Nusa
Penida, Pulau Bandit atau Korban “Pembanditan”?
Oleh
I
Ketut Serawan
Sebelum sektor pariwisata menggeliat
(maju) seperti sekarang, Nusa Penida (NP) pernah menyandang predikat “masa
lalu” yang tak mengenakkan. Misalnya, dicap sebagai daerah terisolir
(tertinggal, terpencil, terbelakang), gersang atau tandus hingga sarang ilmu
hitam (black magic). Yang paling tak
mengenakkan lagi, NP dijuluki sebagai Pulau Bandit. Julukan ini dihembuskan
oleh hampir semua penulis barat.
Biar tidak
terburu-buru panas, saya iseng-iseng membuka KBBI online. Memastikan apa sih
sesungguhnya makna kata bandit. Eh, ketemulah saya dengan tiga makna utamanya
yaitu penjahat, pencuri dan tokoh penjahat dalam cerita drama. “Wah, ini stigma
yang memalukan!” pikir saya.
Pikiran
lugu saya langsung terbang melayang jauh ke tanah kelahiran saya, Pulau NP.
Saya membayangkan bahwa dulu (waktu zaman kerajaan) NP menjadi sarang perampok,
perompak, garong atau sejenis copetlah. Mungkin ada pula gangster dan preman
yang saling mengkampling teritorial di NP. Misalnya, “Preman Kutu Kupret”
menguasai wilayah Sakti, “Preman Mata Satu” menguasai Pantai Toya Pakeh dan
lain sebagainya.
Wah,
tentu stabilitas keamanan di NP waktu itu sangat buruk. Angka kriminalitas
pasti meningkat tajam. Kehidupan mengandalkan adu kekerasan, adu otot dan
strategi berbuat jahat. Lalu, saya membayangkan para gerombolan preman atau
garong tersebut mengancam para penguasa di NP zaman itu. Kalau jumlahnya
banyak, tidak menutup kemungkinan dapat mengkudeta atau mengambil paksa
kekuasaan di NP.
Begitulah imajinasi (liar) awal
saya. Untuk meredam keliaran imajinasi lebih lanjut, saya membaca penelitan
sejarawan Ida Bagus Sedimen yang berjudul “Penjara di Tengah Samudra: Studi
tentang Nusa Penida sebagai Pulau Buangan”.
Konon, ketertarikan Sidemen melakukan penelitian
tersebut didorong dari klaim penulisan
barat yang menyebut kepulauan NP dengan nama Bandieten Eiland atau Bandit
Island. Sidemen menduga bahwa julukan Pulau Bandit berkaitan erat dengan NP
sebagai pulau pembuangan zaman kerajaan di Bali.
Berdasarkan beberapa sumber (Paswara Astanegara-naskah transkripsi milik Gedong Kirtya
Singaraja, Rereg Gianyar-lontar milik perpustakaan Fakultas Sastra UNUD,
Paswara Bangli-naskah transkripsi milik Gedong Kirtya Singaraja), NP merupakan
wilayah kerajaan Klungkung, dan digunakan
sebagai tempat pembuangan atau penjara bagi narapidana dari beberapa kerajaan
di Bali yakni Klungkung, Gianyar dan Bangli, yang dikenakan hukuman buangan. Nusa
Penida juga berfungsi sebagai koloni deportasi, sebagai tempat pembuangan
seumur hidup (http://www.nusapenida).
Koloni deportasi yang dimaksudkan Sidemen ialah
satu bentuk koloni yang digunakan sebagai penjara, tempat buangan, tempat kerja
paksa, bagi warga negeri induk yang dikenakan hukuman pembuangan. Contohnya,
Australia dan Tasmania bagi kerajaan Inggris, Siberia dan Sachalin bagi
Kerajaan Rusia, dan Pulau Hokkaido bagi kerajaan Jepang. Lalu, orang-orang
jahat seperti apa yang harus dibuang ke Pulau NP?
Dalam uraiannya, Sidemen mengelompokkan 4
narapidana yang dibuang ke Pulau NP. Jumlah tertinggi diisi kuota penjahat
politik, seperti pemberontak, pengkhianat
dan kegiatan mata-mata. Jumlahnya sangat mencolok terutama pada akhir abad XIX.
Kedua, kasus yang berhubungan dengan masalah hutang
piutang, pembayaran denda, pajak dan yang sejenisnya. Namun, sulit menemukan
data ini karena hukumannya relatif singkat. Ketiga, kasus pembuangan yang
dihubungkan dengan sistem kepercayaan ilmu hitam. Pelanggaran kasus seperti ini
biasanya dikenakan hukuman mati (dibunuh atau ditenggelamkan di laut sampai
mati) dan yang paling ringan dibuang ke NP. Keempat, kasus pembuangan yang erat
hubungannya dengan pelanggaran peraturan adat perkawinan, misalnya kawin dengan
saudara kandung, dengan ibu/ bapak kandung, kawin dengan binatang, menjinahi
istri orang lain, dan seterusnya, termasuk pula berani mengawini putri golongan
bangsawan. Jumlahnya juga tidak banyak.
Sekali lagi, jumlah yang paling banyak ialah kasus
tuduhan melakukan kejahatan politik. Saya berpikir, pasti Pulau NP dulu banyak
dihuni oleh para politikus maaf “busuk” dari Gianyar, Bangli, dan Klungkung.
Benarkah demikian? Benarkah orang-orang yang
dibuang ke NP merupakan murni politikus busuk? Keraguan ini muncul karena saya tidak
mendapatkan penjelasan detail tentang faktor-faktor yang memicu kejahatan
politik tersebut dalam penelitian Sidemen. Jangan-jangan tuduhan politikus
busuk itu murni karena ketidaksukaan raja terhadap seseorang yang kristis dan
pemberani untuk meluruskan kekeliruan raja. Bisa jadi, Kan?
Bukankah terlalu gampang bagi penguasa (raja) untuk
menuduhkan seseorang dengan klaim penjahat politik. Apalagi zaman kerajaan,
raja merupakan pemegang mutlak kebenaran, dengan karakter mayoritas bersifat
anti-kritik.
Kalau ada masyarakat/ pejabat kerajaan sedikit
berseberangan pandangan dengan raja, maka tuduhan pemberontak atau penghianat
terlalu mudah bagi raja. Apa yang tidak mungkin bagi raja?
Begitu juga dengan kasus tuduhan melakukan ilmu
hitam. Bukankah sangat sulit untuk membuktikannya? Namun, penguasa merasa
terancam dengan keberadaan ilmu ini. Takut jika sewaktu-waktu raja atau
keluarganya diserang ilmu hitam, maka musnahlah estafet kepimpinan keluarga
raja.
Kapan saja, raja dapat berkenan menuduh seseorang
berhendak jahat (menyerang raja dengan ilmu hitam) termasuk kepada orang baik
(mungkin). Namun, jika raja memiliki rasa sentimen (tidak suka) terhadap orang
yang memiliki pandangan oposisi-cukup satu kata titah, “Tangkap, seret, tenggelamkan
atau buang ke Pulau NP!” Terus, siapa yang berani melawan titah raja?
Atau alasan lain, keluarga tertentu (entah pejabat/
rakyat biasa misalnya) dituduhkan menyukai putri raja. Lalu, keluarga raja merasa
diremehkan atau terancam wibawanya. Maka, sangat mungkin raja akan menuduh
keluarga tersebut melanggar peraturan adat perkawinan dan harus dibuang. Orang-orang
mau ngomong apa, coba?
Wah, pikiran saya terus berkecamuk! Rupanya otak
saya mulai dipenuhi dengan cerita-cerita raja yang pernah aku dengar dalam
sandiwara radio tahun 90-an. Apa yang tidak mungkin bagi raja?
Penguasa dan Klaim
Bandit
Jadi, klaim bandit pada masa kerajaan sangat mungkin
dipengaruhi oleh unsur subjektif dari sikap dan cara pandang penguasa (raja).
Faktor like/
dislike dari raja merupakan standar
simpel untuk mengklaim bandit atau bukan bandit. Unsur subjektif ini sangat
kuat mengingat penguasa sistem kerajaan bersifat langgeng. Bukan karena
kemampuan menjadi seorang pemimpin.
Karena itulah, keluarga raja tidak boleh disaingi
apalagi terancam. Hambatan-hambatan atas kelangsungan estafet penguasa harus
dicegah sedini mungkin. Apa pun alasannya, entah rasional ataupun irasional, keluarga
raja adalah titipan Tuhan untuk memerintah (bukan untuk diperintah).
Kebenaran menjadi monopoli mutlak raja. Namun,
tidak semua raja berwatak demikian. Raja-raja yang mengutamakan kesejahteraan
rakyat, tentu memiliki kebijaksanaan dan sikap objektif (kebenaran) yang
tinggi. Sebaliknya, raja-raja yang haus kekuasaan lebih dominan mengandalkan
sikap subjektif.
Nah, jika benar orang-orang yang dibuang ke NP itu memiliki moral yang baik, tetapi berseberangan
dengan raja-masih etiskah menyebutnya dengan para bandit? Pertanyaan
investigatif ini mungkin cocok ditujukan kepada para penulis barat tersebut.
Karena merekalah yang memberikan julukan pulau para bandit.
Lalu,
apa dasarnya penulis barat berkesimpulan demikian? Saya tidak mempunyai
referensi yang kuat tentang hal ini. Saya hanya mendapat kutipan hasil
penelitian arkeolog Claire Holt yang berjudul “Bandit Island: A Short
Exploration Trip to Nusa Penida” (dimuat Traditional Balinese Culture).
Berdasarkan beberapa sumber lokal dan arsip Belanda, Holt menyebut Pulau NP
sebagai wilayah yang diisi oleh orang-orang bermasalah dari pulau utama, yakni
Bali.
Di
benak saya, orang-orang bermasalah yang dimaksud lebih condong kepada para
penjahat politik (jika saya kaitkan dengan tulisan Sidemen). Dalam konteks
sekarang, mungkin oposisi atau orang-orang yang dianggap
mengancam/ menghambat ambisi penguasa (raja). Pada zaman kerajaan, saya pikir
hanya orang kritis, cerdas dan pemberani yang berani berbeda pandangan dengan
raja. Artinya, besar kemungkinan penjahat-penjahat politik yang dimaksudkan
merupakan politikus andal pada zaman itu. Ah, tentu dibutuhkan
peneliti-peneliti andal untuk mengkaji hal itu lebih lanjut.
Sebagai
orang barat (apalagi orang Belanda), barangkali mereka memiliki kesamaan dalam
mengklaim kategori “bandit”. Bangsa barat (Belanda) yang pernah berkuasa
(menjajah) di Indonesia mungkin saja memiliki cara pandang yang sama dengan
penguasa (raja-raja di Bali). Semua yang berseberangan atau menghambat
kepentingan penguasa adalah bandit. Di mata orang Belanda, Ir. Soekarno dan
pahlawan-pahlawan Indonesia lainnya barangkali masuk kategori (maaf) bandit
karena menghalangi kelanggengan berkuasa di Indonesia.
Jika
membaca lebih dalam penelitian Sidemen, saya tidak mencium aroma pembanditan
yang mencolok di NP. Sebab, tidak ditemukan bangunan atau ruang penjara. Para
narapidana itu konon dibebasliarkan. Bahkan, dikatakan menikah dengan penduduk
setempat (penduduk lokal NP). Mereka dieksploitasi (sistem tanam paksa) untuk
membuka lahan pertanian baru untuk mendongkrak ekspor pangan ke Klungkung
daratan.
Sebaliknya,
saya justru mencium NP menjadi korban maaf “pembanditan” sejarah. Wah, kok jadinya
malah serem dan ngawur, ya! Begini, dengan menjadikan NP sebagai tempat
pembuangan telah menciptakan citra buruk yang melegenda. Klungkung telah
menciptakan stereotip negatif terhadap Pulau NP termasuk penduduk asli setempat.
Kedua,
penciptaan stereotip ini sepertinya berhubungan (mungkin) dengan misi
tendensius orang Bali daratan (Klungkung) untuk mendominasikan budaya Bali
sehingga identitas orang NP menjadi hilang. Menurut Sidemen, akhir abad XIX
atau awal XX, unsur-unsur kebudayaan asli NP memperlihatkan gejala kepunahan.
Saya berpikir ini merupakan kejahatan (pembanditan)
yang cukup memilukan.
Ketiga,
sistem tanam paksa yang dibebankan kepada narapidana untuk mendongkrak ekspor
pangan dan mensejahteraan masyarakat Klungkung juga merupakan kejahatan yang
tak mengenakkan bagi warga NP.
Keempat, saya tidak
pernah melihat bukti-bukti sejarah (di NP) yang berkaitan dengan denyut
kehidupan kerajaan di NP. Misalnya, sisa-sisa istana kerajaan, tokoh-tokoh
pejabat Bali daratan yang pernah ditempatkan di NP dan lain sebagainya. Ah,
mungkin saya kuper saja. Selama ini, saya hanya tahu NP hanya menyisakan pura,
tanah kapur, batu kapur dan kali kering serta pohon-pohon yang tahan panas.
Seolah-olah NP tidak ada dalam rangkaian denyut kerajaan di Bali. Ah,
mungkinkah itu berhubungan dengan politik menghilangkan identitas masyarakat
NP?
Coba
Kau tanyakan pada rumput yang bergoyang! Kok, malah kayak lirik lagu Ebiet G.
Ade. Yang jelas tanah, batu, kali kering dan langit NP yang persis tahu (saksi
bisu) atas apa yang menimpa Pulau NP pada zaman itu.
0 komentar:
Posting Komentar