Merevitalisasi Pembelajaran Weda yang Mandul
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.
Metodologi para tetua kita dalam belajar agama (weda)
tempo dulu sangat simpel. Mereka tak mengenal garis komando kurikulum, silabus,
RPP, gedung sekolah, guru agama, dan eteh-eteh formal lainnya. Model
belajar mereka hanya berbasiskan alam, adat, tradisi, dan budaya di lingkungan
sekitar. Basis sosiokultural ini toh dapat menghasilkan produk-produk
manusia yang berkarakter. Manusia Bali tumbuh integrated dengan kelocalgeniusannya
yang bernapaskan weda (nilai-nilai hindu). Sebaliknya, ketika sekolah dan guru
agama hindu formal berjamuran, regenerasi (siswa) Bali justru tumbuh menjauhi
sumbu ”local genius dan nilai-nilai weda” yang sublim.
Indikator ini tampak jelas seiring dengan meningkatnya
pelaku kriminal di kalangan pelajar. Tawuran antar pelajar, bentrok antar geng,
komunitas cabe-cabean, komunitas terong-terongan, budaya malak di sekolah
adalah sejumlah asesoris berita yang hampir tidak pernah luput dari catatan media
massa. Jejak fenomena ini menjadi data empiris bahwa betapa mandulnya
pembelajaran weda (agama hindu) di sekolah.
Tantangan Pembelajaran Weda di Era Modern
Kemandulan pembelajaran weda (agama hindu) di
sekolah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, paradigma instan masyarakat. Masyarakat modern sekarang memiliki
pola pikir dan perilaku yang serba instan. Pola pikir ini pula meracuni siswa.
Para siswa kini lebih berpikiran hedonis, glamour, dan mengedepankan prinsip
ekonomi. Asas instan, mengabaikan proses, dan untung banyak seolah sudah
menjadi filosofi hidup. Seringkali ambisi untung banyak menjerumuskan orang
melakukan perbuatan di luar rel weda seperti KKN.
Kedua, minimnya guru agama
hindu yang profesional. Pembelajaran agama hindu di sekolah tak ubahnya seperti
sebuah seremonial yang membosankan. Pembelajaran hanya berfokus pada transfer
teori yang dangkal, miskin tafsir, utopis, berbau fiktif, dan miskin
implementasi.
Ketiga, kebijakan pemerintah yang melemahkan. Meskipun pemerintah
mewajibkan pelajaran agama di lembaga pendidikan formal, namun posisi nilainya
hanya sebagai komplementer. Cerdas secara agama, tidak punya daya tawar di mata
pemerintah. Negeri kita lebih mendewakan kecerdasan ilmu eksak daripada ilmu
agama. Ketimpangan pemujaan ”dewa eksak dan dewa agama” inilah yang menjadi
salah satu faktor pemicu carut marutnya negeri kita.
Keempat, agama hindu dikenal
sangat rumit. Agama hindu khususnya di Bali identik dengan kerumitan
seremonialnya. Upakara-upakara yang menelan biaya ratusan juta hingga miliaran
menjadi monster bagi pemeluknya. Pemberat lainnya ialah kerumitan
sosiokulturalnya. Pemeluk yang tidak kukuh dan gampang frustasi dipastikan mudah
tergiur pindah keyakinan.
Merevitalisasi Pembelajaran Weda (Agama Hindu)
Belajar weda yang baik adalah mengalami kasus
hidup, menyikapi, dan mendapatkan hasil pematangan karakter. Prama (2011)
menyebutkan bahwa hidup pada dasarnya learning, contemplating, meditating.
Setiap siswa pasti memiliki polemik hidup sesuai usia dengan varian yang
bervariatif. Perjalanan hidup siswa merupakan pembelajaran sepanjang hayat.
Untuk menuju tangga hidup berikutnya, dibutuhkan kontemplasi. Kontemplasi
adalah usaha untuk menjembati antara apa yang dipelajari dengan perilaku
sehari-hari.
Sayangnya, sering tidak mudah menemukan 2 titik ideal tersebut. Dalam
konteks inilah, peran meditasi menjadi sangat penting. Meditasi bertugas
menyelaraskan antara ideal teori dan praktek hidup. Penopang utamanya tentu
ilmu agama (weda). Idealisasi teori dan praktek prosesi hidup membutuhkan kehadiran
weda.
Weda memuat dan mengatur
semua aspek tatanan hidup. Tetapi adakah para guru bisa membangkitkan superior
weda kepada siswa? Adakah para guru dapat menyederhanakan weda sesuai dengan
polemik hidup karakter usia para siswa? Kalau jawabannya ya, kita pasti optimis
keyakinan ketergantungan siswa terhadap weda perlahan-lahan akan tumbuh dan
bangkit. Inilah modal awal menjadi guru agama hindu (GAH). Guru harus dapat
membersihkan (melukat) dominasi paradigma instan siswa terlebih dahulu.
Tahap prosesi pelukatan
ini akan menjadi optimal jika GAH dapat memberikan pembelajaran agama
sesederhana pikiran siswa dengan contoh-contoh real dunia hidupnya. Contoh-contoh
nyata ini harus menghasilkan entitas yang terukur. Misalnya (materi
karmaphala), spirit memberi (mendana punia) secara ikhlas akan
mendatangkan rezeki yang berlimpah. Contoh kasus ini harus ada bukti yang
dialami siswa (atau dikutip dari kisah-kisah nyata orang lain). Fungsinya untuk
meyakinkan pikiran siswa yang dibangun oleh budaya ”dewa logika”.
Pembelajaran agama hindu
modern memang harus menyandingkan logika. Seorang GAH tidak cukup memiliki
teori keagamaan tetapi harus bisa menganalisis
dari segi konstekstualnya. Hindari dominasi pembelajaran yang bersifat
penghapalan istilah. Tingkatkan pada aspek implikasi sesuai usianya. Untuk
mencapai target tersebut, GAH harus menjadi masyarakat sastra. GAH dapat
menjadikan cerita lokal Bali (misalnya) sebagai ilustrasi (ulasan) dalam
pembelajaran. Tentu GAH harus menguasai ilmu tafsir sastra. Sastra yang
dijadikan bahan pembelajaran diinterpretasikan sesuai dengan teori weda yang
diajarkan.
Kelemahan umum GAH, buntu di wilayah elaborasi tafsir. Akibatnya,
cerita justru menjadi semakin abstrak, jauh dari realita siswa. Guru tak mampu
memberi tafsir konkret dengan dunia siswa. Menjadi GAH sekarang memang sangat
berat. Di samping profesional secara teori keagamaan, ia harus bisa menjadi
motivator, pelaku sastra, dalang, dan seorang tafsir.
Kompleksitas skil GAH
harus ditopang oleh kebijakan pemerintah. Pemerintah harus mempunyai kebijakan
menciptakan GAH yang profesional. Realisasinya adalah menetapkan anggaran yang
memadai untuk meningkatkan kualitas GAH. Anggaran ini bisa diejawantahkan dalam
bentuk penyuluhan, pelatihan-pelatihan, seminar, dan pengadaan kuantitas
buku-buku keagamaan serta buku-buku sastra agama atau buku lokal jenius.
Kebijakan
penting lainnya ialah meninggikan derajat mapel agama di sekolah. Mapel agama
harus direposisikan menjadi penentu kualitas siswa. Kurangi kebijakan yang menganakemaskan
mapel eksak. Jika perlu, masukan mapel agama sebagai ujian nasional misalnya.
GAH yang profesional juga
sangat ditentukan oleh lembaga perguruan tinggi agama hindu. Lembaga ini harus
dapat mencetak out put GAH yang profesional. Mutu kebijakan kampus, tenaga
pengajar, dan fasilitas harus terus dioptimalkan. Hal ini mengingat
kompleksitas hidup terus mengalami dinamika sesuai zamannya.
Pembelajaran agama
hindu tidak bisa lepas dari aspek-aspek kompleksitas kehidupan. Agama hindu
yang hidup di tengah masyarakat harus eksis harmonis dengan segi-segi kehidupan
pendukung lainnya. Oleh karena itu, pembelajaran agama hindu tidak boleh lepas
dari desa, kala, patra.
Eksistensi agama hindu di Bali adalah contoh
konkret betapa agama tidak mengerdilkan adat, tradisi, dan budaya. Sebaliknya,
mengangkat derajat sosiokultural Bali menjadi integritas kehidupan yang
romantis. Asimilasi agama dengan berbagai aspek kehidupan di Bali menyebabkan
Hindu Bali menjadi berkarakter (hingga komunitas marginal Bali menyebut
dirinya ”Megama Bali”). Efeknya, Bali menjadi populer di mata internasional.
”Contoh Bali” seharusnya
dapat dijadikan inspirasi bagi kampus hindu untuk mencetak GAH yang menguasai
ilmu anthropologi. GAH di Jawa harus bisa mengkombinasikan pembelajaran agama hindu
dengan sosiokultural Jawa. Begitu juga daerah-daerah lainnya. Dengan demikian,
pembelajaran agama hindu (weda) menjadi kaya, lebih bermakna, kontekstual,
konkret, variatif, dan menarik bagi siswa. Tulisan ini menjadi Pemenang
Juara I Lomba Menulis Artikel antar Guru Agama Hindu dan Guru Umum
se-Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar