Bulan Purnama. Sumber foto: https://pixabay.com/images/search/bulan/?pagi=5& |
Pada tahun 80-an, malam purnama
terasa begitu istimewa di kampung saya, Nusa Penida. Kehadirannya sangat dinanti-nantikan
oleh para warga mulai dari anak-anak, remaja dan termasuk orang tua. Pasalnya,
hanya pada momen bulan purnama, para warga dapat memperpanjang aktivitasnya dengan
berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Bagi
anak-anak, purnama adalah momen bermain. Bermain gala-gala, gajig-gajigan,
goak-goakan dan lain sebagainya. Pun
momen mendengarkan cerita. Itulah yang sering saya lakukan dengan saudara,
sepupu dan termasuk mindon. Kami duduk-duduk
di natah rumah, beralaskan batu lempeh, sambil mendengarkan cerita dari kakek
saya.
Kakek
saya termasuk penjaga literasi lisan yang konsisten. Beliau memiliki beberapa warisan
cerita, yang ajeg dituturkan kepada anak dan cucu-cucunya. Zaman itu, kakek
kami pandang sebagai referensi sastra yang berharga. Zaman ketika generasi
ayah-ibu saya masih dominan buta aksara (tidak bisa baca-tulis).
Jika
malam purnama tiba, kakek biasa bercerita banyak hal kepada cucu-cucunya
termasuk tentang bulan. Menurut kakek, konon ada seorang nenek menenun di
bulan. Nenek itu bernama Dadong Brayut. “Bagaimana Dadong Brayut bisa terdampar
di bulan? Dengan siapa dia hidup di situ? Mengapa harus menenun? Apakah Dadong
Brayut abadi, tidak bisa meninggal?” Kakek tidak bisa menjelaskan detailnya.
Beliau hanya tahu bahwa di bulan hiduplah seorang Dadong Brayut, yang bekerja
sebagai tukang tenun. Singkat, padat dan sulit untuk dikuak.
Begitu
juga dengan fenomena gerhana bulan. Dari kakeklah pertama kali saya tahu bahwa
gerhana bulan berkaitan dengan Sang Kalarau. Sejenis makhluk raksasa (buta)
berkepala besar, tetapi tidak memiliki badan. Mahluk inilah yang konon memakan/
menelan bulan sehingga lenyap dari langit.
“Namun,
gerhana bulan tidak berlangsung lama. Apalagi kita membantunya dengan
memukul-mukul beberapa alat sumber bunyi. Ini akan membantu bulan dikeluarkan
lebih cepat oleh Sang Kalarau,” kata kakek.
Zaman
saya kecil, tradisi memukul-mukul alat sumber bunyi saat gerhana bulan masih
sangat kuat. Saya ingat, pernah dimarahi oleh ibu karena momen gerhana bulan.
Pasalnya, panci yang saya pukul menjadi penyok, karena saking semangatnya hendak
menolong bulan. Saya memukulnya berkali-kali dengan sangat keras. Alhasil,
gerhana bulan berakhir, tetapi saya mendapat amarah dari ibu.
Tidak
hanya anak-anak, para remaja juga menyambut suka-cita momen malam purnama. Mereka
menyambutnya dengan permainan, yang hampir sama dengan anak-anak. Hanya saja
mereka bermain dengan teman-teman seusianya. Jenis permainannya pun tidak jauh
berbeda.
Malam Purnama, Tradisi Nebuk, dan Kajakan
Lain
halnya dengan perempuan dewasa dan ibu-ibu, momen purnama dijadikan aktivitas
“nebuk” jagung. Dari tradisi nebuk
ini lahir istilah mesak’ang, nyeruh,
ngetak’ang, napinang dan nyeksek. Rangkaian proses nebuk menghasilkan produk utama bernama “kelanan”.
Nebuk
adalah aktivitas menumbuk biji jagung dengan alat utama yaitu lu kayu dan
lesung batu kapur. Umumnya, nebuk dilakukan
secara bergrup oleh para perempuan desa yang perkasa, dengan jumlah anggota
berkisar 2-4 orang. Setiap anggota berdiri melingkari lesung dengan lu di
tangan.
Mereka
menumbuk biji jagung secara bergantian sesuai putaran arah jarum jam. Setelah
hunjaman lu pertama, akan diikuti hunjaman lu kedua teman sebelah kanan dan
seterusnya. Sistematis, konsisten dan terukur sehingga hampir nihil kasus
kecelakaan. Ya, karena ini memang wilayah domestik kaum wanita di desa saya.
Proses
penumbukan pertama disebut “mesak’ang” yakni memisahkan kulit biji jagung
dengan dagingnya. Caranya, biji jagung ditumbuk berulang-ulang, kemudian diangkat
ke dalam wadah tempeh. Selanjutnya, masuk
ke proses “napinang” yaitu mengayun-ayunkan hasil tumbukan di dalam tempeh
untuk memisahkan (memfilter) kulit biji jagung dari dagingnya. Produk mesak’ang ini berupa oot jagung, yang biasa dimanfaatkan
sebagai dagdag atau pakanan babi.
Sementara
itu, daging jagung yang difilter, ditumbuk untuk kedua kalinya. Penumbukan yang
kedua ini disebut “nyeruh”. Daging jagung yang ditumbuk-tumbuk dimasukkan
kembali ke dalam tempeh lalu melewati
proses napinang lagi. Produk yang
dihasilkan dari proses nyeruh yaitu
daging biji jagung yang bersih, tetapi ukurannya masih besar.
Karena
itu, harus ditumbuk ulang untuk ketiga kalinya. Namanya “ngetak’ang”. Proses
penumbukan pada tahap ngetak’ang sedikit
berbeda. Lubang lesung batu bagian bawahnya, dialasi dengan batu hitam
(bulitan) setebal kurang lebih 7 cm. Lapisi tambahan ini berfungsi untuk
memaksimalkan proses peremukan biji daging jagung yang ditumbuk.
Selanjutnya,
hasil tumbukkan dimasukkan ke dalam tempeh
untuk proses “nyeksek”. Daging jagung (dalam tempeh) dibenturkan
berulang-ulang miring ke bawah, untuk memperoleh kepingan bagian biji jagung
yang kecil. Sementara, kepingan daging jagung yang besar kembali masuk ke tahap
ngetak’ang dan nyeksek berikutnya. Proses ngetak’ang
dan nyeksek dilakukan 2-4 kali,
sesuai kebutuhan. Dari proses ngetak’ang
diperoleh produk utama yaitu “kelanan”.dan beberapa kelanan sangat kecil, mincit
serta bubur.
Status
“kelanan” berarti kondisi bahan makanan yang siap untuk diolah. Olahan utama dari
kelanan ini adalah nasi jagung,
makanan pokok masyarakat NP. Kedua, bisa diolah menjadi tipat kelanan. Ketiga, dapat diolah menjadi
penganan, misalnya kue “gendar”.
Aktivitas
nebuk menjadikan malam di desa
menjadi menggeliat. Hunjaman-hunjaman lu yang bertenaga membuat tanah terasa megejeran. Ditambah lagi, teriakan suka-cita
anak-anak bermain menyeruak di bawah cahaya bulan. Hal ini menyebabkan purnama
terasa riuh dan bergetar. Kehidupan desa seolah-olah terjaga.
Selain
itu, purnama juga sering dimanfaatkan oleh warga untuk kegiatan “kajakan”
mengangkut tain kaliang. Tain kaliang adalah material sisa galian
sumur tadah hujan berupa tanah batu kapur. Tumpukan Tain kaliang ini digali dalam rentang beberapa hari. Untuk
mengangkutnya ke atas, dibutuhkan personal yang cukup banyak.
Karena
itulah, warga di kampung saya menyikapinya dengan sistem kajakan (gotong-royong). Para kerabat diundang mulai dari
anak-anak, remaja dan para orang tua. Momen yang digunakan untuk mengangkut Tain kaliang ini yaitu malam bulan
purnama.
Tain kaliang
diangkut menggunakan wadah bernama “timpalan”. Timpalan dibuat dari anyaman daun kelapa yang tua. Wadah ini
tergolong tahan banting, tahan pecah, tahan benturan dan praktis.
Mula-mula
timpalan ini dikaitkan pada seutas
tali, lalu dijatuhkan ke dasar sumur. Petugas yang mengisi material di bawah,
bersiaga dengan skopnya. Ia mengambil timpalan,
mengisinya dan mengaitkan kembali pada tali untuk ditarik ke permukaan.
Tain kaliang
dimanfaatkan sebagai tanah urug atau pondasi “klabah”. Pembuatan klabah diperuntukan pada sumur yang
berada di luar pekarangan rumah. Tain
kaliang dikumpulkan dan ditumpuk-tumpukkan di dekat mulut sumur—hingga
menyerupai papan bidang berbentuk persegi panjang lalu dirabat dan diplester. Posisi
permukaannya lebih tinggi dari mulut sumur. Inilah yang disebut klabah (penampung air hujan sementara).
Permukaan
bidang klabah tidak rata. Bagian belakang
dan sampingnya lebih tinggi. Begitu air hujan jatuh, langsung berlarian ke bagian
tengah, menuju permukaan titik depan-tengah klabah
yang paling rendah. Pada titik inilah dibuatkan lubang penghubung klabah dengan mulut sumur.
Pelarian
air yang jatuh di atas klabah
berakhir pada dasar sumur yang diplester. Untuk mendapatkan air yang bersih,
ujung lubang klabah dilapisi dengan
penyaringan. Jika ada sampah daun yang ikut terbawa air hujan, maka tidak akan langsung
jatuh ke dalam sumur, karena tersangkut pada penyaringan.
Ketika
bergotong-royong mengangkut tain kaliang,
kekompakan dan semangat kerja warga sangat terasa terutama dari kalangan anak-anak.
Sambil mengangkut tain kaliang, mereka
membayangkan nikmatnya Abug khas Nusa Penida. Abug menjadi penganan wajib (sebagai
pendamping kopi/ teh) dalam aktivitas kajakan
mengangkut tain kaliang.
Abug
terbuat dari singkong (diparut), kelapa (diparut), gula merah, pisang dan
kacang merah. Singkong dan kelapa yang diparut dicampur menggunakan jari tangan
lalu diisi dengan garam secukupnya. Adonan ini dibungkus dengan daun pisang.
Sebelum
dibungkus, di tengah-tengahnya diisi irisan gula merah, permukaan lainnya diisi
dengan beberapa kacang merah. Bentuk dan teknis bungkusannya mirip sumping
bali. Pun teknis pengukusannya tidak jauh berbeda. Hanya dibutuhkan waktu
kurang lebih 40 menitan, adonan abug akan menjadi matang.
Tahun
80-an, warga di kampung saya sudah mulai “mandiri air”. Rata-rata setiap KK
mampu membuat sumur tadah hujan, sebagai stok air hujan dengan volume yang
bervariasi. Besar kecilnya volume air yang dibuat tergantung kemampuan ekonomi
warga.
Sebelumnya,
masyarakat di kampung saya bergantung pada air semer. Air semer adalah
air bawah tanah. Keberadaannya jauh dari permukiman warga. Berada di bawah
tebing, dengan posisi jalan setapak yang terjal. Dulu, satu-satunya sumber air
kehidupan warga di kampung saya ialah Semer Gamat Dulu.
Semenjak
warga mampu membuat sumur tadah hujan, ketergantungan pada semer pelan-pelan berkurang hingga bisa melepaskan diri. Pembuatan
sumur menjadi kebutuhan vital setiap KK. Dalam proses pembuatannya, rupanya
tidak lepas dari peran bulan purnama, sang cahaya semesta.
Selain
bermain, nebuk dan gotong-royong (kajakan), malam purnama juga dimanfaatkan
oleh warga untuk acara kekeluargaan. Beberapa keluarga memanfaatkan malam
purnama sebagai acara makan bersama di natah
rumah. Mereka duduk-duduk di atas batu lempeh, menikmati makanan, menikmati
cahaya bulan, sambil bercerita-cerita ringan, bercanda, tertawa dan lain
sebagainya.
Tidak
hanya mempererat tali kekeluargaan, purnama juga menyebabkan para warga merasa sangat
dekat dengan alam. Ada rasa kesadaran langit. Ada rasa kesadaran bumi. Ada rasa
kesadaran kemahakuasaan Tuhan.
Dari
momen purnama inilah, kami diajari tentang spiritual ala lampau. Spiritual yang
sangat personal—tak membutuhkan pengakuan banyak orang. Cukup rasa diri sendiri,
alam dan Tuhan.
Pada
Dadong Brayut, kami diajari tentang kesadaran bulan dan langit. Sedangkan, pada
Kalarau, kami diajari tentang kekuasaan raksasa. Kekuasaan yang hendak
mengaburkan kuasa Tuhan.
Karena
itu, ketika listrik masuk ke desa kami tahun 90-an, kehidupan warga berubah.
Tidak harus menunggu waktu sebulan untuk berpesta cahaya. Sebaliknya, setiap
hari warga desa menikmati cahaya lampu. Lampu setir/ templek masuk ke gudang
rongsokan, dan sekaligus mengakhiri cerita mangsi
pada bulu hidung.
Kemudian,
muncullah radio, tape recorder dan
televisi sebagai tren atau kegandrungan baru. Para warga lebih banyak
menghabiskan waktu dan perhatiannya pada benda-benda ajaib, ciptaan manusia
tersebut. Mereka tak punya waktu lagi untuk memandang bulan purnama walau hanya
sedetik.
Dalam
kondisi seperti itu, tiba-tiba saya merasakan Dadong Brayut sudah meninggal. Sementara,
Kalarau gentayangan menyusup ke dalam radio, tape recorder, televisi dan arus listrik. Lalu, saya melihat bulan purnama
pecah berkeping-keping pada setiap mata warga desa.
0 komentar:
Posting Komentar