Dari “Metajuk”, Mengenal Lebih
Dekat Kultur Agraris Nusa Penida
Oleh
I Ketut Serawan
Pertanian di Nusa Penida (NP) mengandalkan
air hujan seratus persen. Para petani di daerah ini tergolong petani ladang. Musim
hujan menjadi momen yang paling membahagiakan bagi para petani untuk
melampiaskan hasrat “metajuk” yaitu menanam palawija di ladang-ladang. Namun, waktu
metajuk merupakan momen yang tidak
dapat ditebak dengan pasti. Perhitungannya sering meleset dari perkiraan sehingga
rentan menimbulkan rasa “galau” di kalangan para petani—padahal jauh sebelumnya
ladang-ladang mereka sudah diolah dan siap ditanami.
Ketidakakuratan
membaca tanda alam sering membuat petani merugi sebelum panen. Ketika hujan
turun, mereka beramai-ramai metajuk.
Setelah metajuk, eh, ternyata hujan
tidak turun-turun lagi. Tanaman palawija yang sudah tumbuh akhirnya mati.
Solusinya, mereka hanya menunggu perkembangan cuaca untuk melakukan aktivitas metajuk kedua kalinya bahkan bisa sampai
ketiga kalinya.
Sebetulnya,
masyarakat NP meyakini bahwa kehadiran musim hujan berada pada garis akhir sasih Kapat atau awal sasih Kelima. Selain itu, masyarakat di kampung
saya juga menggunakan tanda-tanda alam seperti kondisi pohon kotuh. Mereka meyakini bahwa jika ranting pohon
kotuh bermunculan tunas-tunas daun,
pertanda musim hujan (metajuk) akan tiba.
Namun, gejala alam ini tidak selalu akurat. Musim hujan bisa saja mundur jauh
dari perkiraan. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat di kampung saya biasanya
menggelar ritual memohon hujan.
Tradisi “Metajuk” di Nusa Penida
Metajuk
menjadi sebuah keharusan di NP. Sebab, ketahanan pangan bermula dari sini.
Dulu, nasi “kelanan” (nasi jagung) dan nasi “sela” (ketela pohon) merupakan
makanan pokok masyarakat NP. Kedua bahan pangan ini juga dapat diolah menjadi jajanan
khas NP, misalnya abuk, pulung-pulung, jagung menyanyah, gendar, tape sela, lukis, dan lempog. Karena itu, ketika
metajuk, palawija yang tidak boleh
absen ditanam yaitu jagung dan ketela pohon. Sisanya, kacang merah, bleleng, sargum, kacang tanah dan lain
sebagainya.
Jadi,
setiap warga (petani) pasti menanam jagung dan ketela pohon. Selain menjadi
makanan pokok dan olahan jajan, pun dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Daun dan
batang jagung-ketela bisa dimakan oleh ternak sapi.
Meskipun
tradisi metajuk berlangsung sangat
lama (mungkin sudah berabad-abad), tetapi saya kurang tahu esensi metajuk. Dari istilahnya, “metajuk”
mungkin berkaitan dengan kata /pəñukjuk/
(baca: penyukjuk). Penyukjuk adalah alat yang digunakan untuk melakukan
kegiatan metajuk. Bentuknya seperti
tombak, tetapi ujungnya dilapisi besi/ baja yang lebih tumpul. Sedangkan, gagangnya
terbuat dari kayu, bulat panjang dengan ukuran kurang lebih 1,5 m. Penyukjuk
berfungsi untuk melubangi tanah, tempat menaruh atau menanam benih
(biji-bijian), misalnya jagung, kacang merah, dan lain-lainnya.
Laksana
(1977) mengungkapkan bahwa /penyukjuk/ berasal dari kata dasar /jukjuk/. Mula-mula
/jukjuk/ bergabung dengan prefiks nasal, sehingga terbentuklah kata /ñukjuk/. Kemudian,
mendapat prefiks {pə-} sehingga menjadi
kata /pəñukjuk/.
Saya
menduga kata /jukjuk/ sama dengan /jujuk/ yang berarti berdiri. Mungkin istilah
metajuk bersumber dari kata dasar
/jukjuk/. Kalau memang benar, bisa jadi metajuk
bermakna kegiatan menjadikan tanaman berdiri. Ya, kasarnya kegiatan
menanam. Apakah semua kegiatan menanam dapat disebut metajuk?
Setahu
saya, esensi metajuk bermakna lebih
sempit. Metajuk berkaitan dengan
aktivas menanam yang menggunakan alat bernama penyukjuk. Penyukjuk berfungsi melubangi
tanah (sedalam kurang lebih 5 cm), kemudian dimasukkan benih. Selanjutnya, benih
itu ditimbun dengan tanah kembali, menggunakan telapak kaki bagian depan.
Aktivitas ini dilakukan sambil berdiri. Mungkin, karena kegiatan menanam sambil
berdiri tersebut, maka disebut metajuk.
Kegiatan
metajuk melibatkan semua anggota
keluarga, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Umumnya, laki-laki dewasa
membuat deretan lubang-lubang dari penyukjuk. Kemudian, anak-anak, remaja, dan
para ibu memasukkan benih (dengan tangan) ke dalam lubang lalu menimbunnya
dengan tanah.
Pasca
metajuk, ada tradisi ngungkung. Semua hewan ternak seperti
babi, sapi dan terutama ayam dikarantina selama kurang lebih 2-3 minggu. Babi
dan sapi berpotensi merusak benih yang ditanam, sedangkan ayam (selain) merusak
dan sekaligus dapat memakan benih yang tertanam. Sebab, kebanyakan anak babi,
anak sapi dan ayam yang dipelihara dilepasliarkan (kecuali babi dan sapi dewasa
biasanya diikat di bawah pohon). Ada beberapa babi dikandangkan, termasuk sapi.
Jumlahnya tidak banyak. Sementara itu, ayam-ayam ditangkap lalu dibuatkan
kandang dadakan. Banyak pula hanya dimasukkan ke dalam keranjang atau diikat
pada patok-patok kecil.
Sepanjang
ngungkung, para petani mengecek
pertumbuhan palawija yang ditanam, sambil membawa benih baru. Mereka melakukan tradisi
“mesimpal” yaitu mengecek beberapa benih yang gagal tumbuh. Kemudian, mereka
menanami kembali dengan benih yang baru. Kegiatan ini dilakukan ketika palawija
berusia 5 hari.
Sepuluh
hari pasca metajuk, para petani
melakukan aktivitas nyongkrak
(membajak). Tujuannya, untuk mengatasi hama rumput liar di antara deretan tanaman
palawija. Demi keamanan, kedua mulut sapi penarik jongkrak harus dipasang kronja (sejenis keranjang kecil, agar
sapi tidak bisa makan tanaman).
Ketika
kegiatan nyongkrak, pembajak diikuti
oleh satu orang spesial, biasanya anak-anak. Ia bertugas menyelamatkan tanaman yang
tertimpa bongkahan atau gundukan tanah, efek gerakan gigi jongkrak. Jika
timbunan tanah dibiarkan menutup tanaman, maka besar kemungkinan tanaman
tersebut mati atau cacat permanen.
Kelemahan
nyongkrak tersebut ialah di sela-sela
satu deretan tanaman tidak tersentuh gigi jongkrak. Karena itu, ada tradisi mulung yaitu membersihkan rumput liar di
sela-sela deretan tanaman palawija dengan menggunakan alat sederhana bernama taah dan kekis. Taah berbentuk
seperti pahat, tapi ujungnya lebih tumpul. Sedangkan, kekis seperti cangkul tetapi permukaan lebih ramping (memanjang ke
samping). Perbedaan lainnya, tangkai kekis
lebih panjang bahkan bisa mencapai 2 meter. Tujuannya, agar lebih mudah
menjangkau rumput liar yang ada di sela-sela tanaman.
Ketika
tanaman berumur 25-30 hari, dilakukan pemupukan tambahan dengan pupuk kimia
(setelah dikenal pupuk kimia). Warga di tempat saya menyebutnya dengan istilah ngrabukan.
Kegiatan
ngrabukan juga memanfaatkan alat
penyukjuk untuk melubangi pinggir (samping) tanaman. Kemudian, pupuk kimia
dituangkan di dalam lubang dengan menggunakan sendok makan (tanpa ditimbun
lagi). Setelah pemupukan tambahan ini, petani istirahat lama. Mereka menunggu
sampai palawija dipanen.
Panen
kloter pertama ialah jagung, kacan merah, dan bleleng. Usianya kurang lebih 3 bulan. Hasil panen ini ditaruh dan
diawetkan di ponapi (sejenis
lumbung), kecuali kacang merah ditaruh dalam sok bodag. Sementara itu, benih-benih (terutama biji jagung)
ditaruh dalam belek.
Panen
kloter kedua yaitu ketela pohon (ngerih).
Namun, panen kedua ini cukup lama, kurang lebih 7 bulan. Karena itu, pasca
panen pertama, para petani kembali melakukan bersih-bersih. Sisa pangkal pohon
jagung, kacang, dan bleleng
dibersihkan. Kemudian, petani nyongkrak
dan mulung lagi untuk mendapatkan hasil panen yang optimal. Hasil panen
biasanya ditaruh dalam sok bodag atau
kampil. Sementara, turusnya (bibit
ketela) ditaruh di tempat lembab (basah) seperti di belakang pembuangan air
pancoran atau di bawah pohon yang rindang.
Setelah
ngerih, ladang-ladang petani praktis
mengalami kekosongan kurang lebih 4 bulan. Rentang inilah yang dimanfaatkan
oleh para petani untuk menaruh kotoran sapi dan sampah organik/ unorganik.
Sampah-sampah yang tidak terurai dibakar. Sementara, kotoran sapi ditebar di
atas permukaan ladang.
Selanjutnya,
para petani melakukan aktivitas nenggala
yaitu membajak dengan tipekal gigi satu. Nenggala
merupakan proses pengolahan ladang pertama atau dasar. Melalui nenggala, tanah digemburkan dan
sekaligus dicampurkan dengan tebaran pupuk (kotoran sapi dan abu).
Proses
pengolahan ladang hampir rampung. Tinggal menunggu musim metajuk. Namun, sebelum ditajuk,
tanah kembali digemburkan dengan kegiatan nyongkrak
(biasanya giginya empat). Inilah pengolahan yang terakhir. Tujuannya, untuk
meratakan bongkah-bongkahan (bungkalan)
tanah sehingga permukaannya menjadi lebih datar, halus dan siap ditajuk.
Semua
proses nenggala dan nyongkrak biasanya dilakukan dengan
sistem gotong-royong. Di tempat saya, namanya tradisi “kajakan” atau “ngajak”.
Artinya, mengajak orang lain untuk membantu menyelesaikan pekerjaan kita.
Tradisi kajakan ini juga berlaku
dalam membangun rumah, membuat sumur, metajuk
dan lain sebagainya.
Tradisi
kajakan merupakan produk dari kultur
agraris. Hingga kini, kultur ini masih ada walaupun tak sekuat pada zaman dulu.
Saya ingat, waktu kecil (tahun 80-an) tradisi ini begitu kuat. Biasanya, setiap
orang membangun rumah, rompok, dan membajak pasti dikerjakan secara
gotong-royong (kajakan).
Sekarang,
mulai ada pergeseran. Kajakan masih
kuat hanya pada penggarapan ladang seperti nenggala/
nyongkrak dan termasuk kegiatan metajuk.
Namun, kajakan berlaku surut terhadap
penggarapan rumah. Kebanyakan, sekarang warga menggunakan tukang profesional (digaji).
Seiring
perkembangan zaman, proses metajuk
juga mengalami penyederhaan dan praktis. Pasca ngerih, beberapa petani tidak melakukan ritual nenggala atau nyongkrak
lagi. Apakah ini ada hubungannya dengan terbatasnya sapi yang terlatih? Atau
jangan-jangan tidak ada warga yang memelihara sapi karena sudah habis dijual
(sebagai modal) untuk beralih ke sektor pariwisata.
Belakangan,
beberapa petani tampaknya sudah enggan melakukan nenggala/ nyongkrak. Cukup dengan menyemprotkan rumput dengan
racun/ pestisida. Rumput-rumput tepar. Kemudian, petani langsung melakukan
aktivitas metajuk, tanpa proses
penggemburan tanah lagi. Pemupukan hanya mengandalkan pupuk kimia.
Mungkin
karena kemajuan teknologi? Atau barangkali generasi petani terlalu tua untuk
mengendalikan tenggalan dan sapi-sapi
yang menariknya. Sebab, pelapis generasi petani sudah tidak ada. Hampir seratus
persen, para petani kehilangan regenerasi.
Anak-anak
milenial sudah gagap bertani. Mereka tidak tertarik untuk menjadi petani.
Apalagi, NP terdampak pariwisata. Bagi mereka, metajuk bukan lagi awal mula pertahanan pangan. Metajuk di ladang adalah dunia lama. Dunia milik para generasi yang
sudah reyot. Metajuk milenial adalah
aktivitas menanam benih jasa-jasa pariwisata untuk memanen dolar.
Akan
tetapi, belakangan panen dolar total terhenti karena pandemi covid-19. Karena
itulah, sekarang terlihat sejumlah anak muda milenial menunjukkan semangat
bertani. Semangat ini pantas diapresiasi ketika pariwisata memperlihatkan
kerapuhannya. Saya berharap sejumlah anak milenial ini konsisten—bukan semata-mata
karena pelarian, keterpaksaan dan alternatif sesaat. Saya berharap mereka
kreatif, disupport, sukses dan
menjadi inspirasi sebagai petani modern ala kekinian.
0 komentar:
Posting Komentar