Selasa, 25 Oktober 2016



Migrasi Siswa Swasta ke Negeri Favorit
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.
Panen siswa enam bulan yang lalu tidak menyurutkan sekolah negeri favorit di Denpasar berhenti menerima siswa baru. Setelah melalui jalur prosedural (melalui TPA atau NEM) dan jual beli kursi, kini sekolah negeri favorit menerima siswa baru melalui jalur migrasi. Sejumlah siswa sekolah swasta berlomba-lomba pindah ke sekolah negeri favorit setelah mengikuti proses belajar mengajar selama 1 semester di sekolah asalnya.
Munculnya migrasi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu terbukanya sekolah negeri favorit (yang dituju) untuk memberikan tempat atau kursi, adanya ambisi orang tua untuk memasukkan anaknya ke negeri favorit, dan adanya kesepakatan transaksi antara pihak sekolah yang dituju dengan orang tua siswa. Sama halnya dengan jual beli kursi, proses migrasi tidak lepas dari isu lobi dan bau pungli. Bedanya, lobi dan transaksi migrasi terjadi setelah berlangsungnya proses belajar mengajar minimal satu semester di sekolah asal.
Kasus migrasi tergolong masalah yang tidak terlalu luas menyita perhatian publik. Karena secara kuantitas, kasus migrasi tidak sebanyak jumlah kasus jual beli kursi. Di samping itu, momen kasus migrasi terjadi ketika riuh penerimaan siswa baru telah berhenti atau berada pada fase tenang. Inilah yang menyebabkan kasus migrasi lebih rapi dibandingkan dengan jual beli kursi yang lebih keblabasan.
Fenomena migrasi telah menimbulkan dampak terhadap beberapa kalangan tertentu. Bagi orang tua, migrasi merupakan HAM. Migrasi dipandang sebagai perpindahan yang wajar dan manusiawi. Semua orang tua pasti menginginkan putra/putrinya menikmati pendidikan di sekolah negeri favorit. Begitu juga siswa itu sendiri. Mereka punya hak yang sama untuk menikmati pendidikan yang wajar di sekolah negeri favorit.
Dari sisi sekolah asal (swasta), kasus migrasi merupakan fenomena yang sangat merugikan. Karena tahun ini rata-rata jumlah sekolah swasta berkurang signifikan. Ditambah dengan adanya kasus migrasi, maka sekolah swasta yang menggantungkan income pada jumlah siswa akan kian terpuruk.
Di sisi lain, sekolah negeri favorit tumbuh semakin arogan. Mereka semakin brutal dan seenaknya meraup siswa. Mereka beranggapan bahwa citra favorit kian melambung ketika berhasil merekrut siswa sebanyak-banyaknya. Padahal konsep ini terbalik dari hakiki sekolah favorit. Bagaimana kriteria sekolah favorit sejatinya?
Sekolah favorit identik dengan kualitas layanan pendidikan yang optimal. Kualitas pendidikan tercermin dari eksistensi beberapa hal, misalnya tersedianya tenaga pendidik yang andal dan cukup. Sekolah favorit harus memiliki SDM (guru dan staf karyawan sekolah) yang profesional. Indikator yang dijadikan tolak ukur seperti latar belakang pendidikan dan prestasinya. Di samping itu, keberadaan tenaga pendidikan (termasuk staf karyawan sekolah) harus ideal dengan jumlah siswa yang diterima.
Selain eksistensi SDM, sarana dan prasarana sekolah harus sebanding dengan jumlah siswa yang diterima. Contohnya, jumlah kelas harus ideal dengan daya tampung siswa, kuantitas-kualitas laboratorium yang ideal, kuantitas-kualitas perpustakaan serta media belajar juga harus ideal dengan jumlah siswa. Ketersediaan sarana dan prasarana sekolah berfungsi untuk menciptakan kelancaran dan kenyaman belajar. Karena sarana dan prasarana berkorelasi dengan efisiensi dalam proses belajar mengajar.
Sistem manajemen yang berkualitas juga menjadi ciri penting sekolah favorit. Oleh karena itu, sekolah favorit harus dipimpin oleh kepala sekolah yang cerdas, cakap, komit, konsisten, terbuka, dan tegas. Hal ini berkaitan dengan jasa layanan pendidikan. Kepala sekolah favorit harus siaga dengan kritik konstruktif baik dari siswa, orang tua, maupun masyarakat pada umumnya demi peningkatan kualitas layanan pendidikan.
Menyikapi Kasus Migrasi
Bercermin dari ulasan di atas, maka kasus migrasi ke sekolah negeri favorit pantas disikapi dengan bijak. Jika migrasi berlangsung wajar (artinya sekolah yang dituju memang kekurangan siswa), tidak menjadi persoalan. Namun, belakangan kasus migrasi justru menyasar pada sekolah negeri favorit yang sudah overload. Buktinya, mulai tahun ini sekolah negeri favorit di Denpasar sampai memberlakukan kelas siang dengan jumlah siswa per kelas mencapai 50-an. Kebijakan ini memberikan bukti bahwa jumlah siswa dengan tenaga pendidik dan sarana/ prasarana sekolah tidak ideal. Secara kualitas, jumlah ini jelas tidak efektif.
Kasus migrasi dan overload pada sekolah negeri favorit merupakan senjata bunuh diri. Selama ini sekolah favorit telah keliru menginterpretasikan statusnya. Karena mereka terjebak pada stigma luar yakni sekolah favorit identik dengan peminat yang membludak. Akibatnya, mereka lupa hal hakiki tentang sekolah favorit yaitu memberikan layanan pendidikan yang optimal. Jika kekeliruan ini terus berlanjut, lambat laun status favorit akan turun seiring perjalanan waktu.
Sebagai penerima dalam kasus migrasi, sekolah negeri favorit pantas berpikir ulang. Tidak logis jika sekolah menerima siswa lagi, padahal sudah overload sebelumnya. Sekolah favorit harus berpikir jangka panjang tentang eksistensi status favoritnya. Jangan sampai jumlah sesaat, di kemudian hari akan dicemooh dan ditinggalkan peminat gara-gara tidak bisa memberikan layanan pendidikan yang maksimal. Dalam konteks inilah dibutuhkan kepala sekolah yang tegas dan konsisten.
Orang tua juga harus cerdas dalam menyikapi kasus migrasi ini. Jangan mengorbankan anak demi status favorit padahal nyatanya sekolah tersebut sudah overload. Sepatutnya orang tua jeli memilih sekolah yang betul-betul sesuai dengan hitungan matematis kualitas. Jangan memaksa anak melakukan migrasi ke sekolah favorit yang overload apalagi demi prestise tanpa memahami kondisi dan kemampuan akademik anak. Alih-alih mendapatkan pendidikan yang optimal, justru orang tua menjerumuskan anak pada iklim pendidikan yang kian terbatas. Orang tua telah menjebak anaknya pada ruang belajar yang sesak, menjauhkan perhatian guru dengan siswa, dan menciptakan sejumlah kerumitan stres pada anak. Jika hal ini terjadi, anak akan mengalami korban beruntun. Korban keinginan orang tua dan korban overload sekolah.
Lebih penting lagi adalah peran dinas pendidikan selaku pemangku kebijakan. Selama ini dinas pendidikan provinsi dan kota Denpasar terkesan tutup mata dari kasus migrasi siswa. Semestinya dinas pendidikan harus membuat regulasi yang jelas dan konsisten dalam pelaksanaannya. Jangan sampai seperti kasus overload tahun lalu, pemerintah terkesan diam dan membiarkan. Buktinya, sekolah negeri favorit yang menerima siswa melebihi kuota yang ditetapkan tidak pernah ditindak tegas (diberi sanksi). Faktor pembiaran inilah yang menyebabkan negeri favorit membuka penerimaan siswa baru melalui jalur migrasi.
Jika pemerintah tidak segera membuat regulasi yang tegas maka satu per satu eksistensi sekolah swasta di Denpasar akan terancam bubar.


0 komentar:

Posting Komentar