Menggali
Local Genius Sastra
untuk
Membangun Karakter Kenusantaraan
Oleh
I Ketut
Serawan, S.Pd.
BAB I PENDAHULUAN
Dalam
berbagai lini, bangsa Indonesia mulai dilanda krisis identitas. Krisis ini
menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang “galau”. Di satu sisi, kita ingin
menjaga karakter kenusantaraan dengan setengah hati. Di sisi lain, kita
menggebu-gebu ingin menjadi bangsa lain. Akibatnya, kita malu-malu menggunakan
identitas (atribut) kenusantaraan dan bangga menggunakan identitas
bangsa-bangsa lain terutama barat. Segala yang berbau barat dipuja sebagai ikon
modernitas. Sebaliknya, ikhwal kenusantaraan dianggap sebagai simbol kuno (terbelakang).
Oleh
karena itulah, belakangan muncul gerakan isu nusantara. Gerakan insaf pada
karakter kenusantaraan yang berlandaskan pancasila. Gerakan ini memandang urgen
agar bangsa Indonesia berinkarnasi ke tabiat asli melalui aset local genius (kearifan lokal) yang
dimilikinya.
Nusantara mempunyai kearifan
lokal yang tercermin dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah bidang sastra.
Sastra mengandung beragam kearifan lokal yang strategis dapat membentuk
karakter kenusantaraan. Karena sastra mampu menyajikan kompleksitas nilai
kehidupan sekaligus seperti, pendidikan budi pekerti, budaya, tradisi, religi
dan lain sebagainya. Sayang, bangsa Indonesia belum mampu menggali dan mengimplementasikannya
dengan optimal. Padahal, karakter kenusantaraan merupakan modal penting untuk berlaga
di kompetisi internasional. Hargens (dalam Suyatno, 2011) menyebutkan bahwa
hanya negara dengan identitas kuat yang tidak akan jatuh dalam percaturan
global.
BAB II ISI
Membangun
karakter kenusantaraan di tengah arus pasar globalisasi memang bukan persoalan
yang mudah. Dibutuhkan totalitas komitmen, konsistensi, dan kerja keras dari
segala unsur kebangsaan. Tanpa totalitas, bangsa kita akan terjerumus
kehilangan identitas. Karena permainan pasar bebas merupakan politik negara
maju untuk mengerdilkan identitas bangsa yang sedang berkembang. Pasar bebas
diplot agar bangsa Indonesia menjadi “pecundang follower identitas” bangsa-bangsa yang maju. Dalam konteks inilah,
bangsa Indonesia bisa belajar dari daerah Bali.
Jika di Bali ada gerakan ajeg
Bali, barangkali bisa dijadikan inspirasi untuk memunculkan gerakan ajeg
nusantara. Semua tatanan kehidupan berlandaskan pada pandangan hidup
kenusantaraan. Namun bukan berarti kita menutup diri dari pengaruh asing. Kita
tetap terbuka menerima pengaruh asing asalkan sesuai dan berkontribusi
meningkatkan derajat nilai kenusantaraan. Lalu sendi apa yang paling efektif dan
strategis dapat membangun karakter kenusantaraan? Salah satunya adalah sendi
sastra.
2.1 Efektivitas Sastra Membangun Karakter
Kenusantaraan
Sastra efektif
membangun karakter kenusantaraan karena memiliki beberapa kelebihan. Pertama,
sastra merupakan bank nilai kehidupan yang kompleks. Dalam sastra disuguhkan berbagai
nilai atau pandangan hidup (kearifan lokal) sekaligus. Karena sastra mengangkat
beragam persoalan yang mirip dengan realitas kehidupan sehari-hari. Kehidupan
yang tidak jauh dari ruang dan tempat sastra itu dilahirkan. Itulah sebabnya,
Plato dan Aristoteles (dalam Taum, 1997) menyebutnya dengan istilah mimesis
yakni tiruan dari kenyataan yang sebenarnya. Namun, harus dicatat bahwa tiruan
realitas yang disuguhkan dalam sastra merupakan imitasi berkualitas sebagai
pantulan hidup. Artinya, realitas itu diolah sebagai kepentingan instrospeksi untuk
mencapai nilai kehidupan yang lebih idealis.
Kedua,
sastra memiliki dapur kreasi. Apa yang menyebabkan orang berjam-jam atau
berhari-hari menyimak/ membaca karya sastra tetapi tidak menjenuhkan? Karena
sastra memiliki unsur rekreatif dan estetis. Unsur rekreatif dan estetis
menyebabkan penikmat sastra menjadi terhibur, senang, dan merasakan pengalaman
keindahan dari karya sastra. Efek rekreatif dan estetis bersumber dari produk
dapur kreasi sastra. Sastra mempunyai dapur kreasi untuk mengolah realitas menjadi
tidak biasa (kreatif). Melalui tangan pengarang, realitas disiapkan, dimasak,
dan disajikan sedemikian rupa sehingga selalu menarik untuk dinikmati.
Ketiga,
sastra bersifat konstektual. Persoalan-persoalan yang disajikan sastra berkisar
tentang realitas kehidupan sehari-hari. Otomatis, penikmat sastra menjadi merasa
akrab dan dekat. Bahkan tak jarang penikmat merasa menjadi bagian dari beberapa
peristiwa dalam sastra. Faktor kedekatan inilah yang menyebabkan penikmat
menjadi interes dengan sastra.
Meskipun
mempunyai beberapa kelebihan, sastra tidak serta merta digandrungi oleh
masyarakat Indonesia. Sastra hanya diminati oleh komunitas tertentu (masyarakat
sastra). Massa sastra umumnya adalah kalangan sastrawan, kritikus, guru bahasa/
sastra, siswa dan sebagian kecil masyarakat pecinta sastra.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan sastra terkesan marginal di tengah masyarakat.
Pertama, sastra diberikan ruang yang sempit oleh pemerintah di lembaga
pendidikan formal. Sastra diajarkan bersama bahasa dengan status sebagai pelengkap.
Kedua, banyak guru bahasa/ sastra Indonesia kurang terampil mengajarkan sastra
di sekolah sehingga tidak dapat memenuhi target ideal pembelajaran sastra. Ketiga,
masyarakat memandang sastra sebagai pelajaran rendahan, fiktif, dan tidak
menentukan masa depan anak. Keempat, kebijakan diskriminatif sekolah yang
melemahkan dengan membedakan siswa berkasta eksak (pintar) dan berkasta sastra
(kurang pintar).
Mirisnya,
fenomena di atas muncul justru ketika budaya tulis, audio, audiovisual dan
internet berkembang pesat. Berbeda dengan jaman budaya lisan yang mengemuka
tempo dulu. Meskipun tingkat pendidikan masyarakatnya rendah (kebanyakan tidak
bisa baca-tulis), tetapi jumlah massa sastra spektakuler. Hampir semua
masyarakat menjadi penikmat sastra. Sebab jaman itu, orang tua merupakan pelaku
sastra setidak-tidaknya bagi anak-anak mereka. Orang tua mampu menuturkan
(mewariskan) sastra secara turun-temurun pada generasi berikutnya.
Tradisi
oral memiliki beberapa keunggulan, antara lain: (1) dialogis, (2) bimbingan
langsung, (3) ikatan emosional, dan (4) sosial. Dialogis terjadi karena ada
pihak pencerita (pelipur lara) dan penikmat dalam satu ruang dan waktu. Mereka
menjalin kontak (bertatap muka) secara langsung selama proses beraktivitas
sastra. Dalam proses dialogis ini, penikmat sekaligus mendapatkan bimbingan
hidup dari pihak pencerita. Hubungan dialogis ini juga memunculkan ikatan
emosional antara pencerita (orang tua) dengan penikmat (anak-anak). Anak-anak
merasa lebih dekat, merasa dicintai dan dihargai oleh orang tua mereka. Sugihastuti
(2002) menyebutkan bahwa anak-anak terselamatkan dari erosi fungsi sosial
karena terbiasa berkomunikasi baik sesama audien maupun dengan pencerita.
Gaya apresiasi sastra model
tradisi oral menyebabkan sastra menjadi hidup. Orang-orang menyimak tutur
(sastra) dan mengimplementasikannya (kearifan lokal) baik di keluarga,
masyarakat, dan bernegara. Tutur (sastra) dianggap berharga. Karena tutur/
sastra dijadikan referensi hidup yang nyata. Persoalan-persoalan hidup
dianalisis dan dipecahkan menggunakan referensi sastra. Itulah sebabnya,
orang-orang yang ahli sastra mendapat tempat terhormat pada jaman itu. Dalang,
pujangga dan termasuk pelipur lara merupakan profesi yang dimuliakan. Bahkan
pada jaman kerajaan, pujangga termasuk nakhoda kerajaan. Jika raja dalam kekalutan,
pujangga menjadi penasihat/ motivator bagi raja untuk kemajuan dan keselamatan
kerajaan.
2.2 Spirit Edukatif Ajeg
Bali dan Tradisi Lisan
Meskipun dihadapkan pada dimensi jaman yang berbeda-beda,
masyarakat Bali masih konsisten dengan karakter ke-Balian-nya. Modernitas
(dengan budayanya) tidak menyurutkan masyarakat Bali memegang teguh nilai-nilai
leluhurnya. Sendi-sendi kehidupan mengacu pada kearifan lokal sastra daerah,
namun tetap dinamis berdampingan dengan nilai-nilai modernitas. Sama dengan
jaman tradisi lisan, sastra masih tetap “diagungkan, memasyarakat, dan
dijadikan referensi hidup”. Situasi inilah yang perlu dibangkitkan oleh bangsa
Indonesia jika ingin menjadi bangsa yang berkarakter kuat.
Langkah-langkah konkret yang perlu dilakukan, antara
lain: (1) perluas daya jangkau sastra, (2) revitalisasi paradigma masyarakat tentang
sastra, (3) tingkatkan intensitas mengapresiasi sastra, dan (4) jadikan sastra
sebagai referensi hidup. Memperluas daya jangkau sastra dapat dilakukan oleh
pihak pemerintah dengan cara mengkampanyekan gerakan literasi di kalangan
siswa. Siswa (dari TK hingga sekolah menengah atas) diwajibkan membaca (kecuali
untuk TK) buku sastra dengan jumlah tertentu sebagai prasyarat naik ke jenjang
berikutnya. Di samping siswa, gerakan literasi dapat ditujukan kepada orang
tua. Pemerintah (melalui Balai bahasa misalnya)
mengajak orang tua agar menjadi penikmat dan pelaku sastra. Selanjutnya, orang
tualah yang menebarkan nilai-nilai (kearifan lokal) sastra pada anak-anaknya
sejak dini.
Peran guru bahasa dan sastra juga sangat diperlukan dalam
meluaskan jangkauan sastra terutama di tingkat sekolah. Caranya, guru bahasa
dan sastra harus kontinyu mengasah keterampilan mengapresiasi sastra agar dapat
mengajarkan sastra menjadi lebih menarik. Pun dapat memprovokasi siswa membiasakan
diri menikmati karya sastra. Selain itu, LSM sastra juga berperan penting dalam
meluaskan daya jangkauan sastra. LSM sastra
dapat terjun langsung ke
masyarakat untuk mengsosialisasikan pentingnya menikmati sastra.
Perluasan jaringan sastra harus mampu mengubah mindset pemerintah, masyarakat, dan sekolah.
Pemerintah selayaknya dapat mengubah paradigma lama tentang sastra menjadi
lebih modern. Kalau bisa, paradigma itu
diwujudkan dalam bentuk UU untuk menjaga, melestarikan dan memberdayakan kearifan
lokal sastra dalam kehidupan bernegara. Kebijakan ini diharapkan dapat mengubah
pola pikir masyarakat (termasuk sekolah)
agar lebih menghargai eksistensi sastra. Jangan lagi ada sekolah mengkriminalisasi
pelajaran sastra karena terlalu berkiblat ke selera modernitas dan mengabaikan
basis kedaerahan.
Penggalian
kearifan lokal sastra akan menjadi efektif apabila faktor daya jangkau dan
paradigma sastra didukung oleh intensitas apresiasi. Semakin sering sastra
diapresiasi, maka semakin intens pemahaman dan penggalian kearifan lokal sastra
di masyarakat. Namun demikian, intensitas penggalian harus diimbangi dengan
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya kesuksesan daya
jangkauan, paradigma positif sastra, dan intensitas tanpa diberdayakan dalam
kehidupan konkret. Itulah sebabnya, kearifan lokal sastra di nusantara ini
harus terus dipahami, digali, dan diimplementasikan sebagai cermin hidup.
BAB
III PENUTUP
Isu
karakter kenusantaraan sudah sepantasnya dibangkitkan di tengah hegemoni dan
kriminalisasi identitas negara maju yang makin tidak terbendung. Karena itulah,
bangsa Indonesia harus sejak dini
memperkuat diri (karakter kenusantaraan) dengan cara menggali dan mengimplementasikan
kearifan lokal sastra (daerah maupun nasional). Kekuatan karakter kenusantaraan
inilah nantinya dijadikan filterisasi keindonesiaan sehingga kita tetap eksis
sebagai bangsa yang optimis dan disegani dunia. (Tulisan
ini menjadi Pemenang Juara Harapan III se-Bali Lomba Menulis Artikel Kategori
Umum (dosen, guru, sastrawan, seniman, wartawan dsb)).
Daftar
Pustaka
Sugihastuti. 2002. Teori
dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyatno, Suyono. 2011. Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai
Penguatan Identitas Keindonesiaan,(online),(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366),
(diunduh 13 Mei 2016).
Taum, Yoseph Yapi. 1997.
Pengantar Teori Sastra. Flores: Penerbit
Nusa Indah.
0 komentar:
Posting Komentar