"Penganten" Nyoman Mindri (Baju Kuning) dan Penari Sanghyang Dedari Prapat |
Jika tari wali ditarikan di areal tempat suci, tentu tidak menjadi persoalan. Bagaimana jika dipentaskan di area rumah warga? Ah, tentu akan menjadi kasus yang tak biasa. Namun, inilah kenyataan yang terjadi dengan tari Sanghyang Dedari di Banjar Prapat, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Bali. Selain di tempat suci (pura), tari Sanghyang Dedari juga ditarikan (mesolah) di rumah warga sebagai “tawur sesangi”.
Meskipun
zaman bergerak modern, tetapi tradisi mesesangi
tari Sanghyang Dedari tetap eksis hingga sekarang di Banjar Prapat. Warga
melontarkan perjanjian suci, semacam permohonan doa yang sakral kepada Tuhan.
Biasanya, berkaitan dengan permohonan kesembuhan, permohonan keturunan anak
laki-laki dan lain sebagainya. Jika terkabulkan, maka warga mengundang (ngupah) penari Sanghyang Dedari mesolah di rumah yang bersangkutan.
Awalnya,
tradisi nyangiang Sanghyang Dedari
hanya ada di intern krama Banjar Prapat. Namun, lama-kelamaan merembes ke
beberapa wilayah di luar teritorial Banjar Prapat (misalnya, Biaung, Tanah
Bias, Gelagah, dll). Di wilayah Nusa Penida, tari Sanghyang Dedari hanya ada di
Banjar Prapat. Mengapa hanya ada di Prapat? Untuk sementara, belum ada cukup
referensi untuk menjelaskan persoalan tersebut.
Krama
Banjar Prapat hanya tahu bahwa tari Sanghyang Dedari adalah warisan leluhur.
Ditarikan secara turun-temurun hingga sekarang. Tari Sanghyang Dedari ditarikan
setiap momen piodalan Pura Dalem Prapat dan hari raya Kuningan. Tarian ini
ditarikan oleh penari tunggal perempuan suci, yang belum memasuki fase
menstruasi.
Kehadiran
tari Sanghyang Dedari dalam momen piodalan Pura Dalem dan Kuningan menjadi keharusan. Tanpa acara nyolahang tari Sanghyang Dedari, maka prosesi upakara dianggap kurang
jangkep (lengkap)—alias belum
paripurna. Karena sejatinya, ritual nyolahang
Sanghyang Dedari ialah prosesi nedunang
(menghadirkan) sesuhunan Sanghyang
Dedari.
Bagaimana
sang penari dapat mendatangkan atau menghadirkan Sanghyang Dedari? Sulit dijelaskan dengan rasional, tetapi mudah
dijawab dengan keyakinan. Ya, karena rasa yakinlah yang menyebabkan metode nyolahang tari Sanghyang Dedari tetap
konsisten digelar hingga sekarang.
Lalu,
rasionalnya seperti apa? Anggap saja fisik dan sukma penari semacam “antena
mistis”. Antena yang berfungsi untuk menangkap (baca: nedunang) entitas Sanghyang Dedari. Kepekaan fisik-psikis penari
diperoleh dari proses ritual sakral yang dilakoni sang penari sebelum menari. Ditambah
lagi dengan iringan kidung sakral ketika mesolah,
yang dilantunkan oleh para juru kidung. Kidung-kidung ini adalah mantra penguat
sinyal mistis.
Lantunan
kidung adalah nyawa atau energi bagi sang penari. Kidunglah yang menggerakkan
tubuh penari. Karena itu, sebagai mantra energi, setiap kata (larik) kidung yang
diucapkan oleh para juru kidung harus benar seratus persen. Jika salah ucap
(satu kata saja), maka penari akan jatuh terkulai secara otomatis. Begitu juga
kalau juru kidung terdiam—sang penari mendadak kehilangan power. Lemas,
selemas-lemasnya, lalu tubuhnya tersungkur ke tanah.
Jadi,
rentetan proses ritual (sebelum menari) dan kekuatan mantra kidung-kidung menjadi
satu rangkaian elemen mistis. Kesatuan elemen yang menjadikan fisik-psikis penari
semakin kuat memancarkan sinyal mistis. Kekuatan sinyal mistis ini juga
didukung oleh psikologis sang penari. Lazimnya, usia anak belia masih lugu,
polos dan patuh. Artinya, sangat potensial ditundukkan dan dibentuk sesuai kondisi. Dalam
hal ini ialah kondisi mistis.
Sejak
awal, sang penari sudah disiapkan dengan kondisi mistis melalui ritual sakral.
Ketika menari, dikuatkan lagi dengan kidung-kidung sakral. Kuatnya lingkup
sakral ini membuat psikologis penari yang polos mudah terpola. Terpola menjadi
mistis. Efeknya, tubuh sang penari lebih mudah menangkap (terkoneksi,
dihinggapi) “gelombang” Sanghyang Dedari.
Ritual
dan kidung berperan kuat memagari konsentrasi sang penari. Memagari konsentrasi
penari menuju jalan mistis. Karena itu, ketika sedang menari, sang penari tidak
bisa mendengarkan suara-suara lain kecuali kidung yang dilantunkan oleh para
juru kidung.
Hal
itulah yang dituturkan oleh Nyoman Suarma, salah satu keluarga penglingsir (tetua) kru tari Sanghyang
Dedari di Banjar Prapat. Kakaknya ialah mantan penari Sanghyang Dedari di
Banjar Prapat, Nusa Penida. Sementara, ibunya, Nyoman Mindri merupakan seorang
“penganten” dan sekaligus juru kidung Sanghyang Dedari. “Penganten” memiliki
tugas khusus yaitu mengenakan gelung sakral
kepada sang penari.
Mengutip
pengalaman dan statemen kakaknya, konon ketika menari, lantunan kidung-kidung Sanghyang
Dedari terdengar jauh menggantung di langit. Kemudian, sang penari melihat
beberapa gadis (dedari) kecil seperti mengarahkan setiap gerakan tariannya.
Mungkin ini semacam koneksi mistis, yang tentu saja sulit diterima oleh
rasional orang umum. Hanya sang penari, pihak yang mengalami situasi, yang bisa
memahami keadaan tersebut.
Puncak
realitas kehadiran Sanghyang Dedari dalam tubuh sang penari, mungkin terjadi saat
penari kehilangan rasa. Kehilangan rasa panas, dingin, malu dan klimaksnya
kehilangan rasa kesadaran (kerauhan).
Situasi ini bisa dimaknai bahwa tubuh penari sudah total dihinggapi dan
dikuasai oleh Sanghyang Dedari. Situasi kerauhan
(kerasukan) mungkin menjadi indikator keberhasilan atau kesuksesan dari prosesi
nedunang Sanghyang Dedari. Kerauhan dapat dibaca sebagai pertanda
bahwa Sanghyang Dedari sudah datang, turun, dan tedun (hadir) di tempat itu.
Keunikan
Tari Sanghyang Dedari Banjar Prapat
Secara
umum, tari Sanghyang Dedari asal Banjar Prapat ini tidak jauh berbeda dengan
tarian Sanghyang Dedari di Bali daratan.
Sesuai dengan namanya, tarian ini sangat identik dengan perempuan. Dedari dalam
bahasa Indonesia memiliki kesamaan dengan kata bidadari, yang bermakna putri/
dewi dari kayangan.
Sebagai
tari wali, Sanghyang Dedari hanya boleh ditarikan oleh wanita suci, yang belum
akil balig (belum menstruasi). Pada umumnya tarian ini ditarikan secara bergrup
(3-5 penari perempuan) dan dipentaskan setiap setahun sekali. Menurut
kepercayaan masyarakat Hindu Bali, tari Sanghyang Dedari dipentaskan sebagai
ritual penolak bala/ penyakit.
Di
luar hal-hal umum di atas, tari Sanghyang Dedari asal Banjar Prapat memiliki
ciri khusus yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Bali daratan.
Sejumlah ciri khusus itu dapat dilihat dari jumlah personil penari, gender juru
kidung, teknis pemilihan personil penari, waktu pementasan dan tempat mesolah.
Jika
pada umumnya tari Sanghyang Dedari ditarikan secara bergrup, maka tari
Sanghyang Dedari asal Banjar Prapat hanya ditarikan oleh satu orang wanita. Instrumen
pengiringnya berupa nyanyian atau kidung. Kidung-kidung tersebut dilantunkan
oleh juru kidung yang semuanya berjenis kelamin perempuan.
Keunikan
lainnya berkaitan dengan teknis pemilihan pragina
atau personil penari. Selain dara tulen, pemilihan penari juga didasarkan pada
musyawarah mufakat. Para krama setempat menggelar rapat umum (parum) untuk
memilih calon penari.
Selanjutnya,
calon penari ditraining menari
Sanghyang Dedari oleh alumni penari dan penglinsir. Siapa yang paling cepat
menguasai gerakan tarian Sanghyang Dedari, maka berhak lolos ke babak
berikutnya yaitu “matur piuning”. Semacam registrasi niskala. Sang calon diajak
bersembahyang di beberapa pura, untuk memperoleh kesaksian niskala.
Selain
itu, lumrahnya tari Sanghyang Dedari dipentaskan setiap tahun sekali. Akan
tetapi, di Banjar Prapat, tari Sanghyang Dedari dipentaskan setiap piodalan
Pura Dalem dan hari raya Kuningan. Jika dikalkukasikan, pementasannya mencapai
kurang dari 6 bulan kalender Bali. Belum terhitung pementasan insidental di
rumah krama yang “nawur sesangi”.
Nawur sesangi
(ngupah tari Sanghyang Dedari) tidak
hanya menyebabkan frekuensi nyolahang menjadi lebih sering—tetapi
juga menjadi pembeda yang tidak biasa. Sangat unik dan menarik. Pasalnya,
sangat jarang ada sesangi (personal)
yang berkaitan dengan ngupah tari
sakral. Jika mesesangi mempersembahkan
sesuatu, mungkin sudah lumrah. Atau mesesangi
mementaskan balih-balihan, ya, masih
lumrah. Misalnya, mesesangi ngupah
drama gong, wayang kulit, joged, lawak dan lain sebagainya.
Bagaimana
dengan ngupah tari Sanghyang Dedari?
Rasanya, sangat jarang. Di antara sangat jarang itu, ada di Banjar Prapat, Nusa
Penida. Krama Banjar Prapat menjadikan sesangi
Sanghyang Dedari sebagai tradisi dan
keyakinan kolektif. Mereka melakoninya secara turun-temurun hingga sekarang.
Mengapa
harus mesesangi ngupah Sanghyang
Dedari? Ini pertanyaan yang terkesan mengada-ada. Karena akan mengarah pada
jawaban praktis. Jawaban praktis yang dimaksud ialah terbukti mengabulkan
sekian persen permohonan (sesangi) krama. Ujung-ujungnya, sangat pragmatis,
instan dan transaksional.
Sesangi
bukan semata-mata persoalan perjanjian transaksional (skala-niskala). Namun,
dapat dipandang sebagai tindakan budaya (lokal genius) yang bernilai positif.
Dalam konteks mesesangi Sanghyang
Dedari misalnya. Orientasi sesungguhnya bukan semata-mata pada pengabulan
permohonan, tetapi pada upaya bersama menjaga ajeg seni tradisional (sakral).
Sebagai
karya yang sublim, tari Sanghyang Dedari perlu dijaga keajegannya. Siapa yang
mengajegkan kalau bukan pendukungnya (krama Banjar Prapat). Krama Banjar Prapat
mesti melakukan upaya pelestarian jika ingin karya ini tetap eksis. Salah satu
upaya nyata itu ialah dengan mesesangi ngupah
Sanghyang Dedari.
Dari
tindakan mesesangi tersebut, krama Banjar Prapat hendak “merawat
ingatan” tentang eksistensi tari Sanghyang Dedari. Merawat ingatan bahwa krama
banjar memiliki aset seni yang adiluhung. Ingatan ini harus dijaga dengan
menghadirkan tari Sanghyang Dedari tidak hanya pada momen piodalan dan hari
raya besar tertentu, tetapi pada momen acara keluarga (ngupah personal).
Menghadirkan
tari Sanghyang Dedari di lingkungan keluarga tidak semata-mata membayar sesangi.
Lebih dari itu, krama ingin merawat “jarak psikologis” dengan kesenian tari
Sanghyang Dedari. Momen membayar sesangi menjadikan
anggota keluarga menjadi lebih dekat, akrab dan sadar tentang keberadaan tari
Sanghyang Dedari di lingkungan masyarakat.
Kedekatan
menciptakan kecintaan dan rasa memiliki. Saking seringnya dihadirkan,
pelan-pelan terbentuk rasa cinta terhadap budaya sendiri. Para krama menyukai
tari Sanghyang Dedari. Lebih kuat lagi, mencintai tari Sanghyang Dedari. Jika
tumbuh rasa cinta, lambat laun berkembang ke arah rasa memiliki. Artinya, tari
Sanghyang Dedari bersemayam di kepala dan sekaligus bercokol di hati para
krama.
Jika
demikian adanya, tak perlu terlalu gembar-gembor berbicara tentang ajeg Bali.
Para krama Banjar Prapat (termasuk krama lainnya) sudah mempraktikkan nyata.
Mereka melakukan dengan cara religius dan mistis. Itulah edukasi yang hendak
disampaikan dalam mesesangi Sanghyang
Dedari.
Kelihatannya
pragmatis dan terkesan meremehkan unsur magis. Nyatanya, mesesangi Sanghyang Dedari adalah seni melestarikan. Seni
melestarikan karya sakral dengan metode mistis. Karena itu, jangan heran jika
suatu hari tari Sanghyang Dedari mesolah
lagi di rumah krama Banjar Prapat. Semoga Ida langgeng mesolah, nyolahang rasa ajeg krama di Banjar Prapat.
0 komentar:
Posting Komentar