Sabtu, 01 Mei 2021

 

Bahasa Indonesia: Mesin Pembunuh UN

Oleh

Ketut Serawan

Hasil pengumuman pelulusan UN tingkat SMA/SMK (26/4) kemarin membuat publik kecewa. Pasalnya, angka kelulusan tahun ini menurun pada semua provinsi di Indonesia. Tragisnya lagi, turunnya angka kelulusan tahun ini disebabkan oleh jebloknya nilai siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Kontan saja membuat publik gigit jari dan bertanya-tanya. Mengapa mayoritas siswa tidak lulus pada mata pelajaran bahasa Indonesia?

Pengamat pendidikan, Arthanegara (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali) menyebutkan bahwa jebloknya nilai siswa pada mata pelajaran Indonesia disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adanya pandangan menyepelekan bahasa Indonesia dengan mata pelajaran lain. Kedua, adanya ambiguitas opsi jawaban yang membingungkan siswa dalam menentukan pilihan yang tepat.

Bahasa Indonesia sebagai pelajaran underdog (baca:disepelekan) merupakan lagu lama. Dibandingkan dengan pelajaran yang lain, bahasa Indonesia dianggap  lebih gampang bahkan sering sebagai komplementer. Pandangan ini tumbuh tidak hanya dari kalangan siswa tetapi publik secara umum.

Apa yang ada di pikiran kita jika seorang siswa ingin les privat bahasa Indonesia? Kedengarannya pasti tidak lumrah bukan? Tentu kita menyarankan tidak untuk bahasa Indonesia.  Kalau pun iya, kita akan menyarankan anak les untuk mata pelajaran yang lain. Inilah bukti yang tak terbantahkan bahwa asumsi sepele terhadap pelajaran bahasa Indonesia sudah mengakar sejak lama pada diri kita sendiri (masyarakat).

Jadi, jika Arthanegara baru mengungkap masalah ini ke permukaan semata-mata karena momen. Kebetulan tahun ini anak-anak kita tersandung oleh nilai bahasa Indonesia. Kalau tidak, publik tentu tidak memberikan perhatian pada pelajaran bahasa Indonesia.

Di luar anggapan, pemicu lain jebloknya nilai siswa ialah kemiripan opsi jawaban soal. Kemiripan opsi jawaban soal tidak hanya menjadi kesulitan bagi siswa. Sesama guru bahasa Indonesia pun tidak jarang menimbulkan beda pendapat terhadap pilihan yang tepat.

Artinya, tidak serta merta guru bahasa Indonesia bisa menjawab semua soal dengan mudah. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah ilmu, bahasa Indonesia memiliki kesulitan tersendiri layaknya pelajaran-pelajaran yang lain. Namun, sebagai alat komunikasi bahasa Indonesia jelas dianggap mudah. Di sekolah, bahasa Indonesia yang diujikan bukan fungsinya sebagai alat komunikasi, melainkan ilmunya. Hal inilah yang kurang disadari publik.

Kemiripan opsi jawaban hanya salah satu bentuk untuk menciptakan tingkat kesulitan soal bahasa Indonesia. Tingkat kesulitan soal sebagai bahasa nasional memang mesti dibedakan dengan bahasa asing (seperti bahasa Inggris, bahasa Jepang dan lain-lainnya). Opsi jawaban bahasa asing boleh saja kentara satu sama lain. Namun, jika opsi jawaban bahasa Indonesia dibuat kentara seperti bahasa asing jelas tidak proposional. Tampaknya hal ini sering luput dari pemahaman siswa, termasuk publik.

Selain anggapan dan bentuk opsi, faktor pemicu jebloknya nilai bahasa Indonesia sebetulnya karena siswa malas membaca. Keluhan yang sering dilontarkan siswa ketika akan mengerjakan soal bahasa Indonesia ialah ”Ah...soal bahasa Indonesia, malas bacanya”.

Soal bahasa Indonesia memang lebih didominasi oleh bacaan atau ilustrasi soal. Dibutuhkan waktu yang ekstra dalam membaca dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Oleh karena itu, kecermatan dan ketelitian siswa menjadi taruhan dalam memahami  butir-butir soal.

Kenyataannya, siswa justru enggan mengerjakan soal bahasa Indonesia karena malas membaca soal. Kemalasan ini dipicu lagi dengan bentuk soal pilihan ganda. Siswa yang mengalami ’frustasi baca’ tinggal menunggu jawaban teman dan/ atau langsung membuat bulatan di sekitar a, b, c atau d.

Budaya Baca Siswa

Dari tiga faktor penyebab jebloknya nilai bahasa Indonesia, muaranya ialah rendahnya budaya membaca di kalangan siswa. Masalah menyepelekan, opsi yang mirip bukan masalah besar jika budaya membaca tumbuh dan berkembang di kalangan siswa. Budaya membaca menimbulkan daya baca yang tinggi--yang berujung pada kecerdasan dan kekritisan pada siswa. Kecerdasan dan kekritisan merupakan alat untuk menentukan opsi jawaban dengan tepat.

Persoalannya, bagaimana dunia pendidikan (sekolah) kita mampu memotivasi siswa untuk membudayakan membaca. Selama ini sekolah hanya ingin mencari hasil instan dari tujuan pembelajaran namun sering mengebiri budaya membaca pada siswa. Hingga kini masih berkembang model pembelajaran ‘gurusentris’. Guru menjadi pusat ‘serba tahu dan pemberi tahu’ pada siswa. Akibatnya, siswa diam menunggu keringkasan pengetahuan guru. Model ini jelas tidak mengupayakan siswa untuk membaca dan menggali secara mandiri.

Media pembelajaran seperti LKS juga merupakan cermin bagaimana budaya baca siswa hendak dikerdilkan. LKS dengan keringkasannya mendidik siswa untuk membaca sesedikit mungkin untuk berlatih menjawab soal sebanyak-banyaknya. Pun ketika musim siswa menghadapi UN, guru mendrill para siswa dengan rangkuman-rangkuman materi untuk alasan efisiensi waktu. Di sisi lain, budaya membaca melonggarkan siswa membaca sebanyak mungkin untuk membentuk konsep dan pengetahuan.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya sekolah (khususnya para guru) menghindarkan siswa dari iklim pengerdilan budaya baca. Media dan model pembelajaran yang tak memotivasi siswa untuk membaca sebaiknya segera direnovasi dan ditanggapi dengan kreatif. Kalau tidak, bukan tidak mungkin tahun berikutnya siswa akan tersandung oleh “batu  bahasa Indonesia” lagi. Penulis, guru swasta ‘warawiri’ di Denpasar.

0 komentar:

Posting Komentar