Upacara
Adat dan Tapal Batas Tua Desa Klumpu. Arsip Banjar Klumpu |
Apa yang paling identik dari
Desa Klumpu di Nusa Penida (NP)? Orang pasti sepakat memberi ikon “Desa Dokter”.
Dasarnya ialah catatan kuantitatif. Hingga kini, menurut Kades Klumpu, Ketut
Biasa, ada 7 orang warganya yang tercatat
sebagai dokter. Data ini diambil hanya dari catatan fisik KTP. Jika ditelusuri
lebih detail, sesungguhnya ada sekitar 17 warga asli dari Desa Klumpu yang
menjadi dokter—terhitung bekerja di luar area NP.
Angka
17 ini merupakan data sinkronisasi antara Kades Klumpu dengan keterangan teman saya,
yang wilayahnya menjadi pusat penghasil dokter di NP yaitu Banjar Klumpu.
Menurutnya, di Banjar Klumpu Kangin dan Kauh, ada sebanyak 16 orang dokter. Dari
16 orang ini, hanya tercatat 3 orang bekerja sebagai dokter di NP. Satu sebagai
dokter umum di puskesmas 1 NP. Satu lagi sebagai dokter umum di puskesmas 3 NP.
Ditambah satu dokter gigi yang dinas di puskesmas 3 NP.
Sementara
itu, 10 orang merupakan dokter spesialis mulai dari spesialis bedah tulang,
bedah umum, spesialis kandungan, anastesi, dan bedah digestive. Kesepuluh dokter
spesialis ini tersebar di daerah Jawa (bedah tulang), Bali daratan dan Sumbawa
(bedah umum, kini jadi dirut). Sisanya, 3 orang masih sedang studi lanjut
menempuh pendidikan dokter spesialis.
Menurut
Ketut Biasa, hanya ada satu dokter yang berasal dari luar Banjar Klumpu. “Ada
7. Semua dokter berasal dari Banjar Klumpu, kecuali dokter hewan, berasal dari
Banjar Tiagan,” terangnya via HP. Hal ini berarti, ada kemungkinan kekurangvalidan
pencatatan terhadap 3 dokter di kantor desa dan perlu dikroscek kebaruannya.
Jika
dipresentasekan, ada kurang lebih 2,7 % penduduk Banjar Klumpu berprofesi
sebagai dokter dari total intern dua banjar ini. Menurut I Gede Darpana, Kelian
Pura Dalem Banjar Klumpu, total KK Banjar Klumpu Kauh dan Kangin mencapai 146
KK per tahun 2022. Kasarnya, gabungan jumlah warga dua banjar ini kurang lebih
mencapai 584 jiwa. Dua koma tujuh persen dari 584 orang ialah 16 orang.
Bagaimana
dengan persentase desa? Berdasarkan data website resmi Desa Klumpu, per tahun
2018, jumlah penduduk Desa Klumpu mencapai 4.648 jiwa. Persentase penduduk Desa
Klumpu menjadi dokter kurang lebih 0,37 persen. Jumlah 4.648 jiwa dari 0,37 %
yakni 17 jiwa.
Jumlah
data ini cenderung akan mengalami dinamika, karena ada beberapa orang mahasiswa
dari Banjar Klumpu sedang menempuh kedokteran umum di beberapa universitas. Lebih
lanjut, teman yang tidak mau disebutkan namanya ini, yang sekarang bekerja
sebagai tenaga medis (kemoterapi) di Rumah Sakit Sanglah menyebutkan bahwa
dirinya optimis bahwa Banjar Klumpu (Kangin-Kauh) akan tetap menjadi penghasil
dokter andal, paling dominan dan tak akan kehabisan regenerasi di NP.
Banjar
Klumpu memang ikonik dengan image
dokter sejak dulu (waktu saya kecil). Banjar ini terkenal sebagai pencetak
dokter tidak hanya di Desa Klumpu tetapi di seluruh Kepulauan NP. Hal ini bukan
berarti desa-desa lain di NP tidak melahirkan dokter. Ada. Akan tetapi,
jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Desa
Klumpu terdiri atas 16 Banjar. Namun, dari 16 banjar ini, Banjar Klumpu-lah
yang paling konsisten melahirkan kandidat dan dokter secara berkelanjutan.
Banjar Klumpu dibagi menjadi dua yaitu Banjar Klumpu Kangin dan Banjar Klumpu
Kauh. Kedua banjar ini berperan signifikan dalam mendongkrak pamor desa hingga
mencapai image Desa Dokter.
Jika
ditelusuri lebih spesifik, regenerasi dokter lahir secara konsisten terutama
dari keluarga dokter. Bermula dari bapak atau ibunya seorang dokter, kemudian
menurun kepada si buah hati. Peluang turunnya sangat besar sehingga ada keluarga
yang menyandang predikat keluarga dokter, karena semuanya menjadi dokter.
Sisanya,
lahir dari keluarga bukan dokter, misalnya pengusaha, dosen dan lain
sebagainya. Mereka yang bukan keluarga dokter juga termotivasi menyekolahkan
anaknya pada jurusan kedokteran. Keputusan ini mungkin didorong oleh rasa jengah dan kesadaran diri. Mereka jengah, karena jurusan kedokteran dianggap
memiliki prestise di mata masyarakat. Karena itu, mereka hendak menaruh
kehormatan keluarga pada citra kedokteran tersebut.
Selain
itu, keluarga bukan dokter juga sadar bahwa anaknya memiliki kemampuan inteligensi
di atas rata-rata. Kemudian, modal inteligensi ini didukung oleh kemampuan
ekonomi keluarga. Keluarga tersebut sadar bahwa mereka memiliki ekonomi yang
mumpuni. Kuat dan stabil. Karena ekonomi merupakan nyawa dari jurusan
kedokteran.
Bahkan,
belakangan konon jurusan kedokteran lebih identik dengan “keuangan”. Keuangan
tidak boleh “kuang” (kurang). Jika
keuangan “kuang”, maka siap-siap
digeser oleh orang lain. Jadi, kesannya bahwa jurusan kedokteran menjadi
semacam panggung pertunjukan “keuangan”. Keluarga yang memiliki kekuasaan
keuangan kuat akan menguasai dunia per-dokter-an.
Namun,
power keuangan harus didukung pula oleh jaringan relasi (nepotisme). Konon,
power keuangan akan menjadi lemah syahwat jika tidak memiliki orang dalam yang
berpengaruh pada sebuah lembaga (kampus). Istilah bahasa Balinya ialah ada yang
nenteng.
Power
keuangan dan power relasi menjadi syarat kokoh untuk menembus jurusan
kedokteran. Masalah kuang kemampuan
akademik (inteligensi) konon masih bisa ditutupi dengan keuangan dan relasi.
Artinya, kualitas kemampuan inteligensi boleh kuang tetapi keuangan dan relasi (petenteng) tidak boleh kuang. Benar atau tidak kabar ini tentu
pelaku pemburu kedokteran yang persis tahu.
Saya
tidak habis pikir mengapa masyarakat Banjar Klumpu Kangin atau Kauh sangat memfavoritkan
jurusan kedokteran? Saya menyebutnya dengan (maaf) jurusan “rambut sedana”.
Jurusan yang membutuhkan harta berlimpah. Apakah masyarakat Banjar Klumpu orang
kaya-raya sejak zaman dulu?
Dari
mana datangnya keuangan yang kuat pada zaman dulu? Padahal, mayoritas
masyarakat Banjar Klumpu (dulu) bekerja sebagai petani (peladang, peternak
sapi, ayam dan peternak babi). Apa mungkin mereka memiliki stok warisan harta
karun (emas/ perak) yang berlimpah? Atau ada sumber dana lain yang berlimpah
untuk menyokong pendanaan kuliah sang anak?
Masalah
keuangan tersebut tentu sangat rahasia sifatnya. Saya tidak mendapatkan data
intens tentang masalah keuangan tersebut. Namun, masalah inteligensi pelajar
dari Banjar Klumpu sangat terkenal dari zaman dulu. Asal menyebut orang dari
Klumpu, pikiran orang langsung terbayang “pintar”. Mungkin, awalnya
pelajar-pelajar asal Klumpu dulu yang sekolah di pesisir NP atau Bali daratan
memang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata.
Mindset Kolektif Pro Pendidikan
Para
pelajar dari Banjar Klumpu terkenal tekun, rajin dan ulet dalam belajar. Karakter
pembelajar ini dibangun dari diri sendiri dan iklim lingkungan masyarakat.
Jadi, tidak mengherankan jika pelajar dari Banjar Klumpu memiliki mental
kompetisi yang unggul dalam dunia per-akademik-an.
Tidak
hanya itu, Banjar Klumpu bisa disebut sebagai model masyarakat intelektual
sejak dulu. Pasalnya, masyarakat Banjar Klumpu memiliki kesadaran mengenyam
pendidikan tinggi sejak zaman bahula. Artinya, ketika banjar lain baru memiliki
kesadaran pendidikan satu dua tiga, Banjar Klumpu sudah hampir merata atau
lebih masif.
Kesadaran
tentang pendidikan tinggi ini setidaknya dipengaruhi oleh lingkungan dan mindset kolektif. Konon, ada mindset masyarakat Banjar Klumpu yang
pro terhadap pendidikan tinggi. Kabarnya, masyarakat Banjar Klumpu tidak
terlalu egois untuk menonjolkan kekayaan atau mengejar “cap” orang kaya (miliader).
Yang penting cukup penghasilan untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya.
Kehormatan kekayaan terletak pada kesuksesan keluarga menyekolahkan anaknya
setinggi mungkin. Itulah standar prestise dan kebanggaan masyarakat Banjar
Klumpu yang masih dipelihara hingga sekarang.
Faktor
inteligensi dan mindset pro
pendidikan menyebabkan Banjar Klumpu menjadi banjar terdepan tidak hanya dalam
hal meraih pendidikan tinggi, tetapi dalam memilih jurusan bergengsi yaitu
kedokteran. Jurusan yang fitrahnya mengandalkan kemampuan akademik atau
inteligensi. Karena itu, Banjar Klumpu sukses melahirkan dokter-dokter andal sejak
dulu.
Saya
salut dengan keluarga pioner yang melahirkan dokter itu. Pasalnya, masyarakat
Banjar Klumpu (zaman dulu) bekerja sebagai petani tulen. Akan tetapi, petani
yang sangat ulet. Entah seberapa intensitas uletnya. Yang jelas, saya jarang
mendengar ada masyarakat Banjar Klumpu sampai menjual tanah untuk menyekolahkan
anak-anaknya. Mungkin ada rahasia managemen keuangan keluarga yang begitu apik
dan sulit didedah ke permukaan. Hanya masyarakat Banjar Klumpu yang persis
tahu.
Dari
selentingan isu yang beredar, konon beberapa masyarakat Banjar Klumpu
menerapkan spirit kolaboratif atau gotong-royong soal biaya pendidikan. Satu
anak ditopang oleh beberapa orang. Anggota kolaboratif ini biasanya masih
memiliki hubungan pertalian darah yang sangat dekat. Misalnya, saudara kandung,
paman, dan lain sebagainya.
Sistem
kolaboratif ini tidak hanya menguatkan pondasi keuangan atau dana pendidikan
menjadi lebih kuat—tetapi berdampak pula pada sektor rasa kemanusiaan. Muncul
rasa tanggung jawab yang lebih tinggi dari pihak yang menempuh pendidikan.
Mereka akan berusaha keras menyelesaikan pendidikan dengan prestasi optimal.
Mereka menjadi malu jika mendapatkan prestasi akademik yang kurang, apalagi
sampai gagal atau DO (drop out) ketika menjalani kuliah.
Sistem
kolaboratif juga menciptakan memori jasa. Pihak yang sudah sukses, tentu
terikat rasa balas budi. Setelah meraih pendidikan tinggi dan sukses secara
material, pihak yang ditopang mau tidak mau akan mensupport pendanaan pendidikan anggota kolaboratif lainnya.
Apakah
sistem kolaborasi ini masih terjaga hingga sekarang di Banjar Klumpu? Entahlah.
Yang jelas keluarga dokter isunya tetap kuat menjunjung spirit gotong-royong
dalam membiayai kuliah kedokteran anggota keluarganya. Setidaknya, spirit
gotong-royong ini diimplementasikan di tingkat keluarga. Misalnya, sang kakak
yang sudah sukses menjadi dokter juga ikut menopang biaya kuliah adik-adiknya.
Spirit kolaboraif ini menyebabkan trah dokter dari keluarga dokter di Banjar
Klumpu tidak pernah putus.
Ada
saja estafet dokter di Banjar Klumpu. Estafet sudah pasti diisi oleh keluarga
dokter dan termasuk keluarga bukan dokter. Hal ini menyebabkan data masyarakat
yang menekuni profesi dokter jumlahnya signifikan. Angka 2,7 % dari total warga
Banjar Klumpu dan 0,37 % dari total warga Desa Klumpu merupakan angka yang
penting bagi sebuah desa di Kepulauan NP. Angka ini dipastikan akan mengalami
dinamika mengingat bahwa masih ada beberapa calon dokter dari Banjar Klumpu
sedang menempuh pendidikan kedokteran.
Meskipun
mencetak puluhan dokter, para dokter dari Banjar Klumpu ini lebih memilih
berkarier di luar Nusa Penida. Entah apa yang mendasarinya. Pertama, bisa jadi
alasan keterbatasan lapangan pekerjaan. Sebagai distrik kecamatan, Kepulauan
Nusa Penida memang agak sulit memberikan ruang berkarier dari para dokter. Sama
halnya dengan daerah lain, Kecamatan Nusa Penida hanya bisa menyediakan
puskesmas. Ya, bisa ditebak berapa jumlah formasi dokter di puskesmas.
Beberapa
tahun lalu, berdiri rumah sakit pratama yang kini sudah berstatus sebagai RSUD
Gema Santi Nusa Penida. Sebagai rumah sakit rintisan, rumah sakit ini juga
belum bisa menyerap tenaga dokter dengan optimal.
Alasan
kedua, mungkin terkait dengan kesejahteraan (penghasilan). Menjadi dokter di
daerah perkotaan, ruang geraknya jelas lebih leluasa. Para dokter (apalagi
dokter spesialis) bisa bekerja di beberapa rumah sakit. Di tambah lagi, bisa
membuka praktik pribadi dengan nominal standar ekonomi orang perkotaan.
Karena
itu, sangat sedikit dokter asal Banjar Klumpu bekerja di NP. Paling banyak di
Bali daratan dan sedikit di luar Bali (Jawa dan Sumbawa). Karena itu, beberapa
dokter rumah sakit di Bali daratan biasanya diisi oleh formasi dokter dari
Banjar Klumpu. Jadi, jangan heran, jika suatu saat bertemu dengan beberapa dokter
dari NP—lalu mereka mengatakan dirinya dari Banjar Klumpu, Desa Klumpu,
Kecamatan NP.
Sebaliknya,
di Kepulauan NP keberadaan dokter justru minim. Apalagi dokter spesialis,
sangat minim. Karena itu, hingga sekarang pun problematika dokter di NP masih rumit,
terutama dokter spesialis. Lowongan dokter spesialis (PNS) di NP masih sangat
sepi peminatnya. RUSD Gema Santi Nusa Penida mungkin sudah merasakannya.
Jadi,
boleh saja Banjar Klumpu menghasilkan dokter secara kontinyu, tetapi belum
tentu tenaganya dapat diberdayakan oleh daerah NP. Ya, karena menjadi dokter
itu adalah pilihan. Bekerja di mana saja juga pilihan. Jika suatu saat
pemerintah (berwenang) membuat kebijakan untuk menarik tenaga lokal bekerja di NP,
mungkin sebuah pilihan—walaupun mungkin agak sulit diwujudkan. Tidak apa-apa.
Yang penting, jangan sampai masyarakat Banjar Klumpu “kehilangan daya favorit”
untuk memilih jurusan kedokteran.
0 komentar:
Posting Komentar