Foto: travelingyuk.com |
Kondisi geografis Nusa Penida
(NP) tergolong unik. Pulau ini dikenal sebagai daerah yang tandus, kering dan
identik dengan batu kapur. Hampir setiap jengkal tanahnya, bergelimpangan batu-batu
kapur dari berbagai ukuran. Namun, Anda jangan salah. Di balik ikon tandus, NP sesungguhnya
memiliki sumber mata air yang berlimpah, tetapi belum diberdayakan dengan
optimal. Masak, iya?
NP
memiliki beberapa sumber mata air yang potensial. Namun, hampir semua mata air
tersebut berada di bawah tebing, dekat laut.
Aliran mata air itu tidak dapat mengisi sungai-sungai kering di NP. Sungai-sungai
di NP tergolong tipe Intermitten. Bisa mengalirkan air pada musim hujan
saja. Pertanian di daerah ini sepenuhnya mengandalkan air hujan hingga
sekarang.
Ketergantungan
terhadap air hujan, menyebabkan masyarakat NP terbiasa mengalami krisis air. Paceklik
air seolah-olah sudah menjadi siklus tahunan yang sulit dihindari oleh masyarakat
NP dari generasi ke generasi. Sudah berlangsung sejak puluhan tahun, bahkan
mungkin dalam hitungan abad.
Paceklik
air bersih di NP banyak menyisakan cerita survive
yang menyesakkan. Segala upaya dilakukan oleh masyarakat NP untuk memenuhi
kebutuhan air bersih. Salah satunya ialah memanfaatkan stok air “gedebong”
(pohon pisang). Caranya, batang pohon pisang ditebang, kemudian pangkal
pohonnya dilubangi. Dalam hitungan beberapa jam atau harian, lubang itu
mengeluarkan air. Air inilah yang biasa digunakan untuk mencuci muka.
Ada
pula beberapa warga memanfaatkan stok air pada batang pisang untuk diminum.
Caranya, pelepah pisang dibongkar dengan pelan-pelan. Air yang berada di
sela-sela lapisan pelepah itu kemudian diminum. Drama tersebut dialami oleh
generasi tahun 80-an ke bawah, terutama yang tinggal di pedalaman.
Belajar
dari cerita krisis air yang berulang-ulang, lalu masyarakat NP menemukan solusi
cubang (sumur tadah hujan). Cubang NP mungkin sedikit unik. Permukaan dalamnya mengembang
seperti balon. Tujuannya, agar dapat menampung debit air hujan lebih banyak. Semakin
lebar dan dalam permukaan di bawahnya, semakin banyak dapat menampung air hujan.
Lambat
laun, solusi cubang mendapat support
dari pemerintah. Sekitar tahun 1980-an, pemerintah membangun kantong-kantong
air hujan (masyarakat di tempat saya menyebutnya DAM) di beberapa titik desa.
Namun,
keberadaan kantong-kantong air hujan ini tetap saja tidak mampu mengatasi
krisis air secara maksimal di NP. Kasus krisis air bersih selalu berpotensi mengancam
masyarakat NP. Padahal, sesungguhnya problema tersebut dapat diakomodir oleh
alam NP itu sendiri. NP memiliki beberapa sumber mata air, tetapi belum mampu
dioptimalkan karena keterbatasan biaya dari Pemda Klungkung.
Kondisi Geografi (mata air) dan Biaya
Pembangunan di NP
Jika NP menghadapi masalah klasik yakni air bersih,
maka Pemda Klungkung sebagai pengayomnya sejak dulu tersandera kasus APBD yang
minim. Akibatnya, support pembangunan di NP menjadi sangat lemah. Dibandingkan
dengan kecamatan lain di Klungkung, pembangunan di NP mungkin membutuhkan biaya
operasional paling tinggi. Salah satu faktornya ialah karena kondisi geografisnya.
NP merupakan satu-satunya wilayah kecamatan yang
berbentuk kepulauan di Klungkung. Risikonya, operasional pembangunan di NP cukup
merepotkan APBD Klungkung. Karena itulah, pembangunan di daerah ini bergerak
agak lambat. Contohlah pembangunan penggadaan air bersih di NP.
Jika cukup biaya, mungkin cerita paceklik air
bersih di NP dapat diminalisasikan sejak
dulu. Pasalnya, NP memiliki aset mata air yang cukup berlimpah. Dalam
penelitiannya yang berjudul Analisis Potensi Sumber Daya Air
di Nusa Penida, Harmayani dkk. menuliskan bahwa ada kurang lebih 9 mata air di NP antara lain: (1) mata air
Penida (Desa Sakti) dengan debit ± 200 lt/dtk, (2) mata air Seganing (Desa
Batumadeg) dengan debit ± 78,8 lt/dtk, (3) mata air Tembeling/ Temeling (Desa Batumadeg)
dengan debit ± 26,4 lt/dtk, (4) mata air Guyangan (Desa Batukandik) dengan
debit ± 178 lt/dtk, (5) mata air Tabuanan (Desa Sekartaji) dengan ± 36,6 lt/dtk,
(6) mata air Aceng (Desa Sekartaji) dengan debit ± 1,25 lt/dtk, (7) mata air Wates
(Desa Wates) dengan debit ± 0,75 lt/dtk, (8) mata air Angkel (Desa Suana)
dengan debit ± 0,50 lt/dtk, dan (9) mata air Toya Pakeh yang debitnya sangat
dipengaruhi oleh pasang surut air laut (https://simdos.unud.ac.id).
Belakangan, ditemukan lagi sumber mata air di wilayah Pangkung Gede, Desa Batumadeg. Namanya mata air Siha (https://www.nusabali.com).
Namun, belum ada informasi atau referensi tentang perkiraan besar debit sumber
mata air tersebut.
Dari 10 mata air yang terdata, hampir semuanya
berada di bawah tebing, perbatasan antara daratan dan lautan,
sehingga lokasinya sangat curam/ terjal (+90 derajat). Keadaan inilah yang menyebabkan biaya operasional
penggadaan air bersih di NP menjadi sangat tinggi. Bukan hanya biaya kepulauan
(secara umum), tetapi biaya lokasi (keberadaan sumber mata air) juga
membutuhkan biaya yang sangat besar.
Karena itu, hingga kini PDAM Klungkung baru bisa
memanfaatkan 2 sumber mata air di NP yaitu mata air Penida dan mata air
Guyangan. Berdasarkan pembacaan Geographic Positioning
System (GPS) posisi mata air Penida tepat pada koordinat 080 43’ 0.05” LS
dan 1150 27’56” BT. Pada sekeliling mata air tersebut telah dibuat bangunan
penangkap air (capture area) yang dihubungkan dengan bak penampungan
dengan kapasitas 1500 m3. Jaringan ini mulai dibangun pada tahun 1995 melalui
Proyek Penyediaan Air Baku Provinsi Bali (https://simdos.unud.ac.id).
Sebelum
didistribusikan kepada masyarakat, terlebih dahulu harus melewati instalasi
pengolahan air (water treatment plant) dengan kapasitas pengolahan air
20 l/dt. Setelah itu, ditampung pada reservoir dengan kapasitas 200 m3, baru
kemudian didistribusikan pada warga (pelanggan PDAM). Pemanfaatan mata air
Penida baru menjangkau beberapa desa, yaitu Desa Sakti, Toyapakeh, Ped,
Kutampi, Batununggul dan Suana.
Sementara
itu, mata air Guyangan berada pada koordinat 080 46’ 90” LS dan 1150 31’05” BT
dengan ketinggian ±11.5 m. Kapasitas
debitnya sebesar 178 l/dt. Sedangkan, kapasitas terpasangnya adalah sebesar 20
l/dt dengan kapasitas produksi sebesar 2 l/dt. Jangkauan pemakaiannya meliputi Desa Bunga Mekar, Klumpu, Batukandik,
dan Desa Sekartaji. Mata
air Guyangan paling potensial dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan air baku
bagi kecamatan Nusa Penida di masa mendatang.
Pemanfaatan mata air Penida dan mata air Guyangan
oleh PDAM setempat baru bisa terwujud sekitar tahun 200-an. Awalnya, pemakaian
air PDAM ini hanya untuk kebutuhan rumah tangga. Karena pelanggannya mungkin
terbatas, keberadaan air PDAM tersebut tidak terlalu menemui kendala. Hampir
setiap hari air mengalir melalui pipa ke rumah warga.
Kemudian, ketika pariwisata NP berkembang pesat
sekitar tahun 2016-2019, pelanggan air PDAM ini terus mengalami lonjakan dari
pihak pebisnis akomodasi pariwisata, terutama untuk kebutuhan penginapan. Belum
lagi dari pebisnis rumah makan, cuci motor, dan lain sebagainya.
Belakangan, air dari PDAM tersebut menemui kendala.
Lebih sering tidak mengalir ke rumah warga atau ke penginapan. Mungkin
kebanyakan pelanggan atau memang pemanfaatan dua sumber air (Penida dan
Guyangan) ini yang belum optimal. Karena konon biaya operasionalnya sangat
tinggi.
Apa pun alasannya, saya yakin Pemda Klungkung pasti
sudah memikirkan solusi alternatif agar air PDAM tersebut tetap mengalir
lancar. Apalagi perkembangan pariwisata di daerah NP menunjukkan kemajuan yang
signifikan. Bahkan, konon pemasukan dari aktivitas pariwisata di NP berdampak
kuat melipatgandakan PAD Pemda Klungkung. Tentu Pemda Klungkung tidak ingin
pelayanan pariwisata di NP mengecewakan, terutama soal pelayanan air bersih.
Barangkali, Pemda Klungkung sudah berpikir ke depan
sambil menunggu pandemi covid- 19 berlalu dan pariwisata NP normal kembali.
Siapa tahu Pemda Klungkung bisa menggandeng pihak-pihak tertentu (misalnya,
investor) untuk memaksimalkan dua mata air yaitu Penida dan Guyangan. Atau
jangan-jangan malah memanfaatkan (menggarap) sumber-sumber mata air yang
lainnya, sehingga pelayanan air bersih di NP tetap maksimal.
Atau Pemda Klungkung membuka titik-titik (objek)
pariwisata seluas-seluasnya dulu, untuk meraup pemasukan yang lebih optimal.
Salah satunya, menjadikan titik-titik sumber air yang ada di NP menjadi objek
wisata tambahan.
Jadi, sumber mata air di NP tidak hanya
dimanfaatkan untuk konsumsi airnya, tetapi juga dapat dikemas menjadi paket
pariwisata untuk dieksploitasi keindahannya. Gerakan eksploitasi ini sebetulnya
sudah dimulai seperti yang dilakukan oleh pelaku pariwisata terhadap mata air
Guyangan dan Tembeling.
Risikonya, kesan kesakralan mata air menjadi
berkurang. Lambat laun, akan terjadi pergeseran penikmatan aura sakral
(spiritual) menuju keindahan beraroma duniawi. Takutnya, orang-orang tak lagi
memandang mata air sebagai sesuatu yang sakral, lalu ikutan-ikutan
mengeksploitasi tanpa rasa berdosa. Mudah-mudahan tidak terjadilah!
Saya berharap, eksploitasi sumber mata air di ranah
pariwisata menimbulkan efek simbiosis mutualisme. Pariwisata sebagai pelaku
eksploitasi dapat menikmati keindahan sumber-sumber mata air yang ada. Namun,
tetap dapat berkontribusi memberikan pemasukan dan terutama bisa menjaga kesakralan
serta kelestarian lingkungan sekitar. Sehingga, paradoks geografi NP
perlahan-lahan akan lenyap seiring berjalannya waktu.
0 komentar:
Posting Komentar