Naskah Drama Modern
"Tarikan Bapa Tapel Topeng Tua Itu!"
oleh
I Ketut Serawan
“TARIKAN
“TARIKAN BAPA TAPEL TOPENG TUA ITU!”
ceritabudi.Wordpress.com |
Adegan
1
(Lampu
menyala pelan. Latar panggung memperlihatkan satu meja dan 3 kursi.
Masing-masing diduduki oleh Bapa, Meme, dan Cening. Di belakangnya, membentang
kain hitam dengan tapel-tapel topeng
menggantung. Bapa, Meme, dan terdakwa Cening (si anak) terlibat pembicaraan
serius. Bapa dan Meme berusaha keras membujuk Cening agar mau menjadi penari
topeng sebagai penerus Bapa yang sudah puluhan tahun menjadi penari topeng profesional).
v Bapa : (Menghela napas panjang. Matanya
menatap tajam salah satu tapel yang dipegangnya sambil mengusap-usap halus
dengan penuh perasaan. Ia memulai perbincangan dengan muka sendu dan ragu).
“Ning…, Bapa sangat berharap kamu mau menjadi penari topeng. Sebab umur Bapa
sudah terlalu tua untuk menarikan tapel-tapel
topeng ini.”
v Cening : “Bapa? (sambil tangannya memukul meja)
Bukankah sudah berkali-kali tiang katakan. Tiang tidak berbakat menjadi seorang
penari topeng. Ngidih olas, Pa…Jangan
paksa tiang!”
v Bapa : “Ning, ini bukan persoalan berbakat
atau tidak. Tapi ini urusan kelangsungan hidup Bapa.”
v Cening : “Apa maksud, Bapa?”
v Bapa : “Berpuluh-puluh tahun, Bapa
menarikan tapel-tapel topeng ini.
Mereka sudah Bapa anggap bagian dari jiwa Bapa. (Berdiri mengelus satu per satu
topeng yang menggantung pada kain hitam). Bapa ingin….tapel-tapel topeng ini tetap hidup sepanjang zaman.”
v Cening : “Tapi Bapa…..” (dipotong Meme).
v Meme : “Cening…. Bapamu benar. Saat ini, kita
membutuhkan pewaris-pewaris Bapa. Pewaris-pewaris yang bisa konsisten menarikan
tapel-tapel ini.”
Adegan 2
(Panggung dengan latar studio tari.
Ada tape, VCD, foto-foto Bapa
menarikan topeng, dan slide (poster)
gerak-gerak dasar tarian topeng. Tampak Bapa sibuk melatih seorang bule (Scoot)
dan anaknya (Thomas) menari topeng. Namun, kali ini Bapa tidak bersemangat
seperti biasanya. Kedua bule itu menjadi komplin).
v Scoot : “Kenapa Bapa tidak begitu semangat
melatih kami hari ini?” (logat bule)
v Thomas : “Ya, kenapa hari ini Bapa lebih banyak
melamun? Tidak fokus?” (logat bule)
v Scoot : (Karena tidak dijawab, Scoot kemudian
mendekati Bapa dan melambaikan tangan persis di muka Bapa). “Bapa?”
v Bapa : “Oh, ya, ya, ya. I’m sorry Scoot
(Tersadar dari lamunan). Ada apa Scoot?”
v Scoot : “Bapa berbeda hari ini.”
v Bapa : “Ah, tidak, tidak, tidak. Perasaan Scoot
saja kali (sambil cepat membuang dan menyembunyikan perasaan sedihnya).
v Scoot : “Kita stop saja latihannya hari ini.
Bapa mungkin butuh istirahat.”
v Bapa : “Tidak. Tidak. Tidak. Bapa tidak
apa-apa. Bapa sehat, kok.”
v Thomas : “Ya. Sebaiknya, Bapa istirahat saja dulu.
Kami tidak apa-apa, kok (sambil berlalu meninggalkan Bapa).
v Bapa : (Tangan dan kaki Bapa terasa kaku
untuk mencegah kepergian Scoot dan Thomas. Kembali Bapa dihantui rasa galau).
“Seandainya Cening juga ikut berlatih menari topeng hari ini….”(tatapan matanya
kosong).
Adegan 3
(Panggung penuh botol arak, tuah,
dan sebuah gitar. Empat pemuda sedang mabuk. Cening bersama temannya Doglagan,
Rengas, dan Nyamprut berpesta miras. Aroma miras berlomba bersama asap rokok
memenuhi panggung. Keempatnya tampak oleng).
v Cening : “Coba kalian pikir? Ayahku pingin aku
menjadi penari topeng.” (sambil mereguk minuman tuak di tangannya).
v Doglagan : “Apaa…? Menjadi topeng? (sambil mendelikkan
mata). Haaaa…haaaa……haaa….Cening…Cening… Yang gini-gini itu kan? (menaruh
telapak tangannya di muka). Gak salah?”
v Rengas : (Doglagan mendekati Rengas sambil
membisiki sesuatu) “Menjadi Celeng? (Rengas tertawa panjang, sambil menirukan
gerakan celeng). Masak anak gaul, anak metal gini jadi Celeng?”
v Cening : “Heeeh….diaaam!!!” (suasana hening
sejenak).
v Nyamprut : (menunjuk muka Doglagan dan Rengas)
“Haaa…haaaa…haaa….Dasar pemabuk. Tadi Cening bilang, menjadi penari topeng
seperti ayahnya. Dasar budek!”
v Rengas : “Tapi, bagaimana pun juga, tetap tidak
pantes. Hari gini anak muda jadi penari nggak cocok. Apalagi penari topeng.
Kuno! Turun derajat kita, Man!”
v Doglagan : “Ning, cocoknya kita itu jadi Rock n’rol.
Mentaaaal…..Man!” (mengambil gitar,
memainkan sambil mengacungkan 3 jari di lidahnya serta bernyanyi “Rocker Juga
Manusia”).
Adegan 4
(Bapa menari seorang diri. Awalnya
kuat, bertenaga, dan cepat. Lama- kelamaan, melemah dan jatuh tersungkur ke
lantai. Meme datang memapahnya).
v Meme :
“Jangan dipaksa, Pa! Bapa sudah bertambah tua”.
v Bapa : “Bli, mungkin kurang istirahat
saja.”
v Meme : “Bukan. Bli, sakit. Lihat muka, Bli
(mengusap muka Bapa). Pucat sekali.”
v Bapa : “Nggak usah Khawatir, Me. Bli tidak
apa-apa.”
v Meme : “Bli, terus berbohong. Itu nasi di
dapur tidak pernah Bli sentuh, tetapi Bli selalu bilang sudah makan. Makan
apa?”
v Bapa : “Belakangan, Bli memang tidak selera
makan. Rasanya lebih bergairah untuk menari dan terus menari topeng.”
v Meme : “Tapi itu berbahaya bagi kesehatan,
Bli. Dari mana Bli dapat tenaga untuk menari?”
v Bapa : “Bli kuat.” (Terbatuk-batuk)
v Meme : “Sudah. Bli harus istirahat dan makan.
(Meme keluar sambil memapah Bapa).
Adegan 5
(Bapa jatuh sakit. Kabar ini begitu
cepat meluas. Orang-orang ramai membicarakannya. Ni Polog, Ni Cableg, dan Ni
Cokot juga tak ketinggallan. Dalam kesempatan “ngayah” di Pura Desa, ketiganya
tampak serius memperbincangkan Bapa sambil tangannya sibuk majejahitan).
v Ni
Polog : “Mimiih…dewa ratu! Karya Agung di Pura Desa sudah dekat.”
v Ni
Cableg : “Iya. Terus, siapa yang nanti
menarikan topeng tua itu?”
v Ni
Cokot : “Itu dia. Bisa-bisa karya agung
itu tidak selesai.”
v Ni
Polog : “Tiang juga berpikir sama.”
v Ni
Cableg : “Sssst….Jangan nak e pesimis begitu. Kita doakan supaya
Bapa cepat sembuh.”
v Ni
Cokot : “Sudah pasti! Cuma,
kadang-kadang saya berpikir heran.”
v Ni
Polog : “Heran bagaimana?”
v Ni
Cokot : “Tiang belum pernah melihat ada
orang di desa kita yang bisa menarikan topeng sehebat Taksu Bapa.”
v Ni
Cableg : “Ampura, ngih. Menurut tiang, mestinya Cening bisa mewariskan
keahlian I Bapa.”
v Ni
Polog : “Jangankan ahli kayak I Bapa,
belajar saja katanya Cening nggak pernah.”
v Ni
Cokot : “Kok, bisa begitu, ya?”
v Ni
Cableg : “Mungkin…. (dipotong sama Polog)
v Ni
Polog : “Sudah. Sudah. Tidak baik
membicarakan orang lain. Ayo, kita selesaikan pekerjaan kita!”
Adegan 6
(Lampu remang. Empat orang bertubuh
kekar menjerat Cening dengan selendang hitam panjang. Di pojok kiri-kanan
belakang berambut pirang dan gimbal. Begitu juga di pojok kiri-kanan depan.
Semuanya menggunakan topeng hidung
mancung. Tubuh Cening yang terikat seperti laba-laba ditarik secara bergantian
mulai sudut pojok kanan belakang, pojok kiri depan, pojok kiri belakang, dan
pojok kanan depan. Adegan tarik-menarik ditutup dengan gerakan melilit tubuh
Cening hingga tubuhnya dipapah ke luar panggung). Lampu padam.
Adegan 7
(Bapa mendadak terjaga dari
tidurnya. Napasnya terengah-engah. Kembali ia dihantui oleh mimpi itu. Meme
yang berjaga di sampingnya ikut terbangun).
v Bapa : “ Mimpi itu lagi….mimpi itu
lagi…mimpi itu lagi!”
v Meme : “Jangan terlalu dipikirkan, Bli! Itu
hanya mimpi.”
v Bapa : “Tidak, Me. Terlalu sering ia
menghantui tidur, Bli. Cening dijerat oleh 4 orang bertubuh kekar, berambut
pirang, gimbal dan menggunakan topeng hidung ….(segera Meme memotong
pembicaraan).
v Meme : “Sudahlah, Bli. Tiang pikir sakit Bli
jauh lebih penting daripada memikirkan mimpi itu.”
v Bapa : “Tapi, Me….”
v Meme : “Bli! (dengan nada yang agak tinggi)
Kenapa Bli tidak bantu tiang untuk mencarikan jalan keluar agar Bli cepat
sembuh. Coba Bli pikir, hampir sebulan Bli sakit. Berapa dokter, berapa balian
sudah kita coba. Tetapi sakit Bli tidak ada perubahan. Malah semakin memburuk.”
v Bapa : “Bagi Bli... Itu tidak penting.”
v Meme : “Tapi bagi tiang penting.” (Sambil
membelakangi Bapa. Dialog buntu. Keduanya terdiam).
v Meme : “Bli… menurut perasaan tiang, Bli
menyembunyikan sesuatu di balik sakit, Bli.”
v Bapa
: “Dari mana Meme tahu?”
v Meme : “Dari perasaan istri dan insting
seorang perempuan.”
v Bapa : (Bapa terdiam lama. Kemudian, ia
mengambil tangan istrinya). “Me…. Entah kenapa akhir-akhir ini Bapa seperti
ngidam.”
v Meme : (Kali ini Meme yang terdiam) “Ngidam?
Ngidam apa, Bli?”
v Bapa : “Bape dot sajan (ingin sekali)
anak kita, Cening, menarikan tapel topeng tua itu!”
v Meme : (Mata Meme terbelalak).” Tapi, mana
mungkin, Bli?”
Adegan 8
(Meme dan Cening masuk panggung.
Mereka tampak serius memperbincangkan perkara sakit dan “idaman” Bapa).
v Meme : “Ning, kondisi Bapamu semakin
memprihatinkan. Makin hari semakin mencemaskan. Dokter dan balian seolah-olah
tak ada artinya bagi sakit Bapamu.”
v Cening : “Yang penting kita sudah berusaha, Me.
Mungkin belum waktunya Ida Sanghyang Widhi memberikan kesembuhan pada Bapa.”
v Meme : (mengambil tangan Cening) “Mungkin
satu-satunya yang bisa memberi harapan sembuh hanya Cening.”
v Cening : “Meme membingungkan tiang.”
v Meme : “Kemarin, Bapamu mengatakan bahwa
beliau ingin kamu menarikan tapel topeng tua di hadapannya.”
v Cening : (terkejut dan tidak percaya) “Apa….?
Mustahil, Meme.”
v Meme : “Meme mengerti. Ke sini, Ning!” (Meme
membisiki sesuatu ke telinga Cening)
Adegan 9
(Tangan Meme mengambil bubur dari
piring dan hendak menyuapi Bapa. Namun, tiba-tiba terdengar suara gamelan
topeng tua. Seseorang masuk panggung, menari topeng tua di hadapan Bapa.
Mendadak Bapa bisa duduk seorang diri. Ia begitu tertegun dan takjub. Penari
itu terus menari topeng tua dengan lihainya).
v Bapa : “Ceningkah itu?”
v Meme : “Ya. Sesuai idaman, Bli.”
v Bapa : “Mana mungkin?”
v Meme : “Kenapa tidak.”
v Bapa : “Bli, tidak percaya!” (bergegas
hendak mendekati penari itu)
v Meme : (Meme langsung menangkap tangan kiri
Bapa. Sementara tangan kanannya sudah telanjur memegang tapel topeng penari
itu) “Bli, harus percaya!”
v Bapa : “Tidak. Hentikan gamelan itu!”
(dengan nada keras)
v Meme : “Tidak penting, Bli.”
v Bapa : (membentak) “Matikan sekarang juga!”
Bapa memperhatikan dengan seksama sembari meraba-raba tubuh penari topeng tua
itu, mulai dari kaki, badan, tangan hingga membuka tapel topeng tua itu.
v Bapa : “Thomas?” (Bapa ambruk ketika
mengetahui penari itu adalah si bule Thomas, muridnya. Dengan cepat Meme
menangkapnya)
v Meme : “Maafkan, tiang, Bli. Semua ini demi
kesembuhan, Bli.”
v Bapa : “Tidak. Bapa ingin Cening yang
menarikan tapel topeng tua itu, titik.”
Adegan 10
(Latar menggambarkan studio Bapa.
Beberapa saat, muncul tokoh Cening dengan jalan sempoyongan (seperti setengah
mabuk). Tangannya memegang sebotol tuak. Diminumnya berkali-kali. Ia masih
dirundung stress yang berat. Ia harus bisa menarikan tapel topeng tua itu. Di
sisi lain, ia tidak punya kemampuan menarikannya).
v Cening : “Bapa. Bapa…. Ngidam kok aneh-aneh.”
(Ia mengamati satu persatu tapel-tapel itu. Sampai ia menemukan tapel tua itu.
Ia mengambilnya dan menimang-nimangnya).
v Cening
: “Haaaa….haaa….haaa….. Tiang harus
menarikan ini?” (Dia melempar tapel itu. Namun, dipungutnya lagi).
v Cening : “Mana mungkin ini bisa menyembuhkan, Bapa?”
v (Tiba-tiba
Cening terdiam. Tangannya menempel pada telinga seperti mendengar sayup-sayup
gamelan topeng. Ia menaruh tapel topeng tua di atas kepala. Tangannya
meliuk-liuk seperti berusaha menarikan tapel itu. Tetapi gerakannya sembarangan
(mirip seperti penari mabuk). Gamelan itu terdengar dan menghilang silih
berganti.
v Cening : “Lihat Bapa, tiang bisa. Tiang bisa
menarikan tapel topeng tua ini. Lihat, Pa…lihat, Pa….lihat….. (teriak).
Haaa….haaaa…..haaaa….”
Adegan 11
(Studio Bapa berantakkan. Tapel-tapel
topeng posisinya serampangan, tetapi masih menggantung pada tempatnya. Dua tapel
topeng tua Bapa lenyap. Bapa tertatih-tatih mencarinya. Kemudian, matanya
terfokus pada sebuah bungkusan kain hitam. Ia membukanya. Di sebelah kiri,
tapel topeng yang dibelakang berisi tulisan “Maafkan atas kemabukkan tiang
selama ini! dari Cening”. Yang satu lagi berisi tulisan “Sadarkan tiang! dari
Cening”. Selanjutnya, Bapa mengambil tapel
topeng tua yang terakhir. Ia memasang ke mukanya. Mendadak terdengar
suara gamelan topeng tua. Ia menarikan tapel itu dengan semangat, senada dengan
gamelan.
Lampu padam
Tamat
0 komentar:
Posting Komentar