Migrasi
Siswa Swasta ke Negeri Favorit
Oleh
I Ketut
Serawan, S.Pd.
Panen
siswa enam bulan yang lalu tidak menyurutkan sekolah negeri favorit di Denpasar
berhenti menerima siswa baru. Setelah melalui jalur prosedural (melalui TPA
atau NEM) dan jual beli kursi, kini sekolah negeri favorit menerima siswa baru
melalui jalur migrasi. Sejumlah siswa sekolah swasta berlomba-lomba pindah ke
sekolah negeri favorit setelah mengikuti proses belajar mengajar selama 1
semester di sekolah asalnya.
Munculnya
migrasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu terbukanya sekolah negeri
favorit (yang dituju) untuk memberikan tempat atau kursi, adanya ambisi orang
tua untuk memasukkan anaknya ke negeri favorit, dan adanya kesepakatan
transaksi antara pihak sekolah yang dituju dengan orang tua siswa. Sama halnya
dengan jual beli kursi, proses migrasi tidak lepas dari isu lobi dan bau
pungli. Bedanya, lobi dan transaksi migrasi terjadi setelah berlangsungnya
proses belajar mengajar minimal satu semester di sekolah asal.
Kasus
migrasi tergolong masalah yang tidak terlalu luas menyita perhatian publik.
Karena secara kuantitas, kasus migrasi tidak sebanyak jumlah kasus jual beli
kursi. Di samping itu, momen kasus migrasi terjadi ketika riuh penerimaan siswa
baru telah berhenti atau berada pada fase tenang. Inilah yang menyebabkan kasus
migrasi lebih rapi dibandingkan dengan jual beli kursi yang lebih keblabasan.
Fenomena
migrasi telah menimbulkan dampak terhadap beberapa kalangan tertentu. Bagi
orang tua, migrasi merupakan HAM. Migrasi dipandang sebagai perpindahan yang
wajar dan manusiawi. Semua orang tua pasti menginginkan putra/putrinya
menikmati pendidikan di sekolah negeri favorit. Begitu juga siswa itu sendiri.
Mereka punya hak yang sama untuk menikmati pendidikan yang wajar di sekolah
negeri favorit.
Dari
sisi sekolah asal (swasta), kasus migrasi merupakan fenomena yang sangat
merugikan. Karena tahun ini rata-rata jumlah sekolah swasta berkurang
signifikan. Ditambah dengan adanya kasus migrasi, maka sekolah swasta yang
menggantungkan income pada jumlah siswa akan kian terpuruk.
Di
sisi lain, sekolah negeri favorit tumbuh semakin arogan. Mereka semakin brutal
dan seenaknya meraup siswa. Mereka beranggapan bahwa citra favorit kian
melambung ketika berhasil merekrut siswa sebanyak-banyaknya. Padahal konsep ini
terbalik dari hakiki sekolah favorit. Bagaimana kriteria sekolah favorit
sejatinya?
Sekolah
favorit identik dengan kualitas layanan pendidikan yang optimal. Kualitas
pendidikan tercermin dari eksistensi beberapa hal, misalnya tersedianya tenaga
pendidik yang andal dan cukup. Sekolah favorit harus memiliki SDM (guru dan
staf karyawan sekolah) yang profesional. Indikator yang dijadikan tolak ukur
seperti latar belakang pendidikan dan prestasinya. Di samping itu, keberadaan
tenaga pendidikan (termasuk staf karyawan sekolah) harus ideal dengan jumlah
siswa yang diterima.
Selain
eksistensi SDM, sarana dan prasarana sekolah harus sebanding dengan jumlah
siswa yang diterima. Contohnya, jumlah kelas harus ideal dengan daya tampung
siswa, kuantitas-kualitas laboratorium yang ideal, kuantitas-kualitas
perpustakaan serta media belajar juga harus ideal dengan jumlah siswa.
Ketersediaan sarana dan prasarana sekolah berfungsi untuk menciptakan
kelancaran dan kenyaman belajar. Karena sarana dan prasarana berkorelasi dengan
efisiensi dalam proses belajar mengajar.
Sistem
manajemen yang berkualitas juga menjadi ciri penting sekolah favorit. Oleh
karena itu, sekolah favorit harus dipimpin oleh kepala sekolah yang cerdas,
cakap, komit, konsisten, terbuka, dan tegas. Hal ini berkaitan dengan jasa
layanan pendidikan. Kepala sekolah favorit harus siaga dengan kritik
konstruktif baik dari siswa, orang tua, maupun masyarakat pada umumnya demi
peningkatan kualitas layanan pendidikan.
Menyikapi Kasus
Migrasi
Bercermin
dari ulasan di atas, maka kasus migrasi ke sekolah negeri favorit pantas
disikapi dengan bijak. Jika migrasi berlangsung wajar (artinya sekolah yang
dituju memang kekurangan siswa), tidak menjadi persoalan. Namun, belakangan
kasus migrasi justru menyasar pada sekolah negeri favorit yang sudah overload.
Buktinya, mulai tahun ini sekolah negeri favorit di Denpasar sampai
memberlakukan kelas siang dengan jumlah siswa per kelas mencapai 50-an.
Kebijakan ini memberikan bukti bahwa jumlah siswa dengan tenaga pendidik dan
sarana/ prasarana sekolah tidak ideal. Secara kualitas, jumlah ini jelas tidak
efektif.
Kasus
migrasi dan overload pada sekolah negeri favorit merupakan senjata bunuh
diri. Selama ini sekolah favorit telah keliru menginterpretasikan statusnya.
Karena mereka terjebak pada stigma luar yakni sekolah favorit identik dengan
peminat yang membludak. Akibatnya, mereka lupa hal hakiki tentang sekolah
favorit yaitu memberikan layanan pendidikan yang optimal. Jika kekeliruan ini
terus berlanjut, lambat laun status favorit akan turun seiring perjalanan
waktu.
Sebagai
penerima dalam kasus migrasi, sekolah negeri favorit pantas berpikir ulang.
Tidak logis jika sekolah menerima siswa lagi, padahal sudah overload
sebelumnya. Sekolah favorit harus berpikir jangka panjang tentang eksistensi
status favoritnya. Jangan sampai jumlah sesaat, di kemudian hari akan dicemooh
dan ditinggalkan peminat gara-gara tidak bisa memberikan layanan pendidikan
yang maksimal. Dalam konteks inilah dibutuhkan kepala sekolah yang tegas dan
konsisten.
Orang
tua juga harus cerdas dalam menyikapi kasus migrasi ini. Jangan mengorbankan
anak demi status favorit padahal nyatanya sekolah tersebut sudah overload. Sepatutnya
orang tua jeli memilih sekolah yang betul-betul sesuai dengan hitungan
matematis kualitas. Jangan memaksa anak melakukan migrasi ke sekolah favorit
yang overload apalagi demi prestise tanpa memahami kondisi dan kemampuan
akademik anak. Alih-alih mendapatkan pendidikan yang optimal, justru orang tua
menjerumuskan anak pada iklim pendidikan yang kian terbatas. Orang tua telah
menjebak anaknya pada ruang belajar yang sesak, menjauhkan perhatian guru
dengan siswa, dan menciptakan sejumlah kerumitan stres pada anak. Jika hal ini
terjadi, anak akan mengalami korban beruntun. Korban keinginan orang tua dan
korban overload sekolah.
Lebih
penting lagi adalah peran dinas pendidikan selaku pemangku kebijakan. Selama
ini dinas pendidikan provinsi dan kota Denpasar terkesan tutup mata dari kasus
migrasi siswa. Semestinya dinas pendidikan harus membuat regulasi yang jelas
dan konsisten dalam pelaksanaannya. Jangan sampai seperti kasus overload
tahun lalu, pemerintah terkesan diam dan membiarkan. Buktinya, sekolah negeri
favorit yang menerima siswa melebihi kuota yang ditetapkan tidak pernah
ditindak tegas (diberi sanksi). Faktor pembiaran inilah yang menyebabkan negeri
favorit membuka penerimaan siswa baru melalui jalur migrasi.
Jika
pemerintah tidak segera membuat regulasi yang tegas maka satu per satu
eksistensi sekolah swasta di Denpasar akan terancam bubar.
0 komentar:
Posting Komentar