Selasa, 15 Maret 2022

 


Sepii Dewasa. Foto: Ketut Serawan


Pernah dikencingi sepii? Jika ditanyakan kepada anak 90-an di Nusa Penida, rasanya mereka akan menjawab dengan kata “pernah”. Sepii bukan puisi. Bukan pula referensi kondisi sunyi, seperti gambaran masa pandemi covid-19 sekarang ini. Namun, sepii merupakan sejenis kumbang oranye kecoklatan yang nyaman hidup pada pohon sambi (kesambi).

Sepii memiliki senjata cairan yang khas dan berbau. Cairan ini dikeluarkan jika merasa terancam. Siapa yang menganggu atau mengancamnya, maka kumbang ini tak segan-segan untuk menyemburkan cairannya. Warga di kampung saya menyebutnya dengan air kencing sepii.

Sejatinya, kencing sepii tidak terlalu berbahaya. Namun, jika mengenai mata, perihnya luar biasa. Cukup menganggu penglihatan dalam waktu beberapa menit. Untuk mengurangi efek perih bertahan lama, orang biasanya mencuci muka berkali-kali dengan air bersih.

Apabila menggenai organ tubuh lainnya, maka relatif aman. Hanya saja, bekas cairan itu akan menimbulkan perubahan warna. Misalnya, mengenai kulit kita—maka kulit akan berubah menjadi agak kekuning-kuningan. Namun, dalam hitungan harian, warna kulit akan menjadi normal kembali.

Sepii termasuk Tessaratoma papillosa. Spesies serangga dalam keluarga Tessaratomidae. Perilaku spesies ini tergolong jinak. Ia akan terbang jika betul-betul merasa terancam. Terbangnya juga tidak terlalu jauh. Ia akan hinggap pada daun pohon terdekat. Akan tetapi, bukan untuk selamanya. Dalam hitungan jam atau harian, sepii akan kembali merindukan habitatnya yakni pohon kesambi.

Sepii paling nyaman bertengger pada daun muda kesambi. Daun muda ini dicirikan dengan warna merah. Entah apa penyebabnya. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, semuanya nyaman memilih bertengger pada daun muda kesambi. Bisa jadi daun muda inilah yang menjadi sumber makanannya.

Sepii dan Titik Nadir Sepi

Tahun 90-an ke bawah, sepii bukan hanya menjadi penghuni utama pohon kesambi, tetapi dijadikan alternatif untuk disantap. Beberapa sepii yang sudah tertangkap, ditusuk berjejer dengan lidi, lalu di panggang di atas bara api.

Sepii yang matang sangat lezat disantap baik dengan maupun tanpa nasi. Apalagi dibumbui dengan sambel, lezatnya lebih terasa. Sepii juga enak diolah dengan cara digoreng. Semuanya tergantung kondisi dan selera. Namun, diolah dengan cara mana pun, bagi lidah anak-anak tahun 90-an (ke bawah), sepii termasuk santapan nikmat.

Di samping lezat, cara menangkapnya juga tergolong mudah. Biasanya, anak-anak di kampung saya cukup bermodalkan senjata engket (getah) nangka, lidi dan sebatang bambu galah. Mula-mula, getah nangka dikumpulkan dengan cara meletakkan ujung lidi pada getah nangka, lalu dikilit-kilit atau diputar-putar.

Jika dirasakan cukup, ujung lidi yang kosong akan diikatkan pada ujung bambu galah yang sudah disiapkan. Panjang bambu galah menyesesuaikan. Berkisar antara 2-4 meter. Poinnya dapat menjangkau keberadaan sepii pada daun kesambi.

Bambu galah yang terikat getah dijulurkan ke atas. Kemudian, getah yang melilit pada lidi ditempelkan pada tubuh sepii. Dalam kondisi seperti ini, sepii langsung menyemprotkan cairan pertahannya. Sambil meronta-ronta, kedua sayapnya terbuka, hendak berusaha terbang. Akan tetapi, daya lengket getah nangka membuat sepii tak berdaya.

Menangkap anak sepii lebih mudah lagi sebab mereka belum memiki sayap. Bentuk tubuhnya persegi panjang, pipih dan gepeng. Seluruh permukaan tubuhnya lunak, memiliki kaki 6 dan 2 antena menjulur di bagian kepala serta berwarna orange.

Berbeda dengan sepii dewasa. Di samping memiliki sayap, sepii dewasa juga memiliki permukaan tubuh yang lebih keras, terutama pada bagian punggungnya. Keras seperti cangkang.

Selain dikonsumsi, kadang-kadang sepii dewasa dijadikan mainan oleh anak-anak zaman dulu. Ujung kakinya yang bergerigi dilepas, lalu tubuhnya diikatkan dengan sesuatu sebagai penanda. Bisa berupa tali, daun ilalang, dan lain sebagainya. Penanda ini sebagai ciri bahwa sepii tertentu milik seseorang.

Ketika penanda sudah diiikatkan pada tubuh sepii, selanjutnya dilepas. Sementara itu, anak-anak akan berlari-lari mengikuti kemana arah sepii terbang. Tindakan ini sebetulnya tergolong penyiksaan. Sepii memang bisa terbang, tetapi tidak dapat hinggap pada daun/ ranting pohon.

Ujung-ujungnya, sepii akan jatuh ke tanah. Ketika jatuh, anak-anak memungutnya lagi dan diterbangkan ke atas. Sekali lagi, sepii berusaha terbang tinggi ke sana kemari menggapai daun atau pohon tetapi akhirnya jatuh lagi.

Bagi anak-anak zaman dulu, melihat sepii terbang dengan penanda tertentu dianggap mengasyikan. Apalagi mereka dapat terlibat berlari-larian memburu sepii yang sedang terbang. Rasanya memang hanya dipahami oleh anak-anak kala itu.

Perburuan sepii menjadi lebih asyik lagi jika pohon kesambi berbuah. Penduduk di kampung saya menyebut buahnya dengan nama cacil. Bentuk buahnya menyerupai kelengkeng. Daging buahnya berwarna putih dan memiliki satu biji bulat kehitaman. Buah yang tua rasanya manis dan sedikit kecut. Sedangkan, yang belum matang rasanya kecut sekali.

Biasanya, kesambi berbuah saat memasuki rentang musim kemarau. Musim ketika pakan sapi mengalami paceklik. Segala daun diberdayakan untuk pakan sapi. Salah satunya daun kesambi. Untuk mendapatkan daun kesambi, anak-anak memanjat pohon kesambi dengan cara memotong rantingnya yang kecil-kecil. Pada saat inilah terjadi hujan berkah.

Tidak hanya ranting, tetapi ikut pula jatuh ke tanah yaitu daun kesambi, buahnya dan sepii. Berkah ini seolah-olah menjadi satu paket. Ranting-ranting kecil menyatu dengan daun, buah dan pada ujung daun mudanya bertengger beberapa sepii.  

Ketika ada getaran saat memotong ranting kesambi, sebagian besar sepii memilih terbang. Namun, ada beberapa yang ogah terbang. Mungkin mereka merasa terlalu nyaman. Getaran saat memotong bahkan ketika ranting jatuh ke tanah pun tidak dianggap sebagai ancaman. Mereka tetap nyaman bertengger di tempat semula.

Dari sinilah, suasana pesta anak zaman dulu dimulai. Sambil mengumpulkan daun kesambi sebagai pakan sapi, mereka juga menikmati cacil yang matang. Pun mengumpulkan beberapa sepii untuk dipanggang atau digoreng. Sebuah pesta sederhana ala anak pedesaan yang tentu saja bernilai bagi anak-anak zaman dulu di NP.

Selain daun dan buahnya, kayu kesambi juga dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Di kampung saya, kayu kesambi yang tua biasanya digunakan sebagai “lu”. Lu digunakan sebagai penumbuk jagung, beleleng, dan gedebong (batang pisang yang diiris untuk dijadikan pakan babi-dagdag).

Zaman 90-an ke bawah, mesin-mesin pengilesan (peremuk biji jagung) masih sangat langka. Orang-orang di kampung saya mengolah biji-bijian tersebut dengan cara ditumbuk pada sebuah lesung batu yang cukup besar. Dalam rangkaian proses penumbukkan inilah dikenal adanya tradisi “napinan”.

Jagung dan beleleng yang ditumbuk, diangkat dari lesung, lalu ditaruh ke dalam tempeh. Selanjutnya, diayun-ayunkan dengan gerakan berputar-putar terlebih dahulu sehingga ootnya (lapisan kulit luar biji) berkumpul pada satu titik pusat. Kemudian, diayun-ayunkan ke depan untuk memisahkan ootnya pada tempat yang sudah disediakan. Proses “napinan’ ini dilakukan beberapa kali sesuai kebutuhan.

Aktivitas “napinan” membutuhan skil khusus. Biasanya, tradisi “napinan” ini dilakukan oleh kaum perempuan. Anak perempuan zaman dulu, hampir semuanya cekatan dalam melakoni aktivitas “napinan”. Pasalnya, aktivitas ini dilakukan hampir setiap hari, terutama pada musim panen jagung. Dulu, nasi jagung menjadi makanan pokok di NP. Untuk mengolahnya menjadi nasi, harus melewati proses “nebuk (numbuk)” dan “napinan”.

Karena itu, hampir semua warga di kampung saya memiliki lesung dan lu. Salah satu pilihan kayu yang digunakan sebagai lu ialah kayu kesambi. Hal ini disebabkan oleh kayu kesambi memiliki tekstur yang rapat, kuat dan berat. Sangat cocok digunakan untuk meremukkan biji-bijian.

Namun, seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pemanfatan lesung dan lu semakin kurang optimal. Bahkan, hampir terabaikan. Pemanfaatan kayu kesambi menjadi lu sudah hampir tiada. Pohon-pohon kesambi tumbuh makin liar bersama penghuni setianya yaitu spesies sepii.   

Kesambi dan sepii berjalan dengan kisahnya sendiri. Tak ada lagi yang peduli. Anak-anak kini lebih memilih sunyi bersama gadgetnya sendiri-sendiri. Tidak ditemukan lagi pesta cacil dan sepii di bawah pohon kesambi.  

Pergerakan musim kemarau berlalu penuh gelisah, karena tak lagi mencatat riuh kaki anak-anak berlari mengejar sepii. Pun bara api sudah sekian tahun puasa bakar tubuh sepii. Kini, kisah sepii benar-benar tenggelam ke titik nadir sepi.   

0 komentar:

Posting Komentar