Hindu
Harus Punya Standardisasi Mimbar
Oleh
I Ketut Serawan
Acara mimbar
agama hindu yang ditayangkan
di televisi-televisi cukup menggelikan untuk ditonton. Pasalnya, ulasan-ulasan
dalam mimbar belum memenuhi standardisasi selera publik. Ulasan para narasumber
hanya mondar-mandir di seputar penjelasan istilah. Celakanya lagi, pemaparan istilah-istilah
keagamaan tersebut diulas dengan konsep yang umum – miskin tafsir yang relevan
dan sering tidak kontekstual.
Faktor penyebab
Ada beberapa faktor
penyebab mentahnya (baca: kurang standar) acara mimbar agama hindu di televisi.
Pertama, kualitas narasumber. Mayoritas narasumber dalam mimbar masih memiliki
kualitas yang pas-pasan. Buku-buku dan pengalaman keagamaannya kurang mampu
dielaborasikan ke ranah interpretasi yang konstektual. Mereka hanya mampu
membaca atau mengalami tanpa mau memasaknya dalam dapur kontemplasi pikiran.
Padahal kontemplasi berguna untuk mengolah in put menjadi interpretasi
kekinian. Kedua, kualitas presenter
(pemandu mimbar). Rata-rata presenter mimbar hindu berperan sebagai tukang
nunas baos. Posisinya sekadar sebagai tukang tanya. Diam sejenak. Kemudian,
mendengarkan penjelasan narasumber panjang lebar seperti balian. Mereka
kurang memiliki kemampuan menggali, mengarahkan, dan menajamkan kasus. Hal ini
mengingat para presenter tersebut tidak membekali diri secara optimal tentang
topik yang akan dimimbarkan. Para presenter
hanya bisa bertanya standar (sepele), yang membutuhkan jawaban penjelasan
istilah. Ketiga, kemampuan pengolahan topik mimbar. Seringkali penentuan topik
mimbar terlalu luas dan mengambang. Misalnya, “Hari Raya Galungan” atau “Catur
Beratha Penyepian”. Dari rumusan
redaksionalnya sangat kurang menarik, terlalu luas, kurang fokus, dan kurang
tajam. Coba misalnya, ”Menanamkan Spirit atau Makna Hari Raya Galungan pada
Remaja” atau ”Membuka Ruang Kesadaran Umat Lewat Catur Beratha Penyepian”.
Kualitas mimbar adalah cerminan
atau simbolisasi prosesi menggeluti agama yang modern. Bukan bermaksud berkompetisi
secara komersial, nilai-nilai konstektual weda mutlak diadaptasikan dengan
dinamika zaman. Kalau tidak, eksistensi dan derajat agama hindu kian diremehkan
tidak hanya oleh intern umat termasuk umat lain. Inilah yang harus kita pikirkan bersama-sama
terutama bagi pemuka agama hindu.
Weda sesungguhnya sangat
fleksibel dan adaptif. Hindu Bali merupakan contoh real. Kita kagum pada
leluhur Bali ketika mereka mampu meracik aspek agama (weda) dengan
sosiokultural Bali yang terus mengalami perkembangan yang dinamis. Dari Bali
tempo dulu hingga modern sekarang, weda terus eksis harmonis, selaras, dan
integratif dengan desa kala patra Bali.
Sebetulnya, inilah
inspirasi terbesar warisan leluhur bagi kita. Sebagai puncak pencerah, para
narasumber mimbar harus menyadari hal tersebut. Di tangan para narasumber inilah, ruang kekinian weda
harus terus digalakkan, dibangkitkan, dan disosialisasikan secara kontinyu.
Kita harus yakin bahwa darah weda yang mengalir di tubuh kita adalah darah yang
menyehatkan. Artinya, agama yang kita anut sekarang merupakan sesuatu yang
dapat menyelesaikan masalah umat sekarang. Bukan sebaliknya, membebani kehidupan
umat. Dalam konteks inilah, dibutuhkan tokoh-tokoh mediasi yang mampu
menjembati antara persoalan kehidupan dengan agama yang dianutnya secara konkret.
Kita yakin masih banyak pemuka agama hindu yang memiliki kualitas yang modern
dan profesional sebagai pengungkap takbir mensinkronisasikan antara agama dan
persoalan kehidupan.
Ideal Narasumber
Saat ini kita sangat membutuhkan narasumber mimbar
yang ideal (profesional). Tidak peduli dari kalangan mana dan apa latar
belakangnya. Praktisi, akademisi, kedokteran, insinyur, dalang, guru, petani
dan lain sebagainya. Karena urusan tafsir agama berkaitan dengan intensitas mulat sarira secara personal. Lembaga formal
keagamaan (IHDN, UNHI, dll) tidak menjamin sebagai lembaga pencetak pemuka
(narasumber mimbar) yang andal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa separuh
lebih lulusannya, hanya menjadi pelaku relegi yang pasif. Sebaliknya, tidak
sedikit orang lulusan di luar lembaga formal keagamaan justru lincah, luwes,
dan intens ulasan keagamaannya. Gede Prama, Cok Sawitri, dan Dalang Nardayana
merupakan contoh konkret--bagaimana mereka mengintepretasikan weda dengan
simpel, lugas, relevan, dan kontekstual.
Menjadi narasumber mimbar
memang spesialisasi. Namun bukan berarti wawasannya mentok pada hal
keagamaan saja. Aspek keagamaan tidak bisa hidup sendiri. Dalam bermasyarakat,
aspek ini harus bersanding dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Itulah
sebabnya, seorang narasumber mimbar tidak cukup bermodalkan sloka-sloka
Bhagavadgita saja misalnya. Mereka harus memahami, mengalami, dan dapat
mengkolerasikan kekinian berkaitan dengan sosiokultural, antropologi, politik,
ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya. Semakin dalam dan luas wawasan seorang
narasumber maka makin tajam, relevan, dan kontekstual ulasannya.
Jadi, seorang narasumber
mimbar tidak cukup menjual track record pernah belajar di India
misalnya. Tetapi bagaimana ia mampu menerjemahkan semua ajarannya berdasarkan desa,
kala, patra tertentu. Tidak semua orang pintar dari membaca atau mengalami
dapat menginterpretasikan nilai relevansi weda dengan cepat dan akurat. Semua
tergantung pada kemampuan diri perorangan.
Di samping narasumber,
faktor presenter (pemandu) juga menentukan kualitas mimbar. Pemandu yang
profesional adalah orang yang memahami dan menguasai tema/ topik mimbar. Ia
harus banyak mendengarkan, berdiskusi dan
membaca berbagai referensi berkaitan dengan topik mimbar sebelum
langsung memandu mimbar. Pemandu yang hebat terlihat dari cara memandu di depan
layar televisi. Ia harus dapat memancing, menggali, mengulur, memprovokasi, dan
mengarahkan opini narasumber. Dengan demikian, narasumber dan pemandu akan
dapat menjalankan perannya secara profesional dan proposional.
PHDI Harus Punya Standardisasi
Untuk menakar kredibelitas dan profesionalisme narasumber-presenter
mimbar, PHDI seharusnya memiliki standardisasi. PHDI sangat berwenang menggodok
track record narasumber dan presenter secara sistematis. Prasyarat
global bisa mengacu pada beberapa aspek, antara lain: kedalaman wawasan, jam
terbang bicara di ranah publik, latar belakang pendidikan, motif acara mimbar,
tingkat kepuasan umat terhadap layanan mimbar, dan lain sebagainya. Detail
persyaratan ini berguna untuk memperketat izin-izin tayangan mimbar agama
hindu. Maksudnya tentu untuk mencapai kualitas mimbar yang memenuhi selera
publik. Kalau tim mimbar independen dianggap kurang kredibel, PHDI berhak
meminta partisipan mimbar menggali dan memperdalam kajian mimbar. Jika
diperlukan, PHDI siap menyediakan fasilitas referensi baik berupa buku maupun narasumber
profesional.
Sebagai lembaga otoritas
hindu tertinggi, PHDI pasti memiliki tim ahli mimbar. Tim ahli ini bertugas
untuk menggenjot para narasumber amatiran agar tumbuh menjadi disegani. Misalnya,
ada narasumber dari daerah terpencil (daerah transmigrasi), PHDI berhak melatih
dan memfasilitasinya. Hal ini bertujuan untuk memodernisasi umat hindu. Tidak hanya memfasilitasinya, PHDI seharusnya
punya tim mimbar yang kredibel dan profesional. Tim ini siap ngayah ke
segala penjuru demi memajukan pola pikir dan militansi beragama. Jika mendesak
dan tidak memungkinkan, PHDI bersama tim kreatif bisa membuat video rekaman
mimbar. Rekaman video mimbar ini dapat dikonsumsi secara kelompok maupun
individual. Namun ingat, video ini harus mendapat lisensi dari PHDI dan telah
diuji kelayakannya.
Kita sangat mendukung PHDI
merazia mimbar-mimbar hindu yang ditayangkan di televisi. Jangan hanya sekadar
diberi lisensi tetapi mimbar itu harus dapat membuka, memperdalam, dan
meninggikan intelegensi umat. Penulis adalah Guru swasta di Denpasar.
Beberapa artikelnya pernah dimuat di
Bali Post dan media lainnya.
BIODATA PENULIS
Nama : I Ketut Serawan, S.Pd
TTL : Sakti, 15 April 1979
Alamat : Jl.
Batuyang Gang Pipit
Permai No. 7
Batubulan,
Kab.
Gianyar-Bali
Telp. : 081338584553
Facebook :
Ketut Serawan
Pendidikan :
1. SDN 6 Sakti Kec. Nusa Penida tamat 1992
2. SMPN 2 Nusa Penida tamat 1995
3. SMUN 1 Semarapura 1998
4. IKIP Negeri Singaraja 2003
Pekerjaan : Guru Sastra Indonesia SMP
Cipta Dharma Denpasar-Bali
Aktivitas
Kebahasaan/Kesastraan:
1.
Pemenang 5 terbaik Mengarang Cerpen
Berbahasa Indonesia RRI Singaraja 2001
2.
Juri dalam Lomba Baca Puisi Pelajar
Se-Kabupaten Buleleng 2002
3.
Juri dalam Lomba Pidato Pelajar
Se-Kabupaten Buleleng 2002
4.
Juara III Guru SMP Berprestasi Kota
Denpasar 2014
5.
Pemenang Juara I Lomba Menulis Artikel
Festival Bhagavadgita 2015
6. Menulis
beberapa artikel di media cetak. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Harian
Bali Post dan media lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar