Mendisiplinkan Siswa,
Guru
Tak Mesti Membully
Kasus
pembullyan di dunia pendidikan
(sekolah) tidak hanya pelakunya dari oknum pelajar. Namun, pembullyan juga sering dilakukan oleh oknum
guru di sekolah. Beberapa kasus ini bahkan sudah tersebar di dunia medsos. Sayangnya,
sedikit orang yang menyadari hal ini. Rata-rata ortu, siswa, dan masyarakat
menerima tindakan bully dari seorang
guru dengan alasan mendidik atau mendisiplinkan siswa. Foto: kompasiana.com
Putu Mia Laksmi membenarkan hal itu. Dirinya bersama teman-temannya pernah
mengalami bully dari salah satu guru
di sekolahnya. Namun, ia enggan menyebutkan nama guru tersebut. Laksmi
menuturkan bahwa hingga sekarang beberapa guru masih menggunakan kata-kata
umpatan negatif seperti bodoh, nakal, malas dan lain sebagainya. Di samping
itu, beberapa guru juga melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya
menakuti-nakuti atau mengancam.
Akan tetapi, tidak ada satu pun siswa berani mengkritisi dan memviralkan
(di dunia maya) tindakan bully yang
dilakukan oleh gurunya. “Itulah istimewanya menjadi guru. Mereka dapat
melakukan tindakan bully terhadap
siswa dengan kewenangannya,” terang dara SMANSA yang kini duduk di bangku kelas
IX ini.
Hal berbeda dikemukan oleh Made Suprapta Wibawa. Wibawa mengemukakan
bahwa guru harus diberi kewenangan untuk mendidik, termasuk dengan cara-cara
yang keras atau membully. Kalau tidak
demikian, pria tinggi jangkung ini berkeyakinan bahwa siswa akan menjadi campah, tidak punya sopan santun, nakal
dan tidak memiliki karakter baik. “Harus ada yang disegani dan ditakuti di
sekolah. Guru harus ditiru dan digugu. Yakinlah apa yang dilakukan oleh guru,
tujuannya pasti untuk kebaikan anak didiknya,” ucapnya dengan nada serius.
Lebih lanjut, Wibawa menjelaskan bahwa biasanya bully oleh guru dipicu oleh faktor siswa itu sendiri. Misalnya,
siswa ribut, nakal, tidak mengerjakan tugas dengan baik, dan lain sebagainya.
Karena itulah, ia membenarkan guru untuk mendidik siswa (walaupun dengan cara
membully) agar siswa menjadi lebih
baik lagi.
Namun, Komang Puspa Anggreni menentang pernyatan Wibawa. Menurutnya,
guru harus sebisa mungkin menghindari diri dari sikap dan tindakan bully. Karena dia khawatir, suatu saat
alasan mendidik dapat diselewengkan untuk berbuat apa saja terhadap siswa.
“Nggak zaman deh, mendidik dengan cara-cara
kekerasan atau membully. Itu
cara-cara mendidik guru-guru model lama,” terang dara SMANSA berambut lurus
ini.
Puspa menambahkan bahwa justru karena guru digugu dan ditiru itulah,
haram hukumnya menggunakan cara-cara membully.
Menurut Puspa, menjaga wibawa guru bukan dengan cara kekerasan. Guru harus
meningkatkan profesionalismenya dengan cara mengajar dengan kreatif, inovatif,
ramah, sabar, dan menyenangkan. “Tidak semua siswa dapat menerima bully dari guru. Karena bully itu akan menimbulkan perkembangan
kurang baik bagi siswa,” lanjutnya.
Senada denga hal ini, Laksmi menambahkan bahwa tidak baik menjadikan
siswa selalu sebagai biang kerok. Guru juga harus menginstrospeksi diri. Karena, seringkali bully yang dilakukan guru disebabkan
oleh guru itu sendiri. Mereka kaku, otoriter, emosional, dan kurang update. “Biasanya guru model-model
begini, mudah sekali ngomel, ngeluaran kata-kata kasar atau caci
makian. Bukannya menjadi lebih baik, siswa malah tumbuh menjadi pembangkang. Mestinya
anak-anak harus dibimbing secara sabar!” ujarnya.
Oleh karena itu, Laksmi menginginkan guru dan siswa saling terbuka. Guru dan siswa semestinya boleh saling mengkritisi. Guru terbuka menerima kritik dari siswa. Sebaliknya, siswa juga harus siap dikritik oleh gurunya. “Jadi, sama-sama terbukalah, agar sebisa mungkin kelemahan-kelemahan yang memicu bully antara guru dan siswa dapat diminimalisir,” paparnya. (Sri Indrani)
0 komentar:
Posting Komentar