Senin, 03 Mei 2021

 

Bullying: Dilema Guru Dalam Mendidik

           

Foto: reqnews.com

Belakangan ini, dunia medsos tidak hanya diramaikan oleh kasus bullying antara pelajar dengan pelajar atau pelajar dengan guru. Namun, jejak digital juga merekam bahwa kasus bullying juga dilakukan oknum guru terhadap anak didiknya. Beberapa oknum guru melakukan bully baik secara verbal maupun fisik. Jumlah kasusnya di dunia maya mungkin tidak terlalu banyak. Namun, kenyataan di sekolah (di kelas) jumlah kasusnya pasti banyak. Hanya saja, siswa enggan untuk merekam dan mengunggahnya di medsos.

Berbeda dengan kasus bullying yang dilakukan pelajar, bully yang dilakukan guru tergolong unik. Bukannya mendapat kecaman dari para nitizen, guru justru sering mendapat pembenaran. Hal ini disebabkan oleh guru berkedudukan sebagai pendidik. Sebagai pendidik, guru seolah-olah diberikan hak istimewa untuk menjalankan tugasnya, termasuk dengan melakukan tindakan membully.

Posisi guru ini diperkuat lagi oleh yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Karena itulah, semenjak ramai beredar tentang video kekerasan (bullying) guru yang berujung ke pengadilan, banyak guru naik pitam. Para guru kompak membuat statemen mirip spanduk iklan di dunia maya. Isinya kurang lebih begini, ”Orangtua Yang  Anaknya Tidak Mau Ditegur Guru di Sekolah, Silakan Didik Sendiri, Bikin Kelas Sendiri, Buat Rapor dan Ijazah Sendiri”. Kalimat spanduk ini menjadi booming atau viral di medsos.

Banyak masyarakat menilai bahwa ungkapan berupa spanduk itu sebagai bentuk emosional guru, karena beberapa oknum guru dilaporkan ke polisi atas tuduhan kekerasan (bullying). Akibatnya, guru menjadi tidak nyaman menjalankan tugasnya.

Yurisprudensi MA memang menjamin perlindungan guru agar nyaman menjalankan tugasnya. Namun di sisi lain, perlindungan ini rawan diselewengkan oleh oknum guru untuk berbuat seenaknya (termasuk membully) terhadap siswa, dengan alasan mendidik.

Jika guru melakukan bully terhadap siswa akan berdampak kurang baik terhadap karakter siswa. Bukan saja berdampak buruk terhadap siswa yang dibully, tetapi bisa dijadikan contoh oleh para siswa yang lainnya. Para siswa korban menjadi terganggu perkembangan mental/ psikologisnya. Sementara siswa lainnya akan menganggap bahwa tindakan bullying yang dilakukan guru adalah sebuah kebenaran. Mereka (terutama anak-anak) akan meniru tindakan guru dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.

Bullying yang dilakukan oleh guru memang dilema (serba sulit). Banyak siswa menafsirkan positif untuk mendidik karakter siswa. Namun, tidak sedikit pula siswa meresponnya sebagai sebuah kebenaran. Karena guru berkedudukan sebagai orang yang digugu dan ditiru. Bagi anak-anak, tindakan-tindakan bullying yang dilihat sehari-hari akan ditafsirkan menjadi sebuah kebenaran. Anak-anak akan menirukan kepada lingkungannya. Artinya, guru menjadi stimulus berbuat bully secara langsung. Kalau sampai begitu, bullying yang dilakukan guru gagal mencapai tujuan mendidik.

Karena itu, lebih baik guru menghindarkan diri sebisa mungkin dari sikap dan tindakan membully. Apa pun alasannya, bully akan menjadi tontonan bagi siswa. Tontonan yang nantinya menginspirasi siswa untuk melakukan bully.        

Sebagai publik figur, guru harus mengedepankan profesionalisme dan kesabaran. Sebisa mungkin, guru dapat mengendalikan diri bukan mengumbar egonya. Aksi spanduk di medsos beberapa bulan lalu, mencerminkan sebuah unjuk emosional dari para guru. Barangkali hal-hal emosional ini tidak seharusnya dipublikasikan di medsos.

Namun demikian, pihak yang terlibat kasus bullying di sekolah juga harus dewasa. Ortu dan siswa harus tetap sabar dan berusaha santun dalam menyelesaikan masalah. Baik pihak guru, ortu, maupun siswa harus sama-sama mengedepankan unsur ramah. Bukan menonjolkan egonya masing-masing.

Karena itulah, perlu adanya komunikasi yang baik antara pihak guru, ortu, dan siswa. Semuanya harus saling terbuka, hangat berdiskusi, dan mengutamakan penyelesaian yang terbaik. Komunikasi ini dapat dibangun apabila ada keterbukaan antara pihak-pihak yang terkait.

Guru, ortu, dan siswa harus terbuka untuk saling mengkritisi. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kelemahan masing-masing pihak yang menjadi sumber kasus bullying. Jika komunikasi ini dapat dibangun dengan baik, ke depan pendidikan kita akan dapat dibersihkan dari kasus bullying. Sehingga, sekolah menjadi ramah, nyaman dan menjadi lingkungan yang menyenangkan. (Puspaningayu)

 

0 komentar:

Posting Komentar