“Basa Nosa”, Bahasa Bali Dialek
Nusa Penida yang Mirip Dialek Bali Aga?
Oleh
I Ketut Serawan
Foto: water-sport-bali.com |
Nusa Penida (NP) memiliki bahasa yang khas. Masyarakat NP lumrah menyebutnya dengan istilah “Basa Nosa”. Basa Nosa merupakan bahasa Bali dialek NP. Basa Nosa memiliki beberapa kekhasan linguistik, yang berbeda dengan bahasa Bali pada umumnya. Kekhasan inilah yang membuat penutur bahasa Bali (umum) kadangkala kurang memahami tutur Basa Nosa. Basa Nosa konon memiliki ciri linguistik yang mirip dengan dialek Bali Aga.
Kesimpulan
ini diungkapkan oleh peneliti dan pakar bahasa. Jendra dkk (dalam Darma
Laksana, 1977) memaparkan basa Nosa
memiliki persamaan ciri kebahasaan dengan Dialek Bali Aga, antara lain: 1)
masih produktifnya distribusi fonim /h/ pada distribusi awal dan tengah; 2)
masih produktifnya sufiks /-ñə/ dan /-cə/
yang merupakan alomorf dari sufiks {-ə};
3) intonasi pembicaraan dengan tempo yang cepat dan tekanan dinamik yang
relatif lebih keras; dan 5) kosa kata dialektis yang mirip dengan kosa kata
dari Dialek Bali Aga yang lain. Perbedaannya, pada basa Nosa sudah mulai menghilangnya
distribusi fonim /a/ pada distribusi akhir.
Fonim
/h/ ada di awal, contohnya hoba-suba (sudah), homah-umah (rumah)
dan honya-onya (semua). Fonim /h/ berada di tengah kata, misalnya behas-baas
(beras), behat-baat (berat), pohun-puwun (terbakar). Kata-kata
yang bersufiks (akhiran) /-ñə/ misalnya dəpinñə-dəpinə (dibiarkan), anoñə-anunə (dipukul), dan abañə-abanə (dibawa). Kata yang berakhiran /-cə/
misalnya cototcə-cototə (dipatuk), habutcə- abutə (dicabut), dan aritcə- aritə (disabit).
Di samping kekhasan fonologis dan morfologis, biasanya penutur basa Nosa bertutur dengan tempo yang
relatif cepat dan tekanan dinamik yang lebih keras. Hal ini tidak bisa
dipungkiri, terutama ketika sesama penutur basa
Nosa melakukan komunikasi. Faktor inilah yang mungkin lebih menguatkan basa Nosa digolongkan ke dalam Dialek
Bali Aga.
Pada umumnya, bahasa Bali dikelompokkan
menjadi dua dialek yaitu Dialek Bahasa Bali Daratan dan Dialek Bahasa Bali
Pegunungan atau Dialek Bali Aga (Wayan Jendra dkk dalam Laksana, 1977). Basa Nosa digolongkan ke dalam Dialek
Bali Aga, dengan beberapa alasan. Salah satu faktornya, kebiasaan bertutur
(hampir semua) dengan intonasi yang relatif cepat dan keras.
Namun,
perlu diketahui bahwa tidak semua masyarakat NP menggunakan basa Nosa (Dialek NP). Ada beberapa
kelompok masyarakat berkomunikasi dengan menggunakan dialek lain. Darma Laksana
menyebutnya dengan nama Dialek Nusa Lembongan (DNL). Dalam penelitian yang
berjudul Morfologi Dialek Nusa Penida (1977), Laksana memaparkan bahwa basa Nosa memiliki perbedaan tidak hanya
dalam hal intonasi tetapi juga dalam hal pembendaharaan kata-katanya, sebagian
besar berbeda.
Perbedaan
yang paling mencolok misalnya kata eda (kamu)
dan kola (aku) dalam basa Nosa. Penutur DNL menggunakan kata cai/ ci (kamu) dan cang (aku). Contoh lain misalnya əndək (basa Nosa) dan tusing (DNL),
geleng-cenik, hangken-kenken dan lain sebagainya.
Perbedaan lainnya, dalam DNL 1) tidak ditemukan fonim
/h/ pada posisi awal dan tengah; 2) fonim /m/ pada akhir kata basa Nosa berubah menjadi /n/ dalam DNL;
3) fonim /p/ pada akhir kata (basa
Nosa) menjadi /t/ dalam DNL ; 4) beberapa kata DNL yang dimulai dengan fonim
vokal /i/ dan suku pertama terbuka /i/ tetapi dalam basa Nosa dengan fonim /e/; dan 5) beberapa kata DNL yang dimulai
dengan fonim vokal /u/ dan suku pertama terbuka /u/ tetapi dalam basa Nosa dengan fonim /o/.
Penutur DNL jumlahnya tidak sebanyak basa Nosa. Umumnya, penutur DNL ialah penduduk di Pulau Nusa
Lembongan dan Nusa Ceningan (Desa Lembongan dan Jungutbatu). Sebagian kecil lainnya
dari belahan barat Pulau NP, yang dekat dengan pulau tersebut. Misalnya,
penduduk Desa Adat Nyuh Kukuh (Desa Ped), dan agak mirip dengan Desa Adat
Sebunibus (Desa Sakti) serta Desa Adat Sakti (Desa Sakti). Sementara, Desa (kampung
muslim) Toya Pakeh menggunakan Dialek Klungkung. Menurut Laksama (1977), kemungkinan
besar disebabkan oleh pengaruh pergaulan yang datangnya dari desa (kampung)
Islam Kusamba.
Kemudian,
kelompok wangsa dewa (di Desa Batununggul) juga tidak menggunakan basa Nosa. Mereka menggunakan dialek
mirip Bali daratan. Sisanya, sebanyak 13 desa dari total 16 desa yang ada di NP
menggunakan basa Nosa yakni
Batukandik, Batumadeg, Bunga Mekar, Klumpu, Kutampi, Kutampi Kaler, Ped,
Pejukutan, Sakti, Sekartaji, Suasana, Tanglad, dan Batununggul.
Lalu,
dari mana sumbernya basa Nosa? Mengapa
basa Nosa memiliki beberapa ciri
linguistik yang berbeda dengan bahasa Bali Daratan (umum)? Pakar bahasa, Darma
Laksana menjelaskan bahwa hakikat sistem fonem antara basa Nosa dan Bahasa Bali Daratan sama. Namun, sejarah perkembangannya-lah,
yang menyebabkan keduanya menjadi berbeda.
Dalam
penelitian Laksana (berikutnya) yang berjudul Dinamika Kebahasaan pada
Masyarakat Nusa Penida (2015), ia menduga bahwa bahasa Bali Daratan (umum) terkena
pengaruh bahasa Jawa Pertengahan seperti yang digunakan dalam kitab Pararaton.
Ia memberikan contoh kata huwus dalam bahasa Jawa Kuna. Dalam Jawa
Pertengahan menjadi wus, sama
seperti bahasa Bali umum. Fonem /h /dalam bahasa Jawa Kuna lesap dalam
kedua bahasa yang menjadi pewarisnya.
Laksana
menduga bahwa keberadaan basa Nosa
berkaitan dengan invansi kerajaan Majapahit (pimpinan Gajah Mada) terhadap
Bali. Setelah upacara pengangkatannya sebagai “Patih Amangkubhumi Majapahit”
pada tahun Saka 1258 (1336 M), Gajah Mada bersama laskarnya berhasil menaklukkan kerajaan Bali, termasuk
“kerajaan” Nusa Penida (yang disebut Gurun dalam Sumpah Palapa Gajah
Mada). Penaklukan daerah ini disinyalir memengaruhi kedua bahasa baik di Pulau
Bali maupun Pulau NP.
Menurut
Zoetmulder, laskar Majapahit yang membanggakan diri sebagai bangsawan Jawa
tidak ingin kembali ke Majapahit. Karena itu, Laksana menduga sebagian laskar
Majapahit tidak kembali ke Jawa. Mereka merasa nyaman berdiam di Pulau NP.
Kemungkinan laskar Majapahit yang bukan bangsawan, yang masih mempertahankan
bahasa Jawa Kuna-nya, yang ditandai oleh fonem /h/ pada awal kata dalam
sebagian kosakatanya, sebagaimana termuat dalam Kamus Jawa Kuna–Indonesia
karangan Zoetmulder (2006) dan Kamus Kawi–Indonesia karangan
Wojowasito (1997), telah memengaruhi bahasa di Pulau NP.
Sikap dan Loyalitas Penutur Basa Nosa
Bagaimana
eksistensi basa Nosa sekarang? Masihkan
tetap lestari? Pertanyaan ini pantas diajukan mengingat pendukung (penutur)
dialek Bali Aga pada umumnya cenderung berkurang. Entah karena faktor apa. Mungkin
mereka malu dengan image “anak
gunung”, dianggap wong desa,
terbelakang, tertinggal dan maaf premitif. Karena konon, bahasa mencerminkan
bangsa. Yang jelas, Jendra (dalam Laksana, 1977) pernah mengemukakan bahwa
sikap dan loyalitas penutur Dialek Bali Aga kurang sekali terhadap bahasanya.
Statemen ini tentu didasarkan oleh fakta-fakta empiris di lapangan.
Apakah
statemen ini berlaku bagi penutur basa
Nosa? Hingga kini, basa Nosa masih
tetap hidup. Bahkan, keberadaannya tidak hanya di Pulau NP saja, termasuk Pulau
Bali dan di luar Bali. Pendukung basa Nosa
di Pulau Bali paling banyak ada di Melaya, Kabupaten Jembrana. Di luar Pulau
Bali, ada di daerah transmigransi seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
Keberadaan
basa Nosa di luar daerah Bali kebanyakan
dikembangkan oleh para transmigran asal NP. Meskipun berpuluh-puluh tahun
berada di luar daerah, transmigran asal NP tetap mempertahankan bahasa ibunya, basa Nosa. Mereka tetap konsisten
berkomunikasi menggunakan basa Nosa
tidak hanya di rumah, tetapi setiap saat ketika bertemu dengan sesama penutur basa Nosa.
Hal
ini menunjukkan bahwa sikap dan loyalitas penutur basa Nosa tidak dapat diragukan lagi. Mereka loyal (setia) dan
menjunjung basa Nosa sebagai bahasa
ibu. Komitmen ini pantas mendapat acungan jempol di tengah basa Nosa yang sering dijadikan lelucon bahkan bahan bully oleh penutur dialek lain, terutama
di wilayah Bali. Tidak hanya dalam konteks pergaulan sehari-hari, basa Nosa juga sering dijadikan bahan
lelucon dalam pentas seni seperti drama gong, bondres, lawak Bali, dan lain
sebagainya.
Namun,
lelucon dan bullyan-bullyan tersebut rupanya tak menyurutkan kecintaan orang NP
untuk melestarikan dan mengembangkan basa
Nosa. Bukan hanya penutur kalangan orang tua, dewasa—termasuk kalangan
remaja (milenial) NP juga fanatik menggunakan basa Nosa. Jika para generasi tua melestarikan dan mengembangkan basa Nosa secara nyata, langsung, dan
terbatas ke suatu tempat—maka generasi milenial NP memilih dunia maya untuk
menyebarkan basa Nosa. Mereka memanfaatkan
panggung youtube sebagai sarana melestarikan dan mengembangkan basa Nosa baik dalam bentuk lagu maupun
lawak-lawakan khas NP.
Dalam
dunia musik, nama Nanang Mekaplar sangat populer di kalangan penutur basa Nosa. Ia sangat konsisten
menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu basa
Nosa. Ia bahkan sudah melahirkan beberapa album (lengkap dengan video klip)
berbasa Nosa. Kemudian, jejaknya diikuti oleh KalegoAgusBedik. Dengan modal
yang serba sederhana, tak menyurutkan militansinya dalam menjaga basa Nosa. Ia tetap kreatif menciptakan
dan menyanyikan lagu basa Nosa dengan
rekaman yang sangat sederhana.
Selain
lagu, kontes basa Nosa juga digarap
dalam bentuk lawakan atau percakapan khas berbahasa Nosa. Beberapa youtuber
asal NP mengemasnya secara kreatif dalam bentuk lawakan-lawakan singkat.
Responnya, juga sangat bagus. Baik Nanang, Kalego maupun para youtuber lainnya dapat
meraup followers hingga ratusan ribu.
Dengan
jumlah followers sebanyak itu, basa
Nosa memiliki dukungan penutur yang signifikan. Pasalnya, per 2010 jumlah
penduduk NP hanya 45.110 jiwa. Artinya, dukungan ini mengindikasikan bahwa basa Nosa potensial untuk dilestarikan
dan dikembangkan.
Namun,
kendalanya basa Nosa kini belum
memiliki standardisasi. Standardisasi ini mungkin penting untuk kepentingan
linguistik basa Nosa, misalnya
penyusunan kamus basa Nosa, tata
bahasa Nosa (fonologi, morfologi, sintaksis) dan lain sebagainya. Memasukkan basa Nosa dalam aturan linguistik, tentu
menyebabkan basa Nosa tidak hanya
bernilai sebagai komunikasi lisan saja, tetapi juga bernilai dalam komunikasi
tertulis. Siapa tahu digunakan untuk menyampaikan gagasan secara tertulis.
Boleh, kan?
Gagasan
“me-linguistik-kan” secara tertulis basa
Nosa penting mungkin untuk mengangkat nilai basa
Nosa. Apalagi, sekarang daerah NP sudah terdampak pariwisata. Sangat bagus
misalnya basa Nosa dijadikan promosi
mulai dari nama-nama objek wisata, nama usaha/ brand dan lain sebagainya. Contohlah The Leveh Band. Band lokal
yang digawangi oleh Wayan Sukadana ini menggunakan basa Nosa yaitu kata “leveh” (aslinya “lepeh”). Ya, hitung-hitung promosi
wilayah dan sekaligus basa Nosa. Siapa
tahu ada yang berminat belajar basa
Nosa.
0 komentar:
Posting Komentar