“Metamorfosis” Moda Transportasi Laut Nusa Penida: Dari Perahu Meolah, Bermesin hingga Fast Boat
Oleh
I Ketut Serawan
Celebrity, perahu
bermotor (jukung) khusus Penumpang. Foto:
objekwisatanusapenida.blogspot.com
Apa jadinya jika Nusa Penida
(NP) tanpa moda transportasi laut? Wah, bisa jadi masyarakat NP menjadi statis.
Kalau toh berkembang, tentu gerakannya lamban. Sebagai wilayah kepulauan, NP
memang sangat tergantung dengan transportasi laut. Lewat moda transportasi
inilah, masyarakat NP dapat menjalin kontak (hubungan) dengan dunia luar, menuju
masyarakat yang dinamis dan modern. Karena itu, keberadaan moda transportasi
laut ini sudah ada sejak dahulu kala dan terus mengalami “metamorfosis”—dari
perahu meolah (tanpa mesin), perahu
bermotor (mesin tempel) hingga fast boat
modern seperti sekarang.
Era
moda transportasi laut perahu meolah
(didayung) adalah generasi ketika ayah saya masih remaja ke bawah (tahun 1970-an).
Ia menuturkan bahwa perahu zaman itu ukurannya lebih kecil. Kapasitas penumpang
berkisar 40-50 penumpang. Bahan dasarnya terbuat dari kayu, berisikan 3 awak
perahu, 2 tukang dayung (meolah) dan
1 lagi mengendalikan pancer (mengarahkan
laju perahu) dan sekaligus tali bidak (layar). Mereka adalah awak yang kuat, perkasa dan ahli atau handal
memahami kondisi air laut (istilah di kampung saya “manda yeh pasih”).
Karena
itu, tidak setiap hari ada penyeberangan. Aktivitas penyeberangan sangat
tergantung dengan kondisi air laut (cuaca). Meskipun demikian, tetap saja zaman
meolah riskan dengan musibah “kampih”
(terdampar). Pernah suatu hari, ayah saya menyeberang dari Kusamba sekitar
pukul 13.00 menuju Nusa Gede. Karena terjadi transisi air laut (dari pasang ke
surut), kondisi arus menjadi sangat kuat. Perahu yang ditumpangi oleh ayah saya
terdampar ke Nusa Lembongan. Sambil menunggu kondisi air membaik, ia baru
menyeberang ke Nusa Gede dan tiba sekitar pukul 01.00 dini hari. Padahal,
perjalanan normal (waktu itu) dari NP ke Kusamba kurang lebih 5-6 jam.
Model
perahu (jukung) meolah merupakan
penyempurnaan dari jukung-jukung sebelumnya. Dalam penelitiannya yang berjudul Penjara di Tengah Samudra, Studi tentang
Nusa Penida sebagai Pulau Buangan, Sidemen (1984) pernah menyinggung tentang transportasi laut NP zaman
dulu (kerajaan). Ia memaparkan bahwa transportasi untuk
menyeberang dari NP ke Kusamba berupa jukung kecil (2-3 awak) dengan “jerupi” (dinding
tambahan pada bibir jukung agar terhindar dari semburan air) yang dibuat dari
daun kelapa dianyam dengan menggunakan layar dari bahan kaping. Jarak antara NP
dengan pelabuhan kerajaan Klungkung (dari bandar Mentigi ke Kusamba), lebih kurang
18 km.
Moda
transportasi perahu meolah tentu menyebabkan kontak (perdagangan,
budaya, dsb) dengan dunia luar (Bali daratan) menjadi sangat terbatas. Situasi
ini menyebabkan dunia transportasi laut NP terus mengevaluasi dan
menyempurnakan diri. Di penghujung tahun 1970-an, dunia transportasi laut NP mulai
mengenal dan menggunakan mesin tempel pada perahu mereka. Dunia transportasi
laut NP mengenal mesin tempel tersebut, setelah ditemukan kurang lebih satu
abad (sebelumnya) oleh Sir Dugald Clerk (1881). Mesin 2-Tak ciptaannya ini semula
terbatas pada mesin gergaji dan mesin tempel perahu (https://www.motorplus-online.com/).
Dibandingkan mesin 4-Tak, mesin 2-Tak punya ciri
khas bersuara lebih berisik dan mengeluarkan asap karena pembakaran oli
samping.
Saya
termasuk generasi tahun 1980-an. Generasi dengan moda transportasi perahu
(jukung) bermotor. Saya menjejakkan kaki pertama kali di Bali daratan tahun
1994, melalui pelabuhan tradisional di Kusamba. Waktu itu, perahu sudah
bermesin dua. Awalnya, perahu bermesin satu (dengan PK yang relatif lebih kecil).
Perahu
yang saya kenal tidak lagi seperti murni tubuh jukung, tetapi desainnya mirip
sampan. Hanya saja, bodinya tetap menggunakan 4-6 cadik (seperti kaki kepiting) dan 2 kantih (terbuat dari bambu besar, panjang, berfungsi sebagai penyeimbang,
penopang bodi perahu). Faktor inilah yang menyebabkan perahu dapat mengangkut
muatan hingga mencapai ton-an. Selain itu, daya tempuh menjadi lebih singkat.
Dari NP ke Kusamba, dapat ditempuh kurang lebih 50-60 menit. Sedangkan, dari NP
ke Sanur menghabiskan waktu kurang lebih 2,5-3 jam.
Era
perahu bermotor, trip penyeberangan (hampir semua) hanya sekali dalam sehari.
Pagi (sekitar pukul 08.00) berangkat dari NP. Sore harinya (sekitar pukul
14.00-15.00), balik menuju NP. Meskipun tergolong cukup modern (bermesin),
layanan era perahu bermotor tetap dirasakan kurang maksimal.
Servis Era Perahu Bermotor
Ada
beberapa kekurangan penggunakan jasa perahu (jukung) bermotor. Pertama, segi keamanan
dirasakan kurang maksimal. Hal ini paling dirasakan terutama oleh penumpang
yang berlabuh di Kusamba (Klungkung)—di Sanur relatif lebih aman. Detik-detik
berlabuh dan bongkar muat barang menjadi ancaman. Pasalnya, ombak di sepanjang
Pantai Kusamba besar dan ganas. Di tambah lagi, para kru penarik tali jukung (untuk
berlabuh) yang agak lambat di Klungkung daratan. Persoalan ini sering
dikeluhkan oleh hampir seluruh penumpang asal NP.
Detik-detik
turun di pasir Kusamba adalah momen yang cukup mengerikan. Karena itu,
dibutuhkan kehatian-hatian dan arahan dari awak perahu. Salah sedikit, maka
ombak dapat menggulung tubuh penumpang. Ini pernah dialami oleh teman saya
ketika saya SMA di Klungkung daratan. Beruntung, Tuhan masih memanjangkan
umurnya. Setelah beberapa detik tenggelam, dia dapat diselamatkan oleh awak
perahu.
Naik
perahu bermotor paling tidak nyaman ketika musim cuaca kurang baik (misalnya
angin kencang, arus kuat, gelombang tinggi). Biasanya bulan Juli-Agustus. Risikonya,
penumpang basah kuyup dihantam air laut, hanyut, “ngambang tai” (perahu
dipenuhi air laut tapi tidak tenggalam ke dasar laut), bahkan tenggelam.
Saya
teringat tahun 1997 (saya kelas 2 SMU di Semarapura), ketika ayah saya harus
kembali ke kost sekitar pukul 19.00
(petang). Ia hendak balik ke NP sekitar pukul 14.30, lewat Kusamba. Nasib sial
menimpa ayah saya. Ketika perahu siap-siap berangkat, hujan turun dengan lebat.
Namun, bendega (awak jukung) tetap
nekat menyeberang. Tanpa dilengkapi IT pelayaran, mereka akhirnya terdampar di
Pantai Lebih, Gianyar—setelah kurang lebih 3 jam terombang-ambing di laut.
Beruntung, bahan bakar masih tersisa. Akhirnya, bendega kembali mengarahkan perahu ke timur, menuju Kusamba, dengan
menyisir pinggir pantai. Dan saya kaget ketika ayah saya balik ke kost dalam kondisi basah kuyup.
Beberapa
tahun kemudian, sekitar tahun 2001 (saya mahasiswa semester 7 di STKIP
Singaraja), giliran saya tertimpa musibah. Saya hendak pulang kampung karena
momen Galungan, dengan naik perahu di Kusamba. Cuaca hari itu memang kurang
bersahabat. Dari naik hingga hendak berangkat, ombak besar di Pantai Kusamba
terus menghantam perahu yang saya tumpangi.
Begitu
tali manggar dilepas, perahu berjalan
hanya beberapa meter. Tiba-tiba kedua mesinnya mati. Awak perahu bekerja keras
menghidupkan mesin, namun tak membuahkan hasil. Dalam sekejap, perahu diseret
ke pinggir pantai dan berada pada posisi ngandang
(moncong perahu tidak menghadap ke laut). Posisi yang sangat berbahaya, karena
memudahkan ombak menggulung perahu.
Seluruh
penumpang, yang jumlahnya tidak banyak (sekitar 30 orang) menjerit panik. Dalam
situasi kalut, saya dan beberapa penumpang langsung melompat ke pasir menunggu
momen pecahan ombak bergerak kembali ke laut. Astungkara, kami selamat semua dan tetap nekat menyeberang lagi
ketika kami dijemput oleh perahu yang lain.
Kedua,
masalah disiplin waktu. Umumnya, waktu pemberangkatan perahu sering molor—meskipun
sudah memiliki jadwal pemberangkatan baku. Perahu harus mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya.
Karena keberadaan jumlah perahu sangat terbatas (minim persaingan). Dalam
konteks inilah tidak berlaku prinsip bahwa penumpang adalah raja. Sebaliknya, awak
perahu adalah raja.
Ketiga,
etika pelayanan masih kurang baik. Tak jarang, penumpang “didamprat” oleh awak perahu
ketika berperilaku tidak sesuai keinginan mereka. Keluhan ini paling umum dialami oleh penumpang tujuan NP ke Sanur.
Sekali lagi, mungkin berkaitan dengan awak perahu adalah raja.
Keempat,
ongkos naik-turun barang di luar tanggung jawab perusahaan perahu. Naik-turun
barang penumpang diangkut oleh tukang suun/
tegen (tukang angkut). Penumpang
harus membayar lagi ongkos kepada tukang angkut. Rata-rata Rp 5.000 per sekali
angkut. Di Sanur lebih mahal lagi yaitu berkisar Rp 5.000-Rp10.000. Tidak ada
standar harga. Intinya, harga diciptakan dan dikendalikan sewaktu-waktu sesuai
selera tukang angkut.
Kelima,
kurang nyaman dan higienis. Perahu bermotor umumnya bukan transportasi murni
untuk penumpang, tetapi sejatinya untuk mengangkut barang. Karena itu, sudah
biasa jika penumpang berbaur dan menyatu dengan bahan bangunan, sembako, dan
termasuk hewan ternak. Penumpang terbiasa berbaur dengan ayam, bebek, dan
lain-lainnya. Sambil menikmati desir angin laut, sesekali menikmati aroma hewan
yang tak sedap.
Setidaknya,
hingga tahun 2017, moda transportasi perahu bermotor mengalami kedigjayaan.
Bahkan, ada perahu bermotor khusus untuk mengangkut penumpang saja, menggunakan
mesin lebih dari 3, yang PK per mesinnya mencapai ratusan, sehingga daya tempuh
NP-Klungkung hanya berkisar 30 menit. Namun, esensi servisnya tetap dianggap tradisional
dan kurang memuaskan.
Memasuki
tahun 2018, bisnis perahu bermotor (jukung) runtuh—semenjak menjamurnya moda
transportasi fast boat (speed boat). Perahu bermotor (jukung) tak ubahnya
seperti barang rongsokan. Sementara, grafik keberadaan fast boat (FB) melonjak
tajam. Kasi Perkapalan Bidang Pelayaran Dinas Perhubungan (Dishub)
Klungkung, Komang Sudirta, menyebutkan bahwa tahun 2004 jumlah FB
(NP-Klungkung) semula hanya 2 unit. Namun, per tahun 2018 jumlah boat
penyeberangan Klungkung daratan-NP tercatat sebanyak 10 boat. Sedangkan, penyeberangan
Sanur (Denpasar-NP) mencapai 28 boat (www.nusabali.com).
Keberadaan FB yang sedemikian banyak itu, membuat bisnis moda transportasi
laut menjadi sangat kompetitif. Masing-masing perusahaan FB berlomba-lomba
memberikan pelayanan optimal kepada penumpang. Mereka (para pengusaha FB)
menyadari bahwa penumpang adalah raja. Untuk menjunjung prinsip ini, para
perusahaan FB memberikan servis nyata kepada penumpang.
Pertama, efisiensi waktu. Dengan desain bodi yang modern, bahan
fiber, bermesin otomatis minimal 4 (PK per mesin di atas 200) menyebabkan
kecepatannya dua kali lipat lebih dibandingkan dengan perahu bermotor (jukung).
NP-Kusamba hanya ditempuh dalam waktu 18-20 menit, sedangkan NP-Sanur kurang
lebih 40 menit.
Kedua, trip lebih banyak. Rata-rata perusahaan FB menyediakan 3
kali trip dalam sehari sehingga penumpang bisa memilih waktu perjalanan sesuai
dengan yang dijadwalkan (bisa pagi, siang, sore). Para penumpang tidak perlu
khawatir, karena perusahaan FB konsisten dengan jadwal pemberangkatan. Ada atau
tidak penumpang, FB tetap jalan (konsisten) sesuai jadwal.
Ketiga, lebih aman dan nyaman. FB dirancang khusus untuk
penumpang. Minim percaloan. Bersih. Staf dan awak FB yang ramah (bahkan ada
perusahaan yang memberikan minum gratis kepada calon penumpang). Berisi
penumpang maksimal sesuai kapasitas dan jaket pelampung. Selain itu, kapten FB
dilengkapi dengan IT pelayaran. Kemudian, berlabuh (nyender) menggunakan
fasilitas jembatan ponton (kecuali di Sanur). Pun barang bawaan penumpang semua
menjadi tanggung jawab perusahaan FB. Perusahaan FB memiliki tukang angkut
tersendiri.
Keempat, pemesanan tiket bisa melalui manual atau online. Calon
penumpang bisa memesan tiket langsung di loket tiket. Bisa juga memesan lewat
telepon (HP), melalui layanan WA, messenger, dan aplikasi khusus ticketing lainnya—untuk menghindari
waktu antrian yang lama.
Dengan beberapa kelebihannya itu, moda FB menjadi tren dan idola
di kalangan para penumpang baik penumpang biasa dan termasuk dari kalangan para
wisatawan (asing/ domestik). Bahkan, kapal Roro Nusa Jaya Abadi yang beroperasi
sejak tahun 2007 kurang diminati oleh masyrakat NP. Di samping lambat, rawan
percaloan, juga membosankan ketika berlabuh di Padang Bay. Bayangkan, kapal
yang konon merugi setiap tahun ini bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam hanya
untuk bersender, karena status pelabuhan adalah pinjaman.
Karena itu, FB menjadi satu-satunya transportasi laut yang diburu oleh masyarakat dewasa ini. Filosofi penumpang sebagai raja, menyebabkan FB mengalami kejayaan. Bahkan, FB termasuk transportasi paket tour half/ one day trip ketika kunjungan membludak ke NP (sebelum pandemi covid-19). Artinya, layanan perusahaan FB dianggap lebih memuaskan dibandingkan dengan moda transportasi sebelumnya, sehingga (sekarang) wajar beberapa titik pelabuhan di NP dikuasai oleh transportasi FB.
0 komentar:
Posting Komentar