Senin, 03 Mei 2021

 

Memaknai Eksistensi Penjual Atribut 17 Agustus-an

 

Meskipun masih sebulan, aroma kemerdekaan sudah mulai tercium.  Aroma ini datang dari para penjual atribut  17 Agustus-an. Mereka sudah menjajakan pernak-pernik 17 Agustusan di sejumlah titik perempatan jalan di Bali. Salah satunya di kota Denpasar. Pernak-pernik khas yang dijual berupa bendera dan ketupat bernuansa merah putih. Namun, keberadaannya masih tergolong sangat sedikit.

Penjualan atribut (pernak-pernik) 17 Agustus-an biasanya mulai marak antara penghujung bulan Juli hingga awal Agustus. Biasanya, para penjual membuka lapak di pinggir jalan yang srategis. Umumnya, mereka menjual bendera dari berbagai ukuran, kecil, sedang dan besar serta bentangan kain merah putih. Bisnis musiman ini sudah menjadi tradisi sejak lama.

Hingga kini, bisnis pernak-pernik kemerdekaan ini masih eksis. Karena, masyarakat membutuhkan mereka. Eksistensinya dianggap penting karena beberapa hal. Pertama, keberadaannya memudahkan masyarakat mendapatkan atribut peringatan kemerdekaan. Kedua, menormalkan ingatan masyarakat tentang peringatan bersejarah terutama masyarakat di kota. Karena, biasanya masyarakat kota terlalu larut dengan kesibukannya. Dengan melihat pajangan pernak-pernik 17 Agustus, maka secara otomatis ingatan masyarakat menjadi pulih. Ketiga, memberikan ruang instrospeksi dari generasi ke generasi.

Sepintas, keberadaan penjual atribut itu tampak sepele. Mereka sama saja dengan penjual pada umumnya. Menjual hasil produksi, lalu hasilnya dinikmati untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, jika kita lihat pada ingatan momen maka mereka menjadi istimewa. Sesungguhnya, mereka tidak hanya sekadar berjualan, tetapi menawarkan momen bersejarah. Momen ketika nyawa dan darah dikorbankan demi mencapai kemerdekaan. Lepas dari belenggu penjajahan.

Lewat atribut yang ditawarkan, mereka hendak mengabarkan bahwa kemerdekaan harus dirayakan secara berkelanjutan. Bung Karno pernah berujar bahwa kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Jembatan menuju cita-cita yang diidealkan. Artinya, kemerdekaan bukan puncak atau akhir perjuangan.

Kemerdekaan harus terus dinyalakan. Tugas generasi berikutnya untuk merawat dan mengawal kemerdekaan itu. Para pejuang (dulu) mati-matian meraihnya dengan darah dan nyawa. Maka, kita (sebagai generasi penerus) harus bertanggung jawab atas warisan kemerdekaan itu dengan membangun segala sektor. Bukan hanya fisiknya (pembangungan infrastruktur), termasuk jiwanya (kualitas manusianya). Karena, sesungguhnya penjajahan di atas dunia belum berakhir.

Penjajahan (sekarang) menjelma dalam berbagai hal. Misalnya, penjajahan ekonomi, tenaga kerja, barang, jasa dan lain sebagainya. Model-model penjahan ini siap mengancam kita sewaktu-waktu. Jika kita lengah, malas, tidak berkepribadian, berjiwa konsumtif maka bersiaplah atas kehancuran kemerdekaan yang pernah dititipkan oleh para pendahulu kita.

Sebuah kedurhakaan jika kemerdekaan kita harus hancur. Entah karena faktor luar maupun faktor intern. Sebab, sinyal-sinyal itu ada dan nyata. Kasus pilpres kemarin adalah contohnya. Sesama bangsa sendiri, kita harus terbelah hanya karena beda pilihan politik. Masyarakat pendukung kubu 01 (Jokowi-Ma’aruf) dan kubu 02  (Prabowo-Sandi) harus saling gontok-gontokan dalam simbol cebong-kampret. Hingga, memunculkan ketegangan nasional yang memicu munculnya kerusuhan 21-22 Mei di depan gedung KPU dan bawaslu.

Para pejuang kita tentu merasa malu dan sekaligus marah. Jangan sampai kita terkena kutukan dari para pahlawan kita. Oleh karena itu, momen peringatan 17 Agustus ini harus dijadikan introspeksi untuk kembali bersatu memajukan bangsa Indonesia--mencapai cita-cita bersama yakni kehidupan yang adil dan makmur.

Dalam konteks inilah, kita pantas berterima kasih atas keberadaan para penjual atribut itu. Eksistensinya menyadarkan kepada kita bahwa makna kemerdekaan harus terus digali dan diinterpretasikan sesuai dinamika zaman. Kemerdekaan bukan sesuatu yang mati. Ia harus terus diingatkan dari generasi ke generasi berikutnya. Itulah pesan yang ingin disampaikan para penjual atribut itu. Kelihatannya sepele. Namun, penjualan atribut itu memberikan ruang kepada kita untuk merenung terhadap wajah kemerdekaan yang kita raih sekarang. 

0 komentar:

Posting Komentar