TRADISI NGELES MENJELANG UN
Oleh
Ketut Serawan,
S.Pd. (Guru SMP Cipta Dharma)
Pemda
Provinsi Bali kini tampak sangat antusias dalam menyongsong ujian nasional
mendatang. Bulan September lalu, Dinas Pendidikan Provinsi Bali mengeluarkan
Surat Keputusan bernomor 423/5201/Dispendik. Surat tertanggal 7 September 2007
ini berisikan dua butir instruksi penting yakni (1) materi kelas IX SMP dan kelas
XII SMA/ SMK dituntaskan pada akhir semester I dan (2) semester II difokuskan
menghadapi pelaksanaan UN seperti remidi, pengayaan, ulangan, pemantapan, dan
sejenisnya.
Terkait
dengan keberadaan surat
ini, beragam persepsi muncul di kalangan para guru/ sekolah. Pertama, banyak
guru menilai surat
ini terkesan sangat mendadak. Dikatakan mendadak karena baru keluar persis 3 bulan
menjelang semester I usai. Kedua, beberapa guru menilai bahwa surat ini terkesan menggampangkan profesi
guru. Karena pemerintah melihat bahwa pekerjaan mengajar layaknya bermain sulap.
Cukup 3 bulan maka bin sala bin materi
3 bulan semester ganjil plus kurang lebih 4 bulan materi semester genap bisa
dilebur begitu saja. Ketiga, pemerintah menyeragamkan kemampuan siswa negeri
dengan siswa swasta. Dampak penyeragaman ini akan menimbulkan masalah belajar terutama
bagi siswa swasta. Dengan kemampuan yang berbeda, siswa swasta justru akan
mengalami rasa stres yang berlebihan. Kelima, tanpa disadari pemerintah telah
menggobok-obok sistem dan program pembelajaran di sekolah. Jauh sebelum surat ini dibuat, guru
telah membuat garis komando berupa program pembelajaran (program tahunan,
program semester, RPP) secara matang. Program pembelajaran itu telah dikalkulasikan
dengan hari efektif belajar dan kompleksitas materi pembelajaran.
Dengan
logika kalkulasi waktu dan materi, tampaknya dua butir instruksi tersebut akan
menjadi kebijakan yang spekulatif dan kurang rasional. Kecil peluangnya bagi
sekolah-sekolah di Bali bisa menjalankan instruksi tersebut dengan maksimal. Bahkan
kemungkinan besar sekolah-sekolah akan tetap berjalan sesuai dengan program
pembelajaran yang sudah ditetapkan.
Lalu
bagaimana seharusnya sekolah menyikapi kebijakan positif tersebut? Haruskah
sekolah mengabaikannya begitu saja? Kalau mengabaikan, ada kesan sekolah
bersikap arogan. Sebaliknya, menjalankan persis kedua instruksi tersebut
sangatlah sulit. Solusinya harus ada langkah alternatif dari sekolah yang
memungkinkan kedua butir instruksi itu bisa terlaksana. Hal inilah yang
mendorong sekolah menyelenggarakan kegiatan les di sekolah. Sejak dulu hingga
sekarang sekolah-sekolah selalu memberikan jam tambahan (les) khusus untuk
siswa kelas IX SMP dan siswa kelas XII SMU/ SMK.
Bagi
sekolah, kegiatan les merupakan sebuah
keharusan. Setiap sekolah menggelarnya sebagai sebuah tradisi tahunan. Hanya
saja waktu pelaksanaannya bervariasi. Ada
beberapa sekolah mengadakan les mulai dari semester ganjil. Namun kebanyakan
sekolah menyelenggarakan les memasuki semester genap. Di tengah merebaknya isu
pendidikan gratis, kegiatan les sebetulnya menjadi hal yang kontroversi. Biaya operasionalnya
cukup membebani pihak ortu siswa. Namun mengingat nilai kebermanfaatannya yang
begitu tinggi, biaya bukan menjadi alasan bagi pihak sekolah untuk mengelak
dari tradisi ngeles.
Kegiatan
les bermanfaat terutama sebagai pengayaan, pendalaman dan pemantapan materi
pembelajaran. Kegiatan pengayaan, pendalaman dan pemantapan hanya mungkin
terlaksana melalui kegiatan les. Sangat kecil kesempatan sekolah mengadakan
pengayaan materi UN secara integratif dan komprehensif pada waktu semesteran.
Karena waktu semesteran sudah habis untuk jatah materi reguler. Di sisi lain, materi
UN mencakup dua jenjang sebelumnya. Misalnya, untuk kelas IX SMP materi UN
mencakup materi kelas VII dan VIII. Begitu juga kelas XII SMU/ SMK meliputi
kelas X dan kelas XI. Kegiatan ini jelas membutuhkan waktu tersendiri.
Lebih
dari pengayaan atau pendalaman materi, kegiatan les sekolah sesungguhnya
bermanfaat sebagai terapi mental siswa. Namun hal ini bergantung pada strategi
dari para guru. Strategi mengajar kurang baik, justru akan menimbulkan kemunduran
mental belajar. Kongkretnya, siswa menjadi stres dan enggan belajar. Oleh
karena itu, pada saat kegiatan les pembelajaran sebaiknya diformat berbeda dari
kegiatan belajar reguler (biasa). Dari segi pengemasan tentu harus menarik dan
fleksibel. Materi harus mengalami proses interpretasi yang intens sehingga guru
bisa menyampaikan dengan sangat sederhana, sistematis, menarik dan mudah
dipahami siswa.
Di
samping pengemasan dan teknis penyampaian materi, pada saat les siswa harus diakrabkan dengan soal-soal model UN. Model-model
soal itu mulai dari yang sudah pernah keluar sampai ke soal prediksi. Selanjutnya,
guru memberikan smart solution
terhadap masing-masing tipe soal. Jika pola pembelajaran seperti ini
dibiasakan, maka kegiatan les sekolah tidak membuat siswa bertambah stres.
Sebaliknya, siswa akan lebih enjoy belajar,
spirit belajar meningkat, dan muncul rasa lebih konfiden untuk menghadapi UN.
Jadi
di tengah masih kuatnya tradisi ngeles di sekolah, ide menuntaskan materi reguler
pada semester I dan melakukan pengayaan/ pendalaman materi pada semester II dari
Dinas Pendidikan Provinsi Bali menjadi signifikan. Hanya saja waktunya tidak
tepat sekarang. Ke depan, ide tersebut akan terasa sangat berharga. Dengan
catatan, Dinas Pendidikan Provinsi Bali (atau pemerintah pusat) harus melakukan
langkah awal. Misalnya, pemerintah melakukan upaya perampingan materi terutama
pada semester II pada kelas IX SMP dan kelas XII SMU/ SMK. Bila perlu pada
semester II, siswa kelas IX dan XII dibebaskan dari beban materi reguler. Jadi
menginjak semester II, siswa hanya digodok dengan pengayaan materi, remidi,
pemantapan dan lain sebagainya. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan dengan
mendadak dan serampangan. Pemerintah memerlukan waktu untuk mewujudkan impian
tersebut. Pemerintah membutuhkan orang-orang yang berkompeten untuk merancang
dan merumuskan secara matang pada tahun pelajaran mendatang. Jika berjalan
mulus, besar kemungkinan impian tersebut bisa terwujud.
Lalu
bagaimanakah kelanjutan masa depan kegiatan les di sekolah? Akankah tradisi les
sekolah akan musnah? Atau tetap eksis, tetapi tingkat aktivitas dan
frekuensinya akan berkurang? Atau sama seperti semula? Kita tunggu.
0 komentar:
Posting Komentar