Pariwisata
Nusa Penida Melejit, Jangan Remehkan Sengketa Batas Desa
Oleh
Ketut
Serawan
Jangan pernah meremehkan tapal
batas desa! Keliru sejengkal saja, bisa menimbulkan pertingkaian serius. Cerita
ini mungkin sangat rentan dialami oleh desa-desa yang sedang berkembang di
Bali, termasuk Nusa Penida (NP). Bersamaan dengan momen melejitnya pariwisata,
tiga desa yakni Desa Ped, Toya Pakeh dan Sakti mengalami sengketa perbatasan
yang berujung pada kebuntuan. Kini, bola sengketa itu jatuh ke tangan Pemda
Klungkung dan menunggu kepastian eksekusi dari bupati.
Syukurnya,
sengketa itu tidak diwarnai dengan tindakan kekerasan. Pihak-pihak yang
bersengketa masih dewasa. Mereka lebih menggunakan rasionalitas dan
mengedepankan prosedur hukum yang berlaku. Sikap yang pantas diberi acungan
jempol.
Namun,
ujian terberat sesungguhnya ialah ketika bupati menyatakan hasil resmi
nantinya. Di situlah, kedewasaan pihak yang bertingkai akan dibuktikan. Akankah
semua pihak menghormati dan legowo (ikhlas) menerimanya?
Kini,
beban ada di tangan bupati. Lewat Permendagri No. 45/ 2016, kewenangan bupati akan
diuji dalam menetapkan batas desa, menegaskan batas desa dan mengesahkan batas
desa (Bab III Pasal 3).
Bersama
tim PPB Des Kabupaten (pasal 7), bupati dan wakilnya menjalani peran sebagai
ketua. Sedangkan, Sekretaris Daerah Kabupaten bertindak sebagai Wakil Ketua.
Kemudian, dibantu oleh anggota yang terdiri atas (1) Asisten Sekretaris Daerah
Kabupaten yang membidangi pemerintahan, (2) Kepala Bagian yang membidangi pemerintahan
desa, (3) Kepala Bagian Hukum, (4) Pejabat dari Satuan Kerja Perangkat Daerah
dan/atau instansi pemerintah terkait lainnya, (5) Camat dan/atau perangkat
kecamatan, (6) Kepala Desa/Lurah dan/atau perangkat desa/kelurahan dan (7)
tokoh masyarakat.
Selanjutnya,
proses dan deskripsi kerja tim PPB Des Kabupaten diatur secara rinci dalam
pasal 8. Dalam pasal ini disebutkan bahwa ada 7 fungsi yang dilakoni oleh tim
PPB Des Kabupaten. Ketujuh fungsi itu merupakan semacam rambu-rambu dasar yang
kuat untuk mengeksekusi sengketa perbatasan desa.
Meskipun
sudah memiliki rambu-rambu eksekusi, tetap tidak mudah memuaskan semua pihak. Besar
kemungkinan salah satu pihak, dua pihak atau malah semuanya merasa tidak puas. Inilah
tantangan berat sang bupati. Tantangan untuk
mengeksekusi hasil seadil-adilnya, sesuai pedoman Penetapan dan
Penegasan Batas Desa yang berlaku.
Lalu,
bagaimana jika ketakpuasan itu berujung pada keributan? Artinya, ada pihak yang
tidak dapat menerima kemudian melakukan protes, kekerasan, dan atau perilaku
melanggar hukum lainnya.
Mungkin
jawabannya sederhana. Para pelaku akan ditindak sesuai dengan hukum yang
berlaku. Selesai, kan! Asal bupati sudah bekerja sesuai dengan pedoman hukum
yang berlaku.
Muncul
tidaknya gejolak pasca keputusan adalah soal kedewasaan para pihak yang
bertingkai. Respon terhadap hasil akan menjadi cermin kualitas mental warga dan
pemimpinnya. Jika dewasa, pihak yang bertingkai tentu menghormati dan menerima
hasilnya.
Kalau
memang ada peluang protes atas ketakpuasan hasil sengketa, mungkin akan menjadi
dewasa jika disampaikan secara lebih bermartabat melalui prosedur atau jalur
hukum yang berlaku. Sekali lagi, bukan
dengan cara kekerasan yang justru melanggar hukum.
Pariwisata dan Sengketa
Perbatasan Desa
Kasus
perbatasan desa antara Ped, Toya Pakeh dan Sakti memang baru sekarang masuk ke
babak serius. Karena ketiga pihak yang bertingkai mau duduk berdampingan, lalu
membawanya ke ranah yang berwajib. Keseriusanan ini berbarengan dengan momen perkembangan
pariwisata di NP.
Padahal,
riak-riak sengketa itu terdengar cukup lama. Jauh sebelum pariwisata berkembang
di NP. Beberapa warga desa saling “pakrimik” soal ketiga perbatasan tersebut.
Hanya saja “pakrimik” warga bersifat perdebatan obrolan di pasar, banjar,
warung makan dan lain sebagainya. Obrolan yang tentu tidak memiliki kekuatan
hukum. Ya, semacam main klaim rasa yaitu rasa perbatasan. “Rasanya sampai di
situ! Harusnya itu termasuk wilayah desa kami.”
Sementara,
di kalangan pejabat teras desa (sebelumnya) terkesan kurang responsif terhadap
isu ketakjelasan perbatasan itu. Saya yakin para pejabat tersebut mendengar “pakrimik”
warga, tetapi dianggap angin lalu. Mereka (pihak-pihak yang kompeten) beranggapan
bahwa masalah perbatasan tergolong kasus yang kurang penting. Mereka ogah
membawa benih-benih sengketa itu hingga ke pihak berwajib. Mungkin ada
program-program esensial yang mesti diprioritaskan. Risikonya, “sarung gremeng”
perbatasan ketiga desa tersebut diwariskan secara turun-temurun ke pejabat
berikutnya.
Seandainya
tak ada momen pariwisata, saya yakin kasus sengketa itu tidak diurus secara
serius. Kecil peluangnya dapat “naik kasta” ke ranah hukum seperti sekarang. Benarkah
begitu? Benarkah pariwisata menjadi pemicu ketiga pihak yang bertingkai menjadi
termotivasi untuk meminta kejelasan perbatasan desa?
Anggaplah
begitu. Karena faktanya, ketika pariwisata melejit di NP, baru sekarang pejabat
desa mau serius menyelesaikan kejelasan perbatasan tersebut. Sepertinya ada
insting alamiah. Ketika gong pariwisata ditabuh, insting kapitalis orang-orang
desa juga spontan muncul. Bukan hanya spontan memperdebatkan batas tanah
warisan di keluarga, termasuk perbatasan desa mereka.
Ibarat
obat, pariwisata mungkin dipercaya menyembuhkan penyakit ekonomi beberapa masyarakat.
Namun di sisi lain, pariwisata juga menimbulkan efek samping yang tak dapat
dihindari yakni “penyakit kapitalis”. Mental kapitalis memandang sejengkal
tanah menjadi aset yang begitu berharga. Karena itu, perbatasan harus menjadi
jelas sebagai satu kesatuan wilayah desa. Dalam konteks ini, pikiran dan rasa
sosialis (menyama braya dulu) sudah kurang relevan lagi.
Saya
tidak sedang mengkambinghitamkan pariwisata. Tidak bermaksud menuduh bahwa
pariwisata menjadi pemicu konflik perbatasan. Jelas tidaklah. Mungkin banyak
faktor yang memicu sengketa itu baik yang sifatnya menahun maupun baru. Saya
kurang persis tahu. Yang jelas, sengketa perbatasan baru dianggap serius ketika
ada momen pariwisata.
Dengan
kata lain, perkembangan (momen) pariwisata sesungguhnya berdampak positif terhadap
ketegasan sikap pejabat dan warga atas perbatasan desa. Ketegasan perbatasan desa
adalah modal dasar sebagai aset wilayah, aset keamanan dan kenyamanan. Modal
yang berdampak langsung terhadap kelangsungan pertumbuhan pariwisata. Karena
pariwisata memang sensitif dengan gangguan keamanan dan kenyamanan.
Jadi,
entah kebetulan atau tidak, momen penyelesaian sengketa perbatasan tersebut
memang cukup tepat saat ini. Pasalnya, pariwisata NP baru memasuki awal perkembangan.
Sebelum betul-betul berkembang, benih-benih konflik wilayah memang sebaiknya
diantisipasi dan diselesaikan sejak dini. Jangan sampai, sesudah berkembang
pesat baru mempersoalkan perbatasan desa. Ya, kalau penyelesaiannya damai-damai
saja. Jika tidak, bukan hanya desa yang bersengketa dirugikan, tetapi wilayah
NP secara keseluruhan. Mau?
Selain
untuk kepentingan keamanan, kejelasan perbatasan juga penting bagi desa yang
kini dipandang sebagai wilayah yang otonom. Sebagai wilayah yang otonom, desa
harus memiliki kejelasan diri secara total dan integratif. Salah satunya ialah
kejelasan wilayah (delineasi). Kejelasan ini (mengacu Permendagri No. 45/ 2016,
pasal 2) bertujuan untuk
menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan
kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu desa yang memenuhi aspek teknis dan
yuridis.
Menurut
Herlina keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai wilayah yang otonom
sudah terlihat sejak awal reformasi. Hal ini tampak dalam Ketetapan MPR RI No.
IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
khususnya rekomendasi No. 7. Isinya kurang lebih merevisi Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah termasuk
pemberian otonomi bertingkat terhadap provinsi, kabupaten/ kota serta desa/ nagari/
marga, dan sebagainya (Jurnal Katalogis, 2017).
Sebagai
wujud konkret pemerintah pusat terhadap spirit otonomi desa, lahirlah UU RI Nomor
6 tahun 2014 tentang Desa sebagai pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Tujuannya untuk memaksimalkan fungsi pemerintah desa agar
mampu menjalankan peran utamanya, yaitu sebagai penyelenggara pemerintah desa,
pelaksana pembangunan desa, pembina kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa.
UU
RI Nomor 6 Tahun 2014 memberikan keleluasaan kepada desa untuk dapat mengatur
rumah tangganya sendiri. Namun konsekuensinya, kemampuan desa juga
dipertaruhkan untuk dapat membiayai pembangunan di desanya secara mandiri. Hal
ini berarti bahwa pemerintah desa dituntut kreatif—dapat menggali sumber-sumber
pendapatan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di wilayahnya atau
melakukan usaha-usaha lain seperti yang diatur oleh undang-undang. Artinya,
pemerintah desa diharapkan lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung kepada
pemerintah daerah dan pusat.
Bisa
jadi aura otonomi desa menjadi motivasi sengketa perbatasan antara Ped, Toya
Pakeh dan Sakti mencuat ke permukaan. Mereka menyadari bahwa modal pembangunan
desa tidak cukup mengandalkan SDM yang berkualitas, tetapi harus didukung oleh SDA
yang dimiliki oleh desa. Karena itu, kedaulatan desa tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Kejelasan dan ketegasan wilayah desa harus jelas. Apalagi zona-zona perbatasan
itu menyimpan nilai ekonomi yang tinggi untuk pembangunan pariwisata. Zona ini
tentu rawan untuk diklaim dadakan oleh desa tertentu.
Namun,
sekuat-kuatnya klaim warga tetap lebih kuat keputusan bupati karena mempunyai
kekuatan hukum yang lebih tinggi. Karena itu, apa pun hasilnya nanti
pihak-pihak yang bertingkai diharapkan dapat menghormati dan menerima hasilnya.
Kita tunggu! Semoga hasilnya memuaskan semua pihak!
0 komentar:
Posting Komentar