Sumber foto: www.youtube.com 1280 x 720 |
Satu lagi objek wisata Nusa
Penida (NP) yang naik ring promosi yaitu Gamat Bay (Teluk Gamat). Dulu, kawasan
ini merupakan lumbung ekologis. Tempat bertumbuhnya beberapa satwa penting,
termasuk jalak nusa. Pun menjadi benteng sumber air bersih (Semer Gamat Dulu
dan Semer Gamat Teben) bagi warga di belahan barat, sebelum ada sumur tadah
hujan dan air PDAM. Ketika satwa-satwa berada pada ambang kepunahan dan “semer”
(sumur) kehilangan pengemponnya, Gamat Bay dipinang sebagai alternatif objek
wisata untuk melayani syahwat pengunjung.
Promosi
Gamat Bay sudah berlangsung beberapa bulan lalu. Kini tersandung jeda iklan
covid-19. Meskipun demikian, Gamat Bay tidak berhenti untuk bersolek. Sejumlah
pembangunan dikebut. Salah satunya ialah akses jalan menuju lokasi. Kawasan
yang berada di Desa Sakti ini sudah tak sabar menunggu pariwisata normal. Tak
sabar untuk unjuk wajah baru di mata para pengunjung dan mungkin akan mengubur
kenangan ekologis yang pernah terjadi bertahun-tahun (bahkan berabad) di
kawasan ini. Kenangan yang sayang jika tidak diceritakan.
Sebelum
sumringah pariwisata betul-betul menenggelamkannya nanti, ada baiknya kenangan
ekologis tersebut dibangkitkan. Siapa tahu dapat dijadikan pertimbangan untuk
merevitalisasinya menjadi kawasan ekologis alami atau buatan. Kalau tidak,
cukup dikenang sajalah!
Kawasan Gamat Bay Tahun 80-an
Tahun
80-an, kawasan Gamat Bay identik dengan kehidupan satwa-satwa geografi NP. Di
sinilah, tempat para satwa melangsungkan kehidupannya. Misalnya kera, ular,
burung dan lain-lainnya. Bahkan, seingat saya satwa langka seperti jalak nusa
dan termasuk “slaon” (sejenis elang) serta gagak biasa berkeliaran di kawasan
ini.
Sangat
mudah melihat eksistensi burung gagak
dan “slaon” pada zaman tersebut. Kita cukup mendengokkan kepala ke atas
pohon kapuk besar, maka gagak dan sarangnya banyak menghiasi ranting-ranting
pohon tersebut. Bahkan, populasinya terutama gagak sempat tergolong sangat banyak.
Karenanya, dulu burung gagak biasa berkeliaran hingga ke rumah warga, mencuri
“jaja uli” yang diris-iris dan dijemur oleh penduduk seusai perayaan hari raya
Galungan dan Kuningan.
Begitu
juga dengan burung “slaon”. Burung pemburu anak ayam ini biasa menebar
ketakutan kepada ayam warga. Mereka melayang di langit dengan terbang miring,
sambil matanya tajam mengincar mangsa di bawah. Ketika induk ayam menjerit dan
larit terbirit-birit bersama anaknya, pertanda serangan dari sang “slaon”. Apabila
jumlah anak ayam berkurang, maka “slaon” menjadi sang tertuduh tunggal waktu
itu.
Kawasan
Gamat Bay juga menjadi benteng air bersih bagi warga. Ada dua “semer” (sumur)
besar di kawasan ini yaitu Semer Gamat Dulu dan Semer Gamat Teben. Dua semer ini
memiliki pengempon yang berbeda. Kedua semer inilah yang mengakomodir kebutuhan
air bersih, terutama ketika sumur-sumur warga kering kerontang, akibat musim
kemarau yang panjang.
Bukan
hanya untuk manusia, air gamat ini juga dijadikan kebutuhan ternak warga
terutama sapi. Karena itu, banyak warga mengambil air sambil membawa hewan
ternaknya (sapi). Biasanya, warga yang jauh mengambil menjelang dini hari,
sekitar pukul 02-03. Bukan karena semata-mata perjalanannya jauh, tapi medan
jalannya penuh tanjakan dan turunan yang cukup curam. Karena posisi kawasan ini
berada di bawah bukit dan curam, tetapi di dasarnya cukup landai.
Saya
tidak bisa membayangkan jika tidak ada kedua semer itu. Tentu warga dan ternak
di sekitar tempat saya dan daerah lainnya tidak dapat melangsungkan kehidupan.
Karena itu, saya salut dengan tetua (leluhur) pendahulu saya. Sebelumnya, mereka
pasti menghadapi krisis air bersih. Tentu kreavitas survivelah yang mendorong mereka membuat semer itu. Pantaslah
sebetulnya para “pahlawan penggali” semer itu mendapat penghargaan. Karena
telah mewariskan nyawa dari generasi ke generasi.
Tak
hanya benteng satwa dan air bersih, kawasan Gamat Bay juga menjadi tempat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit kulit seperti korengan. Persisnya di Pantai
Gamat. Kita cukup berendam atau mandi di laut, maka silsalabin korengan dijamin
sembuh. Saya tidak tahu apakah air Gamat mengandung belerang atau sejenis zat
lain yang dapat menyembuhkan penyakit kulit. Pokoknya, ketika saya terkena
penyakit kulit (waktu kecil), saya diajak berendam oleh ibu saya pas Kajeng
Kliwon ke tempat ini.
Sebelum
melakukan prosesi berendam, terlebih dahulu ibu saya menghaturkan canang sari
pada pelinggih yang berada di dekat pantai. Setelah itu, saya berendam sambil
menghayal memungut batu di seputar pantai tersebut. Maklum, batu-batu kecil di
areal ini mulus mengkilap. Mulusnya seperti batu kali, tapi berwarna putih.
Biasanya, saya memungutnya untuk digunakan bermain cingklak di rumah.
Selain
mengobati korengan, pasir hitam halus di pantai ini juga dipercaya ampuh
menguatkan kaki bayi agar dapat tegak berjalan. Caranya, kaki bayi ditanam
dalam pasir beberapa menit hingga hitungan jam-an. Bisa dilakukan lebih dari
satu kali. Pilihan harinya juga sama. Kajeng Kliwon.
Begitulah
keyakinan masyarakat waktu itu. Entah karena tersugesti atau tidak, masalah
korengan dan keterlambatan jalan pada bayi biasanya dapat disembuhkan.
Dinamika Kawasan Gamat Bay
Namun,
seiring dengan kemajuan zaman, mulailah orang-orang berkurang melakukan ritual
berendam atau menanam kaki bayi di pantai ini. Masyarakat lebih memilih datang
ke puskesmas untuk berobat. Pantai Gamat lebih banyak dimanfaatkan sebagai
tempat memancing dan surfing oleh
beberapa kalangan milenial.
Begitu
juga kondisi satwanya. Keberadaan burung jalak nusa kian hari juga semakin
langka. Eksistensinya kian terancam. Hampir setiap hari, warga mengincar
sarangnya, mengambil anaknya untuk dijual atau sekadar dipelihara. Padahal,
tempat bersarangnya sangat sulit. Biasanya, di ujung pohon kelapa tinggi yang
sudah mati (lapuk). Namun, sesulit apa pun tempatnya, ada saja warga yang berhasil
mendapati anaknya. Kadang, warga berani bertaruh nyawa hanya untuk mendapatkan
anaknya.
Sementara
nasib burung “slaon” dan gagak juga sama. Bahkan, keberadaan dua burung besar ini
lebih duluan langka (sekarang punah). Entah karena faktor apa. Setahu saya,
tidak ada warga yang memelihara atau menjual dua burung ini. Mungkin karena
keberadaan makanan yang terbatas di NP? Atau mungkin kerusakan habitat,
perubahan iklim, atau diserang penyakit? Yang jelas sekarang, seekor pun tak
pernah saya lihat keberadaan kedua burung itu.
Nasib
semer juga hampir sama. Ketika setiap warga memiliki sumur tadah hujan, orang
mulai berkurang menjadi pengempon semer. Di tambah lagi, air PDAM masuk ke desa
saya tahun 200-an. Jumlah pengempon kian minim. Hanya tersisa beberapa
pengempon yang masih aktif mengambil air. Itu pun yang jarak rumahnya paling
dekat dengan lokasi. Namun, pemanfaatan air semer ini sudah berubah. Tidak
semata-mata untuk dikonsumsi pribadi, melainkan untuk dijual.
Warga
menjualnya dengan brand lisan yaitu “Yeh
Gamat”. Penjual cukup menyebutkan brand
lisan tersebut, maka warga yang pernah mencicipi air akan membayangkan gentong,
ketel, dan caratan. Dulu, air gamat biasanya ditaruh ke dalam gentong yang
terbuat dari tanah liat (tanpa dimasak). Semakin lama ditaruh di gentong,
dinginnya terasa menyegarkan. Untuk meminumnya, orang biasanya menempatkan pada
sebuah ketel atau caratan terlebih dahulu. Agar menjadi lebih sensional, orang
meminumnya sambil mendengokkan kepala, lalu tenggorokannya mengeluarkan suara
“clegek clegek clegek”. Wah, mantap!
Bagi
kalangan milenial, yang lidahnya biasa dijajah oleh air kemasan, mungkin tidak
dapat merasakan sensasi air Gamat ini. Mereka juga tidak dapat merasakan
sensasi keberadaan satwa di kawasan Gamat Bay. Baginya, Gamat Bay adalah
taruhan sekarang. Taruhan untuk mendatangkan sebanyak mungkin pengunjung ke
tempat ini. Tidak peduli dengan kondisi ekologisnya. Maaf, bukannya bermaksud
pesimis, apalagi menggugat. Memangnya saya siapa, sih! Saya hanya kurang yakin
saja.
Setahu
saya, hubungan pariwisata dan lingkungan alam adalah soal kontrak untung rugi.
Baik pemerintah, pelaku pariwisata maupun masyarakat memiliki kesamaan cara
pandang. Mereka hanya berhitung dampak pemasukan dari mencicipi taruhan alam
itu. Karena itulah, pemerintah, pelaku pariwisata dan masyarakat rela jor-joran
mengikuti selera wisatawan. Alam harus disulap menuruti kemauan pengunjung.
Bukan sebaliknya. Pengunjung mengikuti kemauan alam. Mungkin ada, ya?
Barangkali saya miskin tentang referensi semacam itu.
Lucunya,
ketika alam mengalami kerusakan akibat eksploitasi berlebihan dari pariwisata,
tidak ada seorang pun pernah dengan jumawa merasa bertanggung jawab. Tahu-tahu
orang-orang pada cuci tangan. Tidak ada hubungan dengan pencegahan covid-19,
ya!
Endingnya,
ya, penduduk sekitarlah yang menanggung efek kerusakan lingkungan tersebut. Itu
cerita legend mungkin. Namun, terlalu banyak orang tertarik melakoninya. “Pariwisata
itu alternatif. Penyelamat ekonomi. Peretas kemiskinan. Gerbang menuju
modernisasi,” terang salah seorang teman saya yang sudah mencicipi manisnya
pariwisata.
Saya
berharap antara kemajuan pariwisata Gamat Bay, berdampak positif terhadap
kesalamatan ekologis kawasan tersebut. Mungkin, sebelum matang naik ring
promosi objek wisata, para pemangku kebijakan termasuk masyarakat sudah
memikirkan hal itu. Mereka tidak menjadikan Gamat Bay sebagai taruhan
eksploitasi untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya. Namun, juga
merawat lingkungan sekitar agar dapat mendatangkan satwa yang sebanyak mungkin
pula. Agar balancelah!
Kita
tunggu setelah jeda iklan covid-19 nanti. Apakah Gamat Bay akan sukses menggaet
para wisatawan untuk menikmati kemolekannya, tetapi mengabaikan lingkungan
dirinya? Atau sukses kedua-duanya? Sukses meraup banyak pengunjung dan
sekaligus sukses merawat lingkungan dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar