Mendidik Siswa, Guru Tak Mesti Membully
Oleh
I Ketut Serawan
Foto: www.liputan6.com |
Kasus pembullyan di dunia pendidikan (sekolah) tidak hanya pelakunya dari oknum pelajar. Namun, pembullyan juga sering dilakukan oleh oknum guru di sekolah, baik secara verbal hingga intimidasi fisik. Sayangnya, sedikit orang yang menyadari hal ini. Rata-rata ortu, siswa, dan masyarakat menerima tindakan bully seorang guru sebagai bagian dari tindakan mendidik atau mendisiplinkan siswa.
Sebagai pendidik, guru adalah sebuah perkecualian. Mereka dianggap
memiliki hak istimewa untuk menjalankan tugasnya, termasuk melakukan tindakan bullying. Padahal, siapa pun pelakunya,
tindakan bullying akan berdampak
buruk bagi korbannya.
Mulai dari cemas, depresi,
stres, tak percaya diri, bahkan bunuh diri. Namun sayangnya, pelaku dan termasuk
masyarakat belum banyak yang menyadarinya.
Aroma bully dalam dunia pendidikan setidaknya dipicu oleh dua faktor yaitu perspektif
historis dan budaya. Perspektif historis bersumber dari efek penjajahan yang
berlangsung hingga hitungan abad. Saking lamanya, cara-cara kekerasan model
penjajahan ini sangat mempengaruhi cara pandang bangsa kita. Tanpa disadari,
kekerasan sehari-hari yang dilakukan penjajah (bullying) sudah dianggap sebagai nilai kebenaran/ pembiasaan. Kemudian,
nilai ini menyusup ke dunia pendidikan melalui kekuasaan sosok guru.
Dari perspektif budaya, bangsa kita memandang guru sebagai orang yang
harus dihormati dan nihil dari kritik. Salah satunya dapat dilihat dari perspektif
budaya masyarakat Bali. Masyarakat Bali mengenal konsep lokal jenius “alpaka
guru” yaitu tidak boleh melawan guru baik terhadap guru wisesa (Tuhan),
swadiaya (pemerintah), pengajian (guru), maupun rupaka (orangtua). Konsep
alpaka guru ini kurang lebih bermakna bahwa guru tidak boleh dikritisi
(dilawan), karena dianggap sebagai sosok yang mahatahu (sempurna). Inilah yang
menyebabkan guru memiliki kekuasaan penuh (otoritas) dalam mendidik siswanya,
termasuk dengan unsur bullying.
Setidaknya, dua perspektif inilah yang mungkin dijadikan landasan oleh
Mahkamah Agung (MA) dalam melahirkan yurisprudensi tentang profesi guru. Yurisprudensi
MA menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan
melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.
Karena itulah, semenjak ramai beredar video tentang kekerasan (bullying) guru yang berujung ke pengadilan,
banyak guru naik pitam. Inilah yang mendorong para guru melahirkan statemen
viral di dunia maya yaitu ”Orangtua Yang
Anaknya Tidak Mau Ditegur Guru di Sekolah, Silakan Didik Sendiri, Bikin
Kelas Sendiri, Buat Rapor dan Ijazah Sendiri”.
Statemen tersebut spontan mengundang ragam tafsir dari para nitizen.
Banyak nitizen menafsirkan sebagai bentuk pendiskreditan dan ancaman (pemecatan
anak) terhadap orangtua. Sebagian lagi, menafsirkan sebagai ungkapan
menyadarkan orangtua agar menghormati dan tunduk dengan cara mendidik guru (otoritas
guru) di sekolah. Ada pula yang menafsirkan sebagai respek frustasi guru dalam mendidik
dan ketergantungannya dengan tindakan bully.
Sisanya, menafsirkan agar orangtua tidak bersikap arogan (semena-mena) terhadap
guru sehingga selalu mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan.
Ambiguitas Bullying
Dalam konteks kekinian, eksistensi yurisprudensi MA menjamin
perlindungan guru agar nyaman menjalankan tugasnya. Namun di sisi lain,
perlindungan ini rawan diselewengkan oleh oknum guru (termasuk membully) untuk alasan mendidik.
Penyelewengan ini tentu berdampak kurang baik terhadap beberapa hal.
Pertama, berdampak buruk terhadap siswa
yang dibully, karena dapat menganggu
perkembangan mental/ psikologisnya. Kedua,
berpotensi dijadikan contoh oleh para siswa lainnya, karena guru dianggap
sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Khawatirnya, tindakan bullying yang dilakukan guru dianggap
sebagai sebuah kebenaran. Kemudian, ditiru oleh siswa (terutama anak-anak)
dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di
masyarakat.
Jadi, bullying yang dilakukan
oleh guru selalu berpotensi menimbulkan makna ganda (tergantung perspektif dan respon
siswa). Selain negatif, tindakan bullying
dari guru tentu juga bermakna positif. Efeknya, malah memotivasi siswa menjadi
berkarakter lebih kuat dan mandiri. Dalam konteks inilah, bullying guru tersebut dapat diterima sebagai koridor kebenaran
dalam mendidik. Situasi inilah yang paling dominan dirasakan oleh masyarakat
(ortu) dulunya. Akibat kepatuhan masyarakat (dulu), mereka selalu merespon
positif setiap tindakan yang dilakukan oleh guru. Guru seolah-olah dianggap
sebagai penguasa kebenaran yang mutlak.
Seiring perkembangan zaman, kekuasaan (kebenaran) guru mulai melonggar.
Tidak semua tindakan guru direspon sebagai kebenaran. Tindakan bully guru (misalnya) sering direspon
negatif, dianggap berdampak buruk, dan celakanya malah ditiru sebagai kebenaran.
Dalam konteks inilah, bullying yang
dilakukan guru gagal mencapai tujuan mendidik. Guru dianggap tidak mampu
menjalani peran sebagai yang digugu dan ditiru, karena justru melemahkan mental
dan menjadi stimulus berbuat bully (negatif) baik
secara langsung maupun tak langsung.
Idealnya, pendidikan harus minim dari unsur bullying. Guru sebisa mungkin menghindarkan diri dari sikap dan
tindakan membully, meskipun agak
sulit. Selama ini bullying seringkali
dibutuhkan dalam menjaga wibawa dan kredibilitas guru serta untuk memberikan
efek jera kepada siswa. Pemanfaatan semacam ini biasanya bersifat
turun-temurun. Warisan dari guru-guru model lama, yang dianggap kurang relevan
untuk tipekal anak-anak milenial sekarang.
Cara-cara intimidasi (bullying)
merupakan model pendidikan yang lebih mengedepankan kekuasaan, emosional, kaku,
dan otoriter. Cara-cara ini akan menciptakan mental regenerasi menjadi penakut,
pengecut, dan pembangkang. Efeknya, akan mengerdilkan potensi dan kreativitas
para siswa. Dampak ini jelas berseberangan dengan esensi pendidikan.
Sepatutnya, guru harus terus mengupgrade
dan meningkatkan profesionalismenya sehingga dapat beradaptasi dengan
minat, selera, cara pandang, dan keinginan siswa. Tujuannya ialah untuk
meminimalisir benturan cara pandang guru (old) dengan siswa masa kini. Sehingga,
memudahkan guru meresponnya dalam wujud pembelajaran yang lebih kreatif,
inovatif, ramah, sabar, dan menyenangkan.
Sejatinya, siswa di mata guru merupakan subjek pembelajaran yang tak ada
habisnya. Para siswa selalu memberikan persoalan-persoalan sesuai dinamika
zamannya. Karena itulah, guru tidak boleh lelah belajar memahami subjek
didiknya. Caranya ialah menjaga keterbukaan dengan siswa. Guru dan siswa dapat
saling mengkritisi. Guru terbuka menerima kritik dari siswa. Sebaliknya, siswa
juga harus siap dikritik oleh gurunya.
Keterbukaan itu berfungsi untuk menganalisa dan memetakan kelemahan
maupun kelebihan kedua belah pihak. Kemudian, data-data kelemahan-kelebihan itu
dijadikan kekuatan saling mengisi untuk mendorong iklim pembelajaran yang lebih
kooperatif, humanis dan terhindar dari unsur-unsur bullying.
Selain dengan siswa, komunikasi juga penting dibangun dengan ortu siswa. Guru dan ortu siswa tidak dapat dipisahkan dalam memahami subjek didik. Ortu siswa harus dapat diberdayakan sebagai pasangan yang solid. Bukan malah memperkeruh keadaan, dengan melakukan intimidasi ke pihak guru.
Karena itulah, penting sekali adanya komunikasi yang baik antara pihak guru, ortu, dan sekaligus siswa. Semuanya harus saling terbuka, hangat berdiskusi, dan selalu mengutamakan cinta kasih. Sehingga, sekolah tetap menjadi tempat yang ramah, nyaman dan menyenangkan bagi siswa. (Penulis adalah guru di SMP Cipta Dharma Denpasar)
0 komentar:
Posting Komentar