Bahasa Indonesia: Mesin Pembunuh UN
Oleh
Ketut Serawan
Hasil pengumuman
pelulusan UN tingkat SMA/SMK (26/4) kemarin membuat publik kecewa. Pasalnya,
angka kelulusan tahun ini menurun pada semua provinsi di
Pengamat pendidikan,
Arthanegara (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali) menyebutkan bahwa jebloknya nilai
siswa pada mata pelajaran Indonesia disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adanya
pandangan menyepelekan bahasa Indonesia dengan mata pelajaran lain. Kedua,
adanya ambiguitas opsi jawaban yang membingungkan siswa dalam menentukan
pilihan yang tepat.
Bahasa Indonesia sebagai pelajaran
underdog (baca:disepelekan) merupakan lagu lama. Dibandingkan dengan
pelajaran yang lain, bahasa Indonesia dianggap lebih gampang bahkan sering sebagai
komplementer. Pandangan ini tumbuh
tidak hanya dari kalangan siswa tetapi publik secara umum.
Apa yang ada di pikiran kita
jika seorang siswa ingin les privat bahasa Indonesia? Kedengarannya pasti tidak
lumrah bukan? Tentu kita
menyarankan tidak untuk bahasa Indonesia. Kalau pun iya, kita akan menyarankan anak les untuk
mata pelajaran yang lain. Inilah bukti yang tak terbantahkan bahwa asumsi
sepele terhadap pelajaran bahasa Indonesia sudah mengakar sejak lama pada diri
kita sendiri (masyarakat).
Jadi, jika Arthanegara baru
mengungkap masalah ini ke permukaan semata-mata karena momen. Kebetulan tahun
ini anak-anak kita tersandung oleh nilai bahasa Indonesia. Kalau tidak, publik tentu
tidak memberikan perhatian pada pelajaran bahasa Indonesia.
Di luar anggapan, pemicu lain
jebloknya nilai siswa ialah kemiripan opsi jawaban soal. Kemiripan opsi jawaban
soal tidak hanya menjadi kesulitan bagi siswa. Sesama guru bahasa Indonesia pun
tidak jarang menimbulkan beda pendapat terhadap pilihan yang tepat.
Artinya, tidak serta merta
guru bahasa Indonesia bisa menjawab semua soal dengan mudah. Fenomena ini
menunjukkan bahwa sebagai sebuah ilmu, bahasa Indonesia memiliki kesulitan
tersendiri layaknya pelajaran-pelajaran yang lain. Namun, sebagai alat
komunikasi bahasa Indonesia jelas dianggap mudah. Di sekolah, bahasa Indonesia
yang diujikan bukan fungsinya sebagai alat komunikasi, melainkan ilmunya. Hal
inilah yang kurang disadari publik.
Kemiripan opsi jawaban hanya
salah satu bentuk untuk menciptakan tingkat kesulitan soal bahasa Indonesia.
Tingkat kesulitan soal sebagai bahasa nasional memang mesti dibedakan dengan
bahasa asing (seperti bahasa Inggris, bahasa Jepang dan lain-lainnya). Opsi
jawaban bahasa asing boleh saja kentara satu sama lain. Namun, jika opsi
jawaban bahasa Indonesia dibuat kentara seperti bahasa asing jelas tidak
proposional. Tampaknya hal ini sering luput dari pemahaman siswa, termasuk
publik.
Selain anggapan dan bentuk
opsi, faktor pemicu jebloknya nilai bahasa Indonesia sebetulnya karena siswa malas
membaca. Keluhan yang sering dilontarkan siswa ketika akan mengerjakan soal
bahasa Indonesia ialah ”Ah...soal bahasa Indonesia, malas bacanya”.
Soal bahasa Indonesia memang lebih
didominasi oleh bacaan atau ilustrasi soal. Dibutuhkan waktu yang ekstra dalam
membaca dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Oleh karena itu, kecermatan
dan ketelitian siswa menjadi taruhan dalam memahami butir-butir soal.
Kenyataannya, siswa justru
enggan mengerjakan soal bahasa Indonesia karena malas membaca soal. Kemalasan ini dipicu lagi dengan bentuk
soal pilihan ganda. Siswa yang
mengalami ’frustasi baca’ tinggal menunggu jawaban teman dan/ atau langsung
membuat bulatan di sekitar a, b, c atau d.
Budaya Baca Siswa
Dari tiga faktor penyebab
jebloknya nilai bahasa Indonesia, muaranya ialah rendahnya budaya membaca di kalangan
siswa. Masalah menyepelekan, opsi yang mirip bukan masalah besar jika budaya
membaca tumbuh dan berkembang di kalangan siswa. Budaya membaca menimbulkan daya
baca yang tinggi--yang berujung pada kecerdasan dan kekritisan pada siswa.
Kecerdasan dan kekritisan merupakan alat untuk menentukan opsi jawaban dengan
tepat.
Persoalannya, bagaimana dunia pendidikan
(sekolah) kita mampu memotivasi siswa untuk membudayakan membaca. Selama ini sekolah hanya ingin mencari
hasil instan dari tujuan pembelajaran namun sering mengebiri budaya membaca
pada siswa. Hingga kini masih berkembang model pembelajaran
‘gurusentris’. Guru menjadi pusat ‘serba tahu dan pemberi tahu’ pada siswa.
Akibatnya, siswa diam menunggu keringkasan pengetahuan guru. Model ini jelas
tidak mengupayakan siswa untuk membaca dan menggali secara mandiri.
Media pembelajaran seperti LKS juga merupakan cermin bagaimana budaya
baca siswa hendak dikerdilkan. LKS dengan keringkasannya mendidik siswa untuk
membaca sesedikit mungkin untuk berlatih menjawab soal sebanyak-banyaknya. Pun ketika musim siswa menghadapi UN, guru
mendrill para siswa dengan rangkuman-rangkuman materi untuk alasan efisiensi waktu.
Di sisi lain, budaya membaca melonggarkan siswa membaca sebanyak mungkin
untuk membentuk konsep dan pengetahuan.
Oleh karena itu, sudah
sepantasnya sekolah (khususnya para guru) menghindarkan siswa dari iklim
pengerdilan budaya baca. Media dan model pembelajaran yang tak
memotivasi siswa untuk membaca sebaiknya segera direnovasi dan ditanggapi
dengan kreatif. Kalau tidak, bukan tidak mungkin tahun berikutnya siswa akan
tersandung oleh “batu bahasa
0 komentar:
Posting Komentar