Selasa, 25 Oktober 2016



Merevitalisasi Profesional Guru Senior

Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.

Tidak sedikit guru telah merasa cakap ketika sudah mampu menguasai bahan, strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran. Mereka beranggapan bahwa dirinya sudah berada pada zona aman profesional. Hal ini berkembang terutama di kalangan guru senior. Banyak guru senior merasa profesional karena memiliki jam terbang (pengalaman dan kecakapan) yang lebih  tinggi dalam praktek pembelajaran. Kemudian, muncullah klaim bahwa guru senior (secara umur) identik dengan guru yang profesional. Inilah kecelakaan konsep yang terus berkembang di masyarakat hingga sekarang.
Keidentikan senioritas dan profesional sebetulnya berlaku pada semua aspek ketenagakerjaan termasuk dalam dunia tenaga kependidikan. Indikator yang dijadikan tolak ukur biasanya umur dan pengalaman kerja. Hal ini akhirnya menutup peluang bagi guru junior yang cerdas dan berdedikasi tinggi dari pencitraan profesional. Profesional menjadi hegomoni untuk guru senioritas semata.

Kecenderungan Guru Senior
Disadari atau tidak, konsep senioritas memunculkan adanya fakta terbalik di lapangan. Kebanyakan guru senior mulai dihinggapi penyakit malas introspeksi diri. Sering faktor umur dijadikan alasan terhadap fakta turunnya semangat belajar di kalangan guru senior. Fakta ini jelas bertentangan dengan citra profesional yang melekat pada guru senior.
Pada umumnya ada empat kecederungan global yang dialami guru senior. Pertama, kebanyakan guru senior mulai ogah membaca disebabkan oleh adanya rasa nyaman dengan ilmu yang telah dikuasainya. Mereka beranggapan bahwa profesi guru adalah aktivitas monotun di seputar ilmu spesifik. Mereka terlalu sering melakukan kegiatan serupa terkait transformasi ilmu bidangnya. Sehingga mereka beranggapan ilmu yang ia kuasai sudah mentok. Efeknya, mereka tidak perlu menggali dan membaca tentang ilmu baru. Membuka diri tentang ilmu di bidangnya saja sudah ogah, apalagi membaca bidang ilmu lain. Padahal membaca bidang ilmu lain dapat memperkaya wawasan keilmuan seorang guru. Bukankah semua ilmu pengetahuan itu integratif dan berkorelasi?
Kedua, kebanyakan guru senior beranggapan bahwa strategi yang sama dapat diterapkan untuk semua level siswa tanpa mempertimbangkan dinamika dan karakteristik siswa dekade tahun kekinian. Strategi 10 tahun yang lalu belum tentu masih relevan diterapkan pada siswa tahun sekarang. Hal ini mengingat dinamika psikologi anak, kebutuhan anak, idealisasi anak sudah bergeser sesuai zamannya.
Ketiga, kebanyakan guru senior gagap teknologi (gaptek). Faktor kenyamanan sering membuat guru takut dan tidak siap dengan perubahan. Salah satunya ialah penguasaan teknologi dalam pembelajaran. Padahal teknologi justru memudahkan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran secara efisien dan efektif.
Keempat, faktor senioritas sering dijadikan legalitas untuk menekan bahkan melakukan kekerasan dalam pembelajaran. Faktor diktator (teacher center) bermula dari adanya rasa senioritas. Apa yang dilakukan guru dalam pembelajaran adalah benar adanya dan tak perlu mendapat kritik (feed back).
Jika menimbang 4 kecenderungan yang melekat pada guru senior, maka senioritas dan profesional pantas digugat kembali. Klaim yang tepat ialah tidak semua guru senior secara umur pasti senior secara keilmuan. Sebaliknya, tidak semua guru junior secara umur pasti kurang profesional dalam pembelajaran. Oleh karena itu, idealnya baik guru senior (baca:umur) dan guru junior harus menggunakan payung filosofi long life education. Filosofi ini bermakna bahwa sepanjang hidup dan karier manusia tak pernah nihil dari kegiatan belajar/ introspeksi diri. Sesenior apa pun mereka sejatinya tetap tidak sempurna. Mereka pasti memiliki celah-celah kekurangan pada dirinya. Karena dinamika zaman memiliki idealisasi tersendiri. Tukang yang dulu cakap bekerja dengan alat-alat tradsional jelas kurang dianggap kurang profesional dibandingkan dengan tukang sekarang yang pandai menggunakan alat-alat modern (bermesin).
Ilustrasi di atas juga berlaku pada ranah tenaga kependidikan. Guru profesional harus cepat beradaptasi dengan idealisasi psikologi dan harapan siswa. Guru harus menyesusaikan diri secara kontinyu dengan tingkat umur siswa, selera siswa, tujuan pembelajaran, media dan lain sebagainya. Intinya adaptasi itu harus betul-betul menyentuh kepentingan siswa.
Solusi kedua ialah guru senior dan guru junior sebaiknya menjadi pasangan belajar yang sejoli. Keduanya bisa saling komplementer. Guru senior bisa belajar IT dengan guru junior. Sebaliknya, guru junior bisa belajar strategi pengelolaan kelas atau wawasan keilmuan dengan guru senior. Kesetaraan ini justru akan menciptakan suasana demokratis dan menjebol benteng antar senioritas atau junioritas.





0 komentar:

Posting Komentar