Ilustrasi Foto: medianda-news.blogspot.com |
“Gél duang éba.” Ini adalah salah satu bahasa
Bali dialek Nusa Penida. Artinya, kurang lebih “saya merasa senang”. Kata /gél/ berarti senang. Kata ini terasa
asing bagi penutur bahasa Bali karena hampir tidak pernah digunakan dalam
komunikasi sehari-hari. Namun demikian, ada kata /gélgél/ di Klungkung seberang. /Gélgél/ mengacu pada nama tempat.
Lalu, penutur bahasa Bali (umum) familiar dengan kata /gegélan/. Adakah ketiga kata itu
memiliki hubungan pertalian darah linguistik?
Untuk
memastikan hubungan ketiga kata tersebut, saya mencoba membuka kamus Bahasa
Bali-Indonesia (manual) yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia
(Ketua: Drs. I wayan Warna), Dinas Pengajaran Provinsi Bali Tingkat 1 Bali,
1978. Saya hanya menjumpai kata /gélan/
atau /gegélan/,
artinya pacar dan /gelgel/ (artinya ikal).
Saya
searching di id.glosbe.com, Kamus
Bahasa Bali-Indonesia. Saya ketik kata /senang/ di kolom bahasa Indonesia, maka
keluarlah deretan kata dalam bahasa Bali yaitu demen, seneng, lega, ledang, rena dan lila. Kemudian, saya pastikan ketik kata /gél/
secara otonom di kolom bahasa Bali. Hasilnya, nihil, sama seperti dalam kamus
manual yang saya baca sebelumnya.
Semula,
saya berpikir /gélan/
atau /gegélan/ berasal
dari bentuk dasar /gél/.
Saya mengira /gél/
itu kata sifat. Kemudian, mendapat akhiran /–an/ menjadilah /gélan/,
kelas kata benda. Eh, ternyata tidak. Kata /gélan/
atau /gegélan/ itu
memang bentuk dasar atau kata dasar.
Lalu,
saya tidak habis pikir dengan kata /gélgél/
di Klungkung. Mungkinkan kata ini berhubungan makna dengan kata /gél/
yang digunakan oleh penutur bahasa Bali dialek Nusa Penida? Saya teringat
dengan salah satu narasumber yang menjelaskan peninggalan di Desa Gelgel. Kalau
tidak salah tangkap, sang narasumber sempat menyinggung bahwa nama /gélgél
berhubungan dengan kata /gél/
yang berarti senang, gembira.
Agar
tidak keliru, saya mencoba mencari asal-usul Desa Gélgél di internet.
Namun, saya tidak menemukan sumber yang gamblang tentang nama Gélgél. Saya berharap ada
semacam legenda atau referensi historis tentang nama Gélgél. Kenyataannya, saya
kesulitan menjumpai silsilah kata /gélgél/.
Dari
beberapa referensi yang saya baca, justru nama (Desa) Gélgél sering dicitrakan
dengan suasana pluralisme yang menyenangkan. Gélgél sering dikaitkan
dengan kehidupan masyarakat Islam dan Hindu yang penuh toleransi, saling menghargai,
tolong-menolong dan gotong-royong. Spirit “gél”
ini masih terjaga hingga sekarang.
Jika
benar kata /gélgél/
itu berhubungan dengan makna senang atau gembira, mungkin sangat cocok untuk
merepresentasikan spirit kebhinekaan itu. Gélgél mampu menampilkan eksistensi
menyama braya yang plural. Hal ini
tidak hanya menyenangkan bagi masyarakat yang menjalaninya, pun menyenangkan
dilihat oleh masyarakat luas.
Kalau
pun tidak benar bermakna senang/ gembira, setidaknya kita “gél”
melihat fakta kehidupan plural yang harmonis di Desa Gélgél. Kehidupan yang
memang diidealkan oleh bangsa majemuk seperti Indonesia. Bangsa yang menjunjung
semboyan bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Bagaimana
dengan kata /gélan/
atau /gegélan/?
Kata ini sangat familiar bagi penutur bahasa Bali pada umumnya. Lumrah
digunakan dalam percakapan kehidupan sehari-hari. Jika dicarikan padanan dari
kata /gélan/ ialah /demenan/,
orang yang disenangi, orang yang bisa menyenangkan hati.
Dengan
kata lain, dalam kata /gélan/
atau /gegélan/
tercermin
makna senang (lega, demen, seneng).
Berhubungan dengan suasana hati “senang”. Hanya saja, /gegélan/ cakupan maknanya lebih sempit. Rasa senang
yang dialamatkan kepada kondisi hati dari lawan jenis yaitu laki dan perempuan.
Sementara
itu, kata /gél/
mengacu pada makna dan referen yang lebih
luas. Kata /gél/
bisa digunakan sebagai konteks kondisi rasa
senang yang umum. Konteks pemakaiannya mirip dengan kata “senang” atau
“gembira” dalam bahasa Indonesia.
Meskipun
bermakna lebih luas, anehnya justru kurang familiar di kalangan penutur bahasa
Bali. Ada apa dengan kata /gél/?
Dari mana wit-nya kata /gél/
yang
biasa digunakan oleh penutur bahasa Bali dialek Nusa Penida?
Wah,
kasus /gél/ cocoknya
dituntaskan oleh pakar linguistik (terutama ahli bahasa Bali). Penting adanya research linguistik untuk menguak secara
pasti tentang kemarginalan kata tersebut. Mengapa eksistensinya hanya di Nusa
Penida? Adakah kata itu memiliki “darah keturunan linguistik dengan kata /gélgél
/ atau
/gegélan/
(misalnya)?
Jika
ditelisik dari spirit maknanya, ketiga kata tersebut tampaknya masih memiliki
hubungan darah atau saudara. Paling tidak, kerabat dekatlah. Ketiga kata
tersebut bermakna kurang lebih “senang”. Berkaitan dengan suasana hati yang
positif yaitu senang, gembira, dan bahagia. Suasana makna yang ditimbulkan
hampir sama.
Dari
suasana makna yang ditimbulkan, rasanya ketiga kata tersebut masih memiliki
pertalian makna. Ketiganya berpotensi memiliki garis kekerabatan linguistik
yang tidak begitu jauh. Mungkin saja kata /gél/,
/gélgél
/
dan /gegélan/
memiliki hubungan silsilah linguistik. Namun, hubungan ini masih misterius. Ya,
karena belum ada penelitian linguistik khusus yang mengaitkan silsilah ketiga
kata tersebut.
Bagaimana
dengan ihwal fisik atau morfologinya? Tampaknya, ketiga kata tersebut mungkin
memiliki pertalian. Pada kata /gélgél
/
terdapat kuadrat atau pengulangan (reduplikasi) dari kata /gél/.
Seolah-olah kata /gél/
mengalami
pengulangan murni atau utuh, mirip kasus dwilingga.
Sementara
itu, pada kata /gélan/
seolah-olah terdiri atas 2 morfem. Satu morfem bebas yaitu /gél/ dan
morfem terikat /–an/ (seperti akhiran). Kesannya, /gélan/
berasal dari kata /gél/
dan mendapat akhiran /–an/. Mungkin mirip
dengan kata /demenan/. Kata ini dapat
ditelusuri dari kata /demen/ (kelas
kata sifat), kemudian mendapat pengiring
(akhiran) /-an/. Digabungkan menjadi /demenan/
dan sekaligus berubah menjadi kelas kata benda.
Sekilas
proses morfologisnya mirip dengan kata /gélan/.
Seolah-olah bermula dari morfem /gél/
(kelas
kata sifat), kemudian terkesan mendapat morfem (akhiran) /–an/. Hasil
penggabungannya menjadi /gélan/
dan
sekaligus berubah menjadi kelas kata benda. Nyatanya tidak demikian. Namun,
saya tetap menaruh rasa curiga pada kata /gélan/
terutama
pada proses morfologisnya.
Begitu
juga dengan kata /gegélan/.
Seolah-olah kata ini bersumber dari kata /gél/
seperti
pada kata /gélan/.
Sekilas tampak bahwa /gegélan/
mengalami proses reduplikasi. Persisnya, mengalami kasus dwipurwa. Suku kata
pertama dari /gélan/
diulang,
sehingga menjadi /gegélan/.
Seandainya,
ketiga kata (gel, gelgel dan gegelan) tidak memiliki “pertalian darah
linguistik”, maka perlu ditelisik kata /gél/
di
Nusa Penida (NP) secara otonom. Mengapa penutur di NP menggunakan kata /gél/?
Dari mana datangnya asal-usul kata tersebut?
Bisa
jadi /gél/ menjadi
semacam pemendekan kata (abreviasi) dengan alasan efisiensi berbahasa. Jadi, ada
proses penanggalan bagian-bagian leksem (kata) atau gabungan leksem menjadi
bentuk yang pendek. Misalnya, menanyakan “mau ke mana” dalam bahasa Bali ada
bentuk /kija/ atau /lakar kija/ cukup diucapkan /kal ija/. Lebih pendek lagi, dengan kata
/ija/ atau /ijo/. Penutur di NP mengucapkannya menjadi /jaa/ atau /jaha/.
Mungkinkah
kata /gél/ itu
termasuk kasus abreviasi (penanggalan) dari kata /gegélan/ yang
dilakukan oleh penutur di NP? Dari kata /gegélan/
menjadi
lebih pendek /gélan/
lalu
menjadi /gél/?
Mungkin penutur di NP ingin mengucapkan kata /gegélan/ dengan
sependek-pendeknya.
Jika
memang benar, proses abreviasi ini akan menjadi sedikit ganjil. Pada umumnya,
proses abreviasi tidak berbeda dari makna kata aslinya (sumber). Kata /gegélan/ menjadi
/gélan/ masih
memiliki makna yang sama yaitu pacar.
Bagaimana
dengan kata /gél/?
Kata ini tidak lagi bermakna pacar, orang yang disenangi/ disukai—tetapi
mengandung makna senang atau suka. Dalam kata /gegélan/ tercermin
makna kata /gél/.
Kata /gegélan
dibangun oleh spirit makna /gél/.
Artinya, kedua belah pihak sama-sama /gél/.
Rasa “gél”
laki dan “gél”
wanita bersatu, ya, kasarnya menjadi “gél-gél”
(pada demen, saling menyukai).
Jadi,
/gél/ tidak
lagi bermakna pacar. /Gél/
tidak mengacu kepada benda atau orang yang disenangi/ disukai, tetapi kepada
rasa yang abstrak. /Gél/
tidak
hanya sedikit berbeda makna, pun berbeda kelas kata.
Kata
/gél/ seolah-olah
menjadi kata dasar, golongan kata sifat. Penutur di NP menyepadankan (bersinonim)
kata /gél/
dengan kata /lega/ dan /demen/. Selain kata /gél/,
penutur NP juga menggunakan dua kata tersebut sebagai sinonim atau pengganti
kata /gél/.
Jika
tidak tergolong kasus abreviasi, mungkin /gél/
merupakan
variasi kata ciptaan penutur NP dari sikap arbitrer (manasuka). Penutur NP
menciptakan variasi kata tertentu, yang hanya digunakan dan berkembang di
lingkungan penutur NP.
Menempatkan
kata /gél/ ke
dalam kasus arbitrer adalah senjata pamungkas. Senjata ketika suatu kata tidak
bisa dirasionalkan atau ditelisik dari sisi linguistiknya. Karena prinsip
arbitrer sejalan dengan filosofi “nak mula keto”. Ya, memang begitu adanya.
Tidak perlu penjelasan. Cukup diterima. Jalani.
Yang penting penutur masing-masing daerah di Bali senang menggunakan basa Bali walaupun berbeda dialek. Biarkan Nusa Penida “gél” dengan dialeknya. Begitu juga dengan daerah-daerah lainnya. Semoga semua sama-sama “gél” dengan dialeknya. Gél dan gél serta menjadikan bahasa Bali sebagai “gegélan” linguistik.
0 komentar:
Posting Komentar