Pelajar Mencoret-coret Bendera Merah Putih: Ada Apa dengan Pendidikan Karakter di Sekolah?
Oleh
I Ketut Serawan
Rayakan Kelulusan, Pelajar Coret-coret Bendera Merah Putih. Foto: JPNN.com |
Mayoritas
nitizen mengecam tindakan para pelajar ini karena dianggap melecehkan simbol
negara. Nitizen geram dan berharap pelaku diproses serta diberikan pembinaan moral
yang lebih intensif. Dalam konteks pembinaan moral inilah, sekolah mendapat
serangan bertubi-tubi dari para nitizen. Mereka menilai bahwa sekolah mandul
dalam membangun pendidikan karakter pelajar. Tudingan ini harus dimaklumi
mengingat publik memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap peranan
sekolah dalam membangun karakter.
Faktor
Pemicu
Sebagai
lembaga strategis, sekolah memang mempunyai tanggung jawab besar terhadap
pendidikan karakter pelajar. Namun, publik juga harus realistis melihat kondisi
pendidikan karakter di sekolah yang cenderung teoritis. Pendidikan karakter diformat
untuk menjajal ranah kognitif siswa. Produknya adalah bagaimana siswa mengerti
dan memahami sesuatu. Bukan bagaimana siswa berbuat, merealisasikan,
membiasakan, dan menghasilkan sesuatu.
Para guru piawai
memberikan pendidikan karakter secara konsep dan teoritis. Akan tetapi, para
pelajar kurang diberi ruang dalam berlatih dan mengekspresikan diri secara
nyata. Coba kita lihat pendidikan agama, budi pekerti, dan PKn misalnya.
Pembelajarannya berorientasi kepada proyek bagaimana menghabiskan materi,
daripada capaian praktiknya. Kalau toh
ada praktiknya, hanya menyentuh tataran formalitas seperti pembelajaran praktik
tata cara sembahyang, membaca alkitab, dan lain sebagainya. Namun, tidak
menyentuh praktik dari esensi ajaran beragama (implementasi cinta kasih,
toleransi misalnya).
Zona teoritis
inilah yang mempolakan pelajar mengutamakan capaian angka-angka akademis. Sebaliknya,
mereka tidak peduli terhadap kebermaknaan dan kebermanfaatan nyata dari sebuah pendidikan
bagi kehidupan sehari-hari. Polarisasi ini juga menggerogoti orang tua,
masyarakat, sekolah, dan termasuk dunia kerja. Segi-segi akademis seseorang
seolah-olah diberhalakan. Ia terlalu bernilai istimewa, mengalahkan aspek-aspek
lain termasuk karakter (akhlak).
Baru memasuki
kurikulum 2013, derajat pendidikan karakter diposisikan menjadi lebih istimewa.
Nilai kepribadian (karakter) dijadikan palu untuk menentukan kenaikan dan
kelulusan siswa. Siswa dinyatakan naik kelas atau lulus, apabila meraih sejumlah
nilai kepribadian minimal dengan predikat baik (tidak boleh ada cukup),
walaupun rata-rata nilai akademiknya tinggi.
Meskipun
demikian, tetap tidak mengubah metodologi sekolah, cara pandang orang tua, masyarakat,
dan kebutuhan lapangan tentang pentingnya pendidikan karakter. Kondisi ini
diperburuk lagi oleh eksistensi sekolah-sekolah lain seperti medsos, media
massa, lingkungan masyarakat, dan negara. Perannya tidak bisa diremehkan dalam membentuk
karakter pelajar. Karena pelajar menganggap medsos, media massa, lingkungan
sosial dan negara sebagai panggung
realitas. Panggung tempat sesungguhnya dalam mempraktikan pendidikan karakter.
Panggung-panggung
realitas itu akan menjadi cerminan bagi pelajar dalam bersikap dan bertindak. Problematikanya
ialah ketika realitas-realitas yang diangkat bernilai negatif, lalu pelajar
menirukannya. Kasus pencoretan bendera merah putih tidak mungkin muncul tanpa
adanya stimulus fakta sebelumnya. Bisa jadi kasus pencoretan bendera ini
berkolerasi dengan suguhan medsos dan televisi yang sering menayangkan kasus
pembakaran, pencoretan, perobekan hingga penginjak-nginjakan bendera negara tanpa
sensor oleh para demonstran untuk alasan mengecam atau mengutuk.
Tren pelecehan
simbol-simbol negara oleh pelajar juga tidak lepas dari krisis keteladanan
publik figur, terutama para politikus dan tokoh agama. Sejumlah tokoh politikus
dan tokoh agama baik secara pribadi maupun melalui pendukungnya, pernah pula menghina
simbol-simbol negara dan ideologi negara. Sayangnya, para pelaku tidak
mendapatkan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Malah pada beberapa
kasus, pelaku-pelaku pelanggaran itu
diberhentikan proses hukumnya dengan berbagai dalih. Konteks fakta-fakta inilah
yang membuat pelajar menjadi galau terhadap arah pendidikan karakter.
Menyelamatkan Karakter Pelajar
Publik
sepatutnya tidak meragukan konsep (teori) pendidikan karakter di sekolah.
Karena sekolah pasti memberikan konsep pendidikan karakter secara benar dan optimal.
Namun, harus diakui bahwa sekolah belum maksimal mempraktikannya, karena keterbatasan
ruang implementasi. Medsos, lingkungan keluarga, media massa, masyarakat dan
negara merupakan sekolah yang strategis sebagai praktik pendidikan karakter
sesungguhnya bagi pelajar.
Medsos
(sebagai ruang pelaporan dan tren perilaku), media massa (pelaporan), masyarakat (pelaku), dan negara (regulator/
eksekutor), memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membangun karakter
pelajar. Keempat lingkungan implementasi ini memposisikan pelajar sebagai saksi
harmonisasi antara harapan dan kenyataan. Semakin tinggi kadar kesesusaian
harapan dan kenyataan dalam tampilan realitas, semakin baik pula pengaruhnya
bagi pendidikan karakter pelajar. Sebaliknya, semakin rendah kesesuaian harapan
dan kenyataan dalam realitas, maka semakin kurang baik capaian pendidikan
karakter bagi pelajar. Jadi, kadar karakter pelajar sangat dipengaruhi oleh
frekuensi kualitas realitas yang ditampilkan.
Kuatnya
pengaruh lingkungan luar sekolah formal tidak dapat dilepaskan dari aspek
kedekatan, kemenarikan dan kompleksitas kebermanfaatannya bagi pelajar. Contoh
paling nyata adalah medsos. Medsos sangat dekat dan menjadi candu bagi pelajar.
Hal ini dibuktikan dengan fakta ketergantungan pelajar dengan gudget. Pelajar memanfaatkan jasa gudget dengan berbagai kebutuhan secara
praktis dan efisien mulai dari gaya, hiburan, pendidikan, komunikasi, belanja
dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang menyebabkan pelajar lebih percaya dan
mengandalkan peran gudget dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
Untuk
keoptimalan pendidikan karakter pelajar, sinergi positif antara lingkungan
medsos, media massa, masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan. Semuanya
harus memberikan kontribusi positif lewat penerimaan, pengkondisian, dan tampilan
realitas-realitas yang edukatif. Contoh kecil misalnya, ketika pemerintah
membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai wujud antisipasi
atas merosotnya loyalitas berideologi pancasila, semua pihak mestinya
mendukung. Baik lingkungan medsos, media massa, masyarakat dan terutama sekolah
mestinya bersatu padu mengawal efisiensi dan kebermanfaatan program ini.
Sehingga ke depan, ada contoh harmonisasi harapan dan kenyataan yang dijadikan
cerminan bagi pelajar.
Jadi, kurang
etis rasanya jika serangan terhadap produk pendidikan karakter pelajar hanya
dialamatkan kepada sekolah formal saja. Publik sepatutnya introspeksi diri
terhadap ruang-ruang lain yang dapat dijadikan keteladanan bagi pelajar. Karena
pendidikan karakter bukan soal teori-teori kebenaran yang semu. Pendidikan
karakter membutuhkan ruang praktik dan figur keteladanan (moral) hidup. Oleh
karena itu, moral medsos, moral media massa, moral lingkungan sosial dan moral
pemerintah/ negara sangat dibutuhkan jika ingin menyelamatkan pendidikan
karakter pelajar. (Penulis adalah guru
swasta di Denpasar)
0 komentar:
Posting Komentar