Memaknai
Eksistensi Penjual Atribut 17 Agustus-an
Meskipun
masih sebulan, aroma kemerdekaan sudah mulai tercium. Aroma ini datang dari para penjual
atribut 17 Agustus-an. Mereka sudah
menjajakan pernak-pernik 17 Agustusan di sejumlah titik perempatan jalan di
Bali. Salah satunya di kota Denpasar. Pernak-pernik khas yang dijual berupa
bendera dan ketupat bernuansa merah putih. Namun, keberadaannya masih tergolong
sangat sedikit.
Penjualan
atribut (pernak-pernik) 17 Agustus-an biasanya mulai marak antara penghujung
bulan Juli hingga awal Agustus. Biasanya, para penjual membuka lapak di pinggir
jalan yang srategis. Umumnya, mereka menjual bendera dari berbagai ukuran,
kecil, sedang dan besar serta bentangan kain merah putih. Bisnis musiman ini
sudah menjadi tradisi sejak lama.
Hingga kini,
bisnis pernak-pernik kemerdekaan ini masih eksis. Karena, masyarakat
membutuhkan mereka. Eksistensinya dianggap penting karena beberapa hal.
Pertama, keberadaannya memudahkan masyarakat mendapatkan atribut peringatan
kemerdekaan. Kedua, menormalkan ingatan masyarakat tentang peringatan
bersejarah terutama masyarakat di kota. Karena, biasanya masyarakat kota
terlalu larut dengan kesibukannya. Dengan melihat pajangan pernak-pernik 17
Agustus, maka secara otomatis ingatan masyarakat menjadi pulih. Ketiga,
memberikan ruang instrospeksi dari generasi ke generasi.
Sepintas,
keberadaan penjual atribut itu tampak sepele. Mereka sama saja dengan penjual
pada umumnya. Menjual hasil produksi, lalu hasilnya dinikmati untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Namun, jika kita lihat pada ingatan momen maka mereka menjadi
istimewa. Sesungguhnya, mereka tidak hanya sekadar berjualan, tetapi menawarkan
momen bersejarah. Momen ketika nyawa dan darah dikorbankan demi mencapai
kemerdekaan. Lepas dari belenggu penjajahan.
Lewat atribut
yang ditawarkan, mereka hendak mengabarkan bahwa kemerdekaan harus dirayakan
secara berkelanjutan. Bung Karno pernah berujar bahwa kemerdekaan hanyalah
jembatan emas. Jembatan menuju cita-cita yang diidealkan. Artinya, kemerdekaan
bukan puncak atau akhir perjuangan.
Kemerdekaan
harus terus dinyalakan. Tugas generasi berikutnya untuk merawat dan mengawal
kemerdekaan itu. Para pejuang (dulu) mati-matian meraihnya dengan darah dan
nyawa. Maka, kita (sebagai generasi penerus) harus bertanggung jawab atas
warisan kemerdekaan itu dengan membangun segala sektor. Bukan hanya fisiknya
(pembangungan infrastruktur), termasuk jiwanya (kualitas manusianya). Karena,
sesungguhnya penjajahan di atas dunia belum berakhir.
Penjajahan
(sekarang) menjelma dalam berbagai hal. Misalnya, penjajahan ekonomi, tenaga
kerja, barang, jasa dan lain sebagainya. Model-model penjahan ini siap
mengancam kita sewaktu-waktu. Jika kita lengah, malas, tidak berkepribadian,
berjiwa konsumtif maka bersiaplah atas kehancuran kemerdekaan yang pernah
dititipkan oleh para pendahulu kita.
Sebuah
kedurhakaan jika kemerdekaan kita harus hancur. Entah karena faktor luar maupun
faktor intern. Sebab, sinyal-sinyal itu ada dan nyata. Kasus pilpres kemarin
adalah contohnya. Sesama bangsa sendiri, kita harus terbelah hanya karena beda
pilihan politik. Masyarakat pendukung kubu 01 (Jokowi-Ma’aruf) dan kubu 02 (Prabowo-Sandi) harus saling gontok-gontokan
dalam simbol cebong-kampret. Hingga, memunculkan ketegangan nasional yang memicu
munculnya kerusuhan 21-22 Mei di depan gedung KPU dan bawaslu.
Para pejuang
kita tentu merasa malu dan sekaligus marah. Jangan sampai kita terkena kutukan
dari para pahlawan kita. Oleh karena itu, momen peringatan 17 Agustus ini harus
dijadikan introspeksi untuk kembali bersatu memajukan bangsa Indonesia--mencapai
cita-cita bersama yakni kehidupan yang adil dan makmur.
Dalam konteks
inilah, kita pantas berterima kasih atas keberadaan para penjual atribut itu. Eksistensinya
menyadarkan kepada kita bahwa makna kemerdekaan harus terus digali dan
diinterpretasikan sesuai dinamika zaman. Kemerdekaan bukan sesuatu yang mati.
Ia harus terus diingatkan dari generasi ke generasi berikutnya. Itulah pesan
yang ingin disampaikan para penjual atribut itu. Kelihatannya sepele. Namun,
penjualan atribut itu memberikan ruang kepada kita untuk merenung terhadap wajah
kemerdekaan yang kita raih sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar