Diskriminasi Siswa Berprestasi: Catatan Merah PPDB 2018
Judul : PPDB: Kekacauan Yang Tak Kunjung Henti
Penulis : Sintia
Arnita, dkk.
Penerbit : Madyapadma Journalistik Park SMAN
3 Denpasar
Halaman : 101 halaman
Edisi : I
Tahun terbit : 2018
Penerimaan
Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menuai polemik. Hampir setiap tahun (termasuk
tahun 2018), kisruh PPDB selalu marak dalam rekaman media massa. Tidak hanya
dalam media cetak, elektronik dan termasuk di dunia medsos. Kisruh tahunan ini menandakan bahwa sistem PPDB masih
dianggap kurang sempurna. Puncaknya ialah ketika lahir sistem zonasi 90% tahun 2018
yang lalu.
Jalur zonasi
90% ini tidak hanya mengundang protes dari masyarakat (ortu), sekolah, dan
termasuk dari kalangan pelajar. Pasalnya, pemerintah terlalu mengistimewakan
jalur zonasi, tetapi mendiskreditkan jalur lain, terutama jalur prestasi (hanya
5 persen). Kasus diskriminasi inilah yang menjadi fokus sorotan buku kompilasi
yang berjudul “PPDB: Kekacauan Yang Tak Kunjung Henti”. Buku yang ditulis oleh
14 penulis (14 artikel) asal SMAN 3 Denpasar (klub jurnalistik Madyapadma) ini
mengupas secara gamblang betapa kebijakan zonasi mematikan ruang gerak siswa
yang berprestasi. Kalau tidak segera dievaluasi, ke-14 penulis ini prihatin
bahwa minat dan semangat siswa untuk berprestasi menjadi tenggelam.
Pada
dasarnya, ada 4 turunan diskriminasi yang diulas dalam buku kompilasi ini. Namun,
empat diskriminasi ini bersumber pada satu kasus jalur prestasi. Pertama,
diskriminasi kuota. Dari 14 penulis sepakat menyimpulkan bahwa kuota jalur
prestasi yang 5% dipandang terlalu sedikit. Tidak sesuai dengan kenyataan
jumlah siswa yang berprestasi di wilayah Bali. Akibatnya, banyak siswa
berprestasi tidak mendapatkan kursi di sekolah favorit.
Kedua,
diskriminasi penyelenggaraan. Diskriminasi ini muncul karena tidak sembarang
prestasi diakui oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengakui piagam prestasi yang
diselenggarakan oleh pihak pemerintah. Sementara itu, prestasi dari lomba-lomba
yang diselenggarakan oleh pihak swasta, lembaga nonpemerintah, dan termasuk
sekolah tidak mendapat pengakuan dari pemerintah.
Ketiga,
diskriminasi penilaian bobot (skala prioritas). Pemerintah meranking nilai atau
bobot nilai prestasi berdasarkan tingkatan skala piagam. Pemerintah tidak
mengkalkulasikan bobot dan jumlah piagam yang diraih siswa. Siswa yang meraih
penghargaan tingkat internasional (walaupun hanya 1 piagam) akan menjadi unggul
dibandingkan dengan siswa peraih prestasi tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/
kota (meskipun banyak piagam).
Keempat,
tidak ada tes ulang. Jika tahun sebelumnya, jalur siswa berprestasi harus
melalui tes ulang untuk membuktikan atau mempertanggungkan penghargaan yang
diraihnya. Nah, tahun 2018 siswa tidak perlu dites ulang. Mereka secara
otomatis mendapat sekolah hanya bermodalkan piagam penghargaan yang diraihnya.
Sistem ini dianggap tidak adil karena kasus “piagam bodong” sering berembus di
masyarakat. Dengan relasi yang kuat, bisa saja siswa meraih piagam dari membeli
atau memalsukannya. Kalau tidak dites ulang, tentu akan merugikan siswa yang
berprestasi sungguhan.
Diskriminasi
jalur prestasi muncul sebagai bentuk ego pemerintah. Pemerintah dipandang
terlalu kukuh dengan sikapnya. Pihak pemerintah kurang realitis melihat kenyataan
di lapangan. Selain itu, polemik jalur prestasi ini juga disebabkan oleh minimnya
sosialisasi oleh pihak pemerintah ke lapangan. Banyak ortu dan siswa merasa
mendadak memperoleh informasi detail tentang kebijakan jalur prestasi ini
sehingga kewalahan dan kurang siap.
Berkaitan
dengan kasus diskriminasi jalur prestasi, hampir semua penulis buku ini
menyarankan agar kuota jalur prestasi ditingkatkan lagi. Bahkan, penulis I Putu
Abiananda Klapodhyana (dalam artikelnya “Antara PPDB 2017 vs 2018”) menginginkan
porsi yang seimbang antara jalur zonasi dengan jalur prestasi. Di samping itu,
rata-rata penulis menyarankan piagam penghargaan harus diakui sama baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun di luar pemerintah. Pun pembobotan nilai, sebaiknya dengan
sistem kalkulasi atau total jumlah bobot
atau nilai piagam. Terakhir, penulis sepakat harus ada tes ulang sebagai bentuk
pembuktian.
Jika
dicermati lebih dalam, ulasan artikel dalam buku ini kritis dan berimbang.
Artinya, masing-masing penulis memiliki daya kritis yang tidak jauh berbeda.
Ulasan-ulasan kritis ini juga diimbangi dengan fakta-fakta referensi yang
ilmiah. Sehingga, artikel-artikel ini menjadi rasional, ilmiah, dan layak dipercaya. Cara pandang penulisannya
juga sangat alami. Penulis memposisi diri sebagai siswa yang pro prestasi (karena
penulis siswa sekolah favorit) sehingga berseberangan dengan kebijakan
pemerintah.
Meskipun
ulasan sangat kritis, buku ini juga menyimpan beberapa kelemahan. Secara
keseluruhan, masih menggunakan beberapa kalimat yang kurang efektif. Pun
dijumpai pengorganisasi ide tulisan kurang runtut dan kurang hemat sehingga
agak susah dipahami. Kelemahan kecil lainnya ialah adanya beberapa kata salah
ketik.
Terlepas dari kekurangannya, buku ini sangat pantas dibaca oleh semua kalangan baik orangtua, pelajar dan terutama pemerintah. Karena buku ini merupakan representasi dan sekaligus kritik kontruktif terhadap kebijakan PPDB. Buku ini sangat bermanfaat sebagai pertimbangan untuk menghasilkan kebijakan PPDB (terutama jalur prestasi) yang lebih baik ke depan. (Adenia)
0 komentar:
Posting Komentar