PERLU STRATEGI MENYIKAPI BIAYA PENDIDIKAN
YANG MAHAL
Geliat era globalisasi kian memunculkan kebutuhan yang begitu kompleks, penting dan mendesak untuk dipenuhi. Sebut saja kebutuhan pendidikan (sekolah). Kebutuhan ini kian setara dengan kebutuhan primer dalam
keluarga. Sayangnya, hingga kini kebutuhan pendidikan dirasakan sangat mahal
oleh orang tua.
Mahalnya
biaya pendidikan dirasakan keluarga terutama menjelang tahun ajaran baru. Karena
pada saat inilah timbul kebutuhan-kebutuhan sekolah yang membludak. Uang gedung
yang mencapai jutaan. Uang pakaian dan uang buku yang nilainya masing-masing bisa
mencapai ratusan ribu rupiah. Di tambah pula uang ekstrakurikuler, dua kali
uang SPP dan uang lain-lainnya.
Bagi
keluarga menengah ke bawah, jumlah kebutuhan tersebut sangat memberatkan. Memenuhi
daftar biaya yang terbilang tinggi itu jelas bukan perkara mudah. Apalagi pada
zaman susah seperti sekarang ini, mencari pekerjaan sulit--angka pengangguran
kian bertambah. Maka wajar tersiar berita di televisi bahwa seorang tukang
becak harus menjual becaknya untuk membiayai sekolah anaknya. Padahal becaknya
merupakan aset satu-satunya dan sekaligus sebagai sumber penghasilan. Namun
demi biaya awal sekolah anaknya, tukang becak itu pun harus melelang becaknya. Mengapa
orang tua harus bertaruh demi pendidikan anaknya?
Insan masa depan
Setiap
ortu (keluarga) pasti menginginkan anak berkualitas dan memiliki masa depan
yang gemilang. Apalagi hidup seperti sekarang di mana profesional, kompetensi
dan kompetisi kian didewakan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan insan masa
depan yaitu insan yang bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi (Semiawan,
2008). Di samping itu, harus berkemampuan intelektual, kreatif dan mampu
beradaptasi dengan perubahan (Yulaewati, 2004). Lebih rinci Yulaewati
menjelaskan bahwa prasyarat menjadi insan abad informasi, yakni (1) mampu
menggunakan pengetahuan untuk bertahan hidup, (2) mampu menggunakan sains untuk
meningkatkan mutu kehidupan dalam dunia teknologi yang telah berubah, (3) bertanggung
jawab terhadap dampak sosial penggunaan sains dan teknologi, (4) mampu
menangkap/ menciptakan peluang kerja/ karir berdasarkan potensi yang dimiliki
dan sumber daya yang tersedia, (5) mampu mendayagunakan informasi dengan banyak
membaca dan menulis serta (6) mampu belajar sepanjang hayat termasuk
melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Pentingnya pendidikan
Dalam
konteks pembentukan karakter insan global inilah diperlukan peran penting
pendidikan. Baik itu pendidikan informal (di keluarga), pendidikan nonformal
(khursus/ pelatihan) maupun pendidikan formal (sekolah). Dari ketiga kategori
pendidikan ini tampaknya masyarakat lebih condong melimpahkan pendidikan ke sektor
pendidikan formal (sekolah).
Kelebihan
sektor pendidikan formal (sekolah) bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, dari
segi kejenjangannya, sekolah memiliki kematangan tahap dalam pembentukan intelektual,
kreativitas, dan kemampuan beradaptasi anak. Kematangan tahap itu tampak dari hierarki jenjang
TK, SD,
SMU/ SMK sampai ke perguruan tinggi.
Kedua,
proses pendidikan formal berlandaskan psikologi anak. Artinya, tingkat materi
ajar, strategi dan metode pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan anak. Sehingga pengetahuan, pemahaman dan analisis anak berkembang
secara berkesinambungan dan integratif. Ketiga, fasilitas pendidikan, tenaga
pengajar, dan sistem/ manajemen yang berkarakter pendidikan. Dibanding dengan
pendidikan informal maupun nonformal, pendidikan formal secara umum memiliki
sarana dan prasana yang lebih memadai, tenaga pengajar yang kompeten dan manajemen
yang mementingkan kemajuan kemampuan anak (siswa). Keempat, mempunyai
kematangan dasar dan arah yang tertuang dalam kurikulum. Kurikulum merupakan
rambu-rambu dalam pembentukan manusia global yang ideal. Karena kurikulum
disusun berdasarkan perkembangan dan kebutuhan di lapangan. Oleh karena itulah,
kurikulum akan berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Di
balik keefektifan sekolah dalam pembentukan insan bermasa depan, ada satu
kendala klasik menimpa para orang tua. Persoalan klasik itu seperti disebutkan
sebelumnya yaitu biaya. Kendati sekarang pemerintah telah berusaha meringankan
beban ortu dengan kebijakan dana BOS, beban kebutuhan pendidikan di keluarga
masih tetap dirasakan berat. Pasalnya, dana BOS (termasuk dana BOS buku) masih
jauh dari harapan keluarga. Kenyataannya antara pengeluaran di lapangan dengan
nominal BOS masih jauh dari keseimbangan.
Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan yang arif dari para ortu dalam menyikapi
dilema ini. Langkah-langlah arif itu bisa ditempuh dengan cara penghematan
anggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan lain. Artinya, sebisa mungkin kebutuhan-kebutuhan
yang tidak penting dihemat sehingga sisanya bisa diprioritaskan ke anggaran
pendidikan anak. Langkah lain misalnya dengan cara cermat dan jeli dalam
memilih sekolah. Cermat dan jeli di sini bermakna tidak hanya melihat segi kualitas
atau kefavoritan sekolah saja, tetapi mesti disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi keluarga. Kalau bisa murah/ terjangkau tanpa mengabaikan kualitas. Jadi
tidak semestinya ortu merasa malu jika tidak menempatkan anaknya di sekolah favorit.
Langkah
yang tak kalah pentingnya juga ialah mengkritisi sekolah terutama tentang
transparansi keuangan. Namun jangan diinterpretasikan mengintervensi urusan
rumah tangga sekolah. Orang tua perlu mengontrol kebijakan sekolah yang
berkaitan dengan masalah keuangan. Seandainya ada kebijakan yang memberatkan
secara keuangan, ortu bisa secara pribadi, kelompok atau melalui komite sekolah
(yang independen) meminta konfirmasi kepada sekolah. Jika konfirmasi dirasakan
tidak logis, ortu melalui komite sekolah bisa bernegosiasi dengan sekolah untuk
mengkaji ulang kebijakan tersebut. Langkah ini bertujuan mengantisipasi
pungutan liar atau anggaran yang terlalu longgar dari pihak sekolah. Jadi, jangan
pernah enggan bersikap dan bertindak cermat kalau memang untuk anggaran
pendidikan. i ketut Serawan, guru tinggal di Denpasar
0 komentar:
Posting Komentar