Keindahan Lain di Nusa Penida: Toya
Pakeh, Satu Desa Penduduknya Muslim
Oleh
I Ketut Serawan
Pulau Nusa Penida (NP) dihuni
oleh penduduk yang heterogen. Anda mungkin kurang percaya? Tidak. Ini kenyataan,
lho! Selain beragama Hindu, NP juga dihuni oleh masyarakat yang beragama Islam
(muslim). Bahkan, keberadaan masyarakat muslim masuk ranking 2 terbesar di NP.
Kalau tidak yakin, Anda cukup masuk ke Desa Kampung Toya Pakeh. Dari 16 desa
(dinas) yang ada di NP, Desa Kampung Toya Pakeh menjadi satu-satunya desa yang penduduknya
beragama Islam semua. Terbayang kan sekarang!
Saya
kurang tahu bagaimana histori keberadaan masyarakat muslim di NP. Sepengetahuan
saya, Kampung Toya Pakeh menjadi desa (dinas) sejak lama. Waktu saya kecil
(belum sekolah), saya mendapatkan kampung ini sudah menjadi sebuah desa (dinas)
yang independen. Bahkan, paman dan ayah saya juga mengetahui kampung ini sudah
menjadi desa dinas.
Wah,
artinya Kampung Toya Pakeh sudah berusia tua, dong! Pun sudah lama memenuhi
syarat administrasi sebagai sebuah desa. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
masyarakat muslim di NP memang terbilang sangat tua. Lalu, seberapa tuakah
usianya?
Cukup
sulit menjawab pertanyaan tersebut. Dari ragam versi beredar, ada yang
mengaitkan eksistensi muslim di NP dengan Pelabuhan Toya Pakeh. Konon,
Pelabuhan Toya Pakeh sebagai pelabuhan tua, dijadikan tempat berlabuhnya kapal
laut zaman dahulu. Kapal-kapal inilah (mulanya) yang diduga membawa pendatang
muslim, lalu menetap di Kampung Toya Pakeh.
Ada
pula yang menghubungkan dengan masa kerajaan Klungkung. Konon,
Kampung Toya Pakeh merupakan tempat silahturahmi oleh orang-orang pendatang
zaman itu. Jadi, keberadaan suku bangsa yang ada di desa ini mayoritas suku Jawa,
Banjarmasin, Bugis dan Bali (www.kintamani.id).
Versi
lain datang dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Kemdikbud). Versi ini
mungkin dianggap sebagai analisis historis yang lebih ilmiah. Dalam artikelnya
yang berjudul “Jejak Islam di Pulau Nusa Penida”, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mendapatkan informasi
petunjuk awal (dari takmir Masjid Al-Imran, H. Syahran, usia 54 tahun) bahwa
orang-orang islam awalnya tersebar di Pulau NP, kemudian pada tahun 1936 mereka
disatukan di Desa Kampung Toya Pakeh agar tidak terserai berai.
Penduduk
Kampung Toya Pakeh meyakini bahwa Islam masuk di NP pada tahun 1925, yang dibawa
oleh orang dari Jawa bernama R. Mustafa dan R. Jumat. R. Mustafa wafat di Desa
Toya Pakeh dan dimakamkan di pemakaman Muslim Kuna di desa itu. Makamnya
dicungkup berukuran 3.9 x 4.95 m dengan tinggi tembok berukuran 2.35 m. Makam
itu ditandai dengan jirat dan nisan (tanpa tulisan) berbentuk dan bertipologi
Demak-Troloyo (arkenas.kemdikbud.go.id).
Tipologi
dan morfologi inilah yang menunjukkan bahwa pertanggalan relatif berasal dari
abad ke-16-17 M. Temuan nisan bertipe Demak-troloyo tersebut menguatkan
bahwa para pendatang Islam yang datang ke NP memiliki hubungan dengan muslim
yang telah terlebih dahulu ada di Jawa.
Di luar
cungkup makam Raden Mustafa, ditemukan dua buah nisan makam yang tidak
berjirat. Nisan makam itu dibuat dari batu gamping dan diihiasi dengan
sulur-suluran membentuk kala dalam stiliran inskripsi Arab yang dapat dibaca
“bismillah ar-rahman ar-rahim” dan angka tahun dengan tulisan Arab “1211” H atau
1797 M. Angka ini merupakan
petunjuk yang sangat jelas bahwa Islam telah berkembang di NP sebelum angka
tahun itu. Setidaknya, pada akhir abad ke-18 Islam sudah hadir di NP.
Kampung Toleran
Meski
menghimpun diri dalam satu ruang (desa), bukan berarti masyarakat Kampung Toya
Pakeh ingin menutup diri, intoleran, dan tidak bisa bergaul dengan penduduk
sekitarnya. Sebaliknya, masyarakat Kampung Toya Pakeh termasuk tipe muslim yang
terbuka, toleran, dan relatif mudah bergaul.
Saya
menduga, wadah satu desa ini semata-mata karena faktor kesadaran kelompok dan
faktor persamaan nasib, kepentingan, tujuan dan ideologi. Sebuah alasan yang
alamiah. Mereka tidak terlalu fanatik, tidak merasa spesial, dan tidak terlalu
sensitif—layaknya Islam nusantara pada umumnya.
Ya, mungkin
karena mereka tinggal lama di nusantara (NP), sehingga karakter kenusantaraannya
sudah mengental menjadi kepribadian sehari-hari. Mereka memiliki sikap saling
menghargai, tenggang rasa, jiwa gotong-royong, tolong-menolong, dan lain
sebagainya. Bahkan, waktu saya kecil (SD), nilai-nilai kenusantaraan itu tampak
begitu kental.
Misalnya,
waktu saya SD (tahun 80-an) ada tradisi saling ngejot antara orang muslim (Kampung Toya pakeh) dengan orang Hindu
di lingkungan saya (Kayu Buluh). Lebaran, keluarga saya mendapat jotan dari kampung muslim. Sebaliknya,
Galungan giliran keluarga saya ngejot
ke Kampung Toya Pakeh. Tradisi ini berlangsung cukup lama, hingga saya SMP,
tahun 90-an.
Sikap
kenusantaraan lainnya tercermin ketika Hindu di lingkungan saya menggelar
ritual agama yaitu melasti. Jika desa saya melasti, pasti harus berbondong-bondong
melintasi kampung ini. Sebab, cuma ada
satu akses jalan, membelah Kampung Toya Pakeh menuju ke laut, tempat saya
melasti. Kerumunan masa (melasti) yang melintas, tidak pernah mengalami
komplain dari warga Kampung Toya Pakeh. Sebaliknya, mereka menonton dan menghargai
proses ritual itu.
Begitu
juga ketika masyarakat Hindu menggelar upacara ngaben atau acara tari balih-balihan. Masyarakat Kampung Toya
Pakeh biasa menonton dan memberikan apresiasi. Bahkan, beberapa warga muslim
malah berbaur, ikut berjualan makanan. Tidak ditemukan penajaman istilah
makanan halal/ haram atau sukla/ surudan. Tanpa plang itu, kedua
belah pihak sudah saling memahami. Sebab, jauh sebelumnya mereka (saudara
muslim-Hindu) sudah saling memahami tradisi, adat, dan keyakinan masing-masing.
Keduanya saling percaya dan saling menghargai satu sama lain.
Nilai-nilai
kenusantaraan itu juga tampak dalam kegiatan manusia yadnya (acara pernikahan,
potong gigi, tiga bulanan), pitra yadnya (majenukan), dan lain-lainnya. Biasanya
yang punya kenalan muslim, diundang untuk menghadirinya. Pun perayaan Nyepi.
Mereka sangat menghargainya dengan tidak menghidupkan pengeras suara di masjid,
dan termasuk tidak beraktivitas keluar batas desa. Sampai sekarang pun, saya
lihat toleransi itu masih hangat terpelihara.
Fondasi
toleransi ini tentu tidak dibangun secara instan. Mungkin puluhan tahun atau
berabad-abad yang lalu. Saking lamanya, sehingga sudah terjadi akulturasi
antara masyarakat muslim dengan masyarakat Hindu di NP. Beberapa orang Hindu
menikah dengan masyarakat muslim. Sebaliknya, sedikit orang muslim ada pula
yang menikah dengan orang Hindu. Bisa jadi, fenomena akulturasi ini merupakan
faktor pendorong hubungan keduanya menjadi tidak berjarak. Dalam pergaulan
sehari-hari, mereka terbuka. Mau bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang
bulu. Hanya saja, kurang disentuh oleh media massa.
Kampung Strategis
Secara
geografis, Kampung Toya Pakeh termasuk strategis. Kampung ini berada di pesisir
pantai. Bahkan, sebelah baratnya ful berupa pantai. Sebelah utara dan timur
berbatasan dengan Desa Ped dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sakti.
Kampung Toya
Pakeh hanya memiliki luas wilayah 0,65 km2, jumlah penduduk 544 jiwa (per tahun
2010), dan kepadatan yang mencapai 837 jiwa/ km2 (id.m.wikipedia.org). Dari 16
desa yang ada di NP, Desa Kampung Toya Pakeh termasuk desa terkecil. Saking
kecilnya, Kampung Toya Pakeh hampir tidak memiliki ruang agraris (untuk bercocok
tanam), kecuali ternak kambing. Ternak ini pun sifatnya sambilan. Hanya
beberapa, dan jumlah yang dipelihara tidak terlalu banyak. Selain peternak,
(dulu) ada beberapa sebagai petani rumput laut dan nelayan.
Pekerjaan
utama mereka adalah pedagang. Lebih dari 90 %, penduduk Kampung Toya Pakeh bekerja
di sektor dagang. Faktor ini pula yang menyebabkan Kampung Toya Pakeh dapat
mendirikan pasar persis berada di tengah-tengah perkampungan, yang dibelah oleh
jalan raya.
Pasar
Kampung Toya Pakeh menjadi pusat transaksi yang sangat tua umurnya. Setahu
saya, pasar ini tergolong cukup luas, terkenal, dan memegang peranan strategis
setelah Pasar Mentigi (Sampalan). Pasalnya, letak pasar ini sangat strategis.
Dekat Pelabuhan Kampung Toya Pakeh, Pelabuhan Dermaga Banjar Nyuh, dan dilalui
jalan raya utama.
Jadi,
secara operasional biayanya menjadi lebih murah. Apalagi, didukung oleh
pengusaha transportasi laut yang didominasi oleh orang lokal. Hampir seratus
persen, pengusaha jukung dan jangolan milik pengusaha asal Kampung Toya Pakeh.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap biaya operasional penyeberangan barang dari
(atau ke) Bali daratan-NP.
Kelebihan-kelebihan
itulah yang menyebabkan Pasar Kampung Toya Pakeh tetap bertahan sampai
sekarang. Selain strategis, juga memiliki keunggulan nilai ekonomis sebagai
desa. Jika dihubungkan dengan kemajuan pariwisata di NP sekarang, kampung ini
juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sebab, Pelabuhan Kampung Toya
Pakeh menjadi salah pusat pelabuhan transportasi laut yaitu fast boat untuk
trip wilayah barat NP.
Bahkan,
perkembangan pariwisata tersebut membuat masyarakat Kampung Toya Pakeh kian
mampu melebarkan sayap ekonominya. Pasalnya, beberapa warganya ada yang terjun
ke dunia bisnis akomodasi, bisnis transportasi laut, guide, instruktur dan awak
diving/ snorkeling, dan lain sebagainya. Artinya sekarang, generasi mereka
tidak hanya mengandalkan sektor perdagangan saja. Namun, sudah bisa mengambil
sektor-sektor pekerjaan yang lebih bervariasi untuk survive.
Dengan
modal toleransi dan luwes, memudahkan mereka dapat menjalin relasi dengan siapa
pun di NP. Hal ini menguntungkan penduduk Kampung Toya Pakeh untuk bekerja di
berbagai sektor yang berkembang di NP. Sehingga, ke depan kampung ini tetap bisa eksis dalam
situasi apa pun.
0 komentar:
Posting Komentar