Senin, 24 Oktober 2016



Merevitalisasi Pembelajaran Weda yang Mandul

Oleh

I Ketut Serawan, S.Pd.

Metodologi para tetua kita dalam belajar agama (weda) tempo dulu sangat simpel. Mereka tak mengenal garis komando kurikulum, silabus, RPP, gedung sekolah, guru agama, dan eteh-eteh formal lainnya. Model belajar mereka hanya berbasiskan alam, adat, tradisi, dan budaya di lingkungan sekitar. Basis sosiokultural ini toh dapat menghasilkan produk-produk manusia yang berkarakter. Manusia Bali tumbuh integrated dengan kelocalgeniusannya yang bernapaskan weda (nilai-nilai hindu). Sebaliknya, ketika sekolah dan guru agama hindu formal berjamuran, regenerasi (siswa) Bali justru tumbuh menjauhi sumbu ”local genius dan nilai-nilai weda” yang sublim.

Indikator ini tampak jelas seiring dengan meningkatnya pelaku kriminal di kalangan pelajar. Tawuran antar pelajar, bentrok antar geng, komunitas cabe-cabean, komunitas terong-terongan, budaya malak di sekolah adalah sejumlah asesoris berita yang hampir tidak pernah luput dari catatan media massa. Jejak fenomena ini menjadi data empiris bahwa betapa mandulnya pembelajaran weda (agama hindu) di sekolah.

Tantangan Pembelajaran Weda di Era Modern

Kemandulan pembelajaran weda (agama hindu) di sekolah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, paradigma instan masyarakat. Masyarakat modern sekarang memiliki pola pikir dan perilaku yang serba instan. Pola pikir ini pula meracuni siswa. Para siswa kini lebih berpikiran hedonis, glamour, dan mengedepankan prinsip ekonomi. Asas instan, mengabaikan proses, dan untung banyak seolah sudah menjadi filosofi hidup. Seringkali ambisi untung banyak menjerumuskan orang melakukan perbuatan di luar rel weda seperti KKN. 

Kedua, minimnya guru agama hindu yang profesional. Pembelajaran agama hindu di sekolah tak ubahnya seperti sebuah seremonial yang membosankan. Pembelajaran hanya berfokus pada transfer teori yang dangkal, miskin tafsir, utopis, berbau fiktif, dan miskin implementasi. 

Ketiga, kebijakan pemerintah yang melemahkan. Meskipun pemerintah mewajibkan pelajaran agama di lembaga pendidikan formal, namun posisi nilainya hanya sebagai komplementer. Cerdas secara agama, tidak punya daya tawar di mata pemerintah. Negeri kita lebih mendewakan kecerdasan ilmu eksak daripada ilmu agama. Ketimpangan pemujaan ”dewa eksak dan dewa agama” inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu carut marutnya negeri kita. 

Keempat, agama hindu dikenal sangat rumit. Agama hindu khususnya di Bali identik dengan kerumitan seremonialnya. Upakara-upakara yang menelan biaya ratusan juta hingga miliaran menjadi monster bagi pemeluknya. Pemberat lainnya ialah kerumitan sosiokulturalnya. Pemeluk yang tidak kukuh dan gampang frustasi dipastikan mudah tergiur pindah keyakinan.

Merevitalisasi Pembelajaran Weda (Agama Hindu)

Belajar weda yang baik adalah mengalami kasus hidup, menyikapi, dan mendapatkan hasil pematangan karakter. Prama (2011) menyebutkan bahwa hidup pada dasarnya learning, contemplating, meditating. Setiap siswa pasti memiliki polemik hidup sesuai usia dengan varian yang bervariatif. Perjalanan hidup siswa merupakan pembelajaran sepanjang hayat. Untuk menuju tangga hidup berikutnya, dibutuhkan kontemplasi. Kontemplasi adalah usaha untuk menjembati antara apa yang dipelajari dengan perilaku sehari-hari. 

Sayangnya, sering tidak mudah menemukan 2 titik ideal tersebut. Dalam konteks inilah, peran meditasi menjadi sangat penting. Meditasi bertugas menyelaraskan antara ideal teori dan praktek hidup. Penopang utamanya tentu ilmu agama (weda). Idealisasi teori dan praktek prosesi hidup membutuhkan kehadiran weda.

Weda memuat dan mengatur semua aspek tatanan hidup. Tetapi adakah para guru bisa membangkitkan superior weda kepada siswa? Adakah para guru dapat menyederhanakan weda sesuai dengan polemik hidup karakter usia para siswa? Kalau jawabannya ya, kita pasti optimis keyakinan ketergantungan siswa terhadap weda perlahan-lahan akan tumbuh dan bangkit. Inilah modal awal menjadi guru agama hindu (GAH). Guru harus dapat membersihkan (melukat) dominasi paradigma instan siswa terlebih dahulu.

Tahap prosesi pelukatan ini akan menjadi optimal jika GAH dapat memberikan pembelajaran agama sesederhana pikiran siswa dengan contoh-contoh real dunia hidupnya. Contoh-contoh nyata ini harus menghasilkan entitas yang terukur. Misalnya (materi karmaphala), spirit memberi (mendana punia) secara ikhlas akan mendatangkan rezeki yang berlimpah. Contoh kasus ini harus ada bukti yang dialami siswa (atau dikutip dari kisah-kisah nyata orang lain). Fungsinya untuk meyakinkan pikiran siswa yang dibangun oleh budaya ”dewa logika”.

Pembelajaran agama hindu modern memang harus menyandingkan logika. Seorang GAH tidak cukup memiliki teori keagamaan tetapi harus bisa  menganalisis dari segi konstekstualnya. Hindari dominasi pembelajaran yang bersifat penghapalan istilah. Tingkatkan pada aspek implikasi sesuai usianya. Untuk mencapai target tersebut, GAH harus menjadi masyarakat sastra. GAH dapat menjadikan cerita lokal Bali (misalnya) sebagai ilustrasi (ulasan) dalam pembelajaran. Tentu GAH harus menguasai ilmu tafsir sastra. Sastra yang dijadikan bahan pembelajaran diinterpretasikan sesuai dengan teori weda yang diajarkan. 

Kelemahan umum GAH, buntu di wilayah elaborasi tafsir. Akibatnya, cerita justru menjadi semakin abstrak, jauh dari realita siswa. Guru tak mampu memberi tafsir konkret dengan dunia siswa. Menjadi GAH sekarang memang sangat berat. Di samping profesional secara teori keagamaan, ia harus bisa menjadi motivator, pelaku sastra, dalang, dan seorang tafsir.

Kompleksitas skil GAH harus ditopang oleh kebijakan pemerintah. Pemerintah harus mempunyai kebijakan menciptakan GAH yang profesional. Realisasinya adalah menetapkan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kualitas GAH. Anggaran ini bisa diejawantahkan dalam bentuk penyuluhan, pelatihan-pelatihan, seminar, dan pengadaan kuantitas buku-buku keagamaan serta buku-buku sastra agama atau buku lokal jenius. 

Kebijakan penting lainnya ialah meninggikan derajat mapel agama di sekolah. Mapel agama harus direposisikan menjadi penentu kualitas siswa. Kurangi kebijakan yang menganakemaskan mapel eksak. Jika perlu, masukan mapel agama sebagai ujian nasional misalnya.

GAH yang profesional juga sangat ditentukan oleh lembaga perguruan tinggi agama hindu. Lembaga ini harus dapat mencetak out put GAH yang profesional. Mutu kebijakan kampus, tenaga pengajar, dan fasilitas harus terus dioptimalkan. Hal ini mengingat kompleksitas hidup terus mengalami dinamika sesuai zamannya. 

Pembelajaran agama hindu tidak bisa lepas dari aspek-aspek kompleksitas kehidupan. Agama hindu yang hidup di tengah masyarakat harus eksis harmonis dengan segi-segi kehidupan pendukung lainnya. Oleh karena itu, pembelajaran agama hindu tidak boleh lepas dari desa, kala, patra

Eksistensi agama hindu di Bali adalah contoh konkret betapa agama tidak mengerdilkan adat, tradisi, dan budaya. Sebaliknya, mengangkat derajat sosiokultural Bali menjadi integritas kehidupan yang romantis. Asimilasi agama dengan berbagai aspek kehidupan di Bali menyebabkan Hindu Bali menjadi berkarakter (hingga komunitas marginal Bali menyebut dirinya ”Megama Bali”). Efeknya, Bali menjadi populer di mata internasional.

”Contoh Bali” seharusnya dapat dijadikan inspirasi bagi kampus hindu untuk mencetak GAH yang menguasai ilmu anthropologi. GAH di Jawa harus bisa mengkombinasikan pembelajaran agama hindu dengan sosiokultural Jawa. Begitu juga daerah-daerah lainnya. Dengan demikian, pembelajaran agama hindu (weda) menjadi kaya, lebih bermakna, kontekstual, konkret, variatif, dan menarik bagi siswa. Tulisan ini menjadi Pemenang Juara I Lomba Menulis Artikel antar Guru Agama Hindu dan Guru Umum se-Indonesia.                 



0 komentar:

Posting Komentar