Negeri Favorit, Milik Siswa Berduit
Pada mulanya, sekolah negeri
favorit identik dengan siswa yang berkualitas secara akademik. Artinya, hanya siswa yang memiliki kemampuan
tinggi yang bisa bersekolah di sekolah negeri favorit. Namun belakangan, citra
ini pelan-pelan mulai bergeser. Sekolah negeri favorit merupakan kumpulan siswa
yang tinggi ekonominya. Itulah komentar yang diungkapkan oleh Putu Satria
Prawira, salah satu siswa Smansa 1 Denpasar, yang kini duduk di bangku kelas
XII. “Sekolah negeri favorit itu milik siswa berduit,”terangnya sinis.Foto: Merdeka.com
Hal senada
juga dikemukan oleh Made Putra Kusuma. Teman sekelas Satria ini mengemukakan
bahwa untuk mendapatkan sekolah negeri favorit memang harus bermodal dulu. Karena kebutuhan di sekolah
negeri favorit pasti berbeda dengan sekolah biasa, terutama dalam hal pengadaan
fasilitas sekolah. Oleh karena itu, ia membenarkan kalau orang tua harus siap
membiayai fasilitas-fasilitas itu demi kualitas pendidikan anak-anak mereka.
Berbeda dengan
Putra, Kadek Toni Wirama justru punya pandangan lain. Menurutnya, sering
sekolah negeri favorit terutama di Denpasar memanfaatkan kesempatan favorit itu
sebagai promosi untuk memungut uang banyak. ”Bayangkan, konon ada sekolah
negeri favorit di Denpasar mengadakan pungutan liar mencapai puluhan juta,”
terangnya dengan nada heran.
Ditambahkan
oleh Satria, walaupun pungutan itu mahal, namun antusias masyarakat
menyekolahkan anaknya di sekolah negeri favorit sangat tinggi. Ia menilai bahwa
tingginya antusias ini disebabkan oleh gengsi dari orang tua siswa. Di samping
ingin mendapatkan kualitas pendidikan lebih baik, kebanyakan orang tua ingin agar
anaknya dipandang pintar, cerdas, elit, dan berkelas. ”Faktor gengsilah yang
menyebabkan orang tua berani bayar berapa pun diminta asal diterima di sekolah
favorit itu,” ujarnya.
Menurut Toni, seharusnya orang
tua bisa memberikan contoh yang baik pada anaknya. Mereka (orang tua siswa)
tidak boleh melanggar aturan-aturan yang ditetapkan sekolah. Ia menyarankan
agar orang tua tidak memaksakan anaknya diterima di sekolah kalau tidak
memenuhi kriteria yang ditetapkan sekolah yang bersangkutan. “Cari sekolah yang
lain, dong. Yang sesuai dengan kemampuan anaknya, bukan malah tergiur mau
membayar demi mendapatkan sekolah itu,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Putra menjelaskan
bahwa jika model pungutan ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan merugikan
siswa yang pintar secara akademik. Putra menegaskan, lama-kelamaan jatah siswa
pintar di sekolah favorit akan terus berkurang bahkan bisa lenyap. Pasalnya, ia
melihat ada kecenderungnya sekolah negeri favorit sekarang lebih mengutamakan
orang tua siswa yang bisa bayar. “Kasian siswa pintar tetapi ekonomi orang
tuanya lemah. Ke depannya, mereka pasti kecewa dan tidak percaya lagi terhadap
kualitas sekolah negeri favorit tersebut,” sambungnya dengan ekspresi sedih.
Satria
menambahkan bahwa pentingnya kerjasama masyarakat dan pemerintah untuk
mengawasi masalah tersebut di atas. Ia mengharapkan pemerintah dan masyarakat
untuk ikut mengontrol jalannya penerimaan siswa baru. “Mulai dari penerimaan
siswa baru, karena biasanya pungutan itu menjamur pada awal tahun ajaran baru,”
terangnya. (Mela)
0 komentar:
Posting Komentar