Jumat, 20 Mei 2022

 


"Penganten" Nyoman Mindri (Baju Kuning) dan Penari Sanghyang Dedari Prapat

Jika tari wali ditarikan di areal tempat suci, tentu tidak menjadi persoalan. Bagaimana jika dipentaskan di area rumah warga? Ah, tentu akan menjadi kasus yang tak biasa. Namun, inilah kenyataan yang terjadi dengan tari Sanghyang Dedari di Banjar Prapat, Desa Ped, Kecamatan Nusa Penida, Bali. Selain di tempat suci (pura), tari Sanghyang Dedari juga ditarikan (mesolah) di rumah warga sebagai “tawur sesangi”.

Meskipun zaman bergerak modern, tetapi tradisi mesesangi tari Sanghyang Dedari tetap eksis hingga sekarang di Banjar Prapat. Warga melontarkan perjanjian suci, semacam permohonan doa yang sakral kepada Tuhan. Biasanya, berkaitan dengan permohonan kesembuhan, permohonan keturunan anak laki-laki dan lain sebagainya. Jika terkabulkan, maka warga mengundang (ngupah) penari Sanghyang Dedari mesolah di rumah yang bersangkutan.

Awalnya, tradisi nyangiang Sanghyang Dedari hanya ada di intern krama Banjar Prapat. Namun, lama-kelamaan merembes ke beberapa wilayah di luar teritorial Banjar Prapat (misalnya, Biaung, Tanah Bias, Gelagah, dll). Di wilayah Nusa Penida, tari Sanghyang Dedari hanya ada di Banjar Prapat. Mengapa hanya ada di Prapat? Untuk sementara, belum ada cukup referensi untuk menjelaskan persoalan tersebut. 

Krama Banjar Prapat hanya tahu bahwa tari Sanghyang Dedari adalah warisan leluhur. Ditarikan secara turun-temurun hingga sekarang. Tari Sanghyang Dedari ditarikan setiap momen piodalan Pura Dalem Prapat dan hari raya Kuningan. Tarian ini ditarikan oleh penari tunggal perempuan suci, yang belum memasuki fase menstruasi.

Kehadiran tari Sanghyang Dedari dalam momen piodalan Pura Dalem dan Kuningan menjadi  keharusan. Tanpa acara nyolahang tari Sanghyang Dedari, maka prosesi upakara dianggap kurang jangkep (lengkap)—alias belum paripurna. Karena sejatinya, ritual nyolahang Sanghyang Dedari ialah prosesi nedunang (menghadirkan) sesuhunan Sanghyang Dedari.

Bagaimana sang penari dapat mendatangkan atau menghadirkan Sanghyang Dedari? Sulit  dijelaskan dengan rasional, tetapi mudah dijawab dengan keyakinan. Ya, karena rasa yakinlah yang menyebabkan metode nyolahang tari Sanghyang Dedari tetap konsisten digelar hingga sekarang.  

Lalu, rasionalnya seperti apa? Anggap saja fisik dan sukma penari semacam “antena mistis”. Antena yang berfungsi untuk menangkap (baca: nedunang) entitas Sanghyang Dedari. Kepekaan fisik-psikis penari diperoleh dari proses ritual sakral yang dilakoni sang penari sebelum menari. Ditambah lagi dengan iringan kidung sakral ketika mesolah, yang dilantunkan oleh para juru kidung. Kidung-kidung ini adalah mantra penguat sinyal mistis.

Lantunan kidung adalah nyawa atau energi bagi sang penari. Kidunglah yang menggerakkan tubuh penari. Karena itu, sebagai mantra energi, setiap kata (larik) kidung yang diucapkan oleh para juru kidung harus benar seratus persen. Jika salah ucap (satu kata saja), maka penari akan jatuh terkulai secara otomatis. Begitu juga kalau juru kidung terdiam—sang penari mendadak kehilangan power. Lemas, selemas-lemasnya, lalu tubuhnya tersungkur ke tanah.

Jadi, rentetan proses ritual (sebelum menari) dan kekuatan mantra kidung-kidung menjadi satu rangkaian elemen mistis. Kesatuan elemen yang menjadikan fisik-psikis penari semakin kuat memancarkan sinyal mistis. Kekuatan sinyal mistis ini juga didukung oleh psikologis sang penari. Lazimnya, usia anak belia masih lugu, polos dan patuh. Artinya, sangat potensial  ditundukkan dan dibentuk sesuai kondisi. Dalam hal ini ialah kondisi mistis.

Sejak awal, sang penari sudah disiapkan dengan kondisi mistis melalui ritual sakral. Ketika menari, dikuatkan lagi dengan kidung-kidung sakral. Kuatnya lingkup sakral ini membuat psikologis penari yang polos mudah terpola. Terpola menjadi mistis. Efeknya, tubuh sang penari lebih mudah menangkap (terkoneksi, dihinggapi) “gelombang” Sanghyang Dedari.

Ritual dan kidung berperan kuat memagari konsentrasi sang penari. Memagari konsentrasi penari menuju jalan mistis. Karena itu, ketika sedang menari, sang penari tidak bisa mendengarkan suara-suara lain kecuali kidung yang dilantunkan oleh para juru kidung.

Hal itulah yang dituturkan oleh Nyoman Suarma, salah satu keluarga penglingsir (tetua) kru tari Sanghyang Dedari di Banjar Prapat. Kakaknya ialah mantan penari Sanghyang Dedari di Banjar Prapat, Nusa Penida. Sementara, ibunya, Nyoman Mindri merupakan seorang “penganten” dan sekaligus juru kidung Sanghyang Dedari. “Penganten” memiliki tugas khusus yaitu mengenakan gelung sakral kepada sang penari.

Mengutip pengalaman dan statemen kakaknya, konon ketika menari, lantunan kidung-kidung Sanghyang Dedari terdengar jauh menggantung di langit. Kemudian, sang penari melihat beberapa gadis (dedari) kecil seperti mengarahkan setiap gerakan tariannya. Mungkin ini semacam koneksi mistis, yang tentu saja sulit diterima oleh rasional orang umum. Hanya sang penari, pihak yang mengalami situasi, yang bisa memahami keadaan tersebut.

Puncak realitas kehadiran Sanghyang Dedari dalam tubuh sang penari, mungkin terjadi saat penari kehilangan rasa. Kehilangan rasa panas, dingin, malu dan klimaksnya kehilangan rasa kesadaran (kerauhan). Situasi ini bisa dimaknai bahwa tubuh penari sudah total dihinggapi dan dikuasai oleh Sanghyang Dedari. Situasi kerauhan (kerasukan) mungkin menjadi indikator keberhasilan atau kesuksesan dari prosesi nedunang Sanghyang Dedari. Kerauhan dapat dibaca sebagai pertanda bahwa Sanghyang Dedari sudah datang, turun, dan tedun (hadir) di tempat itu.  

Keunikan Tari Sanghyang Dedari Banjar Prapat

Secara umum, tari Sanghyang Dedari asal Banjar Prapat ini tidak jauh berbeda dengan tarian Sanghyang Dedari  di Bali daratan. Sesuai dengan namanya, tarian ini sangat identik dengan perempuan. Dedari dalam bahasa Indonesia memiliki kesamaan dengan kata bidadari, yang bermakna putri/ dewi dari kayangan.

Sebagai tari wali, Sanghyang Dedari hanya boleh ditarikan oleh wanita suci, yang belum akil balig (belum menstruasi). Pada umumnya tarian ini ditarikan secara bergrup (3-5 penari perempuan) dan dipentaskan setiap setahun sekali. Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, tari Sanghyang Dedari dipentaskan sebagai ritual penolak bala/ penyakit.

Di luar hal-hal umum di atas, tari Sanghyang Dedari asal Banjar Prapat memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain di Bali daratan. Sejumlah ciri khusus itu dapat dilihat dari jumlah personil penari, gender juru kidung, teknis pemilihan personil penari, waktu pementasan dan tempat mesolah.

Jika pada umumnya tari Sanghyang Dedari ditarikan secara bergrup, maka tari Sanghyang Dedari asal Banjar Prapat hanya ditarikan oleh satu orang wanita. Instrumen pengiringnya berupa nyanyian atau kidung. Kidung-kidung tersebut dilantunkan oleh juru kidung yang semuanya berjenis kelamin perempuan.

Keunikan lainnya berkaitan dengan teknis pemilihan pragina atau personil penari. Selain dara tulen, pemilihan penari juga didasarkan pada musyawarah mufakat. Para krama setempat menggelar rapat umum (parum) untuk memilih calon penari.

Selanjutnya, calon penari ditraining menari Sanghyang Dedari oleh alumni penari dan penglinsir. Siapa yang paling cepat menguasai gerakan tarian Sanghyang Dedari, maka berhak lolos ke babak berikutnya yaitu “matur piuning”. Semacam registrasi niskala. Sang calon diajak bersembahyang di beberapa pura, untuk memperoleh kesaksian niskala.  

Selain itu, lumrahnya tari Sanghyang Dedari dipentaskan setiap tahun sekali. Akan tetapi, di Banjar Prapat, tari Sanghyang Dedari dipentaskan setiap piodalan Pura Dalem dan hari raya Kuningan. Jika dikalkukasikan, pementasannya mencapai kurang dari 6 bulan kalender Bali. Belum terhitung pementasan insidental di rumah krama yang “nawur sesangi”.

Nawur sesangi (ngupah tari Sanghyang Dedari) tidak hanya menyebabkan frekuensi  nyolahang menjadi lebih sering—tetapi juga menjadi pembeda yang tidak biasa. Sangat unik dan menarik. Pasalnya, sangat jarang ada sesangi (personal) yang berkaitan dengan ngupah tari sakral. Jika mesesangi mempersembahkan sesuatu, mungkin sudah lumrah. Atau mesesangi mementaskan balih-balihan, ya, masih lumrah. Misalnya, mesesangi ngupah drama gong, wayang kulit, joged, lawak dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan ngupah tari Sanghyang Dedari? Rasanya, sangat jarang. Di antara sangat jarang itu, ada di Banjar Prapat, Nusa Penida. Krama Banjar Prapat menjadikan sesangi  Sanghyang Dedari sebagai tradisi dan keyakinan kolektif. Mereka melakoninya secara turun-temurun hingga sekarang.  

Mengapa harus mesesangi ngupah Sanghyang Dedari? Ini pertanyaan yang terkesan mengada-ada. Karena akan mengarah pada jawaban praktis. Jawaban praktis yang dimaksud ialah terbukti mengabulkan sekian persen permohonan (sesangi) krama. Ujung-ujungnya, sangat pragmatis, instan dan transaksional.

Sesangi bukan semata-mata persoalan perjanjian transaksional (skala-niskala). Namun, dapat dipandang sebagai tindakan budaya (lokal genius) yang bernilai positif. Dalam konteks mesesangi Sanghyang Dedari misalnya. Orientasi sesungguhnya bukan semata-mata pada pengabulan permohonan, tetapi pada upaya bersama menjaga ajeg seni tradisional (sakral).  

Sebagai karya yang sublim, tari Sanghyang Dedari perlu dijaga keajegannya. Siapa yang mengajegkan kalau bukan pendukungnya (krama Banjar Prapat). Krama Banjar Prapat mesti melakukan upaya pelestarian jika ingin karya ini tetap eksis. Salah satu upaya nyata itu ialah dengan mesesangi ngupah Sanghyang Dedari.

Dari tindakan mesesangi  tersebut, krama Banjar Prapat hendak “merawat ingatan” tentang eksistensi tari Sanghyang Dedari. Merawat ingatan bahwa krama banjar memiliki aset seni yang adiluhung. Ingatan ini harus dijaga dengan menghadirkan tari Sanghyang Dedari tidak hanya pada momen piodalan dan hari raya besar tertentu, tetapi pada momen acara keluarga (ngupah personal).

Menghadirkan tari Sanghyang Dedari di lingkungan keluarga tidak semata-mata  membayar sesangi. Lebih dari itu, krama ingin merawat “jarak psikologis” dengan kesenian tari Sanghyang Dedari. Momen membayar sesangi menjadikan anggota keluarga menjadi lebih dekat, akrab dan sadar tentang keberadaan tari Sanghyang Dedari di lingkungan masyarakat.

Kedekatan menciptakan kecintaan dan rasa memiliki. Saking seringnya dihadirkan, pelan-pelan terbentuk rasa cinta terhadap budaya sendiri. Para krama menyukai tari Sanghyang Dedari. Lebih kuat lagi, mencintai tari Sanghyang Dedari. Jika tumbuh rasa cinta, lambat laun berkembang ke arah rasa memiliki. Artinya, tari Sanghyang Dedari bersemayam di kepala dan sekaligus bercokol di hati para krama.

Jika demikian adanya, tak perlu terlalu gembar-gembor berbicara tentang ajeg Bali. Para krama Banjar Prapat (termasuk krama lainnya) sudah mempraktikkan nyata. Mereka melakukan dengan cara religius dan mistis. Itulah edukasi yang hendak disampaikan dalam mesesangi Sanghyang Dedari.

Kelihatannya pragmatis dan terkesan meremehkan unsur magis. Nyatanya, mesesangi Sanghyang Dedari adalah seni melestarikan. Seni melestarikan karya sakral dengan metode mistis. Karena itu, jangan heran jika suatu hari tari Sanghyang Dedari mesolah lagi di rumah krama Banjar Prapat. Semoga Ida langgeng mesolah, nyolahang rasa ajeg krama di Banjar Prapat.

0 komentar:

Posting Komentar