Foto: hoteldomestik.com
Fenomena
tren “menghabiskan malam” alias makemit II (saya sebut makna sampingan-lah) ini
tampak signifikan setidaknya dari 3 tahun yang lalu. Kemudian, tampak lebih menggejala
justru ketika pariwisata NP tersendat oleh pandemi Covid-19. Para pengusaha
yang nihil dari kunjungan tamu mancanegara, berlomba-lomba menjaring pamedek
untuk makemit II di penginapan miliknya.
Strategi
penjaringan pamedek tersebut
tampaknya tidak luput dari upaya pebisnis penginapan untuk tetap bertahan.
Bertahan di tengah situasi yang sangat sulit seperti sekarang. Karena itu,
mereka pun bersaing menawarkan harga penginapan yang sesuai dengan kondisi
ekonomi pamedek plus berbau corona. Bayangkan, cukup Rp 200-an ribu per malam, pamedek
dapat menikmati penginapan bagus bahkan sudah termasuk fasilitas kolam. Wah,
Anda pasti tertarik, bukan?
“Ya,
daripada kosong melompong. Lebih baik berisi, walaupun harga tidak rasional,”
mungkin teori keadaan inilah yang menyebabkan para pebisnis penginapan
berlomba-lomba banting harga demi mendapatkan pemasukan. Setidaknya, mungkin
untuk menutupi biaya operasional penginapan.
Kondisi
ini jelas menguntungkan para pamedek yang menginap di NP. Tidak hanya membuat
nyaman, praktis, tetapi sekaligus solusi bagi pamedek agar terhindar dari
kerumunan jika makemit di satu titik
pura. Jadi, penginapan memisahkan potensi kerumunan antara rombongan pamedek
satu dengan yang lainnya di satu titik pura.
Karena
itu, tren makemit II kian mendulang dukungan sekarang. Para pamedek di NP kian
dimanjakan dengan tawaran paket tirta yatra oleh travel, komplit dengan
transportasi, konsumsi dan akomodasi penginapan—tentu dengan harga yang sangat
terjangkau.
Yang
tidak memilih paketan, bisa memilih pengusaha transportasi secara freeland baik individual maupun kelompok
lewat jejaring sosial. Bahkan, ada juga yang memilih datang langsung ke NP. Karena di pelabuhan
NP, mereka pasti akan disambut oleh para pengusaha transportasi—yang siap
mengantarkan ke beberapa titik pura dan sekaligus siap mencarikan penginapan.
Situasi
ini tentu berbeda dengan zaman sebelumnya yakni tahun 2015 ke bawah. Zaman ketika
pariwisata belum menggeliat di NP. Tidak ada bisnis penginapan. Para pamedek
yang datang ke NP harus makemit di
salah satu titik pura.
Mereka
memanfaatkan areal pura (wantilan, bale gong, bale pawaregan, dan lain-lainnya) sebagai tempat menghabiskan malam seadanya—dengan
cara duduk-duduk, rebahan dan tidur-tiduran beralaskan tikar atau karpet. Sesekali
diganggu nyamuk dan desiran angin malam—yang tentu saja tak senyaman di penginapan.
Prediksi Makemit II
Ayo,
mau pilih mana? Makemit I atau makemit II? Pasti opsi kedua-lah. Jangankan
kalangan milenial, para orang tua pun pasti memilih makemit di penginapan.
Inilah mungkin yang disebut dinamika realita. Fasilitas penginapan ada. Ekonomi
pamedek juga mendukung. Ya, muncullah tren makemit II.
Saya
berkeyakinan bahwa tren makemit II ini akan semakin eksis karena menguntungkan
pamedek dan terutama para pebisnis di NP. Pamedek mendapatkan kenyamanan dan
sekaligus menciptakan efek “pelebaran perburuan uang” di NP.
Selain
pelancong mancanegara dan domestik, pamedek juga ikut meramaikan pergerakkan
perekonomian masyarakat NP. Jika sebelumnya pamedek hanya menggairahkan sektor
transportasi laut, tranportasi darat, dan kuliner—maka sekarang sektor bisnis
penginapan juga ikut merasakan sirkulasi keuangan dari pamedek.
Karena
menguntungkan banyak pihak, tren makemit II ini pasti semakin dikukuhkan ke
depan. Lalu, bagaimana nasib tradisi makemit I oleh pamedek yang datang ke NP?
Akankah tradisi makemit I menjadi pudar?
Semuanya
sangat tergantung dari para pamedek itu sendiri. Kalau semua pamedek memilih
tren makemit II, maka tamatlah riwayat tradisi makemit I. Para pamedek yang
“memuja” kenyamanan, instanisasi dan kepraktisan akan klop memilih makemit II.
Jika
lebih terlena, maka bisa jadi ke depan para pamedek datang ke NP dengan tangan
kosong. Mungkin tidak perlu repot-repot membawa sesaji (banten aturan/
persembahan), pejati dan canang sari karena sudah disediakan oleh travel atau pamedek
bisa membeli di dekat lokasi pura. Ke depan lagi, para pamedek mungkin saja
tidak perlu membawa setelan pakaian sembahyang. Karena bisa saja, suatu saat
nanti ada jasa yang menyewakan paketan pakaian sembahyang di NP. Jadi, para
pamedek cukup membawa uang saja. Praktis, bukan?
Kemudian,
jangan tanya lagi tradisi makemit I. Kemungkinan tak populer dan dianggap tidak
penting lagi. Yang penting sudah melakukan persembahyangan dan berkesempatan berfoto
ria untuk diunggah di medsos sebagai status pembuktian diri.
Ketika
makemit I semakin terabaikan, maka totalitas spiritual pamedek menjadi berbeda
(terasa sedikit hambar). Pura akan dianggap sebagai semacam persinggahan.
Persinggahan untuk menggelar ritual persembahyangan biasa. Kurang ada ikatan
batin, rasa memiliki, dan penghormatan terhadap aspek historis atau mitologi
dari pura yang dikunjungi.
Kurangnya
ikatan batin, rasa memiliki dan penghormatan aspek historis dari pamedek ini setidaknya
berpengaruh terhadap kedalaman rasa bakti, rasa hormat dan kekhusyukan sang
pamedek. Lewat makemit I, rasa-rasa itu mungkin bisa diejawantahkan. Karena
lewat aktivitas makemit I, kedekatan fisik itu nyata. Di tambah waktu
kontemplasi (merenung) juga cukup panjang.
Jika
dioptimalkan, bisa jadi waktu makemit I ini akan menjadi semacam media
berkomunikasi batin dengan lingkungan sekitar pura dan Ida yang melinggih di
pura. Pada beberapa orang, mungkin mereka mendapatkan pengalaman spiritual yang
berharga ini, tetapi sulit dijelaskan dengan ilmiah.
Karena
itu, saya berkeyakinan bahwa kelompok pendukung makemit I masih ada. Hanya saja
jumlahnya tak sebanyak pendukung makemit II. Tidak masalah. Sedikit atau
banyak, pilih opsi satu atau kedua—semua tergantung mindset dan keyakinan kita. Kita tidak bermaksud mencari menang
atau kalah. Yang terpenting, kedua realitas tersebut mesti dihargai.
Jadi,
memang sangat berisiko ketika daerah tujuan spiritual terdampak pariwisata. Sektor
pariwisata ikut-ikutan memengaruhi aktivitas spiritual baik secara langsung
maupun tak langsung. Saya tidak tahu apakah situasi ini yang disebut pariwisata
spiritual. Berwisata sambil berspiritual atau berspiritual sambil berwisata?
Semuanya tergantung kita. Saya pikir belum ada regulasi yang mengatur persoalan
ini.
Soal
bobot wisata dan spiritual sangat tergantung selera personal atau kelompok
tertentu. Apakah lebih ditonjolkan aspek wisatanya? Aspek spiritualnya? Atau
bisa jadi berimbang. Tidak masalah.
Begitu
juga dengan pilihan makemit I atau makemit II. Semua tergantung personal atau
kelompok tertentu. Namun, yang jelas pahala (hasil) pengalaman spiritualnya
akan dirasakan secara individual dan subjektif.
0 komentar:
Posting Komentar