Bullying: Dilema Guru Dalam Mendidik
Foto: reqnews.com
Belakangan ini, dunia medsos tidak hanya diramaikan oleh kasus bullying antara pelajar dengan pelajar
atau pelajar dengan guru. Namun, jejak digital juga merekam bahwa kasus bullying juga dilakukan oknum guru
terhadap anak didiknya. Beberapa oknum guru melakukan bully baik secara verbal maupun fisik. Jumlah kasusnya di dunia
maya mungkin tidak terlalu banyak. Namun, kenyataan di sekolah (di kelas)
jumlah kasusnya pasti banyak. Hanya saja, siswa enggan untuk merekam dan
mengunggahnya di medsos.
Berbeda dengan kasus bullying
yang dilakukan pelajar, bully yang
dilakukan guru tergolong unik. Bukannya mendapat kecaman dari para nitizen,
guru justru sering mendapat pembenaran. Hal ini disebabkan oleh guru
berkedudukan sebagai pendidik. Sebagai pendidik, guru seolah-olah diberikan hak
istimewa untuk menjalankan tugasnya, termasuk dengan melakukan tindakan membully.
Posisi guru ini diperkuat lagi oleh yurisprudensi Mahkamah Agung (MA)
yang menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan
melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Karena itulah, semenjak ramai
beredar tentang video kekerasan (bullying)
guru yang berujung ke pengadilan, banyak guru naik pitam. Para guru kompak
membuat statemen mirip spanduk iklan di dunia maya. Isinya kurang lebih begini,
”Orangtua Yang Anaknya Tidak Mau Ditegur
Guru di Sekolah, Silakan Didik Sendiri, Bikin Kelas Sendiri, Buat Rapor dan
Ijazah Sendiri”. Kalimat spanduk ini menjadi booming atau viral di medsos.
Banyak masyarakat menilai bahwa ungkapan berupa spanduk itu sebagai bentuk
emosional guru, karena beberapa oknum guru dilaporkan ke polisi atas tuduhan
kekerasan (bullying). Akibatnya, guru
menjadi tidak nyaman menjalankan tugasnya.
Yurisprudensi MA memang menjamin perlindungan guru agar nyaman
menjalankan tugasnya. Namun di sisi lain, perlindungan ini rawan diselewengkan
oleh oknum guru untuk berbuat seenaknya (termasuk membully) terhadap siswa, dengan alasan mendidik.
Jika guru melakukan bully
terhadap siswa akan berdampak kurang baik terhadap karakter siswa. Bukan saja
berdampak buruk terhadap siswa yang dibully,
tetapi bisa dijadikan contoh oleh para siswa yang lainnya. Para siswa korban
menjadi terganggu perkembangan mental/ psikologisnya. Sementara siswa lainnya
akan menganggap bahwa tindakan bullying
yang dilakukan guru adalah sebuah kebenaran. Mereka (terutama anak-anak) akan
meniru tindakan guru dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga,
sekolah, maupun di masyarakat.
Bullying yang dilakukan oleh guru memang dilema (serba sulit). Banyak siswa
menafsirkan positif untuk mendidik karakter siswa. Namun, tidak sedikit pula
siswa meresponnya sebagai sebuah kebenaran. Karena guru berkedudukan sebagai
orang yang digugu dan ditiru. Bagi anak-anak, tindakan-tindakan bullying yang dilihat sehari-hari akan
ditafsirkan menjadi sebuah kebenaran. Anak-anak akan menirukan kepada
lingkungannya. Artinya, guru menjadi stimulus berbuat bully secara langsung. Kalau sampai begitu, bullying yang dilakukan guru gagal mencapai tujuan mendidik.
Karena itu, lebih baik guru menghindarkan diri sebisa mungkin dari sikap
dan tindakan membully. Apa pun
alasannya, bully akan menjadi
tontonan bagi siswa. Tontonan yang nantinya menginspirasi siswa untuk melakukan
bully.
Sebagai publik figur, guru harus mengedepankan profesionalisme dan kesabaran.
Sebisa mungkin, guru dapat mengendalikan diri bukan mengumbar egonya. Aksi spanduk
di medsos beberapa bulan lalu, mencerminkan sebuah unjuk emosional dari para
guru. Barangkali hal-hal emosional ini tidak seharusnya dipublikasikan di
medsos.
Namun demikian, pihak yang terlibat kasus bullying di sekolah juga harus dewasa. Ortu dan siswa harus tetap
sabar dan berusaha santun dalam menyelesaikan masalah. Baik pihak guru, ortu,
maupun siswa harus sama-sama mengedepankan unsur ramah. Bukan menonjolkan
egonya masing-masing.
Karena itulah, perlu adanya komunikasi yang baik antara pihak guru,
ortu, dan siswa. Semuanya harus saling terbuka, hangat berdiskusi, dan
mengutamakan penyelesaian yang terbaik. Komunikasi ini dapat dibangun apabila
ada keterbukaan antara pihak-pihak yang terkait.
Guru, ortu, dan siswa harus terbuka untuk saling mengkritisi. Hal ini
dimaksudkan untuk mencari kelemahan masing-masing pihak yang menjadi sumber
kasus bullying. Jika komunikasi ini
dapat dibangun dengan baik, ke depan pendidikan kita akan dapat dibersihkan dari
kasus bullying. Sehingga, sekolah
menjadi ramah, nyaman dan menjadi lingkungan yang menyenangkan. (Puspaningayu)
0 komentar:
Posting Komentar