuensinya, masyarakat harus memahami
seluk-beluk lahan (tanah) sehingga jelas ke-agrarian-nya. Kalo tidak, jangan
kaget jika tanah garapan (atau yang Anda diami) tiba-tiba menjadi milik orang
lain atau milik pemerintah—seperti yang menimpa warga daerah Penida. Bahkan,
tanah laba pura pun bukan mustahil dapat diserobot dan disertifikatkan.
Agar tidak terjadi untuk kedua kalinya,
tugas aparatur pemerintah-lah yang memberikan edukasi kepada masyarakat agar
melek agraria, memudahkan mekanisme penyertifikatan, dan termasuk meringankan biaya
operasional penyertifikatan.
Khusus untuk tanah laba pura, mungkin
masyarakat harus intens diberikan penyuluhan (edukasi) tentang masalah ini. Pasalnya,
konon tanah laba pura paling rawan menimbulkan konflik. Karena
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah seolah-olah memaksakan tanah adat untuk
didaftarkan atau mempunyai bukti hak milik.
Menurut Agus Samijaya (kuasa hukum
Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Bali), persoalan yang saat ini dihadapi oleh adat dalam pendaftaran
tanahnya yakni nama yang harus dicantumkan di dalam sertifikat. Selain itu,
desa adat juga masih dipertanyakan apakah bisa sebagai sebuah badan hukum yang
namanya dicantumkan dalam sertifikat. Walaupun ia mengatakan bahwa tanah
wilayah adat eksistensinya memang diakui oleh konstitusi.
Karena itu, Agus menyarankan agar tanah
wilayah adat semestinya tidak perlu disertifikatkan. Cukup disimpan dalam sebuah
dokumen adat dalam bentuk pararem atau awig-awig. Konon, dokumen ini dianggap yang
paling faktual.
Model edukasi seperti inilah yang mungkin diharapkan
oleh masyarakat NP, khususnya di daerah Penida. Pemerintah punya tanggung jawab
besar untuk menciptakan masyarakat yang melek agraria. Bukan menjadi contoh ber-agraria
yang kurang baik dan terkesan arogan kepada masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar