Senin, 24 Oktober 2016



Siswa Menstruasi Tak Berolahraga

Jika siswa menstruasi, pasti diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga. Itulah yang dilakukan oleh Disu, bukan nama sebenarnya, salah satu guru olahraga pada sekolah menengah swasta favorit di Denpasar ini. Meski hampir 20 tahun menjalani profesi sebagai guru olahraga, namun hingga kini ia tak bisa berbuat banyak kecuali mengizinkan siswa tersebut--kendatipun terkadang muncul perasaan ragu.

Memang secara kodrati, wanita ditakdirkan berbeda dengan laki-laki. Wanita  mengalami siklus menstruasi yang bisa menimbulkan dampak fisiologis maupun psikis. Menstruasi (haid) merupakan pelepasan dinding rahim (endometrium) yang disertai dengan pendarahan dan terjadi setiap bulannya kecuali pada saat kehamilan. Menstruasi biasanya terjadi pada usia 11 tahun dan berlangsung hingga menopause (biasanya terjadi sekitar usia 45-55 tahun). Normalnya, menstruasi berlangsung selama 3-7 hari.
Selama menstruasi, terjadi perubahan hormon yang bisa menimbulkan masalah tersendiri pada wanita. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa selama menstruasi wanita mengalami pengurangan selera makan hingga mencapai 12%, muncul dorongan menikmati substansi adiktif, sering salah ngomong, kehilangan penalaran, dan lain sebagainya. Bahkan pada beberapa wanita, ada yang mengalami ketidaknyamanan atau gangguan sebelum menstruasi dengan gejala bervariasi yang mampu  mengganggu aktivitas sehari-hari.  Gangguan itu populer disebut sindroma pra menstruasi (Pre Menstrual Syndrome). Sindroma pra menstruasi (PMS) adalah sekumpulan gejala atau keluhan baik fisik maupun psikologis yang dirasakan wanita pada hari ke-1 hingga hari ke-14 sebelum menstruasi dimulai dan diikuti dengan tahap bebas dari gejala jika menstruasi sudah terjadi (Health Media Nutrition, 2006). Survai tahun 1982 di Amerika Serikat menunjukkan, PMS dialami 50% wanita dengan sosio-ekonomi menengah. Bahkan terhadap sekitar 14 persen perempuan antara usia 15-35 tahun, sindrom pramenstruasi dapat sangat hebat pengaruhnya sehingga mengharuskan mereka beristirahat dari sekolah atau kantornya (Wales, 2008).
Oleh karena itu, memang selayaknya Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (penjaskesrek) di sekolah menengah memperhatikan siswa wanita. Hal ini berlaku terutama bagi siswa yang merasa terganggu akibat siklus menstruasi, terlebih lagi yang mengalami dampak serius dari efek menstruasi tersebut. Mereka sewajarnya dihindarkan dari aktivitas berolahraga. Karena pendidikan olahraga (penjaskesrek) lebih didominasi oleh aktivitas gerak tubuh yang memerlukan kondisi tubuh yang fit.
Hanya saja masalahnya, bagaimana mengidentifikasi siswa yang mengalami gangguan menstruasi. Pasalnya, sering siswa yang minta izin adalah orang yang secara kasat mata sehat, fit, dan segar bugar. Curiganya, bisa saja beberapa siswa yang tidak suka dengan pelajaran olahraga memanfaatkan situasi ini. Menginvestigasi siswa tampaknya kurang etis apalagi guru olahraganya adalah seorang laki-laki.
Namun kecurigaan tersebut harus dikesampingkan dulu. Sekarang yang penting ialah bagaimana kasus siswa mentruasi bisa diatasi dengan pendekatan dan metode yang tepat. Dengan kata lain, bagaimana memandang kasus menstruasi pada siswa dihubungkan dengan konteks pendidikan olahraga di sekolah.

Psikologi olahraga
Jika dilihat dari pemahaman awam, olahraga identik dengan aktivitas yang menekankan pada raga/ tubuh. Padahal raga atau tubuh tidak akan bergerak optimal jika tidak ditopang oleh sukma/jiwa. Artinya, sulit bagi manusia sebagai individu memisahkan kedua unsur ini. Keduanya harus saling mendukung kalau kita menginginkan hasil yang maksimal. Dalam konteks inilah psikologi olahraga menjadi penting dikedepankan.
Psikologi olahraga merupakan psikologi umum yang menyelidiki manusia sebagai individu. Kajiannya meliputi tentang konsep dan prinsip kejiwaan dalam keolahragaan serta bagaimana pengaruhnya terhadap atlet atau peserta didik. Objek-objek yang dikaji misalnya, motivasi berolahraga, kematangan emosi, kebosanan, stres, kecemasan, frustasi, agresivitas dan lain sebagainya. Motivasi berkaitan dengan keinginan dalam diri seseorang yang mendorong untuk bertindak. Emosi merupakan suatu fenomena yang sulit dinyatakan dan diteliti, namun bisa dilihat dari beberapa gejalanya, misalnya perasaan tegang, stres, cemas termasuk perilaku agresif.
Kini masalahnya menjadi semakin jelas. Siswa di bawah pengaruh menstruasi sangat merasakan kendala psikis dalam pendidikan olahraga. Karena menstruasi berpengaruh pada motivasi, sikap, semangat/ spirit, konsentrasi, emosi dan lain sebagainya. Motivasi yang buruk akan menurunkan semangat dan spirit dalam berolahraga. Sementara itu, sikap yang buruk akan memunculkan respon negatif terhadap objek atau situasi tertentu. Begitu juga emosi yang buruk akan menimbulkan stres, kecemasan, marah, termasuk perilaku agresif yang negatif.
Aspek psikologis peserta didik sering diabaikan dalam pendidikan olahraga. Padahal aspek ini sangat berpengaruh terhadap penampilan peserta didik dalam berolahraga.  Harsono (dalam Husdarta, 2010) pernah mengatakan bahwa perkembangan mental atlet tidak kurang pentingnya dari perkembangan kemampuan lainnya sebab betapa pun sempurnanya perkembangan fisik, teknik, dan taktik atlet apabila mentalnya tidak turut berkembang, prestasi tinggi tidak mungkin akan tercapai. Artinya, pendidikan olahraga di sekolah tidak bisa lepas dari aspek psikologi. Tujuannya tentu bukan mencetak atlet yang andal, namun paling tidak target yang dirumuskan dalam pembelajaran bisa tercapai secara optimal.

Psychological training
Bagaimana dengan peserta didik yang terganjal oleh kasus menstruasi? Dalam dunia pendidikan atlet berprestasi dikenal istilah psychological training (latihan mental). Latihan ini menekankan pada perkembangan kedewasaan atlet serta perkembangan emosional dan impulsif (semangat bertanding, sikap pantang menyerah, kesimbangan emosi meskipun dalam situasi stres, sportivitas, percaya diri, dan lain sebagainya). Intinya, latihan mental mempertinggi efesiensi mental atlet terutama ketika atlet berada dalam situasi stres yang kompleks. Tujuan akhir dari latihan mental ini untuk menghasilkan atlet yang memiliki motivasi yang kuat agar bisa tampil maksimal dan memenangkan pertandingan.
Dalam pendidikan olahraga di sekolah, tanpa disadari guru olahraga pasti memiliki  kemampuan membina mental peserta didik. Karena pada dasarnya seorang guru adalah seorang motivator. Sebagai motivator, guru olahraga punya peluang  memahami kondisi psikologi siswa dan bisa memberikan pembinaan mental. Namun harus disadari bahwa kemampuan guru dan fasilitas sekolah akan memberikan hasil berbeda dari pembinaan mental seorang atlet profesional.
Sekecil apa pun itu, celah pembinaan mental oleh guru olahraga dalam pendidikan olahraga sangat signifikan adanya. Artinya, peluang pembinaan itu memberikan kita gambaran bahwa kasus menstruasi bukan kasus buntu yang berakhir pada ”izin untuk tidak mengikuti olahraga”. Kecuali pada beberapa siswa yang memang mengalami efek luar biasa dari menstruasi, misalnya sakit perut, diare dan lain sebagainya.
Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan guru olahraga terhadap siswa yang menstruasi misalnya tingkat efek mestruasi dihubungkan dengan tingkat ringan, sedang, dan beratnya aktivitas olahraga. Oleh karena itu, guru olahraga harus mampu mengidentifikasi efek-efek dari menstruasi kemudian tetap bermusyawarah demi sebuah keputusan yang bijak dengan pihak siswa. I Ketut Serawan, guru swasta di denpasar.









0 komentar:

Posting Komentar