Siswa Korban Erupsi Gunung Agung di SMP Cipta Dharma
Beda Kurikulum, Siswa Jadi Canggung
Wakil Kepsek SMP Cipta Dharma diapit siswa korban erupsi Gunung Agung. Dari kiri: Budi, Adit, Rai Yasa, Intan, Putri |
Semenjak
Gunung Agung ditetapkan ke dalam level waspada bulan September lalu, Dinas
Pendidikan Provinsi Bali langsung mengeluarkan kebijakan agar semua sekolah
(dengan radius terdekat) di Bali menerima siswa korban erupsi tanpa syarat.
Himbauan ini langsung mendapat respon dari SMP Cipta Dharma. Hingga kini, tercatat
10 siswa korban erupsi (dari posko Banjar Perumahan Chandra Asri dan Posko
Kesambi) diterima di SMP Cipta Dharma. Uniknya, hampir semua pelajar ini canggung
bersekolah di SMP Cipta Dharma karena perbedaan kurikulum.
Menurut
A.A. Ngurah Gede Puja Utama (Ketua Posko Banjar Perumahan Asri), kecanggungannya
siswa pengungsi disebabkan oleh dua faktor yaitu lingkungan baru dan kurikulum
baru. Jadi, kecanggungan siswa menjadi ganda. Di samping minder karena
lingkungan baru, juga dipicu oleh perbedaan kurikulum. “Makanya, kami sangat
hati-hati membujuk mereka agar mau bersekolah di sini. Kami memerlukan waktu
seminggu lebih sebelum mereka memutuskan mau bersekolah di sini,” ujarnya
dengan serius.
Hal
berbeda dikemukakan oleh Dra. Ni Luh Susilawati, M.Pd. Menurutnya, perbedaan
dua budaya (desa dan kota) juga menjadi faktor lain sebagai pemicu. Ia
menjelaskan bahwa siswa di desa memiliki mental rata-rata pemalu dan canggung.
Oleh karena itu, mereka harus terus dimotivasi agar cepat beradaptasi dengan
lingkungan baru. “Lupakan faktor-faktor penghambat itu. Tanggung jawab kita
ialah menyelamatkan pendidikan mereka di tengah goncangan psikologis akibat
dilanda bencana,” terang Kepala SMP Cipta Dharma ini dengan nada optimis.
Lebih
lanjut, ia menjelaskan bahwa sekolah “sementara” tugasnya menjaga semangat
belajar si anak. Kalau hanya tinggal di pengungsian berbahaya bagi si anak.
Takutnya, mereka kehilangan motivasi untuk belajar. “Menjaga motivasi belajar
jauh lebih penting dibandingkan membenturkan mereka dengan alasan perbedaan
kurikulum,” imbuhnya.
Senada
dengan hal ini, Ketut Serawan S.Pd (Waka Humas SMP Cipta Dharma) mengatakan bahwa
idealnya kurikulum dalam satu provinsi sebaiknya sama. Jika kenyataan berbeda
seperti sekarang, kita cukup prihatin. Namun demikian, kita harus memaklumi
keadaan ini karena dalam situasi darurat. “Cuma kasihan. Secara tak sengaja,
perbedaan kurikulum menambah beban mental si anak,” paparnya.
Bercermin
dari kasus ini, Serawan menyarankan agar ke depan pemerintah daerah (Bali) introspeksi
diri dalam memutuskan sebuah kurikulum. Para pejabat dinas sebaiknya
bermusyawarah secara matang demi keputusan yang bermanfaat bagi semua pihak.
Hal
serupa juga dikemukan oleh Susi. Ia mengakui bahwa tumben sekarang ada kurikulum berbeda-beda dalam satu
provinsi, yang membawa dampak keruwetan. Ke depan, ia berharap kasus perbedaan
kurikulum ini tidak terulang lagi. “Kita tidak ingin ada perang politik tentang
pendidikan di tingkat atas, yang justru merugikan siswa,” paparnya. (Gung Is)
0 komentar:
Posting Komentar