Minggu, 02 Mei 2021

 

Belajar dari Guru Gaptek

Oleh

I Ketut Serawan

 

Foto: tribunnews.com
Bukan rahasia umum lagi jika dunia IT menjadi dominasi bagi kalangan anak muda (milenial). Mereka sangat piawai memanfaatkan IT dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, kaum tua cenderung gaptek. Ketimpangan ini terjadi hampir di segala sektor, termasuk dalam dunia pendidikan. Para guru muda lebih gesit memanfaatkan IT dalam pembelajaran dibandingkan dengan guru-guru berumur (tua).

Ketimpangan ini berlangsung lama. Namun, kurang ada rasa “jengah” dari kaum guru tua (gaptek) untuk belajar dan beradaptasi dengan IT. Kebanyakan dari mereka berusaha berkelit (enggan belajar IT) dengan berbagai alasan. Akibatnya, mereka terperangkap ke zona nyaman. Nyaman melakukan pembelajaran dengan cara-cara lama, yang minim memanfaatkan IT. Mereka beranggapan bahwa IT tidak berpengaruh signifikan terhadap kegiatan pembelajaran. Karena tanpa penguasaan IT, toh mereka masih dapat melakukan pembelajaran di kelas dengan lancar.

Masalah muncul ketika pandemi covid-19 melanda dunia pendidikan pada awal tahun 2020. Pemerintah tidak mengizinkan sekolah menggelar pembelajaran tatap muka. Para guru diwajibkan melakukan pembelajaran jarak jauh (online). Pembelajaran berbasis IT ini membuat para guru gaptek terperangah. Zona nyaman mereka terusik.

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi semacam mimpi buruk bagi kaum guru gaptek. Penerapannya dirasakan begitu mendadak dan di luar prediksi. Apalagi, PJJ dijadikan satu-satunya alternatif dalam melakukan pembelajaran. Tidak hanya mengagetkan, situasi ini juga membingungkan dan membebani psikologi kaum guru gaptek.

Sistem PJJ akhirnya membuat para guru gaptek (tua) terpaksa dan memaksakan diri belajar IT. Mereka menggenjot diri belajar IT meskipun tertatih-tatih dan terlambat. Namun, kita pantas memberikan acungan jempol atas semangat mereka. Setidaknya, mereka masih memiliki spirit beradaptasi dengan IT. Artinya, masih ada tanggung jawab moral yang tinggi dari mereka. Bayangkan, kalau mereka cuek dan masa bodoh dengan IT. Muaranya jelas. Mereka akan digilas oleh teknologi. Lalu, mengapa para guru tua (umumnya) banyak yang telanjur terperangkap di zona gaptek itu?

Faktor Pendorong Gaptek

“Kegaptekkan” guru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor intern terutama berkaitan dengan perspektif diri. Guru gaptek cenderung memiliki sikap tertutup (tidak terbuka). Mereka ingin membentengi diri dengan romansa masa lalunya yaitu nilai-nilai kebenaran pada zamannya. Sebaliknya, mereka berusaha menolak perubahan-perubahan atau nilai-nilai masa kini.

Karena itulah, IT sebagai produk modern (kekinian) sering mereka abaikan. Mereka memiliki optimisme terlalu tinggi terhadap nilai kebenaran pada zamannya. Nilai-nilai “yang dulu” itulah yang dijadikan pedoman berpikir dan bertindak.  Celakanya, beberapa “nilai yang dulu itu” kadangkala tidak melalui proses upgrade. Mereka mengaplikasikan dengan mentah-mentah. Nilai-nilai inilah yang menimbulkan benturan perspektif antara guru gaptek dengan siswa (generasi Z).

Jika guru sebagai pembentuk masa depan anak didik, sewajarnya guru bersifat terbuka dan kekinian (mengupgrade diri). Barangkali dalam bahasa remaja dikenal dengan istilah “gaul”. Bukan gaul soal penampilan fisik saja, melainkan gaul terhadap dinamika sosial, budaya, cara berpikir, dan lain sebagainya.

Karakter gaul ini membentuk pribadi dinamis sehingga guru tidak memaksakan “nilai masa lalu” yang kurang relevan kepada anak didik. Di sisi lain, guru gaptek justru kurang dinamis. Mereka membentengi diri dari nilai kekinian, termasuk pengaruh kemajuan IT.

Jika guru membentengi diri dari kemajuan IT, maka pantas kita meragukan peran mereka sebagai pembentuk “masa depan anak didik”. Jangan-jangan mereka sesungguhnya membentuk “masa lalu dirinya kepada anak didik”. Guru ingin membentuk mental anak didik ke masa lalunya. Padahal, waktu terus bergerak ke depan dengan dinamikanya.

Selain itu, “kegaptekkan” guru juga dipengaruhi oleh cara pandangnya yang negatif terhadap efek teknologi. Mereka menganggap bahwa teknologi lebih dominan berefek negatif, merusak peradaban, khususnya merusak moral anak didik. Cara pandang inilah yang memicu guru gaptek kian berjarak dengan IT.

Faktor lainnya ialah soal visioner. Guru gaptek kurang memiliki visioner. Mereka kurang peka membaca masa depan. Mereka tak sempat berpikir bahwa ke depan era digitalisasi akan menjadi budaya baru. Era yang serba instan dan cepat. Era ini ditandai dengan lompatan IT yang hampir tak terjangkau oleh rasional manusia. Jika guru gaptek, lalu bagaimana mereka menyiapkan masa depan anak didiknya. Bagaimana mungkin guru bisa menjadi agen perubahan, sedangkan mereka masih tersesat dalam “rimba” teknologi. 

Penguasaan IT menuntut kegigihan belajar, keberanian, coba-coba, dan pembiasaan. Sementara itu,  guru gaptek justru enggan belajar, kurang pemberani dan terlalu teoritis. Mereka enggan belajar IT dan kurang memiliki nyali untuk trial and error. Ketakutan guru ini disebabkan oleh mentalnya yang ingin selalu benar. Padahal, dalam proses belajar dibutuhkan nyali untuk berani salah. Karena dari salah inilah kita akan mendapatkan ruang introspeksi menuju kebenaran.

Di samping ingin sempurna (selalu benar), guru juga sering terlalu teoretis. Guru menjadi gudangnya teori. Namun, saking banyaknya memiliki teori, guru sering mandul dalam mengaplikasikannya. Teorinya memenuhi seisi ruangan kelas, tetapi mereka alpa mempraktikannya. Setidaknya, karakter ini mempengaruhi mereka menjadi gaptek. Mereka enggan melakukan praktik, padahal belajar IT harus lebih sering berlatih (praktik) dan dibiasakan secara kontinyu.

 

Solusi gaptek

Analisa terhadap guru gaptek (sebelumnya) memberikan gambaran bahwa zona nyaman gaptek mengganggu karier menjadi guru profesional. Seberapa pun hebatnya guru tua/ senior, tanpa didukung oleh kemampuan adaptasi IT—maka tetap mengurangi kadar profesionalismenya. Artinya,  profesionalisme guru mengalami pergeseran. Takarannya berubah-ubah sesuai tuntutan zamannya.

Dengan kata lain, menjadi guru profesional sekarang tidak boleh gaptek, apapun alasannya. Saatnya guru gaptek harus membuka mindset bahwa IT bukan wilayah kavlingan dari kaum muda. Siapa pun dia (guru) wajib menguasai IT. Era digitalisasi tidak memandang guru tua atau muda. Era digitalisasi menuntut setiap guru bisa “bermain” IT supaya tetap eksis dan terjaga profesionalismenya.

Momen pandemi covid-19 inilah semestinya menjadi kesempatan yang sangat baik bagi guru gaptek untuk introspeksi. Mulat sarira untuk belajar beradaptasi dengan IT. Untuk menguatkan realisasinya, ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh guru gaptek.

Pertama, mulailah membuka diri dengan filosofi long life education. Manusia akan terus belajar seumur hidup, termasuk guru. Guru bukan manusia sempurna. Justru gurulah yang pantas memberikan teladan kepada masyarakat untuk terus semangat belajar. Gurulah yang mesti memberikan contoh bahwa belajar tak mengenal istilah tua dan terlambat.

Karena itu, kurang baik rasanya jika guru senior/ tua merasa jumawa di hadapan siswa maupun guru junior. Semua orang di lingkungan sekolah adalah manusia pembelajar. Bukan zamannya sekarang, guru gaptek (senior) merasa malu belajar IT kepada guru muda termasuk kepada siswanya sendiri.  

Kedua, guru gaptek sebaiknya low profile. Saya pernah membaca kalimat kurang lebih begini: “Semakin banyak yang kau ketahui, sesungguhnya semakin banyak pula yang kau tidak ketahui”. Kalimat filosofis ini pantas menjadi renungan bersama, terutama kalangan guru gaptek. Artinya, banyak hal yang masih perlu dipelajari ketika menjadi seorang guru.

Banyak pengetahuan dan kecakapan yang belum dikuasai oleh guru. Karena itu, guru sepatutnya berusaha mengurangi “ego menggurui”. Sebaliknya, selalu rendah hati untuk belajar dengan siapan pun dan kapan pun. Guru (terutama gaptek) sepatutnya selalu terbuka, gaul, dinamis, siap dikritik, dan lain sebagainya. Hanya dengan kerendahan hati, guru akan bisa mengurangi ego menggurui, siap dikritik dan terus mengisi diri.

Ketiga, guru gaptek mesti visioner. Belajar dari rendah hati, gaul, dinamis dan bersahabat dengan kritik, maka guru (gaptek) akan bisa berpikiran maju. Mereka siap dengan perubahan-perubahan. Guru siap bersahabat dengan nilai-nilai kekinian. Bahkan, dapat memprediksi dinamika zaman ke depan. Mental visioner ini sangat dibutuhkan oleh guru gaptek agar tetap eksis sepanjang zaman sehingga tidak menemui kendala berarti dalam menyiapkan masa depan anak didik.

Setelah terbuka dengan kesejatiannya sebagai guru, selanjutnya guru gaptek diajak melakukan langkah praktis (keempat). Bagaimana mengajak mereka belajar dengan nyata. Misalnya, sekolah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pembelajaran berbasis IT dengan mandiri. Dalam pelaksanaannya, sekolah dapat mengundang narasumber yang kompeten di bidangnya atau cukup memanfaatkan guru intern yang menguasai IT. Sekolah dapat mengatur frekuensi dan waktu pelatihan sesuai dengan kebutuhan sekolah. Karena setiap sekolah tentu sudah memiliki analisis atau grafik kemampuan IT tenaga pendidiknya.

Bukan hanya di sekolah, pelatihan pembelajaran berbasis IT perlu direspon di tingkat lebih tinggi misalnya di intern MGMP kabupaten/ kota. Jangan sampai MGMP hanya menggelar kegiatan berkaitan dengan perangkat pembelajaran saja. Cobalah mungkin tingkatkan intensitas pertemuan dengan menggelar pelatihan-pelatihan pembelajaran kreatif berbasis IT.

Lebih tinggi lagi, misalnya di tingkat dinas pendidikan (kabupaten/ provinsi). Lembaga ini tentu sangat bertanggung jawab dalam “membasmi” guru gaptek di wilayahnya. Semestinya dinas pendidikan sudah memiliki program dan agenda yang jelas untuk meningkatkan kemampuan IT para guru gaptek.

Kelima, hasil pelatihan harus direspon terutama oleh guru sendiri, pihak sekolah dan pemerintah. Guru gaptek harus mengadakan fasilitas IT secara mandiri dengan gaji sendiri. Jika memungkinkan disubsidi oleh pihak sekolah atau pemerintah. Kepemilikan fasilitas ini penting sebagai modal untuk latihan-latihan mandiri oleh guru gaptek di rumah. Selanjutnya, sekolah harus menyediakan fasilitas IT yang siap dijadikan media untuk mengembangkan kemampuan IT guru gaptek.

Jika guru gaptek sudah memahami kesejatiannya, rajin mengikuti pelatihan, dan membiasakan diri berlatih secara kontinyu sangat mungkin cerita guru gaptek akan tamat riwayatnya. Dari guru gaptek, kita sepatutnya bisa belajar agar tidak menjadi guru gaptek sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar