Pariwisata
Nusa Penida, Menunggu Bangkit dari Korona dan Sihir Konor
Oleh
I
Ketut Serawan
Ibarat menanam palawija,
pariwisata Nusa Penida (NP) baru “mentik” (melejit), tetapi langsung diserang
hama pandemi virus korona (covid-19). Gugurlah ekspektasi ekonomi yang diimajikan
oleh masyarakat NP. Bukannya bergelimang uang (dollar), masyarakat NP justru bergelimang
utang sekarang. Jangankan untuk mencicil pokok pinjaman, membayar bunga saja
sudah tak sanggup—karena memang tak ada kunjungan. Untuk sementara, pariwisata
NP seolah-olah terkena sihir “Salam Konor” dan menunggu momen bangkit. Entah sampai
kapan?
Tak
ada yang bisa memprediksi secara akurat. Semua orang hanya bisa berdoa dan
melakukan anjuran pemerintah (tinggal di rumah) untuk memutus rantai penyebaran
virus korona. Situasi yang tak menentu ini membuat masyarakat NP (terutama
pelaku pariwisata) semakin cemas. Cemas yang luar biasa. Pasalnya, banyak
masyarakat NP berada pada garis “merintis bisnis”. Mereka baru saja
menyelesaikan pembangunan akomodasi pariwisata. Konon modalnya tidak sedikit.
Dari ratusan juta hingga mencapai milliaran rupiah. Apa nggak pusing pala bebi?
Ya,
begitulah bisnis pariwisata. Bisnis yang menurut para pakar tergolong bisnis
yang rapuh. Saya juga kurang mengerti maksudnya. Apa mungkin karena mudah
gonjang-ganjing? Diseruduk isu fluktuasi keamanan dan politik saja, pariwisata
bisa nyungsep. Benar, nggak? Apalagi
terkena isu grubug global (covid-19) seperti sekarang. Pariwisata NP langsung
terjun bebas ke bawah. Dalam bahasa Konor, “Bangka, Eda!” (Mampus, Kau!)
Artinya, pariwisata NP menemui titik nadir.
Meskipun
rapuh, bisnis pariwisata tetap menggiurkan di Bali (daratan). Bahkan, sudah dijadikan
basis hidup (nyawa ekonomi) oleh masyarakat Bali. Hampir semua sendi kehidupan
di Bali sudah tunduk dengan syahwat pariwisata. Segala aspek kehidupan
(termasuk hal yang sakral awalnya) dikemas dan diseting agar dapat
dikomersialkan untuk dewa pariwisata.
Bagi
Bali, pariwisata merupakan sektor yang paling menjanjikan. Pariwisata Bali
tidak hanya menjadi tulang punggung PAD Bali, termasuk andalan bagi Indonesia. Menurut
data BPS Provinsi Bali, Per tahun 2019, kunjungan wisatawan asing ke Bali
mencapai 6.275.210 (lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2018 yakni
6.070.473).
Karena itu, Direktur
Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Ida Bagus Purwa
Sidemen, M.Si, menyatakan bahwa Provinsi Bali mampu menyumbang 40 persen atau
sekitar 8 Miliar USD devisa negara per total kunjungan wisatawan mancanegara
hingga bulan Oktober 2018 4,1 Juta dari target kunjungan wisman 6,5 juta di
Pulau Dewata (http://koranjuri.com).
Tak hanya di Bali daratan, kunjungan wisatawan ke NP juga
sangat signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Klungkung mencatat
bahwa NP dikunjungi 133.848
wisatawan pada 2018. Artinya, NP sangat potensial dikembangan menjadi industri
pariwisata.
Bercermin dari data kunjungan tersebut, tampaknya masyarakat
NP juga sangat tergiur menjadi pelaku pariwisata. Sinyal untuk terjun total ke
pariwisata begitu kuat. Belakangan, masyarakat NP sudah tak ragu lagi untuk menggantungkan
hidup sepenuhnya pada pariwisata.
Karena
itu, segala kemampuan daya ekonomi mereka kerahkan demi aktif mencicipi kue
pariwisata NP. Dari menjual aset yang bernilai ekonomi tinggi, menggadaikan SK
(PNS), menggadaikan tanah dan lain sebagainya. Pokoknya, mereka bertaruh total
untuk berkompetisi merebut peluang di arena pariwisata.
Ketika
pariwisata anjlok (terkena sihir Konor) seperti sekarang, wajar masyarakat NP
kelimpungan. Lemas, letih, lesu dan tak bertenaga. Mereka hampir tidak memiliki
cadangan ekonomi (lumbung ekonomi), karena semua sudah dipertaruhkan dalam
bisnis pariwisata. Mungkin sekarang, aset bisnis akomodasi merupakan representasi
atas totalitas kekayaan yang dimiliki warga.
Bisa
dibayangkan jika aset akomodasi tersebut tidak dapat difungsikan dengan normal.
Tidak ada pengunjung. Tak ada yang menggunakan jasa akomodasi pariwisata. Lalu,
mereka mendapatkan pemasukan dari mana? Jangankan membayar utang, untuk
bertahan makan dan hidup pun cukup berat. Sebab, biaya hidup di NP sangat
tinggi. Keberadaan sembako di NP hampir sepenuhnya didatangkan dari Bali
daratan. Ya, risikonya harga pasti tinggilah.
Sudah
jatuh ditimpa tangga lagi. Beban utang yang tinggi ditambah pula dengan beban
bertahan hidup yang tinggi. Maka, semakin tinggilah totalitas beban hidup
masyarakat NP sekarang. Karena itu, wajar saja seorang teman saya (yang pelaku
pariwisata di NP) mendadak tertarik menjadi peramal. Menurutnya, jika kondisi
buruk ini berlangsung hingga beberapa bulan ke depan, dia meramalkan akan
terjadi tekanan mental yang serius di kalangan masyarakat NP. Tentu saja, ramalannya
ini disampaikan dengan sedikit lelucon--untuk menenangkan dirinya dari kepungan
utang.
Bukan
kalangan para pelaku bisnis saja, tekanan mental juga merembes ke tenaga kerja
(karyawan) yang dirumahkan. Mereka harus kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka
menjadi sandaran untuk menafkahi keluarga. Selain itu, para sopir, guide, tukang, dan lain-lainnya juga
kehilangan pemasukan. Pun masyarakat umum, yang menjadi bagian dari sistem
lingkaran pariwisata. Mereka juga merasakan beban hidup yang berat akibat
anjloknya pariwisata di NP.
Aktivitas
perekonomian mulai tampak lesu di NP. Pengangguran dipastikan akan meningkat. Angka
kemiskinan juga akan melonjak. Tak bisa dibayangkan jika kondisi ini
berlangsung lama. Bisa jadi menganggu ketahanan mental masyarakat. Selanjutnya,
berpengaruh terhadap stabilitas keamanan masyarakat di NP.
Namun,
kita berharap bahwa situasi masyarakat akan tetap baik-baik saja. Saya yakin
masyarakat NP selalu punya strategi untuk bertahan hidup. Karena, mereka sudah
memiliki histori yang panjang untuk bertahan hidup. Kondisi geografis yang tandus,
sering dilanda kemarau panjang, krisis air, dan situasi sulit lainnya sudah
lumrah mereka lewati. Alam (kondisi geografi) sudah menempa mereka menjadi pribadi
yang kuat dan tangguh.
Ketangguhan
survive tersebut akan diuji sekarang.
Masa sulit corona menuntut kreativitas masyarakat NP untuk menghadapi dan
melewati ujian masa sulit itu sekarang. Dibutuhkan kreativitas lebih ekstra,
sebab pemulihan pasca korona kemungkinan cukup lama.
Kendati
misalnya bulan ini atau bulan depan kita aman dari zona horor korona, tentu
ekonomi global yang porak-poranda menunggu waktu untuk pulih seperti semula. Dana-dana
cadangan calon wisatawan tentu sudah menipis selama menghadapi pandemi korona.
Sebab, mereka tidak bisa bekerja normal. Mereka tidak mendapatkan pemasukan
seperti biasanya. Artinya, kunjungan normal ke NP memerlukan waktu cukup
panjang.
Kasus
pandemi korona memang di luar prediksi. Tak seorang pun menyangka kasus ini membuat
ambruk perekonomian masyarakat NP, termasuk dunia. Mungkin kasus ini tergolong
dadakan, baru dan tentu saja belum siap untuk diantisipasi oleh masyarakat NP.
Walaupun, konon Bali pernah mengalami Gerubug Bah Bedeg 100 tahun silam. Namun,
mungkin tidak dapat dijadikan modal dalam menghadapi pandemi korona sekarang.
Barangkali, situasi dan kondisinya tidak sama.
Belajar dari Pandemi Korona
Jika
pandemi korona merupakan musibah, tentu ada hikmah positif yang dapat kita
petik dari peristiwa ini. Pertama, mungkin hendak mempertegas kepada masyarakat
NP bahwa bisnis pariwisata memang rapuh. Bisnis pariwisata tidak dapat
diandalkan seratus persen sebagai fondasi ekonomi. Karena pariwisata sangat
sensitif dengan isu global, regional, nasional maupun daerah. Eksistensi
isu-isu itu siap menggoyang kapan sajan kurva pariwisata ke titik bawah.
Artinya,
masyarakat NP diharapkan memiliki basis (kantong-kantong) ekonomi lainnya sebagai
pertahanan hidup. “Sebab, pariwisata hanyalah bonus”, kata para pakar yang
pernah saya dengar. Sebagai bonus, pariwisata memang cenderung memberikan
pemasukan ekonomi yang lebih besar dan cepat. Karena itu, wajar sektor
pariwisata sangat menggiurkan bagi masyarakat. Ia sering membuat orang menjadi
“mabuk”. Mabuk untuk bertaruh total di bisnis pariwisata, tak peduli apa pun
kata para ahli.
Kedua,
pandemi korona menyadarkan kita agar tetap hidup hemat dan selalu ingat fase
kurva kritis. Filosofi “Ingat Sepi Saat Ramai” yang sering dilontarkan beberapa
pebisnis akomodasi lokal di NP, pantas dijadikan pedoman hidup. Filosofi ini
seolah-olah hendak menyadarkan kita agar selalu siap menghadapi kondisi sepi.
Sehingga, kita selalu dituntut berhemat dan berhitung dengan pemasukan (saat
kunjungan ramai) untuk menghadapi situasi sepi, yang mungkin lebih panjang
waktunya. Bahkan, fase sepi ini dipastikan menjadi bagian kurva pariwisata yang
bersifat tahunan.
Ketiga,
mengurangi ego bisnis. Tidak sedikit, kalangan pebisnis akomodasi pariwisata di
NP konon berasal dari kalangan baperan.
Mereka “jengah” dan ikut-ikutan meramaikan persaingan bisnis untuk mendapatkan
prestise atau “cap kasta kaya” di lingkungan masyarakat. Demi memuaskan libido
prestise itu, mereka melampiaskan ego kapitalisnya walaupun dengan cara
berhutang terlalu tinggi. Artinya, ada kecenderungan mereka berspekulasi di
luar batas tanpa perhitungan yang matang.
Keempat,
pandemi korona lebih mendidik ketahanan mental masyarakat NP dalam menghadapi
situasi sulit. Jika mampu melewati situasi krisis sekarang, mungkin menghadapi
situasi sepi normal nantinya akan menjadi terbiasa. Bahkan, mungkin dianggap
enteng.
Kelima,
pelajaran bagi pemerintah untuk memikirkan kebijakan baru guna mempercepat
bangkitnya pariwisata di NP. Masyarakat NP pasti menunggu jurus jitu Pemda
Klungkung untuk segera menormalkan pariwisata di bumi Dukuh Jumpungan.
Mungkin
Pemda Klungkung bisa belajar dari kebijakan pemerintah pusat terkait dampak
korona terhadap pemulihan pariwisata di Bali yaitu (1)
memberikan tambahan anggaran Rp 298,5 milyar untuk insentif airline dan travel
agent dalam rangka mendatangkan wisatawan asing ke dalam negeri, (2) memberikan
insentif kepada wisatawan dalam negeri sebesar Rp 443,39 milyar berupa diskon
sebesar 30 persen potongan harga untuk 25 persen seat per pesawat yang menuju
ke 10 destinasi wisata, (3) sepuluh destinasi pariwisata yang tersebar di 33
Kabupaten/ Kota (termasuk Bali) tidak dipungut pajak hotel dan restoran (sebesar
10%) selama 6 bulan (4) APBN menyediakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik
Pariwisata sebesar Rp 147 milyar yang akan dikonversi menjadi hibah ke
daerah-daerah untuk memacu pariwisatanya (https://radarbali.jawapos.com).
Semoga
Pemda Klungkung dapat mengkonversi model kebijakan tersebut dengan baik. Dari
konversi ini diharapkan lahir kebijakan-kebijakan ampuh. Ampuh mempercepat
pemulihan pariwisata di NP. Ampuh menepis efek korona dan terbebas dari sihir
Konor.
0 komentar:
Posting Komentar