Minggu, 23 Oktober 2016



Menggali Local Genius Sastra
untuk Membangun Karakter Kenusantaraan
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.

BAB I PENDAHULUAN
Dalam berbagai lini, bangsa Indonesia mulai dilanda krisis identitas. Krisis ini menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang “galau”. Di satu sisi, kita ingin menjaga karakter kenusantaraan dengan setengah hati. Di sisi lain, kita menggebu-gebu ingin menjadi bangsa lain. Akibatnya, kita malu-malu menggunakan identitas (atribut) kenusantaraan dan bangga menggunakan identitas bangsa-bangsa lain terutama barat. Segala yang berbau barat dipuja sebagai ikon modernitas. Sebaliknya, ikhwal kenusantaraan dianggap sebagai simbol kuno (terbelakang).
Oleh karena itulah, belakangan muncul gerakan isu nusantara. Gerakan insaf pada karakter kenusantaraan yang berlandaskan pancasila. Gerakan ini memandang urgen agar bangsa Indonesia berinkarnasi ke tabiat asli melalui aset local genius (kearifan lokal) yang dimilikinya.
Nusantara mempunyai kearifan lokal yang tercermin dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah bidang sastra. Sastra mengandung beragam kearifan lokal yang strategis dapat membentuk karakter kenusantaraan. Karena sastra mampu menyajikan kompleksitas nilai kehidupan sekaligus seperti, pendidikan budi pekerti, budaya, tradisi, religi dan lain sebagainya. Sayang, bangsa Indonesia belum mampu menggali dan mengimplementasikannya dengan optimal. Padahal, karakter kenusantaraan merupakan modal penting untuk berlaga di kompetisi internasional. Hargens (dalam Suyatno, 2011) menyebutkan bahwa hanya negara dengan identitas kuat yang tidak akan jatuh dalam percaturan global.
BAB II ISI
Membangun karakter kenusantaraan di tengah arus pasar globalisasi memang bukan persoalan yang mudah. Dibutuhkan totalitas komitmen, konsistensi, dan kerja keras dari segala unsur kebangsaan. Tanpa totalitas, bangsa kita akan terjerumus kehilangan identitas. Karena permainan pasar bebas merupakan politik negara maju untuk mengerdilkan identitas bangsa yang sedang berkembang. Pasar bebas diplot agar bangsa Indonesia menjadi “pecundang follower identitas” bangsa-bangsa yang maju. Dalam konteks inilah, bangsa Indonesia bisa belajar dari daerah Bali.
Jika di Bali ada gerakan ajeg Bali, barangkali bisa dijadikan inspirasi untuk memunculkan gerakan ajeg nusantara. Semua tatanan kehidupan berlandaskan pada pandangan hidup kenusantaraan. Namun bukan berarti kita menutup diri dari pengaruh asing. Kita tetap terbuka menerima pengaruh asing asalkan sesuai dan berkontribusi meningkatkan derajat nilai kenusantaraan. Lalu sendi apa yang paling efektif dan strategis dapat membangun karakter kenusantaraan? Salah satunya adalah sendi sastra.
2.1  Efektivitas Sastra Membangun Karakter Kenusantaraan
Sastra efektif membangun karakter kenusantaraan karena memiliki beberapa kelebihan. Pertama, sastra merupakan bank nilai kehidupan yang kompleks. Dalam sastra disuguhkan berbagai nilai atau pandangan hidup (kearifan lokal) sekaligus. Karena sastra mengangkat beragam persoalan yang mirip dengan realitas kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang tidak jauh dari ruang dan tempat sastra itu dilahirkan. Itulah sebabnya, Plato dan Aristoteles (dalam Taum, 1997) menyebutnya dengan istilah mimesis yakni tiruan dari kenyataan yang sebenarnya. Namun, harus dicatat bahwa tiruan realitas yang disuguhkan dalam sastra merupakan imitasi berkualitas sebagai pantulan hidup. Artinya, realitas itu diolah sebagai kepentingan instrospeksi untuk mencapai nilai kehidupan yang lebih  idealis.
Kedua, sastra memiliki dapur kreasi. Apa yang menyebabkan orang berjam-jam atau berhari-hari menyimak/ membaca karya sastra tetapi tidak menjenuhkan? Karena sastra memiliki unsur rekreatif dan estetis. Unsur rekreatif dan estetis menyebabkan penikmat sastra menjadi terhibur, senang, dan merasakan pengalaman keindahan dari karya sastra. Efek rekreatif dan estetis bersumber dari produk dapur kreasi sastra. Sastra mempunyai dapur kreasi untuk mengolah realitas menjadi tidak biasa (kreatif). Melalui tangan pengarang, realitas disiapkan, dimasak, dan disajikan sedemikian rupa sehingga selalu menarik untuk dinikmati.
Ketiga, sastra bersifat konstektual. Persoalan-persoalan yang disajikan sastra berkisar tentang realitas kehidupan sehari-hari. Otomatis, penikmat sastra menjadi merasa akrab dan dekat. Bahkan tak jarang penikmat merasa menjadi bagian dari beberapa peristiwa dalam sastra. Faktor kedekatan inilah yang menyebabkan penikmat menjadi interes dengan sastra.
Meskipun mempunyai beberapa kelebihan, sastra tidak serta merta digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Sastra hanya diminati oleh komunitas tertentu (masyarakat sastra). Massa sastra umumnya adalah kalangan sastrawan, kritikus, guru bahasa/ sastra, siswa dan sebagian kecil masyarakat pecinta sastra.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan sastra terkesan marginal di tengah masyarakat. Pertama, sastra diberikan ruang yang sempit oleh pemerintah di lembaga pendidikan formal. Sastra diajarkan bersama bahasa dengan status sebagai pelengkap. Kedua, banyak guru bahasa/ sastra Indonesia kurang terampil mengajarkan sastra di sekolah sehingga tidak dapat memenuhi target ideal pembelajaran sastra. Ketiga, masyarakat memandang sastra sebagai pelajaran rendahan, fiktif, dan tidak menentukan masa depan anak. Keempat, kebijakan diskriminatif sekolah yang melemahkan dengan membedakan siswa berkasta eksak (pintar) dan berkasta sastra (kurang pintar).
Mirisnya, fenomena di atas muncul justru ketika budaya tulis, audio, audiovisual dan internet berkembang pesat. Berbeda dengan jaman budaya lisan yang mengemuka tempo dulu. Meskipun tingkat pendidikan masyarakatnya rendah (kebanyakan tidak bisa baca-tulis), tetapi jumlah massa sastra spektakuler. Hampir semua masyarakat menjadi penikmat sastra. Sebab jaman itu, orang tua merupakan pelaku sastra setidak-tidaknya bagi anak-anak mereka. Orang tua mampu menuturkan (mewariskan) sastra secara turun-temurun pada generasi berikutnya.
Tradisi oral memiliki beberapa keunggulan, antara lain: (1) dialogis, (2) bimbingan langsung, (3) ikatan emosional, dan (4) sosial. Dialogis terjadi karena ada pihak pencerita (pelipur lara) dan penikmat dalam satu ruang dan waktu. Mereka menjalin kontak (bertatap muka) secara langsung selama proses beraktivitas sastra. Dalam proses dialogis ini, penikmat sekaligus mendapatkan bimbingan hidup dari pihak pencerita. Hubungan dialogis ini juga memunculkan ikatan emosional antara pencerita (orang tua) dengan penikmat (anak-anak). Anak-anak merasa lebih dekat, merasa dicintai dan dihargai oleh orang tua mereka. Sugihastuti (2002) menyebutkan bahwa anak-anak terselamatkan dari erosi fungsi sosial karena terbiasa berkomunikasi baik sesama audien maupun dengan pencerita.
Gaya apresiasi sastra model tradisi oral menyebabkan sastra menjadi hidup. Orang-orang menyimak tutur (sastra) dan mengimplementasikannya (kearifan lokal) baik di keluarga, masyarakat, dan bernegara. Tutur (sastra) dianggap berharga. Karena tutur/ sastra dijadikan referensi hidup yang nyata. Persoalan-persoalan hidup dianalisis dan dipecahkan menggunakan referensi sastra. Itulah sebabnya, orang-orang yang ahli sastra mendapat tempat terhormat pada jaman itu. Dalang, pujangga dan termasuk pelipur lara merupakan profesi yang dimuliakan. Bahkan pada jaman kerajaan, pujangga termasuk nakhoda kerajaan. Jika raja dalam kekalutan, pujangga menjadi penasihat/ motivator bagi raja untuk kemajuan dan keselamatan kerajaan.
2.2 Spirit Edukatif Ajeg Bali dan Tradisi Lisan
            Meskipun dihadapkan pada dimensi jaman yang berbeda-beda, masyarakat Bali masih konsisten dengan karakter ke-Balian-nya. Modernitas (dengan budayanya) tidak menyurutkan masyarakat Bali memegang teguh nilai-nilai leluhurnya. Sendi-sendi kehidupan mengacu pada kearifan lokal sastra daerah, namun tetap dinamis berdampingan dengan nilai-nilai modernitas. Sama dengan jaman tradisi lisan, sastra masih tetap “diagungkan, memasyarakat, dan dijadikan referensi hidup”. Situasi inilah yang perlu dibangkitkan oleh bangsa Indonesia jika ingin menjadi bangsa yang berkarakter kuat.
            Langkah-langkah konkret yang perlu dilakukan, antara lain: (1) perluas daya jangkau sastra, (2) revitalisasi paradigma masyarakat tentang sastra, (3) tingkatkan intensitas mengapresiasi sastra, dan (4) jadikan sastra sebagai referensi hidup. Memperluas daya jangkau sastra dapat dilakukan oleh pihak pemerintah dengan cara mengkampanyekan gerakan literasi di kalangan siswa. Siswa (dari TK hingga sekolah menengah atas) diwajibkan membaca (kecuali untuk TK) buku sastra dengan jumlah tertentu sebagai prasyarat naik ke jenjang berikutnya. Di samping siswa, gerakan literasi dapat ditujukan kepada orang tua. Pemerintah  (melalui Balai bahasa misalnya) mengajak orang tua agar menjadi penikmat dan pelaku sastra. Selanjutnya, orang tualah yang menebarkan nilai-nilai (kearifan lokal) sastra pada anak-anaknya sejak dini.
            Peran guru bahasa dan sastra juga sangat diperlukan dalam meluaskan jangkauan sastra terutama di tingkat sekolah. Caranya, guru bahasa dan sastra harus kontinyu mengasah keterampilan mengapresiasi sastra agar dapat mengajarkan sastra menjadi lebih menarik. Pun dapat memprovokasi siswa membiasakan diri menikmati karya sastra. Selain itu, LSM sastra juga berperan penting dalam meluaskan daya jangkauan sastra. LSM sastra  dapat  terjun langsung ke masyarakat untuk mengsosialisasikan pentingnya menikmati sastra.
            Perluasan jaringan sastra harus mampu mengubah mindset pemerintah, masyarakat, dan sekolah. Pemerintah selayaknya dapat mengubah paradigma lama tentang sastra menjadi lebih modern. Kalau bisa,  paradigma itu diwujudkan dalam bentuk UU untuk menjaga, melestarikan dan memberdayakan kearifan lokal sastra dalam kehidupan bernegara. Kebijakan ini diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat  (termasuk sekolah) agar lebih menghargai eksistensi sastra.  Jangan lagi ada sekolah mengkriminalisasi pelajaran sastra karena terlalu berkiblat ke selera modernitas dan mengabaikan basis kedaerahan.
            Penggalian kearifan lokal sastra akan menjadi efektif apabila faktor daya jangkau dan paradigma sastra didukung oleh intensitas apresiasi. Semakin sering sastra diapresiasi, maka semakin intens pemahaman dan penggalian kearifan lokal sastra di masyarakat. Namun demikian, intensitas penggalian harus diimbangi dengan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya kesuksesan daya jangkauan, paradigma positif sastra, dan intensitas tanpa diberdayakan dalam kehidupan konkret. Itulah sebabnya, kearifan lokal sastra di nusantara ini harus terus dipahami, digali, dan diimplementasikan sebagai cermin hidup.
BAB III PENUTUP
Isu karakter kenusantaraan sudah sepantasnya dibangkitkan di tengah hegemoni dan kriminalisasi identitas negara maju yang makin tidak terbendung. Karena itulah, bangsa  Indonesia harus sejak dini memperkuat diri (karakter kenusantaraan) dengan cara menggali dan mengimplementasikan kearifan lokal sastra (daerah maupun nasional). Kekuatan karakter kenusantaraan inilah nantinya dijadikan filterisasi keindonesiaan sehingga kita tetap eksis sebagai bangsa yang optimis dan disegani dunia. (Tulisan ini menjadi Pemenang Juara Harapan III se-Bali Lomba Menulis Artikel Kategori Umum (dosen, guru, sastrawan, seniman, wartawan dsb)).

Daftar Pustaka
Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyatno, Suyono. 2011. Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Penguatan Identitas Keindonesiaan,(online),(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366), (diunduh 13 Mei 2016).
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Penerbit Nusa Indah.

0 komentar:

Posting Komentar