Senin, 24 Oktober 2016



Hindu Harus Punya Standardisasi Mimbar

Oleh
I Ketut Serawan

            Acara mimbar agama hindu yang ditayangkan di televisi-televisi cukup menggelikan untuk ditonton. Pasalnya, ulasan-ulasan dalam mimbar belum memenuhi standardisasi selera publik. Ulasan para narasumber hanya mondar-mandir di seputar penjelasan istilah. Celakanya lagi, pemaparan istilah-istilah keagamaan tersebut diulas dengan konsep yang umum – miskin tafsir yang relevan dan sering tidak kontekstual.
Faktor penyebab
            Ada beberapa faktor penyebab mentahnya (baca: kurang standar) acara mimbar agama hindu di televisi. Pertama, kualitas narasumber. Mayoritas narasumber dalam mimbar masih memiliki kualitas yang pas-pasan. Buku-buku dan pengalaman keagamaannya kurang mampu dielaborasikan ke ranah interpretasi yang konstektual. Mereka hanya mampu membaca atau mengalami tanpa mau memasaknya dalam dapur kontemplasi pikiran. Padahal kontemplasi berguna untuk mengolah in put menjadi interpretasi kekinian. Kedua, kualitas presenter  (pemandu mimbar). Rata-rata presenter mimbar hindu berperan sebagai tukang nunas baos. Posisinya sekadar sebagai tukang tanya. Diam sejenak. Kemudian, mendengarkan penjelasan narasumber panjang lebar seperti balian. Mereka kurang memiliki kemampuan menggali, mengarahkan, dan menajamkan kasus. Hal ini mengingat para presenter tersebut tidak membekali diri secara optimal tentang topik yang akan dimimbarkan. Para presenter hanya bisa bertanya standar (sepele), yang membutuhkan jawaban penjelasan istilah. Ketiga, kemampuan pengolahan topik mimbar. Seringkali penentuan topik mimbar terlalu luas dan mengambang. Misalnya, “Hari Raya Galungan” atau “Catur Beratha Penyepian”. Dari rumusan redaksionalnya sangat kurang menarik, terlalu luas, kurang fokus, dan kurang tajam. Coba misalnya, ”Menanamkan Spirit atau Makna Hari Raya Galungan pada Remaja” atau ”Membuka Ruang Kesadaran Umat Lewat Catur Beratha Penyepian”.
            Kualitas mimbar adalah cerminan atau simbolisasi prosesi menggeluti agama yang modern. Bukan bermaksud berkompetisi secara komersial, nilai-nilai konstektual weda mutlak diadaptasikan dengan dinamika zaman. Kalau tidak, eksistensi dan derajat agama hindu kian diremehkan tidak hanya oleh intern umat termasuk umat lain. Inilah yang harus kita pikirkan bersama-sama terutama bagi pemuka agama hindu.
            Weda sesungguhnya sangat fleksibel dan adaptif. Hindu Bali merupakan contoh real. Kita kagum pada leluhur Bali ketika mereka mampu meracik aspek agama (weda) dengan sosiokultural Bali yang terus mengalami perkembangan yang dinamis. Dari Bali tempo dulu hingga modern sekarang, weda terus eksis harmonis, selaras, dan integratif dengan desa kala patra Bali.
            Sebetulnya, inilah inspirasi terbesar warisan leluhur bagi kita. Sebagai puncak pencerah, para narasumber mimbar harus menyadari hal tersebut. Di tangan para narasumber inilah, ruang kekinian weda harus terus digalakkan, dibangkitkan, dan disosialisasikan secara kontinyu. Kita harus yakin bahwa darah weda yang mengalir di tubuh kita adalah darah yang menyehatkan. Artinya, agama yang kita anut sekarang merupakan sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah umat sekarang. Bukan sebaliknya, membebani kehidupan umat. Dalam konteks inilah, dibutuhkan tokoh-tokoh mediasi yang mampu menjembati antara persoalan kehidupan dengan agama yang dianutnya secara konkret. Kita yakin masih banyak pemuka agama hindu yang memiliki kualitas yang modern dan profesional sebagai pengungkap takbir mensinkronisasikan antara agama dan persoalan kehidupan.
Ideal Narasumber
            Saat ini kita sangat membutuhkan narasumber mimbar yang ideal (profesional). Tidak peduli dari kalangan mana dan apa latar belakangnya. Praktisi, akademisi, kedokteran, insinyur, dalang, guru, petani dan lain sebagainya. Karena urusan tafsir agama berkaitan dengan intensitas mulat sarira secara personal. Lembaga formal keagamaan (IHDN, UNHI, dll) tidak menjamin sebagai lembaga pencetak pemuka (narasumber mimbar) yang andal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa separuh lebih lulusannya, hanya menjadi pelaku relegi yang pasif. Sebaliknya, tidak sedikit orang lulusan di luar lembaga formal keagamaan justru lincah, luwes, dan intens ulasan keagamaannya. Gede Prama, Cok Sawitri, dan Dalang Nardayana merupakan contoh konkret--bagaimana mereka mengintepretasikan weda dengan simpel, lugas, relevan, dan kontekstual.
            Menjadi narasumber mimbar memang spesialisasi. Namun bukan berarti wawasannya mentok pada hal keagamaan saja. Aspek keagamaan tidak bisa hidup sendiri. Dalam bermasyarakat, aspek ini harus bersanding dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Itulah sebabnya, seorang narasumber mimbar tidak cukup bermodalkan sloka-sloka Bhagavadgita saja misalnya. Mereka harus memahami, mengalami, dan dapat mengkolerasikan kekinian berkaitan dengan sosiokultural, antropologi, politik, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya. Semakin dalam dan luas wawasan seorang narasumber maka makin tajam, relevan, dan kontekstual ulasannya.
            Jadi, seorang narasumber mimbar tidak cukup menjual track record pernah belajar di India misalnya. Tetapi bagaimana ia mampu menerjemahkan semua ajarannya berdasarkan desa, kala, patra tertentu. Tidak semua orang pintar dari membaca atau mengalami dapat menginterpretasikan nilai relevansi weda dengan cepat dan akurat. Semua tergantung pada kemampuan diri perorangan.
            Di samping narasumber, faktor presenter (pemandu) juga menentukan kualitas mimbar. Pemandu yang profesional adalah orang yang memahami dan menguasai tema/ topik mimbar. Ia harus banyak mendengarkan, berdiskusi dan  membaca berbagai referensi berkaitan dengan topik mimbar sebelum langsung memandu mimbar. Pemandu yang hebat terlihat dari cara memandu di depan layar televisi. Ia harus dapat memancing, menggali, mengulur, memprovokasi, dan mengarahkan opini narasumber. Dengan demikian, narasumber dan pemandu akan dapat menjalankan perannya secara profesional dan proposional.
PHDI Harus Punya Standardisasi
            Untuk menakar kredibelitas dan profesionalisme narasumber-presenter mimbar, PHDI seharusnya memiliki standardisasi. PHDI sangat berwenang menggodok track record narasumber dan presenter secara sistematis. Prasyarat global bisa mengacu pada beberapa aspek, antara lain: kedalaman wawasan, jam terbang bicara di ranah publik, latar belakang pendidikan, motif acara mimbar, tingkat kepuasan umat terhadap layanan mimbar, dan lain sebagainya. Detail persyaratan ini berguna untuk memperketat izin-izin tayangan mimbar agama hindu. Maksudnya tentu untuk mencapai kualitas mimbar yang memenuhi selera publik. Kalau tim mimbar independen dianggap kurang kredibel, PHDI berhak meminta partisipan mimbar menggali dan memperdalam kajian mimbar. Jika diperlukan, PHDI siap menyediakan fasilitas referensi baik berupa buku maupun narasumber profesional.
            Sebagai lembaga otoritas hindu tertinggi, PHDI pasti memiliki tim ahli mimbar. Tim ahli ini bertugas untuk menggenjot para narasumber amatiran agar tumbuh menjadi disegani. Misalnya, ada narasumber dari daerah terpencil (daerah transmigrasi), PHDI berhak melatih dan memfasilitasinya. Hal ini bertujuan untuk memodernisasi umat hindu.  Tidak hanya memfasilitasinya, PHDI seharusnya punya tim mimbar yang kredibel dan profesional. Tim ini siap ngayah ke segala penjuru demi memajukan pola pikir dan militansi beragama. Jika mendesak dan tidak memungkinkan, PHDI bersama tim kreatif bisa membuat video rekaman mimbar. Rekaman video mimbar ini dapat dikonsumsi secara kelompok maupun individual. Namun ingat, video ini harus mendapat lisensi dari PHDI dan telah diuji kelayakannya.
            Kita sangat mendukung PHDI merazia mimbar-mimbar hindu yang ditayangkan di televisi. Jangan hanya sekadar diberi lisensi tetapi mimbar itu harus dapat membuka, memperdalam, dan meninggikan intelegensi umat. Penulis adalah Guru swasta di Denpasar. Beberapa artikelnya pernah  dimuat di Bali Post dan media lainnya.





















BIODATA PENULIS
Nama              : I Ketut Serawan, S.Pd
TTL                 : Sakti, 15 April 1979
Alamat                        : Jl. Batuyang Gang Pipit
                              Permai No. 7 Batubulan,
                               Kab. Gianyar-Bali
Telp.                : 081338584553
Email                 : wanwansolusion@gmail.com                                                          : wanwansolusion@gmail.com
Facebook        : Ketut Serawan

Pendidikan                  :
1. SDN 6 Sakti Kec. Nusa Penida tamat 1992
2. SMPN 2 Nusa Penida tamat 1995
3. SMUN 1 Semarapura 1998
4. IKIP Negeri Singaraja 2003
Pekerjaan                   : Guru Sastra Indonesia SMP Cipta Dharma Denpasar-Bali
Aktivitas Kebahasaan/Kesastraan:
1.      Pemenang 5 terbaik Mengarang Cerpen Berbahasa Indonesia RRI Singaraja 2001
2.      Juri dalam Lomba Baca Puisi Pelajar Se-Kabupaten Buleleng 2002
3.      Juri dalam Lomba Pidato Pelajar Se-Kabupaten Buleleng 2002
4.      Juara III Guru SMP Berprestasi Kota Denpasar 2014
5.      Pemenang Juara I Lomba Menulis Artikel Festival Bhagavadgita 2015
6.      Menulis beberapa artikel di media cetak. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Harian Bali Post dan media lainnya.



0 komentar:

Posting Komentar