SISWA
“BERKICAU”, GURU DITUNTUT KREATIF
Oleh
Ketut
Serawan, S.Pd. (Guru SMP Cipta Dharma)
Marah, jengkel, kesal. Mungkin itu
dirasakan guru jika dalam interaksi pembelajaran diwarnai dengan kicauan (baca:
keributan) para siswa? Apalagi tingkat keributan siswa masuk pada level tak
terkendali. Dalam situasi seperti inilah guru kadang menjadi khilaf lalu melakukan
tindak kekerasan. Misalnya, menegur siswa dengan nada marah, mengucapkan
kata-kata kasar, sampai mengetok meja atau papan tulis dengan keras untuk
mengendalikan kelas.
Fenomena siswa “berkicau” merupakan warna
realitas pembelajaran. Siapa pun guru tampaknya tidak pernah nihil dengan
realitas ini. Apalagi bagi guru yang minim pengalaman mengajar. Sebagai
pendidik, realitas ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, siswa “berkicau”
akan menganggu pencapaian tujuan pembelajaran baik secara individu maupun secara klasikal. Tentu kita (para
guru) tidak menginginkan keadaan yang demikian.
Sebagai sebuah masalah, realitas
siswa “berkicau” harus dicarikan solusinya. Secara umum strategi yang biasa digunakan
guru dalam mengatasi masalah ini dikelompokkan menjadi dua. Pertama, strategi yang
bersifat umum (standar) yaitu cara yang sesuai dengan teori baku pengelolaan kelas. Kedua, strategi yang bersifat
personal yaitu cara hasil kreativitas
guru secara pribadi berdasarkan pengalaman dan pemahamannya terhadap kondisi
kelas.
Strategi
standar yang biasa diterapkan guru selama ini adalah melakukan tindakan diam/ senyap
ketika siswa ribut. Cara yang lain adalah memberikan pertanyaan langsung pada
siswa yang ribut, menyebut nama siswa dengan maksud untuk berkonsentrasi, atau
memindahkan posisi duduk siswa. Cara standar memang ampuh dalam meredam kondisi
kelas. Namun seiring dengan frekuensi pemakaian/ penerapannya, strategi ini kadang
menjadi kehilangan kekuatannya.
Dalam
hal inilah sikap inovatif seorang guru diperlukan. Guru dituntut kreatif mencari
strategi lain (baru) jika ingin berhasil dalam pembelajaran. Tidak mudah
memang. Guru perlu waktu untuk memahami karakteristik kelas sebelum
menghasilkan sebuah strategi jitu. Belum lagi, kreativitas guru kadang tidak serta
merta mampu menjawab persoalan ini. Sering guru menemukan cara-cara baru dan
menerapkan dalam kelas tetapi hasilnya tidak optimal. Yang terjadi di lapangan
adalah semakin sering guru menggunakan strategi hasil temuannya, maka
keampuhannya kian berkurang. Inilah yang memicu munculnya rasa frustasi dan
krisis inovasi di kalangan guru.
Kapan
dan di mana pun rasa frustasi dan krisis inovasi merupakan masalah. Sebisa
mungkin kita menghindarinya dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Begitu juga dalam
proses belajar mengajar. Rasa frustasi dan krisis inovasi mesti dihindari oleh
guru. Kalau tidak, kondisi ini akan menjebak guru pada cara instan yaitu
kekerasan.
Apa pun alasannya, tindak kekerasan tetap
menyeret guru pada sudut yang bernama kesalahan/ kekeliruan. Dalih konsep atau
definisi kekerasan yang relatif (subjektif) tidak mudah menyelamatkan guru dari
kesalahan/ kekeliruan. Karena ada masyarakat, undang-undang dan badan hukum
yang punya judgement secara
universal.
Oleh karena itu, kita (guru)
diharapkan tetap hati-hati dalam menjalankan peran sebagai pendidik. Kendati
berat, sebagai seorang ksatria pendidik, guru harus komit untuk mengatasi
masalah domestik ini. Guru tidak boleh lelah. Sebisa mungkin guru kreatif mencari
solusi yang standar, universal, dan lebih permanen. Hal ini bisa dimulai dari
kesabaran guru dalam mengidentifikasi dan mendiagnosa biang keributan siswa
secara akurat.
Pada umumnya ada beberapa faktor
yang memicu munculnya keributan (siswa) dalam kelas. Pertama, adanya
pengkotakan mata pelajaran. Pengkotakan ini lahir dari anggapan siswa tentang adanya
pelajaran yang sulit dan gampang. Akibatnya, muncul perasaan menganggap
pelajaran tertentu sepele sehingga siswa menjadi tidak serius belajar di kelas.
Kedua, bakat dan minat siswa yang beragam. Konskuensinya, siswa tidak serius
belajar ketika pelajaran itu kurang menarik minatnya.
Ketiga, model
pembelajaran yang statis. Model pembelajaran yang monotun, apalagi dihegomoni
oleh guru membuat siswa jenuh. Ini pula yang memancing munculnya keributan siswa.
Keempat, guru kurang mampu menjadi pusat pengendali (trend centre) dalam pembelajaran. Ibarat presenter atau MC kalau
kurang lihai berbicara di depan publik, maka siswa cenderung kurang
menghiraukan gurunya.
Untuk mengantisipasi kasus ini, guru diharapkan sejak dini menanamkan
paradigma berpikir pada siswa tentang pentingnya pelajaran/ materi yang
diajarkan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Guru tidak cukup menyampaikan
tujuan operasional pembelajaran saja, tetapi yang paling penting adalah memaparkan
nilai praktis dari pelajaran/ materi yang diajarkan. Hal ini sehaluan dengan
karakteristik dan kebutuhan KBK maupun KTSP.
Sekali
lagi penting artinya jika guru mampu merefleksikan sisi praktis ilmu/ materi
yang diajarkan. Pengaruhnya berkorelasi terhadap pola pikir siswa dalam
memandang nilai suatu ilmu. Jika guru berhasil membentuk pola pikir siswa
sedemikian rupa, anggapan diskriminatif dari siswa (atau meremehkan mata
pelajaran tertentu) dalam memandang ilmu (mata pelajaran) akan bisa diminalisir.
Jadi tidak ada alasan bagi siswa untuk berpikir ilmu ini penting dan ilmu itu kurang
penting.
Dampak
lain yang ditimbulkan dari penanaman cara berpikir seperti ini adalah meminimalisir
garis kontras minat dan bakat siswa. Kalau pola pikir siswa memandang ilmu/
pelajaran sama penting, tidak ada alasan bagi siswa menjadikan minat dan bakat sebagai
penghambat dalam belajar. Mereka (siswa) tentunya memberikan keadaan yang sama kondusif
dalam setiap pembelajaran.
Tinggal menunggu guru yang kreatif dalam menerapkan
metode dan teknis pembelajaran. Kalau bisa metode dan teknis pembelajaran dalam
kelas melibatkan siswa secara emosional. Jadi tidak ada salahnya bila guru
mengajak siswa berdemokrasi menentukan skenario pembelajaran. Sistem demokrasi
ini dimaksudkan untuk menyerap aspirasi siswa dalam pembelajaran. Apa yang
dibutuhkan siswa. Pola pembelajaran seperti apa dinginkan siswa. Berdasarkan
langkah ini, barulah guru mengolah skenario pembelajaran secara matang.
Kelebihan
cara demokratis ini ialah untuk menjaga interes/ rasa ketertarikan siswa sepanjang
pembelajaran. Hal ini rasional mengingat siswa terlibat secara emosional dalam
skenario pembelajaran. Dengan melibatkan emosional siswa berarti keputusan
skenario pembelajaran dianggap aspiratif—sesuai keinginan siswa. Konskuensinya,
mood belajar siswa akan terpelihara kemudian memberikan kontribusi terhadap
kelas yang kondusif.
Faktor
lain yang perlu dimiliki guru adalah mampu menjadi radar/ pengendali dalam
kelas. Ini ada kaitannya dengan jumlah siswa dalam kelas. Dalam satu kelas, ada
satu guru berhadapan dengan tiga puluhan bahkan lima puluhan siswa. Bayangkan kalau semua siswa
ribut. Apa yang terjadi pada guru? Hitungan di atas kertas jelas kekuatan suara
guru akan kalah. Kalau ini yang terjadi kelas otomatis menjadi kacau.
Di sinilah
pentingnya guru berperan sebagai presenter/ pengendali. Salah satu kehebatan
presenter adalah mampu mengendalikan audien atau penonton dalam kondisi yang
riuh. Presenter biasanya tanggap dalam melihat situasi emosional audien. Kuncinya
berawal dari menjalin kontak komunikasi kemudian serta merta menggiring audien
pada kondisi yang terkontrol. Guru pun bisa menerapkannya dalam komunikasi
pembelajaran.
Jadi,
ada banyak cara yang bisa dilakukan guru guna “menjinakkan” siswa yang ribut. Intinya,
guru dituntut bertindak kreatif. Guru dituntut memiliki solusi-solusi yang variatif
dalam menangani siswa. Tentunya solusi-solusi kreatif itu tetap pada koridor kemanusiaan
tanpa ada unsur kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar