Siswa Menstruasi Tak Berolahraga
Jika siswa menstruasi, pasti diizinkan
untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga. Itulah yang dilakukan oleh Disu, bukan
nama sebenarnya, salah satu guru olahraga pada sekolah menengah swasta favorit
di Denpasar ini. Meski hampir 20 tahun menjalani profesi sebagai guru olahraga,
namun hingga kini ia tak bisa berbuat banyak kecuali mengizinkan siswa
tersebut--kendatipun terkadang muncul perasaan ragu.
Memang secara kodrati, wanita ditakdirkan
berbeda dengan laki-laki. Wanita
mengalami siklus menstruasi yang bisa menimbulkan dampak fisiologis maupun psikis. Menstruasi (haid) merupakan pelepasan dinding rahim (endometrium) yang
disertai dengan pendarahan dan terjadi setiap bulannya kecuali pada saat
kehamilan. Menstruasi
biasanya terjadi pada usia 11 tahun dan berlangsung hingga menopause (biasanya
terjadi sekitar usia 45-55 tahun). Normalnya, menstruasi berlangsung selama 3-7
hari.
Selama menstruasi,
terjadi perubahan hormon yang bisa menimbulkan masalah tersendiri pada
wanita. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa selama menstruasi wanita
mengalami pengurangan selera makan hingga mencapai 12%, muncul dorongan
menikmati substansi adiktif, sering salah ngomong, kehilangan penalaran, dan
lain sebagainya. Bahkan pada beberapa wanita, ada yang mengalami ketidaknyamanan atau gangguan sebelum menstruasi
dengan gejala bervariasi yang mampu mengganggu aktivitas sehari-hari. Gangguan itu populer disebut sindroma
pra menstruasi (Pre Menstrual Syndrome). Sindroma pra menstruasi (PMS)
adalah sekumpulan gejala atau keluhan baik fisik maupun psikologis yang
dirasakan wanita pada hari ke-1 hingga hari ke-14 sebelum menstruasi dimulai
dan diikuti dengan tahap bebas dari gejala jika menstruasi sudah terjadi
(Health Media Nutrition, 2006). Survai tahun 1982 di Amerika Serikat
menunjukkan, PMS dialami 50% wanita dengan sosio-ekonomi menengah. Bahkan
terhadap sekitar 14 persen perempuan antara usia 15-35 tahun, sindrom
pramenstruasi dapat sangat hebat pengaruhnya sehingga mengharuskan mereka
beristirahat dari sekolah atau kantornya (Wales, 2008).
Oleh karena itu, memang selayaknya Pendidikan
Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (penjaskesrek) di sekolah menengah
memperhatikan siswa wanita. Hal ini berlaku terutama bagi siswa yang merasa terganggu
akibat siklus menstruasi, terlebih lagi yang mengalami dampak serius dari efek
menstruasi tersebut. Mereka sewajarnya dihindarkan dari aktivitas berolahraga.
Karena pendidikan olahraga (penjaskesrek) lebih didominasi oleh aktivitas gerak
tubuh yang memerlukan kondisi tubuh yang fit.
Hanya saja masalahnya, bagaimana
mengidentifikasi siswa yang mengalami gangguan menstruasi. Pasalnya, sering
siswa yang minta izin adalah orang yang secara kasat mata sehat, fit, dan segar
bugar. Curiganya, bisa saja beberapa siswa yang tidak suka dengan pelajaran
olahraga memanfaatkan situasi ini. Menginvestigasi siswa tampaknya kurang etis
apalagi guru olahraganya adalah seorang laki-laki.
Namun kecurigaan tersebut harus
dikesampingkan dulu. Sekarang yang penting ialah bagaimana kasus siswa
mentruasi bisa diatasi dengan pendekatan dan metode yang tepat. Dengan kata
lain, bagaimana memandang kasus menstruasi pada siswa dihubungkan dengan konteks
pendidikan olahraga di sekolah.
Psikologi olahraga
Jika dilihat dari pemahaman awam,
olahraga identik dengan aktivitas yang menekankan pada raga/ tubuh. Padahal
raga atau tubuh tidak akan bergerak optimal jika tidak ditopang oleh sukma/jiwa.
Artinya, sulit bagi manusia sebagai individu memisahkan kedua unsur ini.
Keduanya harus saling mendukung kalau kita menginginkan hasil yang maksimal.
Dalam konteks inilah psikologi olahraga menjadi penting dikedepankan.
Psikologi olahraga merupakan psikologi
umum yang menyelidiki manusia sebagai individu. Kajiannya meliputi tentang
konsep dan prinsip kejiwaan dalam keolahragaan serta bagaimana pengaruhnya
terhadap atlet atau peserta didik. Objek-objek yang dikaji misalnya, motivasi
berolahraga, kematangan emosi, kebosanan, stres, kecemasan, frustasi,
agresivitas dan lain sebagainya. Motivasi berkaitan dengan keinginan dalam diri
seseorang yang mendorong untuk bertindak. Emosi merupakan suatu fenomena yang sulit
dinyatakan dan diteliti, namun bisa dilihat dari beberapa gejalanya, misalnya
perasaan tegang, stres, cemas termasuk perilaku agresif.
Kini masalahnya menjadi semakin jelas.
Siswa di bawah pengaruh menstruasi sangat merasakan kendala psikis dalam
pendidikan olahraga. Karena menstruasi berpengaruh pada motivasi, sikap,
semangat/ spirit, konsentrasi, emosi dan lain sebagainya. Motivasi yang buruk
akan menurunkan semangat dan spirit dalam berolahraga. Sementara itu, sikap yang
buruk akan memunculkan respon negatif terhadap objek atau situasi tertentu.
Begitu juga emosi yang buruk akan menimbulkan stres, kecemasan, marah, termasuk
perilaku agresif yang negatif.
Aspek psikologis peserta didik sering
diabaikan dalam pendidikan olahraga. Padahal aspek ini sangat berpengaruh
terhadap penampilan peserta didik dalam berolahraga. Harsono (dalam Husdarta, 2010) pernah
mengatakan bahwa perkembangan mental atlet tidak kurang pentingnya dari
perkembangan kemampuan lainnya sebab betapa pun sempurnanya perkembangan fisik,
teknik, dan taktik atlet apabila mentalnya tidak turut berkembang, prestasi
tinggi tidak mungkin akan tercapai. Artinya, pendidikan olahraga di sekolah
tidak bisa lepas dari aspek psikologi. Tujuannya tentu bukan mencetak atlet
yang andal, namun paling tidak target yang dirumuskan dalam pembelajaran bisa
tercapai secara optimal.
Psychological training
Bagaimana dengan peserta didik yang terganjal
oleh kasus menstruasi? Dalam dunia pendidikan atlet berprestasi dikenal istilah
psychological training (latihan mental). Latihan ini menekankan pada
perkembangan kedewasaan atlet serta perkembangan emosional dan impulsif
(semangat bertanding, sikap pantang menyerah, kesimbangan emosi meskipun dalam
situasi stres, sportivitas, percaya diri, dan lain sebagainya). Intinya,
latihan mental mempertinggi efesiensi mental atlet terutama ketika atlet berada
dalam situasi stres yang kompleks. Tujuan akhir dari latihan mental ini untuk
menghasilkan atlet yang memiliki motivasi yang kuat agar bisa tampil maksimal
dan memenangkan pertandingan.
Dalam pendidikan olahraga di sekolah,
tanpa disadari guru olahraga pasti memiliki
kemampuan membina mental peserta didik. Karena pada dasarnya seorang
guru adalah seorang motivator. Sebagai motivator, guru olahraga punya peluang memahami kondisi psikologi siswa dan bisa
memberikan pembinaan mental. Namun harus disadari bahwa kemampuan guru dan
fasilitas sekolah akan memberikan hasil berbeda dari pembinaan mental seorang
atlet profesional.
Sekecil apa pun itu, celah pembinaan
mental oleh guru olahraga dalam pendidikan olahraga sangat signifikan adanya. Artinya,
peluang pembinaan itu memberikan kita gambaran bahwa kasus menstruasi bukan kasus
buntu yang berakhir pada ”izin untuk tidak mengikuti olahraga”. Kecuali pada
beberapa siswa yang memang mengalami efek luar biasa dari menstruasi, misalnya
sakit perut, diare dan lain sebagainya.
Hal lain yang perlu menjadi
pertimbangan guru olahraga terhadap siswa yang menstruasi misalnya tingkat efek
mestruasi dihubungkan dengan tingkat ringan, sedang, dan beratnya aktivitas olahraga.
Oleh karena itu, guru olahraga harus mampu mengidentifikasi efek-efek dari
menstruasi kemudian tetap bermusyawarah demi sebuah keputusan yang bijak dengan
pihak siswa. I Ketut Serawan, guru swasta di denpasar.
0 komentar:
Posting Komentar