Selasa, 25 Oktober 2016



PERLU STRATEGI MENYIKAPI BIAYA PENDIDIKAN YANG MAHAL

Geliat era globalisasi kian memunculkan kebutuhan yang begitu kompleks, penting dan mendesak untuk dipenuhi. Sebut saja kebutuhan pendidikan (sekolah). Kebutuhan ini kian setara dengan kebutuhan primer dalam keluarga. Sayangnya, hingga kini kebutuhan pendidikan dirasakan sangat mahal oleh orang tua.
Mahalnya biaya pendidikan dirasakan keluarga terutama menjelang tahun ajaran baru. Karena pada saat inilah timbul kebutuhan-kebutuhan sekolah yang membludak. Uang gedung yang mencapai jutaan. Uang pakaian dan uang buku yang nilainya masing-masing bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Di tambah pula uang ekstrakurikuler, dua kali uang SPP dan uang lain-lainnya.
Bagi keluarga menengah ke bawah, jumlah kebutuhan tersebut sangat memberatkan. Memenuhi daftar biaya yang terbilang tinggi itu jelas bukan perkara mudah. Apalagi pada zaman susah seperti sekarang ini, mencari pekerjaan sulit--angka pengangguran kian bertambah. Maka wajar tersiar berita di televisi bahwa seorang tukang becak harus menjual becaknya untuk membiayai sekolah anaknya. Padahal becaknya merupakan aset satu-satunya dan sekaligus sebagai sumber penghasilan. Namun demi biaya awal sekolah anaknya, tukang becak itu pun harus melelang becaknya. Mengapa orang tua harus bertaruh demi pendidikan anaknya?
Insan masa depan
Setiap ortu (keluarga) pasti menginginkan anak berkualitas dan memiliki masa depan yang gemilang. Apalagi hidup seperti sekarang di mana profesional, kompetensi dan kompetisi kian didewakan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan insan masa depan yaitu insan yang bisa menjadi bagian dari masyarakat informasi (Semiawan, 2008). Di samping itu, harus berkemampuan intelektual, kreatif dan mampu beradaptasi dengan perubahan (Yulaewati, 2004). Lebih rinci Yulaewati menjelaskan bahwa prasyarat menjadi insan abad informasi, yakni (1) mampu menggunakan pengetahuan untuk bertahan hidup, (2) mampu menggunakan sains untuk meningkatkan mutu kehidupan dalam dunia teknologi yang telah berubah, (3) bertanggung jawab terhadap dampak sosial penggunaan sains dan teknologi, (4) mampu menangkap/ menciptakan peluang kerja/ karir berdasarkan potensi yang dimiliki dan sumber daya yang tersedia, (5) mampu mendayagunakan informasi dengan banyak membaca dan menulis serta (6) mampu belajar sepanjang hayat termasuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
Pentingnya pendidikan
Dalam konteks pembentukan karakter insan global inilah diperlukan peran penting pendidikan. Baik itu pendidikan informal (di keluarga), pendidikan nonformal (khursus/ pelatihan) maupun pendidikan formal (sekolah). Dari ketiga kategori pendidikan ini tampaknya masyarakat lebih condong melimpahkan pendidikan ke sektor pendidikan formal (sekolah).
Kelebihan sektor pendidikan formal (sekolah) bisa dilihat dari beberapa aspek. Pertama, dari segi kejenjangannya, sekolah memiliki kematangan tahap dalam pembentukan intelektual, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi anak.  Kematangan tahap itu tampak dari hierarki jenjang TK, SD, SMU/ SMK sampai ke perguruan tinggi.
Kedua, proses pendidikan formal berlandaskan psikologi anak. Artinya, tingkat materi ajar, strategi dan metode pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Sehingga pengetahuan, pemahaman dan analisis anak berkembang secara berkesinambungan dan integratif. Ketiga, fasilitas pendidikan, tenaga pengajar, dan sistem/ manajemen yang berkarakter pendidikan. Dibanding dengan pendidikan informal maupun nonformal, pendidikan formal secara umum memiliki sarana dan prasana yang lebih memadai, tenaga pengajar yang kompeten dan manajemen yang mementingkan kemajuan kemampuan anak (siswa). Keempat, mempunyai kematangan dasar dan arah yang tertuang dalam kurikulum. Kurikulum merupakan rambu-rambu dalam pembentukan manusia global yang ideal. Karena kurikulum disusun berdasarkan perkembangan dan kebutuhan di lapangan. Oleh karena itulah, kurikulum akan berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Di balik keefektifan sekolah dalam pembentukan insan bermasa depan, ada satu kendala klasik menimpa para orang tua. Persoalan klasik itu seperti disebutkan sebelumnya yaitu biaya. Kendati sekarang pemerintah telah berusaha meringankan beban ortu dengan kebijakan dana BOS, beban kebutuhan pendidikan di keluarga masih tetap dirasakan berat. Pasalnya, dana BOS (termasuk dana BOS buku) masih jauh dari harapan keluarga. Kenyataannya antara pengeluaran di lapangan dengan nominal BOS masih jauh dari keseimbangan.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang arif dari para ortu dalam menyikapi dilema ini. Langkah-langlah arif itu bisa ditempuh dengan cara penghematan anggaran terhadap kebutuhan-kebutuhan lain. Artinya, sebisa mungkin kebutuhan-kebutuhan yang tidak penting dihemat sehingga sisanya bisa diprioritaskan ke anggaran pendidikan anak. Langkah lain misalnya dengan cara cermat dan jeli dalam memilih sekolah. Cermat dan jeli di sini bermakna tidak hanya melihat segi kualitas atau kefavoritan sekolah saja, tetapi mesti disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga. Kalau bisa murah/ terjangkau tanpa mengabaikan kualitas. Jadi tidak semestinya ortu merasa malu jika tidak menempatkan anaknya di sekolah favorit.
Langkah yang tak kalah pentingnya juga ialah mengkritisi sekolah terutama tentang transparansi keuangan. Namun jangan diinterpretasikan mengintervensi urusan rumah tangga sekolah. Orang tua perlu mengontrol kebijakan sekolah yang berkaitan dengan masalah keuangan. Seandainya ada kebijakan yang memberatkan secara keuangan, ortu bisa secara pribadi, kelompok atau melalui komite sekolah (yang independen) meminta konfirmasi kepada sekolah. Jika konfirmasi dirasakan tidak logis, ortu melalui komite sekolah bisa bernegosiasi dengan sekolah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Langkah ini bertujuan mengantisipasi pungutan liar atau anggaran yang terlalu longgar dari pihak sekolah. Jadi, jangan pernah enggan bersikap dan bertindak cermat kalau memang untuk anggaran pendidikan.  i ketut Serawan, guru tinggal di Denpasar

0 komentar:

Posting Komentar