Tajamkan UU ITE, Stop Unggah Konten Berbau Bullying!
Cyberbullying
(penindasan dunia maya) kini mendapat sorotan masyarakat. Belakangan ini, eksistensinya
di dunia jejaring sosial kian mengkhawatirkan. Hampir setiap hari, ada saja
konten-konten bullying menghiasi
medsos, mulai dari kategori ringan, sedang hingga berat.
“Saking
seringnya, masyarakat menganggap kasus cyberbullying
menjadi sesuatu yang biasa (sepele).” Itulah komentar yang meluncur dari
seorang Ketut Ngurah Jelantik. Pelajar asal
SMANSA Denpasar ini menilai bahwa eksistensi cyberbullying seolah-olah sudah menjadi menu wajib di medsos.
Karena itu, masyarakat menjadi tidak sadar dengan bahaya cyberbullying ini.
Padahal, menurut
pria bertubuh atletis ini, cyberbullying
merupakan kasus serius karena berdampak buruk bagi korban, misalnya cemas,
depresi, stress, tak percaya diri, bahkan bunuh diri. Namun sayangnya, pelaku cyberbullying dan termasuk masyarakat belum
banyak yang menyadarinya.
Senada dengan
hal ini, Putu Ngurah Satria mengemukakan bahwa
maraknya kasus cyberbullying di dunia
medsos disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain keluarga, sekolah, kelompok
sebaya dan lain sebagainya. Pria yang kini duduk di bangku kelas XI di SMANSA
Denpasar ini menilai bahwa faktor ketidakharmonisan di lingkungan keluarga,
sekolah, dan lingkungan teman akan menciptakan rasa negatif seperti kecewa,
dendam, marah, frustasi dan lain-lainnya. Perasaan negatif inilah yang dianggap
menjadi bibit saling membully. ”Kapan
dan dimana pun, kita harus berusaha menjaga keharmoisan,” ujar pria berkacamata
ini.
Hal berbeda
dikemukakan oleh Ni Wayan Srimandi. Maraknya
kasus cyberbullying justru karena
nihilnya contoh bermedsos yang baik. Dara berambut pirang ini mengungkapkan
bahwa saat ini sulit mencari orang yang memiliki etika bermedia sosial yang
baik, termasuk dari kalangan orang dewasa/ tua. “Akibatnya, anak-anak maupun
remaja menjadi korban krisis panutan. Mereka menjadi ikut-ikutan meramaikan cyberbullying di medsos,” terang gadis
yang hobi baca ini.
Karena itu, Srimandi mengusulkan agar ada tindakan hukum yang
tegas untuk meredam kasus cyberbullying
ini. Ia mengusulkan agar UU ITE terus ditajamkan atau disempurnakan. Dara yang tergabung dalam klub jurnalistik SMANSA
Denpasar ini mengusulkan agar UU ITE lebih rinci dan tegas mengatur orang
mengunggap atau membuat status di medsos. “Jika ada yang mengunggah
konten-konten bullying, harus segera
ditindak dengan UU ITE. Sanksinya harus lebih berat supaya orang berhati-hati
menggungah konten bullying,” tuturnya
dengan raut muka serius.
Hal serupa
juga dikemukan oleh Ngurah Jelantik. Untuk mencegah maraknya cyberbullying,
pihak
keluarga dan sekolah harus berkolaborasi menanamkan pendidikan karakter yang
lebih mantap kepada para siswa, terutama pendidikan agama dan budi pekerti.
Keduanya harus saling mendukung. “Di rumah tugas ortu untuk menanamkan etika,
moral, sopan santun. Sedangkan, di sekolah tugas tenaga pendidik (guru),”
tandasnya.
Tidak cukup
mendidik, keluarga dan sekolah harus menciptakan komunikasi yang baik dengan
anak-anak, sehingga tercipta keterbukaan, perhatian, cinta, kehangatan, dan
kasih sayang. Jika demikian adanya, maka rumah dan sekolah akan menjadi tempat
yang ramah dan menyenangkan bagi anak-anak. “Kalau sudah nyaman, kecil peluang
anak-anak akan terjerumus ke dunia cyberbullying,”
pungkasnya.
Namun, Ngurah Satria berpandangan lain. Menurutnya,
pendidikan karakter di rumah dan sekolah belum cukup. Ia
lebih berkeyakinan bahwa faktor pergaulan anak
lebih menentukan anak terjerumus dalam cyberbullying.
Karena itulah, ortu dan sekolah harus mengetahui ruang lingkup pergaulan
anak. “Justru pengaruh negatif paling kuat datangnya dari pergaulan teman-teman
sebayanya, bukan keluarga atau sekolah. Ortu dan sekolah juga harus tahu pergaulan
si anak. Bila memungkinkan, ortu atau guru masuk menjadi anggota atau grup
(medsos) dari anak-anak sehingga dapat membaca gerak-gerik perilaku anak-anak,”
tuturnya dengan nada serius.
Menurut Srimandi, apa pun alasannya, cyberbullying harus dilawan
karena dampaknya sangat serius terhadap korban, termasuk pelakunya. Cyberbullying akan menciptakan korban
mengalami kerusakan mental, misalnya penakut, rendah hati, trauma, dan lain
sebagainya. Begitu juga dengan pelaku. Mereka akan tumbuh berwatak preman,
gelandangan, agresif, brutal, dan lain sebagainya. “Baik korban maupun
pelakunya, tidak ada baiknya untuk bangsa ini. Keduanya akan menjadi akan
menjadi maaf “sampah” keluarga, masyarakat, dan negara. Padahal, semua
anak-anak adalah aset bangsa untuk memajukan negara ini,” terangnya seperti
pejabat atau politikus.
Srimandi
juga menambahkan bahwa semua pihak harus aktif melacak sinyal-sinyal cyberbullying di medsos. Jika menemukan kasus cyberbullying, semua pihak (siapa pun)
harus aktif melaporkan kepada pihak berwajib, sehingga cepat mendapat
penanganan baik terhadap korban maupun pelaku. “Jangan menunggu esok atau lusa.
Segera laporkan! Tindakan kita sangat berguna untuk menyelamatkan mental anak-anak
negeri ini,” paparnya. (Maica)
0 komentar:
Posting Komentar