Senin, 03 Mei 2021

 

Diskriminasi Siswa Berprestasi: Catatan Merah PPDB 2018


Judul            : PPDB: Kekacauan Yang Tak Kunjung Henti

Penulis                   : Sintia Arnita, dkk.

Penerbit       : Madyapadma Journalistik Park SMAN

                       3 Denpasar

Halaman       : 101 halaman

Edisi            : I

Tahun terbit  : 2018

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu menuai polemik. Hampir setiap tahun (termasuk tahun 2018), kisruh PPDB selalu marak dalam rekaman media massa. Tidak hanya dalam media cetak, elektronik dan termasuk di dunia medsos. Kisruh  tahunan ini menandakan bahwa sistem PPDB masih dianggap kurang sempurna. Puncaknya ialah ketika lahir sistem zonasi 90% tahun 2018 yang lalu.

Jalur zonasi 90% ini tidak hanya mengundang protes dari masyarakat (ortu), sekolah, dan termasuk dari kalangan pelajar. Pasalnya, pemerintah terlalu mengistimewakan jalur zonasi, tetapi mendiskreditkan jalur lain, terutama jalur prestasi (hanya 5 persen). Kasus diskriminasi inilah yang menjadi fokus sorotan buku kompilasi yang berjudul “PPDB: Kekacauan Yang Tak Kunjung Henti”. Buku yang ditulis oleh 14 penulis (14 artikel) asal SMAN 3 Denpasar (klub jurnalistik Madyapadma) ini mengupas secara gamblang betapa kebijakan zonasi mematikan ruang gerak siswa yang berprestasi. Kalau tidak segera dievaluasi, ke-14 penulis ini prihatin bahwa minat dan semangat siswa untuk berprestasi menjadi tenggelam.

Pada dasarnya, ada 4 turunan diskriminasi yang diulas dalam buku kompilasi ini. Namun, empat diskriminasi ini bersumber pada satu kasus jalur prestasi. Pertama, diskriminasi kuota. Dari 14 penulis sepakat menyimpulkan bahwa kuota jalur prestasi yang 5% dipandang terlalu sedikit. Tidak sesuai dengan kenyataan jumlah siswa yang berprestasi di wilayah Bali. Akibatnya, banyak siswa berprestasi tidak mendapatkan kursi di sekolah favorit.

Kedua, diskriminasi penyelenggaraan. Diskriminasi ini muncul karena tidak sembarang prestasi diakui oleh pemerintah. Pemerintah hanya mengakui piagam prestasi yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah. Sementara itu, prestasi dari lomba-lomba yang diselenggarakan oleh pihak swasta, lembaga nonpemerintah, dan termasuk sekolah tidak mendapat pengakuan dari pemerintah.

Ketiga, diskriminasi penilaian bobot (skala prioritas). Pemerintah meranking nilai atau bobot nilai prestasi berdasarkan tingkatan skala piagam. Pemerintah tidak mengkalkulasikan bobot dan jumlah piagam yang diraih siswa. Siswa yang meraih penghargaan tingkat internasional (walaupun hanya 1 piagam) akan menjadi unggul dibandingkan dengan siswa peraih prestasi tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota (meskipun banyak piagam).

Keempat, tidak ada tes ulang. Jika tahun sebelumnya, jalur siswa berprestasi harus melalui tes ulang untuk membuktikan atau mempertanggungkan penghargaan yang diraihnya. Nah, tahun 2018 siswa tidak perlu dites ulang. Mereka secara otomatis mendapat sekolah hanya bermodalkan piagam penghargaan yang diraihnya. Sistem ini dianggap tidak adil karena kasus “piagam bodong” sering berembus di masyarakat. Dengan relasi yang kuat, bisa saja siswa meraih piagam dari membeli atau memalsukannya. Kalau tidak dites ulang, tentu akan merugikan siswa yang berprestasi sungguhan.

Diskriminasi jalur prestasi muncul sebagai bentuk ego pemerintah. Pemerintah dipandang terlalu kukuh dengan sikapnya. Pihak pemerintah kurang realitis melihat kenyataan di lapangan. Selain itu, polemik jalur prestasi ini juga disebabkan oleh minimnya sosialisasi oleh pihak pemerintah ke lapangan. Banyak ortu dan siswa merasa mendadak memperoleh informasi detail tentang kebijakan jalur prestasi ini sehingga kewalahan dan kurang siap.

Berkaitan dengan kasus diskriminasi jalur prestasi, hampir semua penulis buku ini menyarankan agar kuota jalur prestasi ditingkatkan lagi. Bahkan, penulis I Putu Abiananda Klapodhyana (dalam artikelnya “Antara PPDB 2017 vs 2018”) menginginkan porsi yang seimbang antara jalur zonasi dengan jalur prestasi. Di samping itu, rata-rata penulis menyarankan piagam penghargaan harus diakui sama baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun di luar pemerintah. Pun pembobotan nilai, sebaiknya dengan sistem kalkulasi  atau total jumlah bobot atau nilai piagam. Terakhir, penulis sepakat harus ada tes ulang sebagai bentuk pembuktian.

Jika dicermati lebih dalam, ulasan artikel dalam buku ini kritis dan berimbang. Artinya, masing-masing penulis memiliki daya kritis yang tidak jauh berbeda. Ulasan-ulasan kritis ini juga diimbangi dengan fakta-fakta referensi yang ilmiah. Sehingga, artikel-artikel ini menjadi rasional,  ilmiah, dan layak dipercaya. Cara pandang penulisannya juga sangat alami. Penulis memposisi diri sebagai siswa yang pro prestasi (karena penulis siswa sekolah favorit) sehingga berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Meskipun ulasan sangat kritis, buku ini juga menyimpan beberapa kelemahan. Secara keseluruhan, masih menggunakan beberapa kalimat yang kurang efektif. Pun dijumpai pengorganisasi ide tulisan kurang runtut dan kurang hemat sehingga agak susah dipahami. Kelemahan kecil lainnya ialah adanya beberapa kata salah ketik.

Terlepas dari kekurangannya, buku ini sangat pantas dibaca oleh semua kalangan baik orangtua, pelajar dan terutama pemerintah. Karena buku ini merupakan representasi dan sekaligus kritik kontruktif terhadap kebijakan PPDB. Buku ini sangat bermanfaat sebagai pertimbangan untuk menghasilkan kebijakan PPDB (terutama jalur prestasi) yang lebih baik ke depan. (Adenia) 

0 komentar:

Posting Komentar