Merevitalisasi Profesional Guru
Senior
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.
Tidak
sedikit guru telah merasa cakap ketika sudah mampu menguasai bahan, strategi,
pendekatan, metode dan teknik pembelajaran. Mereka beranggapan bahwa dirinya sudah berada pada
zona aman profesional. Hal ini berkembang terutama di kalangan guru senior. Banyak
guru senior merasa profesional karena memiliki jam terbang (pengalaman dan
kecakapan) yang lebih tinggi dalam
praktek pembelajaran. Kemudian, muncullah klaim bahwa guru senior (secara umur)
identik dengan guru yang profesional. Inilah kecelakaan konsep yang terus
berkembang di masyarakat hingga sekarang.
Keidentikan
senioritas dan profesional sebetulnya berlaku pada semua aspek ketenagakerjaan
termasuk dalam dunia tenaga kependidikan. Indikator yang dijadikan tolak ukur
biasanya umur dan pengalaman kerja. Hal ini akhirnya menutup peluang bagi guru
junior yang cerdas dan berdedikasi tinggi dari pencitraan profesional. Profesional
menjadi hegomoni untuk guru senioritas semata.
Kecenderungan
Guru Senior
Disadari
atau tidak, konsep senioritas memunculkan adanya fakta terbalik di lapangan.
Kebanyakan guru senior mulai dihinggapi penyakit malas introspeksi diri. Sering
faktor umur dijadikan alasan terhadap fakta turunnya semangat belajar di
kalangan guru senior. Fakta ini jelas bertentangan dengan citra profesional
yang melekat pada guru senior.
Pada
umumnya ada empat kecederungan global yang dialami guru senior. Pertama, kebanyakan
guru senior mulai ogah membaca disebabkan oleh adanya rasa nyaman dengan ilmu
yang telah dikuasainya. Mereka
beranggapan bahwa profesi guru adalah aktivitas monotun di seputar ilmu
spesifik. Mereka terlalu sering melakukan kegiatan serupa terkait transformasi
ilmu bidangnya. Sehingga mereka beranggapan ilmu yang ia kuasai sudah mentok. Efeknya,
mereka tidak perlu menggali dan membaca tentang ilmu baru. Membuka diri tentang
ilmu di bidangnya saja sudah ogah, apalagi membaca bidang ilmu lain. Padahal
membaca bidang ilmu lain dapat memperkaya wawasan keilmuan seorang guru.
Bukankah semua ilmu pengetahuan itu integratif dan berkorelasi?
Kedua,
kebanyakan guru senior beranggapan bahwa strategi yang sama dapat diterapkan
untuk semua level siswa tanpa mempertimbangkan dinamika dan karakteristik siswa
dekade tahun kekinian. Strategi 10 tahun yang lalu belum tentu masih relevan
diterapkan pada siswa tahun sekarang. Hal ini mengingat dinamika psikologi
anak, kebutuhan anak, idealisasi anak sudah bergeser sesuai zamannya.
Ketiga,
kebanyakan guru senior gagap teknologi (gaptek). Faktor kenyamanan sering
membuat guru takut dan tidak siap dengan perubahan. Salah satunya ialah
penguasaan teknologi dalam pembelajaran. Padahal teknologi justru memudahkan
guru dalam mencapai tujuan pembelajaran secara efisien dan efektif.
Keempat,
faktor senioritas sering dijadikan legalitas untuk menekan bahkan melakukan
kekerasan dalam pembelajaran. Faktor diktator (teacher center) bermula
dari adanya rasa senioritas. Apa yang dilakukan guru dalam pembelajaran adalah
benar adanya dan tak perlu mendapat kritik (feed back).
Jika
menimbang 4 kecenderungan yang melekat pada guru senior, maka senioritas dan
profesional pantas digugat kembali. Klaim yang tepat ialah tidak semua guru
senior secara umur pasti senior secara keilmuan. Sebaliknya, tidak semua guru
junior secara umur pasti kurang profesional dalam pembelajaran. Oleh karena
itu, idealnya baik guru senior (baca:umur) dan guru junior harus menggunakan
payung filosofi long life education. Filosofi ini bermakna bahwa
sepanjang hidup dan karier manusia tak pernah nihil dari kegiatan belajar/
introspeksi diri. Sesenior apa pun mereka sejatinya tetap tidak sempurna. Mereka
pasti memiliki celah-celah kekurangan pada dirinya. Karena dinamika zaman
memiliki idealisasi tersendiri. Tukang yang dulu cakap bekerja dengan alat-alat
tradsional jelas kurang dianggap kurang profesional dibandingkan dengan tukang
sekarang yang pandai menggunakan alat-alat modern (bermesin).
Ilustrasi
di atas juga berlaku pada ranah tenaga kependidikan. Guru profesional harus
cepat beradaptasi dengan idealisasi psikologi dan harapan siswa. Guru harus
menyesusaikan diri secara kontinyu dengan tingkat umur siswa, selera siswa,
tujuan pembelajaran, media dan lain sebagainya. Intinya adaptasi itu harus
betul-betul menyentuh kepentingan siswa.
Solusi
kedua ialah guru senior dan guru junior sebaiknya menjadi pasangan belajar yang
sejoli. Keduanya bisa saling komplementer. Guru senior bisa belajar IT dengan
guru junior. Sebaliknya, guru junior bisa belajar strategi pengelolaan kelas
atau wawasan keilmuan dengan guru senior. Kesetaraan ini justru akan
menciptakan suasana demokratis dan menjebol benteng antar senioritas atau
junioritas.
0 komentar:
Posting Komentar