Salam
Konor dari Nusa Penida, Sebuah Alarm Autokritik
Oleh
I
Ketut Serawan
“Bangka Eda!” Itulah kalimat
identik yang diucapkan oleh Konor setiap melihat orang-orang yang lewat. Kalimat
ini bermakna kurang lebih “Mampus Kau!” Semacam kalimat makian dan sangat
kasar. Namun, tidak demikian halnya dengan Konor. Pemuda lapuk ini justru tidak
pernah merasa berdosa melontarkan kalimat tersebut dalam situasi apapun. Entah
dengan orang desa/ kota, orang yang dikenal maupun tak dikenal, orang miskin/
kaya, pejabat atau orang biasa--entah di pasar, pelabuhan, jalan raya, tempat tajen,
dan lain sebagainya. Pokoknya ia akan selalu menyapa dengan kalimat makian
tersebut, plus gesture dan muka yang
ekspresif.
Anehnya,
tidak ada satu pun orang tersinggung ketika dimaki seperti itu. Ya, maklumlah. Masyarakat
NP mengenalnya sebagai orang yang kurang waras. Namun, tidak ada yang persis
tahu profil Konor sesungguhnya. Hingga sekarang, lelaki ini masih saja
misterius. Misterius daerah asalnya, keluarganya, tempat tinggalnya, dan lain
sebagainya.
Akan
tetapi, jangan tanya eksistensinya. Ia bisa saja muncul kapan dan di mana saja.
Tiba-tiba ia muncul di pasar. Sebentar kemudian, nongol di pelabuhan, di banjar dan acara seremonial adat/ keagamaan
di suatu tempat. Bahkan, sering pula terperangkap di emper-emper toko yang
sunyi (tutup).
Hingga
kini, tidak banyak yang berubah dari sosok Konor. Secara fisik, ia identik
dengan tubuh tinggi tegap, kulit hitam, berkumis, dengan pakaian lusuh, kucel
dan dekil. Kondisi yang lumrah, sama seperti orang kurang waras pada umumnya.
Namun yang membedakan Konor ialah sapaan yang latah yaitu “Bangka Eda!” Ujaran
ini menjadi ikonis yang begitu populer di kalangan masyarakat NP.
Saking
identiknya, masyarakat NP menyebut ujaran latah “Bangka Eda!” itu sebagai
pemilik sah dari Konor. Kalangan milenial NP mengkategorikannya sebagai semacam
salam. Salam khas dari Konor. Lucunya, belakangan salam ini justru merasuki
berbagai kalangan di NP, seperti anak-anak, remaja dan orang tua. Mereka yang
normal malah latah (ikut-ikutan) menggunakan Salam Konor untuk berbagai
kepentingan. Kok, bisa?
Salam Konor, Sebuah Autokritik
Sesungguhnya,
ujaran “Bangka Eda!” sudah biasa digunakan oleh masyarakat NP. Namun,
konteksnya dalam percakapan yang akrab. Artinya, kedua belah pihak
(penutur-pendengar) sudah saling mengenal.
Hakikinya,
ujaran tersebut digunakan untuk tujuan mengkritik. Misalnya, mengkritik lawan
bicara yang isi tuturnya kurang baik, seperti mengandung unsur kebohongan
(hoaks), arogansi, dan terjerumus tindakan negatif. Jadi, kalau penutur
(pembicara) mengumbar kebohongan, arogansi, dan tindakan (termasuk pikiran,
perkataan) yang menyimpang dari norma—maka lawan bicara pasti meresponnya
dengan ujaran “Bangka Eda!” Ujaran ini kurang lebih seperti “catatan koreksi”
atas isi pembicaraan yang kurang baik. Targetnya, si pembicara tidak mengulangi
lagi. Atau untuk selanjutnya, si pembicara diharapkan lebih baik dalam
berpikir, berbicara, dan berbuat.
Di
samping itu, ujaran “Bangka Eda!” juga digunakan untuk kepentingan memotivasi teman
bicara. Misalnya, ketika teman tidak cakap melakukan sesuatu, hasil karyanya
kurang bagus, dan ekonominya kurang bagus—maka ujaran “Bangka Eda!” akan memecah
percakapan. Namun ingat, konteksnya dengan teman yang sudah akrab. Realisasi ujaran
itu memang seolah-olah mengejek/ membully, tapi suasananya bercanda dan santai.
Ujaran
“Bangka Eda!” juga digunakan untuk mengutuk orang lain yang berpikir, berkata
dan berbuat melanggar etika dan norma yang berlaku. Misalnya, ada sopir
ugalan-ugalan di jalan dan mengancam keselamatan pengendara lain, maka sopir
itu akan mendapat makian “Bangka Eda!” Maknanya kurang lebih “Semoga kamu
mengalami celaka”. Jika sang sopir mulat sarira, makian itu sebetulnya “alarm kesadaran”
agar tidak lagi melakukan hal yang sama (ugal-ugalan).
Ketika
Salam Konor populer dan viral di dunia maya, penggunaan “Bangka Eda!” kian
berkurang. Masyarakat lebih memilih kalimat “Baang Ia Salam Konor!” Maknanya
kurang lebih “Kasi dia Salam Konor!” Maksudnya sama dengan “Bangka Eda!”
Bahkan,
semenjak Salam Konor booming,
pemanfaatannya kian bertambah luas. Sasarannya tidak lagi pada personal saja,
tetapi mengarah ke organisasi (lembaga/ instansi) dan pemerintahan. Ketika
aparatur desa pakraman, desa dinas, camat, dan pemda Klungkung dianggap kurang
(maaf) becus kinerjanya—masyarakat cukup berkomentar “Kasi Dia/ Mereka Salam
Konor!” Komentar yang sangat simpel, bukan? Namun, penuh makna.
Karena
itulah, ketika listrik sering mengalami kematian di NP, masyarakat latah
berkomentar “Kasi Ia (baca: Mereka) Salam Konor!” Kata ganti ia atau mereka
sifatnya fleksibel (menyesesuaikan). Kalau soal kasus listrik, maka ia atau
mereka mengacu pada instansi PLN Klungkung. Begitu juga, ketika air PAM
mengalami kematian serius, masyarakat NP ramai-ramai kerasukan Salam Konor,
baik di dunia nyata dan terlebih lagi di dunia maya.
Tidak
hanya hujan Salam Konor, medsos juga diramaikan dengan gambar/ foto-foto Konor,
tanpa kata atau kalimat. Para netizen cukup menampilkan fotonya saja dan
dianggap mewakili esensi Salam Konor. Saking populernya, beberapa masyarakat NP
merekam Konor lewat video lalu diunggah di dunia maya. Tujuannya, sebagai
lelucon, olok-olokan, dan hiburan semata. Bahkan, beberapa youtuber asal NP pernah
mengeksploitasinya dalam video (berbagai versi) yang bertajuk “Salam Konor”.
Fenomena
Konor memang cukup unik. Bagaimana tidak? Jarang terjadi, ada ujaran orang
tidak waras dikutip dan malah dijadikan ikon sebagai kritik (oleh orang waras).
Saya tidak tahu, ini fenomena apa namanya? Apakah ini bisa disebut sebagai
Konor Effect? Entahlah. Mungkin akan
menjadi lucu rasanya jika orang kurang waras dianggap memiliki pengaruh cukup
besar. Apa kata dunia?
Konor
mungkin sebuah perkecualian. Ia mampu membuktikan dirinya sebagai tren berujar
bagi banyak orang di NP. Lalu, apa istimewanya Salam Konor itu sehingga mampu
mempengaruhi orang banyak?
Pertama,
Salam Konor merupakan bentuk penghalusan maksud/ pesan. Bayangkan kalau kita
mengkritik (menghujat) seorang atau organisasi dengan ujaran “Bangka Eda!” Kedengarannya
sangat kasar dan pedas. Apalagi kepada orang (organisasi) yang tidak akrab dengan
kita. Sebaliknya, cukup katakan dengan “Kasi Ia (Mereka) Salam Konor!” Ini
mungkin kedengaran lebih sopan dan tidak vulgar.
Kedua,
Salam Konor merupakan kritik yang simpel. Salam ini pendek dan dapat digunakan
oleh berbagai kalangan tanpa pandang bulu. Entah anak kecil, remaja, dan dewasa
dari berbagai latar belakang.
Ketiga,
Salam Konor memiliki maksud/ pesan yang fleksibel. Salam ini dapat digunakan
dalam berbagai bidang atau ranah. Ia dapat dimasukkan dalam berbagai konteks
kasus dan mampu mewakili pelaku kritik, maksud kritik, serta sasaran yang
dikritik. Panjang pendeknya kritik yang ingin disampaikan oleh individu, semua
dapat diakomodir dengan ujaran singkat “Kasi Dia/ Mereka Salam Konor!”
Keempat,
Salam Konor bermakna ambigu (ganda). Penggunaan Salam Konor berpeluang besar
menimbulkan ambiguitas maksud. Jika ada pejabat (misalnya) marah atau
tersinggung terkena Salam Konor, maka pengguna Salam Konor cukup berdalih “Ah,
toh itu salam dari orang yang kurang waras”. Buat apa tersingung dengan kutipan
ujaran orang kurang waras? Ya, nggak?
Namun,
jika ada orang atau organisasi menanggapi Salam Konor itu sebagai sebuah kritik
atas kelemahan, kekeliruan, dan kesalahan yang dilakukan—tentu orang atau organisasi
tersebut akan menjadikannya cermin untuk berbuat lebih baik (optimal) ke
depannya. Efek inilah yang sebetulnya disasar dari pengguna Salam Konor.
0 komentar:
Posting Komentar