Sepii Dewasa. Foto: Ketut Serawan |
Pernah dikencingi sepii? Jika ditanyakan kepada anak 90-an
di Nusa Penida, rasanya mereka akan menjawab dengan kata “pernah”. Sepii bukan puisi. Bukan pula referensi kondisi
sunyi, seperti gambaran masa pandemi covid-19 sekarang ini. Namun, sepii merupakan sejenis kumbang oranye
kecoklatan yang nyaman hidup pada pohon sambi
(kesambi).
Sepii
memiliki senjata cairan yang khas dan berbau. Cairan ini dikeluarkan jika merasa
terancam. Siapa yang menganggu atau mengancamnya, maka kumbang ini tak
segan-segan untuk menyemburkan cairannya. Warga di kampung saya menyebutnya
dengan air kencing sepii.
Sejatinya,
kencing sepii tidak terlalu
berbahaya. Namun, jika mengenai mata, perihnya luar biasa. Cukup menganggu penglihatan
dalam waktu beberapa menit. Untuk mengurangi efek perih bertahan lama, orang
biasanya mencuci muka berkali-kali dengan air bersih.
Apabila
menggenai organ tubuh lainnya, maka relatif aman. Hanya saja, bekas cairan itu
akan menimbulkan perubahan warna. Misalnya, mengenai kulit kita—maka kulit akan
berubah menjadi agak kekuning-kuningan. Namun, dalam hitungan harian, warna
kulit akan menjadi normal kembali.
Sepii
termasuk Tessaratoma papillosa. Spesies
serangga dalam keluarga Tessaratomidae.
Perilaku spesies ini tergolong jinak. Ia akan terbang jika betul-betul merasa
terancam. Terbangnya juga tidak terlalu jauh. Ia akan hinggap pada daun pohon
terdekat. Akan tetapi, bukan untuk selamanya. Dalam hitungan jam atau harian, sepii akan kembali merindukan habitatnya
yakni pohon kesambi.
Sepii
paling nyaman bertengger pada daun muda kesambi. Daun muda ini dicirikan dengan
warna merah. Entah apa penyebabnya. Mulai dari anak-anak hingga dewasa,
semuanya nyaman memilih bertengger pada daun muda kesambi. Bisa jadi daun muda
inilah yang menjadi sumber makanannya.
Sepii dan Titik Nadir Sepi
Tahun
90-an ke bawah, sepii bukan hanya
menjadi penghuni utama pohon kesambi, tetapi dijadikan alternatif untuk
disantap. Beberapa sepii yang sudah
tertangkap, ditusuk berjejer dengan lidi, lalu di panggang di atas bara api.
Sepii
yang matang sangat lezat disantap baik dengan maupun tanpa nasi. Apalagi
dibumbui dengan sambel, lezatnya lebih terasa. Sepii juga enak diolah dengan cara digoreng. Semuanya tergantung
kondisi dan selera. Namun, diolah dengan cara mana pun, bagi lidah anak-anak
tahun 90-an (ke bawah), sepii termasuk
santapan nikmat.
Di
samping lezat, cara menangkapnya juga tergolong mudah. Biasanya, anak-anak di
kampung saya cukup bermodalkan senjata engket
(getah) nangka, lidi dan sebatang bambu galah. Mula-mula, getah nangka
dikumpulkan dengan cara meletakkan ujung lidi pada getah nangka, lalu dikilit-kilit atau diputar-putar.
Jika
dirasakan cukup, ujung lidi yang kosong akan diikatkan pada ujung bambu galah
yang sudah disiapkan. Panjang bambu galah menyesesuaikan. Berkisar antara 2-4
meter. Poinnya dapat menjangkau keberadaan sepii
pada daun kesambi.
Bambu
galah yang terikat getah dijulurkan ke atas. Kemudian, getah yang melilit pada
lidi ditempelkan pada tubuh sepii.
Dalam kondisi seperti ini, sepii langsung
menyemprotkan cairan pertahannya. Sambil meronta-ronta, kedua sayapnya terbuka,
hendak berusaha terbang. Akan tetapi, daya lengket getah nangka membuat sepii tak berdaya.
Menangkap
anak sepii lebih mudah lagi sebab
mereka belum memiki sayap. Bentuk tubuhnya persegi panjang, pipih dan gepeng.
Seluruh permukaan tubuhnya lunak, memiliki kaki 6 dan 2 antena menjulur di
bagian kepala serta berwarna orange.
Berbeda
dengan sepii dewasa. Di samping
memiliki sayap, sepii dewasa juga
memiliki permukaan tubuh yang lebih keras, terutama pada bagian punggungnya.
Keras seperti cangkang.
Selain
dikonsumsi, kadang-kadang sepii
dewasa dijadikan mainan oleh anak-anak zaman dulu. Ujung kakinya yang bergerigi
dilepas, lalu tubuhnya diikatkan dengan sesuatu sebagai penanda. Bisa berupa
tali, daun ilalang, dan lain sebagainya. Penanda ini sebagai ciri bahwa sepii tertentu milik seseorang.
Ketika
penanda sudah diiikatkan pada tubuh sepii,
selanjutnya dilepas. Sementara itu, anak-anak akan berlari-lari mengikuti
kemana arah sepii terbang. Tindakan ini
sebetulnya tergolong penyiksaan. Sepii
memang bisa terbang, tetapi tidak dapat hinggap pada daun/ ranting pohon.
Ujung-ujungnya,
sepii akan jatuh ke tanah. Ketika
jatuh, anak-anak memungutnya lagi dan diterbangkan ke atas. Sekali lagi, sepii berusaha terbang tinggi ke sana
kemari menggapai daun atau pohon tetapi akhirnya jatuh lagi.
Bagi
anak-anak zaman dulu, melihat sepii
terbang dengan penanda tertentu dianggap mengasyikan. Apalagi mereka dapat
terlibat berlari-larian memburu sepii
yang sedang terbang. Rasanya memang hanya dipahami oleh anak-anak kala itu.
Perburuan
sepii menjadi lebih asyik lagi jika
pohon kesambi berbuah. Penduduk di kampung saya menyebut buahnya dengan nama cacil. Bentuk buahnya menyerupai
kelengkeng. Daging buahnya berwarna putih dan memiliki satu biji bulat
kehitaman. Buah yang tua rasanya manis dan sedikit kecut. Sedangkan, yang belum
matang rasanya kecut sekali.
Biasanya,
kesambi berbuah saat memasuki rentang musim kemarau. Musim ketika pakan sapi
mengalami paceklik. Segala daun diberdayakan untuk pakan sapi. Salah satunya
daun kesambi. Untuk mendapatkan daun kesambi, anak-anak memanjat pohon kesambi
dengan cara memotong rantingnya yang kecil-kecil. Pada saat inilah terjadi
hujan berkah.
Tidak
hanya ranting, tetapi ikut pula jatuh ke tanah yaitu daun kesambi, buahnya dan sepii. Berkah ini seolah-olah menjadi
satu paket. Ranting-ranting kecil menyatu dengan daun, buah dan pada ujung daun
mudanya bertengger beberapa sepii.
Ketika
ada getaran saat memotong ranting kesambi, sebagian besar sepii memilih terbang. Namun, ada beberapa yang ogah terbang. Mungkin
mereka merasa terlalu nyaman. Getaran saat memotong bahkan ketika ranting jatuh
ke tanah pun tidak dianggap sebagai ancaman. Mereka tetap nyaman bertengger di
tempat semula.
Dari
sinilah, suasana pesta anak zaman dulu dimulai. Sambil mengumpulkan daun
kesambi sebagai pakan sapi, mereka juga menikmati cacil yang matang. Pun mengumpulkan beberapa sepii untuk dipanggang atau digoreng. Sebuah pesta sederhana ala anak
pedesaan yang tentu saja bernilai bagi anak-anak zaman dulu di NP.
Selain
daun dan buahnya, kayu kesambi juga dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Di
kampung saya, kayu kesambi yang tua biasanya digunakan sebagai “lu”. Lu
digunakan sebagai penumbuk jagung, beleleng,
dan gedebong (batang pisang yang
diiris untuk dijadikan pakan babi-dagdag).
Zaman
90-an ke bawah, mesin-mesin pengilesan (peremuk biji jagung) masih sangat
langka. Orang-orang di kampung saya mengolah biji-bijian tersebut dengan cara ditumbuk
pada sebuah lesung batu yang cukup besar. Dalam rangkaian proses penumbukkan
inilah dikenal adanya tradisi “napinan”.
Jagung
dan beleleng yang ditumbuk, diangkat
dari lesung, lalu ditaruh ke dalam tempeh.
Selanjutnya, diayun-ayunkan dengan gerakan berputar-putar terlebih dahulu
sehingga ootnya (lapisan kulit luar
biji) berkumpul pada satu titik pusat. Kemudian, diayun-ayunkan ke depan untuk
memisahkan ootnya pada tempat yang
sudah disediakan. Proses “napinan’ ini dilakukan beberapa kali sesuai
kebutuhan.
Aktivitas
“napinan” membutuhan skil khusus. Biasanya, tradisi “napinan” ini dilakukan
oleh kaum perempuan. Anak perempuan zaman dulu, hampir semuanya cekatan dalam
melakoni aktivitas “napinan”. Pasalnya, aktivitas ini dilakukan hampir setiap
hari, terutama pada musim panen jagung. Dulu, nasi jagung menjadi makanan pokok
di NP. Untuk mengolahnya menjadi nasi, harus melewati proses “nebuk (numbuk)”
dan “napinan”.
Karena
itu, hampir semua warga di kampung saya memiliki lesung dan lu. Salah satu
pilihan kayu yang digunakan sebagai lu ialah kayu kesambi. Hal ini disebabkan
oleh kayu kesambi memiliki tekstur yang rapat, kuat dan berat. Sangat cocok
digunakan untuk meremukkan biji-bijian.
Namun,
seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pemanfatan lesung dan lu
semakin kurang optimal. Bahkan, hampir terabaikan. Pemanfaatan kayu kesambi
menjadi lu sudah hampir tiada. Pohon-pohon kesambi tumbuh makin liar bersama
penghuni setianya yaitu spesies sepii.
Kesambi
dan sepii berjalan dengan kisahnya
sendiri. Tak ada lagi yang peduli. Anak-anak kini lebih memilih sunyi bersama gadgetnya sendiri-sendiri. Tidak
ditemukan lagi pesta cacil dan sepii di bawah pohon kesambi.
Pergerakan
musim kemarau berlalu penuh gelisah, karena tak lagi mencatat riuh kaki
anak-anak berlari mengejar sepii. Pun
bara api sudah sekian tahun puasa bakar tubuh sepii. Kini, kisah sepii benar-benar
tenggelam ke titik nadir sepi.
0 komentar:
Posting Komentar