Simpang
Siur Nama Nusa Penida: Dari Batu Kapur, Pandita Hingga Memati-mati
Oleh
I
Ketut Serawan
Anda mungkin salah satu orang yang sering
bolak-balik ke Pulau Nusa Penida? Entah untuk urusan berwisata, bisnis, pulang
kampung dan atau urusan lainnya. Akan tetapi, pernahkan terlintas di pikiran
Anda, dari mana sesungguhnya asal muasal penamaan “Nusa Penida” itu?
Mungkin beberapa ada yang sudah
tahu. Sebagian pura-pura tahu. Sebagian yang lainnya memilih cuek, alias masa
bodoh. Sisanya, memilih tersinggung, karena dianggap tidak punya kerjaan
mengungkit-ngungkit nama yang sudah ada. Kok, kayak hasil kuesioner aja!
Mirip dengan seorang artis yang sedang naik daun,
nama Nusa Penida (sekarang) memiliki nilai yang layak untuk dipergunjingkan. Hah,
kayak gosip selebriti aja! Bukan hanya karena pulau ini melejit sektor
pariwisatanya, melainkan beberapa objek wisatanya masuk top ranking dunia.
Misalnya, Kelingking Beach masuk sebagai pantai peringkat 2 terbaik se-Asia dan
19 besar di dunia (versi TripAdvisor 2019). Bahkan, yang cukup menghebohkan
Pulau NP menduduki peringkat 1 dunia sebagai destinasi backpacker 2020 versi
Hostelworld.
Wow, amazing! Beberapa gelar tersebut
menyebabkan Pulau NP mendapat perhatian dan sorotan dari masyarakat
internasional. Ratusan ribu wisatawan (per hari), secara bergantian mengunjungi
pulau ini untuk menikmati keindahan fisik alamnya. Kondisi alam yang unik (tebing,
pantai, dasar laut, dsb.) membuat NP tersohor dan mempesona para pelancong baik
domestik maupun mancanegara.
Modal kecantikan alam dan massa (pengunjung) yang
begitu besar, menciptakan daya tarik tersendiri bagi NP. Ia tidak hanya menarik
dieksplorasi dari aspek fisik alamnya saja, tetapi juga menarik ditelisik dari
sisi literasinya (asal-usul nama NP). Karena itulah, silsilah identitas (nama)
NP sangat menarik untuk diketahui oleh para wisatawan, masyarakat umum, dan
termasuk juga masyarakat setempat.
Versi Nama Nusa Penida
Hingga sekarang nama NP masih mengalami
simpang siur. Simpang siur inilah yang menyebabkan saya bingung berkepanjangan.
Daripada bingung tidak ketulungan, saya datangi Mbah Google, balian
internasional yang terkenal sakti itu. Saya bermaksud “nunas baos (minta
petunjuk)” untuk meredakan kebingungan saya.
Dari pawisiknya, saya mendapatkan dua petunjuk yang
mencerahkan. Pertama, versi kekuasaan (power). Konon “Penida” berasal dari kata
“ped” dan “Ida”. Ped artinya kematian, sedangkan Ida berarti kekuasaan. Jadi, “penida” diartikan sebagai kekuasaan yang “memati-mati” atau
kekuasaan yang sangat hebat (wisata.beritabali.com).
Menurut sumber
tersebut, dulu NP dikatakan memiliki wilayah kekuasaan sendiri yang terpisah dengan Bali. NP
memiliki empat wilayah yang dijadikan kekuatan utama, yaitu Ped, Penida, Tunjuk
Pusuh, dan Puncak Mundi. Wilayah-wilayah ini berdiri kokoh dan dikuasai oleh seorang
raja yang hebat. Saking hebatnya, NP merasa mampu menguasai seluruh wilayah,
termasuk menguasai Bali.
Maka pergilah,
Kerajaan Penida ke daratan (Bali). Keinginan ini tentu disambut murka kerajaan
Bali. Selanjutnya, pecahlah perang antara Penida dengan Bali. Penida yang
dipimpin oleh Dalem Dukut harus berperang melawan Toh Langkir dari Karangasem.
Toh Langkir sendiri merupakan utusan Kerajaan Gel-Gel yang kala itu menguasai
Bali.
Untuk
mengalahkan kekuatan Penida, pihak Toh Langkir memakai kekuatan (taring) Besakih.
Dalem Dukut kalah. Namun, sebelum Dalem Dukut meninggal, ada sebuah pesan yang
ditingggalkan, “Saya terima kekalahan saya dengan syarat di kemudian hari
setelah saya tidak ada, darat harus ingat dengan NP. Kapan darat tidak ingat
dengan NP, maka saat itu akan terjadi
bencana besar-besaran”.
Kedua, dari versi penguasa (penjajah Belanda).
Menurut kacamata barat (Belanda),
nama Nusa Penida
sesuai dengan keadaan tanah seluruh kepulauan ini. Dalam bahasa Bali 'penida'
artinya kapur tohor (Bal. 'pamor bubuk'). Referensi ini merujuk pada H.N. van
der Tuuk, Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenboek, vol.IV., dan Batavia: Landsdrukkerij,
1912; p.19 (www.nusapenida).
Orang Belanda mengaitkan nama “penida” dengan
kondisi geografi (real) Pulau NP yang dominan tanah batu kapur. Kondisi
geografi ini dianggap sangat representatif untuk pulau ini. Karena hampir
seluruh wilayah NP basisnya tanah batu kapur. Dominasi inilah yang (mungkin)
menguatkan orang barat menyebutkan bahwa nama “penida” cocok disematkan kepada
Pulau NP.
Ketiga, versi babad. Versi ini saya baca dalam buku
yang berjudul Babad Nusa Penida yang ditulis oleh Jero Mangku Made Buda. Dalam
buku tipis ini ditulis bahwa nama Nusa Penida berasal dari frase “manusia
pandita” (Buda, 2007:1-2).
Menurut Buda, konon pada tahun Saka 50 Ida Bhatara
Siwa dan saktinya (istri) Dewi Uma turun ke bumi bersama pengikutnya seperti
Tri Purusa, Catur Lokha Pala, dan Asta Gangga. Beliau tedun (berkumpul) di
Bukit Mundhi. Di tempat inilah keduanya merubah raga (status), dari meraga Dewa
menjadi manusia. Ida Bhatara Siwa menjelma menjadi seorang laki-laki, meraga
seorang pandita yang bergelar Dukuh Jumpungan. Konon, dari penjelmaan inilah
asal muasal nama Nusa Penida. Nama sebenarnya ialah Manusia Pandita. Manusia
itu mengacu kepada seseorang yang bernama Dukuh Jumpungan, seorang pandita.
Dari frase “manusia pandita”, lama kelamaan berubah menjadi Nusa Penida.
Lalu, Anda mungkin bertanya, versi manakah yang
mendekati kebenaran? Wah, pertanyaan ini tentu tidak mudah untuk dijawab!
Karena masing-masing versi mempunyai dasar pembenaran tersendiri.
Kalau kita merujuk pada kronologi waktu, maka versi
ketiga usianya paling tua. Karena dalam catatan babad (silsilah) NP, Dukuh
Jumpungan merupakan generasi paling tua (pertama) sebelum era Dalem Dukut.
Tokoh Dalem Dukut muncul ketika zamannya Dalem Sawang (generasi keempat) dalam
silsilah (babad) NP (Buda, 2007:13 dan hal 51). Malah, dalam buku Babad Nusa Penida,
Dalem Dukut disebutkan sebagai utusan Ida Hyang Toh Langkir untuk meredam
kekuasaan Dalem Sawang yang sewenang-wenang di NP.
Sedangkan, era Belanda mungkin paling muda. Era
Belanda hanya menjadi penegasan atas nama “penida” dengan mengaitkan makna kata
tersebut dengan kondisi khas geografi NP, yaitu kapur tohor (pamor bubuk). Untuk
memastikan makna itu, saya mencoba mencari kata “penida” di kamus bahasa Bali,
menanyakan langsung kepada guru bahasa Bali dan internet, tetapi tidak menemukan
makna yang dimaksud. Namun, saya yakin referensi Belanda tersebut memiliki
dasar untuk menjelaskan “penida” dengan kapur tohor.
Saya tidak berani berspekulasi untuk membenarkan
versi yang satu dan mengeliminasi versi yang lainnya. Ada baiknya kita mencari
bukti-bukti otentik yang lebih kompleks sebelum gegabah memberikan kesimpulan.
Anda mungkin memiliki bukti-bukti itu?
Nusa Penida: Simbol Power,
Kehebatan, dan Kesucian
Kompleksitas
bukti mungkin penting sebagai petunjuk untuk menguatkan salah satu versi yang
ada. Perihal ini menjadi tantangan bagi peneliti
agar mendapatkan kajian asal-asul nama NP yang lebih intens dan rasional.
Bagi
saya, tiga versi tersebut cukup meredam kebingungan saya selama ini. Saya tidak
ingin mengukuhkan satu versi, lalu melemahkan versi lain. Saya lebih senang melihat
dasar pembenaran versi dan makna yang melekat pada kata “penida”. Sekali lagi,
menurut saya. Anda boleh berbeda pandangan!
Dari
tiga versi di atas, ketiganya menguatkan bahwa diksi (nama) “penida” sangat
tepat. Karena ketiganya memberikan makna positif yakni simbol power, kehebatan,
dan kesucian. Versi pertama (Ped dan Ida) menandakan bahwa nama “penida” bukan
nama sembarangan. “Penida” mengandung ikon kekuasaan yang hebat. Dari versi ini,
kita mendapat gambaran bahwa leluhur orang NP bukan orang sembarangan,
melainkan orang-orang yang hebat. Dengan kata lain, sejak dulu, leluhur kita
(NP) sangat diperhitungkan dalam dunia kerajaan di Bali (meskipun sejarah Bali,
rasanya kurang peka dalam pencatatan histori NP). Berikutnya (versi kedua), “penida” dihubungkan dengan kapur tohor
atau pamor bubuk. Makna ini mengandung kesucian. Bukankah pamor bubuk dalam
masyarakat Bali berkaitan erat dengan perlengkapan (eteh-eteh) upakara. Entah
kebetulan atau disengaja, pamor bubuk merupakan perlengkapan porosan (daun
sirih-Wisnu, buah pinang-Brahma, dan pamor-Siwa) yang konon melambangkan simbol
tri murti. Tanpa porosan, canang konon belum bisa disebut sebagai canang.
Menurut Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara
Shri Satya Jyoti, porosan juga melambangkan Tri Premana, yaitu Bayu (pikiran),
Sabda (perkataan), dan Idep (perbuatan), yang membuat tubuh bernyawa dan dapat
melakukan aktivitas. Begitu juga porosan menjadi nyawa atau jiwa bagi setiap
persembahan (baliexpress.jawapos.com/). Pamor bubuk juga merupakan
sarana mistis bagi sang balian (tapak dara) sebagai bagian dari ritual
penyembuhan (sejarahharirayahindu.blogspot.com).
Tidak
hanya itu, pamor bubuk juga dihubungkan sebagai alat (baca: senjata), yang
berkaitan dengan cerita meninggalnya tokoh panglima perang Kebo Iwa, yang sakti
mandraguna. Ketika Kebo Iwa masuk dalam perangkap taktik Gajah Mada, ia sangat
sulit untuk dibunuh. Satu-satunya senjata yang dapat membunuh Kebo Iwa adalah
siraman pamor bubuk. Taburan pamor bubuk, konon membuat Kebo Iwa meninggal
tanpa bekas (alias moksa).
Saya
tidak persis tahu, apakah kedahsyatan pamor bubuk itu ada korelasinya dengan makna
kata “penida”? Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan penelitian-penelitian
lebih lanjut.
Versi
ketiga, “penida” dikaitkan dengan manusa pandita (Dukuh Jumpungan). Pandita
artinya pendeta atau orang suci. Kemungkinan besar orang NP leluhurnya berasal
dari manusia pandita (orang suci). Entah benar atau tidak, itu pekerjaan para
peneliti. Dalam konteks penamaan, versi ini memandang bahwa diksi “penida” memiliki
makna yang suci (positif). Artinya, layak disematkan pada kata “penida”.
Begitulah
analisa saya. Mungkin ngawur, sedikit ngawur atau “aur-auran”. Terserah Anda!
Atau jangan-jangan Anda mungkin memiliki interpretasi yang lebih mapan (kuat)
untuk memperkaya referensi tentang asal-usul nama (Nusa) Penida.
0 komentar:
Posting Komentar