Kamis, 20 Mei 2021

 “Metamorfosis” Moda Transportasi Laut Nusa Penida: Dari Perahu Meolah, Bermesin hingga Fast Boat

Oleh

I Ketut Serawan

Celebrity, perahu bermotor (jukung) khusus Penumpang. Foto: objekwisatanusapenida.blogspot.com

Apa jadinya jika Nusa Penida (NP) tanpa moda transportasi laut? Wah, bisa jadi masyarakat NP menjadi statis. Kalau toh berkembang, tentu gerakannya lamban. Sebagai wilayah kepulauan, NP memang sangat tergantung dengan transportasi laut. Lewat moda transportasi inilah, masyarakat NP dapat menjalin kontak (hubungan) dengan dunia luar, menuju masyarakat yang dinamis dan modern. Karena itu, keberadaan moda transportasi laut ini sudah ada sejak dahulu kala dan terus mengalami “metamorfosis”—dari perahu meolah (tanpa mesin), perahu bermotor (mesin tempel) hingga fast boat modern seperti sekarang.

Era moda transportasi laut perahu meolah (didayung) adalah generasi ketika ayah saya masih remaja ke bawah (tahun 1970-an). Ia menuturkan bahwa perahu zaman itu ukurannya lebih kecil. Kapasitas penumpang berkisar 40-50 penumpang. Bahan dasarnya terbuat dari kayu, berisikan 3 awak perahu, 2 tukang dayung (meolah) dan 1 lagi mengendalikan pancer (mengarahkan laju perahu) dan sekaligus tali bidak (layar). Mereka adalah awak yang kuat, perkasa dan ahli atau handal memahami kondisi air laut (istilah di kampung saya “manda yeh pasih”).

Karena itu, tidak setiap hari ada penyeberangan. Aktivitas penyeberangan sangat tergantung dengan kondisi air laut (cuaca). Meskipun demikian, tetap saja zaman meolah riskan dengan musibah “kampih” (terdampar). Pernah suatu hari, ayah saya menyeberang dari Kusamba sekitar pukul 13.00 menuju Nusa Gede. Karena terjadi transisi air laut (dari pasang ke surut), kondisi arus menjadi sangat kuat. Perahu yang ditumpangi oleh ayah saya terdampar ke Nusa Lembongan. Sambil menunggu kondisi air membaik, ia baru menyeberang ke Nusa Gede dan tiba sekitar pukul 01.00 dini hari. Padahal, perjalanan normal (waktu itu) dari NP ke Kusamba kurang lebih 5-6 jam.

Model perahu (jukung) meolah merupakan penyempurnaan dari jukung-jukung sebelumnya. Dalam penelitiannya yang berjudul Penjara di Tengah Samudra, Studi tentang Nusa Penida sebagai Pulau Buangan, Sidemen (1984) pernah menyinggung tentang transportasi laut NP zaman dulu (kerajaan). Ia memaparkan bahwa transportasi untuk menyeberang dari NP ke Kusamba berupa jukung kecil (2-3 awak) dengan “jerupi” (dinding tambahan pada bibir jukung agar terhindar dari semburan air) yang dibuat dari daun kelapa dianyam dengan menggunakan layar dari bahan kaping. Jarak antara NP dengan pelabuhan kerajaan Klungkung (dari bandar Mentigi ke Kusamba), lebih kurang 18 km.

Moda transportasi perahu meolah tentu menyebabkan kontak (perdagangan, budaya, dsb) dengan dunia luar (Bali daratan) menjadi sangat terbatas. Situasi ini menyebabkan dunia transportasi laut NP terus mengevaluasi dan menyempurnakan diri. Di penghujung tahun 1970-an, dunia transportasi laut NP mulai mengenal dan menggunakan mesin tempel pada perahu mereka. Dunia transportasi laut NP mengenal mesin tempel tersebut, setelah ditemukan kurang lebih satu abad (sebelumnya) oleh Sir Dugald Clerk (1881). Mesin 2-Tak ciptaannya ini semula terbatas pada mesin gergaji dan mesin tempel perahu (https://www.motorplus-online.com/). Dibandingkan mesin 4-Tak, mesin 2-Tak punya ciri khas bersuara lebih berisik dan mengeluarkan asap karena pembakaran oli samping.

Saya termasuk generasi tahun 1980-an. Generasi dengan moda transportasi perahu (jukung) bermotor. Saya menjejakkan kaki pertama kali di Bali daratan tahun 1994, melalui pelabuhan tradisional di Kusamba. Waktu itu, perahu sudah bermesin dua. Awalnya, perahu bermesin satu (dengan PK yang relatif lebih kecil).

Perahu yang saya kenal tidak lagi seperti murni tubuh jukung, tetapi desainnya mirip sampan. Hanya saja, bodinya tetap menggunakan 4-6 cadik (seperti kaki kepiting) dan 2 kantih (terbuat dari bambu besar, panjang, berfungsi sebagai penyeimbang, penopang bodi perahu). Faktor inilah yang menyebabkan perahu dapat mengangkut muatan hingga mencapai ton-an. Selain itu, daya tempuh menjadi lebih singkat. Dari NP ke Kusamba, dapat ditempuh kurang lebih 50-60 menit. Sedangkan, dari NP ke Sanur menghabiskan waktu kurang lebih 2,5-3 jam.

Era perahu bermotor, trip penyeberangan (hampir semua) hanya sekali dalam sehari. Pagi (sekitar pukul 08.00) berangkat dari NP. Sore harinya (sekitar pukul 14.00-15.00), balik menuju NP. Meskipun tergolong cukup modern (bermesin), layanan era perahu bermotor tetap dirasakan kurang maksimal.

Servis Era Perahu Bermotor

Ada beberapa kekurangan penggunakan jasa perahu (jukung) bermotor. Pertama, segi keamanan dirasakan kurang maksimal. Hal ini paling dirasakan terutama oleh penumpang yang berlabuh di Kusamba (Klungkung)—di Sanur relatif lebih aman. Detik-detik berlabuh dan bongkar muat barang menjadi ancaman. Pasalnya, ombak di sepanjang Pantai Kusamba besar dan ganas. Di tambah lagi, para kru penarik tali jukung (untuk berlabuh) yang agak lambat di Klungkung daratan. Persoalan ini sering dikeluhkan oleh hampir seluruh penumpang asal NP.

Detik-detik turun di pasir Kusamba adalah momen yang cukup mengerikan. Karena itu, dibutuhkan kehatian-hatian dan arahan dari awak perahu. Salah sedikit, maka ombak dapat menggulung tubuh penumpang. Ini pernah dialami oleh teman saya ketika saya SMA di Klungkung daratan. Beruntung, Tuhan masih memanjangkan umurnya. Setelah beberapa detik tenggelam, dia dapat diselamatkan oleh awak perahu.

Naik perahu bermotor paling tidak nyaman ketika musim cuaca kurang baik (misalnya angin kencang, arus kuat, gelombang tinggi). Biasanya bulan Juli-Agustus. Risikonya, penumpang basah kuyup dihantam air laut, hanyut, “ngambang tai” (perahu dipenuhi air laut tapi tidak tenggalam ke dasar laut), bahkan tenggelam.

Saya teringat tahun 1997 (saya kelas 2 SMU di Semarapura), ketika ayah saya harus kembali ke kost sekitar pukul 19.00 (petang). Ia hendak balik ke NP sekitar pukul 14.30, lewat Kusamba. Nasib sial menimpa ayah saya. Ketika perahu siap-siap berangkat, hujan turun dengan lebat. Namun, bendega (awak jukung) tetap nekat menyeberang. Tanpa dilengkapi IT pelayaran, mereka akhirnya terdampar di Pantai Lebih, Gianyar—setelah kurang lebih 3 jam terombang-ambing di laut. Beruntung, bahan bakar masih tersisa. Akhirnya, bendega kembali mengarahkan perahu ke timur, menuju Kusamba, dengan menyisir pinggir pantai. Dan saya kaget ketika ayah saya balik ke kost dalam kondisi basah kuyup.

Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2001 (saya mahasiswa semester 7 di STKIP Singaraja), giliran saya tertimpa musibah. Saya hendak pulang kampung karena momen Galungan, dengan naik perahu di Kusamba. Cuaca hari itu memang kurang bersahabat. Dari naik hingga hendak berangkat, ombak besar di Pantai Kusamba terus menghantam perahu yang saya tumpangi.

Begitu tali manggar dilepas, perahu berjalan hanya beberapa meter. Tiba-tiba kedua mesinnya mati. Awak perahu bekerja keras menghidupkan mesin, namun tak membuahkan hasil. Dalam sekejap, perahu diseret ke pinggir pantai dan berada pada posisi ngandang (moncong perahu tidak menghadap ke laut). Posisi yang sangat berbahaya, karena memudahkan ombak menggulung perahu.

Seluruh penumpang, yang jumlahnya tidak banyak (sekitar 30 orang) menjerit panik. Dalam situasi kalut, saya dan beberapa penumpang langsung melompat ke pasir menunggu momen pecahan ombak bergerak kembali ke laut. Astungkara, kami selamat semua dan tetap nekat menyeberang lagi ketika kami dijemput oleh perahu yang lain.

Kedua, masalah disiplin waktu. Umumnya, waktu pemberangkatan perahu sering molor—meskipun sudah memiliki jadwal pemberangkatan baku. Perahu harus mengangkut penumpang sebanyak-banyaknya. Karena keberadaan jumlah perahu sangat terbatas (minim persaingan). Dalam konteks inilah tidak berlaku prinsip bahwa penumpang adalah raja. Sebaliknya, awak perahu adalah raja.

Ketiga, etika pelayanan masih kurang baik. Tak jarang, penumpang “didamprat” oleh awak perahu ketika berperilaku tidak sesuai keinginan mereka. Keluhan ini paling umum  dialami oleh penumpang tujuan NP ke Sanur. Sekali lagi, mungkin berkaitan dengan awak perahu adalah raja.

Keempat, ongkos naik-turun barang di luar tanggung jawab perusahaan perahu. Naik-turun barang penumpang diangkut oleh tukang suun/ tegen (tukang angkut). Penumpang harus membayar lagi ongkos kepada tukang angkut. Rata-rata Rp 5.000 per sekali angkut. Di Sanur lebih mahal lagi yaitu berkisar Rp 5.000-Rp10.000. Tidak ada standar harga. Intinya, harga diciptakan dan dikendalikan sewaktu-waktu sesuai selera tukang angkut.

Kelima, kurang nyaman dan higienis. Perahu bermotor umumnya bukan transportasi murni untuk penumpang, tetapi sejatinya untuk mengangkut barang. Karena itu, sudah biasa jika penumpang berbaur dan menyatu dengan bahan bangunan, sembako, dan termasuk hewan ternak. Penumpang terbiasa berbaur dengan ayam, bebek, dan lain-lainnya. Sambil menikmati desir angin laut, sesekali menikmati aroma hewan yang tak sedap.

Setidaknya, hingga tahun 2017, moda transportasi perahu bermotor mengalami kedigjayaan. Bahkan, ada perahu bermotor khusus untuk mengangkut penumpang saja, menggunakan mesin lebih dari 3, yang PK per mesinnya mencapai ratusan, sehingga daya tempuh NP-Klungkung hanya berkisar 30 menit. Namun, esensi servisnya tetap dianggap tradisional dan kurang memuaskan.

Memasuki tahun 2018, bisnis perahu bermotor (jukung) runtuh—semenjak menjamurnya moda transportasi fast boat (speed boat). Perahu bermotor (jukung) tak ubahnya seperti barang rongsokan. Sementara, grafik keberadaan fast boat (FB) melonjak tajam. Kasi Perkapalan Bidang Pelayaran Dinas Perhubungan (Dishub) Klungkung, Komang Sudirta, menyebutkan bahwa tahun 2004 jumlah FB (NP-Klungkung) semula hanya 2 unit. Namun, per tahun 2018 jumlah boat penyeberangan Klungkung daratan-NP tercatat sebanyak 10 boat. Sedangkan, penyeberangan Sanur (Denpasar-NP) mencapai 28 boat (www.nusabali.com).

Keberadaan FB yang sedemikian banyak itu, membuat bisnis moda transportasi laut menjadi sangat kompetitif. Masing-masing perusahaan FB berlomba-lomba memberikan pelayanan optimal kepada penumpang. Mereka (para pengusaha FB) menyadari bahwa penumpang adalah raja. Untuk menjunjung prinsip ini, para perusahaan FB memberikan servis nyata kepada penumpang.

Pertama, efisiensi waktu. Dengan desain bodi yang modern, bahan fiber, bermesin otomatis minimal 4 (PK per mesin di atas 200) menyebabkan kecepatannya dua kali lipat lebih dibandingkan dengan perahu bermotor (jukung). NP-Kusamba hanya ditempuh dalam waktu 18-20 menit, sedangkan NP-Sanur kurang lebih 40 menit.

Kedua, trip lebih banyak. Rata-rata perusahaan FB menyediakan 3 kali trip dalam sehari sehingga penumpang bisa memilih waktu perjalanan sesuai dengan yang dijadwalkan (bisa pagi, siang, sore). Para penumpang tidak perlu khawatir, karena perusahaan FB konsisten dengan jadwal pemberangkatan. Ada atau tidak penumpang, FB tetap jalan (konsisten) sesuai jadwal.

Ketiga, lebih aman dan nyaman. FB dirancang khusus untuk penumpang. Minim percaloan. Bersih. Staf dan awak FB yang ramah (bahkan ada perusahaan yang memberikan minum gratis kepada calon penumpang). Berisi penumpang maksimal sesuai kapasitas dan jaket pelampung. Selain itu, kapten FB dilengkapi dengan IT pelayaran. Kemudian, berlabuh (nyender) menggunakan fasilitas jembatan ponton (kecuali di Sanur). Pun barang bawaan penumpang semua menjadi tanggung jawab perusahaan FB. Perusahaan FB memiliki tukang angkut tersendiri.

Keempat, pemesanan tiket bisa melalui manual atau online. Calon penumpang bisa memesan tiket langsung di loket tiket. Bisa juga memesan lewat telepon (HP), melalui layanan WA, messenger, dan aplikasi khusus ticketing lainnya—untuk menghindari waktu antrian yang lama.

Dengan beberapa kelebihannya itu, moda FB menjadi tren dan idola di kalangan para penumpang baik penumpang biasa dan termasuk dari kalangan para wisatawan (asing/ domestik). Bahkan, kapal Roro Nusa Jaya Abadi yang beroperasi sejak tahun 2007 kurang diminati oleh masyrakat NP. Di samping lambat, rawan percaloan, juga membosankan ketika berlabuh di Padang Bay. Bayangkan, kapal yang konon merugi setiap tahun ini bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam hanya untuk bersender, karena status pelabuhan adalah pinjaman.

Karena itu, FB menjadi satu-satunya transportasi laut yang diburu oleh masyarakat dewasa ini. Filosofi penumpang sebagai raja, menyebabkan FB mengalami kejayaan. Bahkan, FB termasuk transportasi paket tour half/ one day trip ketika kunjungan membludak ke NP (sebelum pandemi covid-19). Artinya, layanan perusahaan FB dianggap lebih memuaskan dibandingkan dengan moda transportasi sebelumnya, sehingga (sekarang) wajar beberapa titik pelabuhan di NP dikuasai oleh transportasi FB.  

0 komentar:

Posting Komentar