Belajar dari Guru Gaptek
Oleh
I Ketut Serawan
Bukan
rahasia umum lagi jika dunia IT menjadi dominasi bagi kalangan anak muda
(milenial). Mereka sangat piawai memanfaatkan IT dalam kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, kaum tua cenderung gaptek. Ketimpangan ini terjadi hampir di segala
sektor, termasuk dalam dunia pendidikan. Para guru muda lebih gesit memanfaatkan
IT dalam pembelajaran dibandingkan dengan guru-guru berumur (tua). Foto: tribunnews.com
Ketimpangan
ini berlangsung lama. Namun, kurang ada rasa “jengah” dari kaum guru tua
(gaptek) untuk belajar dan beradaptasi dengan IT. Kebanyakan dari mereka
berusaha berkelit (enggan belajar IT) dengan berbagai alasan. Akibatnya, mereka
terperangkap ke zona nyaman. Nyaman melakukan pembelajaran dengan cara-cara
lama, yang minim memanfaatkan IT. Mereka beranggapan bahwa IT tidak berpengaruh
signifikan terhadap kegiatan pembelajaran. Karena tanpa penguasaan IT, toh mereka masih dapat melakukan
pembelajaran di kelas dengan lancar.
Masalah
muncul ketika pandemi covid-19 melanda dunia pendidikan pada awal tahun 2020.
Pemerintah tidak mengizinkan sekolah menggelar pembelajaran tatap muka. Para
guru diwajibkan melakukan pembelajaran jarak jauh (online). Pembelajaran berbasis IT ini membuat para guru gaptek
terperangah. Zona nyaman mereka terusik.
Pembelajaran
jarak jauh (PJJ) menjadi semacam mimpi buruk bagi kaum guru gaptek. Penerapannya
dirasakan begitu mendadak dan di luar prediksi. Apalagi, PJJ dijadikan
satu-satunya alternatif dalam melakukan pembelajaran. Tidak hanya mengagetkan,
situasi ini juga membingungkan dan membebani psikologi kaum guru gaptek.
Sistem
PJJ akhirnya membuat para guru gaptek (tua) terpaksa dan memaksakan diri
belajar IT. Mereka menggenjot diri belajar IT meskipun tertatih-tatih dan terlambat.
Namun, kita pantas memberikan acungan jempol atas semangat mereka. Setidaknya, mereka
masih memiliki spirit beradaptasi dengan IT. Artinya, masih ada tanggung jawab
moral yang tinggi dari mereka. Bayangkan, kalau mereka cuek dan masa bodoh dengan IT. Muaranya jelas. Mereka akan digilas
oleh teknologi. Lalu, mengapa para guru tua (umumnya) banyak yang telanjur
terperangkap di zona gaptek itu?
Faktor
Pendorong Gaptek
“Kegaptekkan”
guru lebih banyak dipengaruhi oleh faktor intern terutama berkaitan dengan
perspektif diri. Guru gaptek cenderung memiliki sikap tertutup (tidak terbuka).
Mereka ingin membentengi diri dengan romansa masa lalunya yaitu nilai-nilai
kebenaran pada zamannya. Sebaliknya, mereka berusaha menolak
perubahan-perubahan atau nilai-nilai masa kini.
Karena
itulah, IT sebagai produk modern (kekinian) sering mereka abaikan. Mereka
memiliki optimisme terlalu tinggi terhadap nilai kebenaran pada zamannya.
Nilai-nilai “yang dulu” itulah yang dijadikan pedoman berpikir dan bertindak. Celakanya, beberapa “nilai yang dulu itu”
kadangkala tidak melalui proses upgrade.
Mereka mengaplikasikan dengan mentah-mentah. Nilai-nilai inilah yang
menimbulkan benturan perspektif antara guru gaptek dengan siswa (generasi Z).
Jika
guru sebagai pembentuk masa depan anak didik, sewajarnya guru bersifat terbuka
dan kekinian (mengupgrade diri). Barangkali
dalam bahasa remaja dikenal dengan istilah “gaul”. Bukan gaul soal penampilan fisik saja, melainkan gaul terhadap dinamika sosial, budaya, cara berpikir, dan lain
sebagainya.
Karakter
gaul ini membentuk pribadi dinamis
sehingga guru tidak memaksakan “nilai masa lalu” yang kurang relevan kepada
anak didik. Di sisi lain, guru gaptek justru kurang dinamis. Mereka membentengi
diri dari nilai kekinian, termasuk pengaruh kemajuan IT.
Jika
guru membentengi diri dari kemajuan IT, maka pantas kita meragukan peran mereka
sebagai pembentuk “masa depan anak didik”. Jangan-jangan mereka sesungguhnya
membentuk “masa lalu dirinya kepada anak didik”. Guru ingin membentuk mental
anak didik ke masa lalunya. Padahal, waktu terus bergerak ke depan dengan
dinamikanya.
Selain
itu, “kegaptekkan” guru juga dipengaruhi oleh cara pandangnya yang negatif
terhadap efek teknologi. Mereka menganggap bahwa teknologi lebih dominan
berefek negatif, merusak peradaban, khususnya merusak moral anak didik. Cara
pandang inilah yang memicu guru gaptek kian berjarak dengan IT.
Faktor
lainnya ialah soal visioner. Guru gaptek kurang memiliki visioner. Mereka
kurang peka membaca masa depan. Mereka tak sempat berpikir bahwa ke depan era
digitalisasi akan menjadi budaya baru. Era yang serba instan dan cepat. Era ini
ditandai dengan lompatan IT yang hampir tak terjangkau oleh rasional manusia.
Jika guru gaptek, lalu bagaimana mereka menyiapkan masa depan anak didiknya. Bagaimana
mungkin guru bisa menjadi agen perubahan, sedangkan mereka masih tersesat dalam
“rimba” teknologi.
Penguasaan
IT menuntut kegigihan belajar, keberanian, coba-coba, dan pembiasaan. Sementara
itu, guru gaptek justru enggan belajar, kurang
pemberani dan terlalu teoritis. Mereka enggan belajar IT dan kurang memiliki
nyali untuk trial and error. Ketakutan
guru ini disebabkan oleh mentalnya yang ingin selalu benar. Padahal, dalam
proses belajar dibutuhkan nyali untuk berani salah. Karena dari salah inilah kita
akan mendapatkan ruang introspeksi menuju kebenaran.
Di
samping ingin sempurna (selalu benar), guru juga sering terlalu teoretis. Guru
menjadi gudangnya teori. Namun, saking banyaknya memiliki teori, guru sering
mandul dalam mengaplikasikannya. Teorinya memenuhi seisi ruangan kelas, tetapi
mereka alpa mempraktikannya. Setidaknya, karakter ini mempengaruhi mereka
menjadi gaptek. Mereka enggan melakukan praktik, padahal belajar IT harus lebih
sering berlatih (praktik) dan dibiasakan secara kontinyu.
Solusi
gaptek
Analisa
terhadap guru gaptek (sebelumnya) memberikan gambaran bahwa zona nyaman gaptek
mengganggu karier menjadi guru profesional. Seberapa pun hebatnya guru tua/
senior, tanpa didukung oleh kemampuan adaptasi IT—maka tetap mengurangi kadar
profesionalismenya. Artinya, profesionalisme guru mengalami pergeseran.
Takarannya berubah-ubah sesuai tuntutan zamannya.
Dengan
kata lain, menjadi guru profesional sekarang tidak boleh gaptek, apapun alasannya.
Saatnya guru gaptek harus membuka mindset
bahwa IT bukan wilayah kavlingan dari kaum muda. Siapa pun dia (guru) wajib
menguasai IT. Era digitalisasi tidak memandang guru tua atau muda. Era
digitalisasi menuntut setiap guru bisa “bermain” IT supaya tetap eksis dan
terjaga profesionalismenya.
Momen
pandemi covid-19 inilah semestinya menjadi kesempatan yang sangat baik bagi
guru gaptek untuk introspeksi. Mulat
sarira untuk belajar beradaptasi dengan IT. Untuk menguatkan realisasinya,
ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh guru gaptek.
Pertama,
mulailah membuka diri dengan filosofi long
life education. Manusia akan terus belajar seumur hidup, termasuk guru. Guru
bukan manusia sempurna. Justru gurulah yang pantas memberikan teladan kepada
masyarakat untuk terus semangat belajar. Gurulah yang mesti memberikan contoh
bahwa belajar tak mengenal istilah tua dan terlambat.
Karena
itu, kurang baik rasanya jika guru senior/ tua merasa jumawa di hadapan siswa
maupun guru junior. Semua orang di lingkungan sekolah adalah manusia
pembelajar. Bukan zamannya sekarang, guru gaptek (senior) merasa malu belajar
IT kepada guru muda termasuk kepada siswanya sendiri.
Kedua,
guru gaptek sebaiknya low profile. Saya
pernah membaca kalimat kurang lebih begini: “Semakin banyak yang kau ketahui, sesungguhnya
semakin banyak pula yang kau tidak ketahui”. Kalimat filosofis ini pantas
menjadi renungan bersama, terutama kalangan guru gaptek. Artinya, banyak hal
yang masih perlu dipelajari ketika menjadi seorang guru.
Banyak
pengetahuan dan kecakapan yang belum dikuasai oleh guru. Karena itu, guru sepatutnya
berusaha mengurangi “ego menggurui”. Sebaliknya, selalu rendah hati untuk
belajar dengan siapan pun dan kapan pun. Guru (terutama gaptek) sepatutnya
selalu terbuka, gaul, dinamis, siap
dikritik, dan lain sebagainya. Hanya dengan kerendahan hati, guru akan bisa
mengurangi ego menggurui, siap dikritik dan terus mengisi diri.
Ketiga,
guru gaptek mesti visioner. Belajar dari rendah hati, gaul, dinamis dan
bersahabat dengan kritik, maka guru (gaptek) akan bisa berpikiran maju. Mereka
siap dengan perubahan-perubahan. Guru siap bersahabat dengan nilai-nilai
kekinian. Bahkan, dapat memprediksi dinamika zaman ke depan. Mental visioner ini
sangat dibutuhkan oleh guru gaptek agar tetap eksis sepanjang zaman sehingga
tidak menemui kendala berarti dalam menyiapkan masa depan anak didik.
Setelah
terbuka dengan kesejatiannya sebagai guru, selanjutnya guru gaptek diajak melakukan
langkah praktis (keempat). Bagaimana mengajak mereka belajar dengan nyata.
Misalnya, sekolah menyelenggarakan pelatihan-pelatihan pembelajaran berbasis IT
dengan mandiri. Dalam pelaksanaannya, sekolah dapat mengundang narasumber yang
kompeten di bidangnya atau cukup memanfaatkan guru intern yang menguasai IT.
Sekolah dapat mengatur frekuensi dan waktu pelatihan sesuai dengan kebutuhan
sekolah. Karena setiap sekolah tentu sudah memiliki analisis atau grafik
kemampuan IT tenaga pendidiknya.
Bukan
hanya di sekolah, pelatihan pembelajaran berbasis IT perlu direspon di tingkat
lebih tinggi misalnya di intern MGMP kabupaten/ kota. Jangan sampai MGMP hanya
menggelar kegiatan berkaitan dengan perangkat pembelajaran saja. Cobalah
mungkin tingkatkan intensitas pertemuan dengan menggelar pelatihan-pelatihan
pembelajaran kreatif berbasis IT.
Lebih
tinggi lagi, misalnya di tingkat dinas pendidikan (kabupaten/ provinsi).
Lembaga ini tentu sangat bertanggung jawab dalam “membasmi” guru gaptek di
wilayahnya. Semestinya dinas pendidikan sudah memiliki program dan agenda yang
jelas untuk meningkatkan kemampuan IT para guru gaptek.
Kelima,
hasil pelatihan harus direspon terutama oleh guru sendiri, pihak sekolah dan
pemerintah. Guru gaptek harus mengadakan fasilitas IT secara mandiri dengan
gaji sendiri. Jika memungkinkan disubsidi oleh pihak sekolah atau pemerintah.
Kepemilikan fasilitas ini penting sebagai modal untuk latihan-latihan mandiri
oleh guru gaptek di rumah. Selanjutnya, sekolah harus menyediakan fasilitas IT
yang siap dijadikan media untuk mengembangkan kemampuan IT guru gaptek.
Jika
guru gaptek sudah memahami kesejatiannya, rajin mengikuti pelatihan, dan
membiasakan diri berlatih secara kontinyu sangat mungkin cerita guru gaptek
akan tamat riwayatnya. Dari guru gaptek, kita sepatutnya bisa belajar agar tidak
menjadi guru gaptek sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar