Ketika
Sektor Pariwisata “Menghegemoni” di Nusa Penida, Generasi Petani Rumput Laut ke
Mana?
Oleh
I
Ketut Serawan
Sektor
apa yang paling ampuh dapat menarik generasi milenial bertahan dan bahkan kembali
ke kampung Nusa Penida (NP)? Untuk sementara, jawabannya tiada lain yakni
sektor pariwisata. Kemajuan sektor pariwisata di NP (sekarang) tidak hanya
membuat generasi milenial betah di kampung halaman, tetapi menarik beberapa
generasi muda perantauan di Bali daratan kembali ke kampung halaman. Bahkan,
beberapa transmigran pun ikut kembali ke tanah kelahiran untuk mencicipi kue
pariwisata di NP. Wow, luar biasa!
Sebelum pariwisata
melejit, lebih dari 90 persen generasi milenial NP menetap di Bali daratan
mulai dari usia pelajar, mahasiswa hingga usia kerja. Kampung NP dianggap tidak
menjanjikan sebagai pengembangan karier kerja. Karena itu, para generasi
milenial berlomba-lomba bekerja di Bali daratan. Mereka bekerja dalam berbagai
sektor, dengan tingkatan kerja yang bervariasi (dari pekerja kasar/ serabutan,
pedagang, PNS, pengusaha, dsb). Lalu, para generasi ini menjadikan kampung
halaman hanya sebagai “pelepas rindu” pada musim hari raya (hindu) atau acara
penting lainnya.
Begitu juga ketika
sektor pertanian budidaya rumput laut meroket di NP era 1990-an sampai 2000-an.
Sektor ini tidak mampu meredam arus urbanisasi dari NP ke Bali daratan. Para
generasi muda zaman itu kurang tertarik menetap di NP, apalagi kembali ke
kampung NP. Padahal, penghasilan rumput laut zaman itu cukup menjanjikan.
Setidak-setidaknya dapat mengakomodir biaya kehidupan sehari-hari bahkan dapat
mengcover biaya pendidikan. Namun,
sektor pertanian ini tidak mampu membuat generasi muda betah di kampung apalagi
untuk kembali ke NP.
Saya kurang paham
terhadap fenomena itu. Mungkin, pekerjaan petani memang dipandang rendah dan
kurang populer di masyarakat. Menjadi petani masih dianggap sebagai pekerjaan
kuno, tak menjanjikan, wong deso, kurang bergengsi, dan identik dengan
kemiskinan. Karena itulah, banyak orang tua (di desa) mendorong anak-anaknya
untuk tidak menjadi petani. “Cita-cita menjadi petani adalah haram,” kira-kira
begitulah prinsip ortu zaman dulu (dan termasuk sekarang).
Itulah sebabnya, para
ortu akan bangga jika anaknya dapat bekerja di kantoran, meskipun penghasilan
tidak seberapa. Mereka akan bangga jika melihat anaknya berpakaian rapi (dinas)
dan tidak kotor. Pergi ke kantor setiap hari, bukan ke sawah, ladang, kebun
atau ke laut.
Ekspektasi para
orang tua ini bak gayung bersambut. Nyoman Suwirta menduduki singgasana
Klungkung (2013), lalu menggenjot sektor pariwisata di NP. Kebijakan ini
seolah-olah menjadi semacam “hero” di tengah pertanian rumput laut yang memang
sudah lama mati suri di NP. Sektor pariwisata melejit. Ruang-ruang agraris
terekspansi, terutama pesisir pantai. Medan agraris (laut) telah berubah
menjadi pelabuhan (jembatan ponton) fast boat, titik snorkeling, diving, sport
water dan lain sebagainya.
Kondisi inilah yang justru
membuat para kaum milenial menjadi sumringah. Ruang kerja (lapangan pekerjaan)
menjadi terbuka. Hingga awal tahun 2020, sebanyak 329 hotel di NP terdaftar
dalam m.traveloka.com. Sedangkan, booking.com mencatat 437 hotel bertebaran di NP.
Jumlah ini setidak-setidaknya dapat mengakamodir kebutuhan kerja dari kaum
milenial di NP. Apalagi jumlah akomodasi tersebut diperkirakan akan terus
mengalami peningkatan.
Keberadaan akomodasi
penginapan didukung pula oleh maraknya jumlah warung makan dan restoran di NP.
Tripadvisor mencatat bahwa ada kurang lebih 142 warung makan dan restoran bertebaran
di NP. Jumlah ini semakin memperlebar lapangan pekerjaan bagi kaum milenial.
Belum lagi, sektor-sektor lainnya, yang memunculkan pekerjaan baru, yang
mendukung operasional pariwisata di NP.
Hingga sekarang,
beragam pekerjaan bidang pariwisata bermunculan seperti guide, sopir, usaha travel
agent, waiter/ waitress, bisnis
akomodasi dan lain sebagainya. Pekerjaan dengan pakaian rapi dan tidak kotor
plus penghasilan yang menjanjikan—sesuai harapan para orang tua dan generasi
milenial. Inilah magnet kuat yang menarik generasi milenial NP bertahan dan
kembali ke kampung.
Lalu, bagaimana
nasib para generasi petani rumput laut sekarang? Kemana mereka? Game overkah mereka? Atau jangan-jangan
mereka juga ikut mencicipi gemerincing dolar tersebut?
Generasi
Petani (Rumput Laut) dan Kepungan Pariwisata
Pada umumnya
para petani di NP memiliki banyak skill. Mereka tidak hanya mengandalkan skill
bertani tulen (monoskill). Di samping mampu bertani di darat atau di laut,
mereka mampu menjadi tukang, buruh bangunan, sopir, nelayan, dan lain
sebagainya. Kompleksitas skill ini bertujuan untuk bisa bertahan dalam situasi
hidup yang tidak menentu. Misalnya, ketika rumput laut anjlok maka petani
banting setir bekerja sebagai tukang, buruh bangunan, dan lain-lainnya.
Jadi,
petani di NP kebanyakan memiliki skill ganda (lebih dari satu). Karena itulah,
ketika pariwisata bertahta di NP, para generasi petani ini ikut banting setir,
menyesesuaikan skillnya dengan kebutuhan pariwisata. Mereka umumnya terpencar
dalam berbagai sektor pekerjaan. Paling banyak adalah tukang dan buruh bangunan
(akomodasi penginapan/ warung makan). Sebagai
tukang profesional, mereka mendapat bayaran pada kisaran Rp 150-200 ribu per
hari. Sedangkan, pengayah (buruh
bangunan) mendapat bayaran Rp 100-150 ribu per hari. Sementara, pekerjaan
petani dan peternak (pelihara sapi/ babi) tetap mereka jalani sebagai cadangan
dana tak terduga atau biaya semesteran atau tahunan.
Lebih
beruntung lagi ialah petani rumput laut yang merangkap sebagai nelayan. Mereka memiliki
skill yang sangat dibutuhkan dalam dunia pariwisata yakni sebagai kapten boat
untuk kegiatan snorkeling, diving, dan mengantar tamu menyeberang ke Pulau Nusa
Ceningan atau Lembongan. Malam (dini hari), mereka bekerja mencari ikan di
laut. Paginya, mendarat dan berjualan
ikan. Setelah itu, mereka membawa boat untuk mengantar tamu snorkeling atau
diving.
Sebagai kapten boat
saja, mereka memperoleh penghasilan Rp 250 ribu (minimal 2 titik lokasi). Jika
memiliki boat sendiri bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp 500 ribu hingga
Rp 2,5 juta per hari. Jadi, mereka mendapat penghasilan berlipat ganda. Mereka
mendapat penghasilan dari menangkap ikan dan juga penghasilan jasa mengantar
wisatawan snorkeling atau diving.
Sayangnya, rata-rata
kapten boat ini tidak memiliki sertifikat. Karena mereka memang tidak pernah
menempuh pendidikan khusus sebagai kapten boat. Namun, jangan salah! Kita tidak
boleh meragukan keprofesionalan mereka. Rata-rata mereka sudah puluhan tahun
kuliah dengan alam (iklim, pergerakan arus laut, padewasan, pergerakan angin
dll.). Mereka sangat memahami alam dengan studi “mengalami langsung” bahkan
(ada) sejak dari kecil.
Selain
menjadi tukang, buruh bangunan, dan kapten boat, ada juga yang menjadi sopir.
Mereka mengantar wisatawan ke titik objek wisata yang ada di NP. Sebagai jasa
sopir saja, mereka mendapat penghasilan berkisar Rp 150-200 ribu per hari. Jika
membawa mobil sendiri, mereka bisa meraup penghasilan sekitar Rp 400-600 ribu
per hari.
Sementara
yang lainnya, ada pula yang terjun menjadi pengusaha properti dan bisnis
akomodasi penginapan. Mereka yang terjun ke dunia ini umumnya memiliki modal
dan jiwa spekulan yang tinggi. Artinya, beberapa kaum generasi petani rumput
laut ini dapat pula bersaing dengan kaum generasi milenial untuk menjadi pelaku
pariwisata.
Sekali
lagi, dalam konteks perkembangan pariwisata sekarang, skil ganda yang dimiliki
oleh generasi petani tumput laut ini memudahkan mereka. Pertama, memudahkan mereka
dalam mengubah haluan hidup sesuai perkembangan dan tuntutan terkini. Kedua,
menyelamatkan mereka dari korban perubahan (meskipun tidak memiliki latar
belakang pendidikan sebagai pelaku pariwisata). Ketiga, mereka tetap eksis dan
menjadi bagian dari perubahan itu.
Seandainya, petani
rumput laut itu hanya bermental petani tulen, barangkali mereka sudah game over. Mereka akan menjadi penonton,
sambil sesekali mengucapkan kalimat kebanggaan, “Gumi NP sudah maju. Banyak
bule. Banyak penginapan”. Mereka merasa bangga, walaupun hanya bisa melambaikan
tangan dan mengatakan “Hallo” kepada setiap bule yang lewat.
Lalu, para bule
memandang ramah, melihat para generasi petani tulen yang game over itu. Dalam konteks inilah sesungguhnya terjadi aksi
tonton-menonton. Para wisatawan menonton penduduk lokal (petani yang game over itu). Sebaliknya, penduduk
lokal juga menonton para wisatawan (bule). Inilah yang mungkin disebut sebagai
“panggung banyolan pariwisata”.
0 komentar:
Posting Komentar