Senin, 24 Oktober 2016



SISWA “BERKICAU”, GURU DITUNTUT KREATIF

Oleh
Ketut Serawan, S.Pd. (Guru SMP Cipta Dharma)

Marah, jengkel, kesal. Mungkin itu dirasakan guru jika dalam interaksi pembelajaran diwarnai dengan kicauan (baca: keributan) para siswa? Apalagi tingkat keributan siswa masuk pada level tak terkendali. Dalam situasi seperti inilah guru kadang menjadi khilaf lalu melakukan tindak kekerasan. Misalnya, menegur siswa dengan nada marah, mengucapkan kata-kata kasar, sampai mengetok meja atau papan tulis dengan keras untuk mengendalikan kelas.

Fenomena siswa “berkicau” merupakan warna realitas pembelajaran. Siapa pun guru tampaknya tidak pernah nihil dengan realitas ini. Apalagi bagi guru yang minim pengalaman mengajar. Sebagai pendidik, realitas ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, siswa “berkicau” akan menganggu pencapaian tujuan pembelajaran baik secara  individu maupun secara klasikal. Tentu kita (para guru) tidak menginginkan keadaan yang demikian.

Sebagai sebuah masalah, realitas siswa “berkicau” harus dicarikan solusinya. Secara umum strategi yang biasa digunakan guru dalam mengatasi masalah ini dikelompokkan menjadi dua. Pertama, strategi yang bersifat umum (standar) yaitu cara yang sesuai dengan teori baku pengelolaan kelas. Kedua, strategi yang bersifat personal yaitu cara hasil  kreativitas guru secara pribadi berdasarkan pengalaman dan pemahamannya terhadap kondisi kelas.

Strategi standar yang biasa diterapkan guru selama ini adalah melakukan tindakan diam/ senyap ketika siswa ribut. Cara yang lain adalah memberikan pertanyaan langsung pada siswa yang ribut, menyebut nama siswa dengan maksud untuk berkonsentrasi, atau memindahkan posisi duduk siswa. Cara standar memang ampuh dalam meredam kondisi kelas. Namun seiring dengan frekuensi pemakaian/ penerapannya, strategi ini kadang menjadi kehilangan kekuatannya.  

Dalam hal inilah sikap inovatif seorang guru diperlukan. Guru dituntut kreatif mencari strategi lain (baru) jika ingin berhasil dalam pembelajaran. Tidak mudah memang. Guru perlu waktu untuk memahami karakteristik kelas sebelum menghasilkan sebuah strategi jitu. Belum lagi, kreativitas guru kadang tidak serta merta mampu menjawab persoalan ini. Sering guru menemukan cara-cara baru dan menerapkan dalam kelas tetapi hasilnya tidak optimal. Yang terjadi di lapangan adalah semakin sering guru menggunakan strategi hasil temuannya, maka keampuhannya kian berkurang. Inilah yang memicu munculnya rasa frustasi dan krisis inovasi di kalangan guru.

Kapan dan di mana pun rasa frustasi dan krisis inovasi merupakan masalah. Sebisa mungkin kita menghindarinya dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Begitu juga dalam proses belajar mengajar. Rasa frustasi dan krisis inovasi mesti dihindari oleh guru. Kalau tidak, kondisi ini akan menjebak guru pada cara instan yaitu kekerasan.

Apa pun alasannya, tindak kekerasan tetap menyeret guru pada sudut yang bernama kesalahan/ kekeliruan. Dalih konsep atau definisi kekerasan yang relatif (subjektif) tidak mudah menyelamatkan guru dari kesalahan/ kekeliruan. Karena ada masyarakat, undang-undang dan badan hukum yang punya judgement secara universal.

Oleh karena itu, kita (guru) diharapkan tetap hati-hati dalam menjalankan peran sebagai pendidik. Kendati berat, sebagai seorang ksatria pendidik, guru harus komit untuk mengatasi masalah domestik ini. Guru tidak boleh lelah. Sebisa mungkin guru kreatif mencari solusi yang standar, universal, dan lebih permanen. Hal ini bisa dimulai dari kesabaran guru dalam mengidentifikasi dan mendiagnosa biang keributan siswa secara akurat.  

Pada umumnya ada beberapa faktor yang memicu munculnya keributan (siswa) dalam kelas. Pertama, adanya pengkotakan mata pelajaran. Pengkotakan ini lahir dari anggapan siswa tentang adanya pelajaran yang sulit dan gampang. Akibatnya, muncul perasaan menganggap pelajaran tertentu sepele sehingga siswa menjadi tidak serius belajar di kelas. Kedua, bakat dan minat siswa yang beragam. Konskuensinya, siswa tidak serius belajar ketika pelajaran itu kurang menarik minatnya. 

Ketiga, model pembelajaran yang statis. Model pembelajaran yang monotun, apalagi dihegomoni oleh guru membuat siswa jenuh. Ini pula yang memancing munculnya keributan siswa. Keempat, guru kurang mampu menjadi pusat pengendali (trend centre) dalam pembelajaran. Ibarat presenter atau MC kalau kurang lihai berbicara di depan publik, maka siswa cenderung kurang menghiraukan gurunya.

Untuk mengantisipasi  kasus ini, guru diharapkan sejak dini menanamkan paradigma berpikir pada siswa tentang pentingnya pelajaran/ materi yang diajarkan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Guru tidak cukup menyampaikan tujuan operasional pembelajaran saja, tetapi yang paling penting adalah memaparkan nilai praktis dari pelajaran/ materi yang diajarkan. Hal ini sehaluan dengan karakteristik dan kebutuhan KBK maupun KTSP.

Sekali lagi penting artinya jika guru mampu merefleksikan sisi praktis ilmu/ materi yang diajarkan. Pengaruhnya berkorelasi terhadap pola pikir siswa dalam memandang nilai suatu ilmu. Jika guru berhasil membentuk pola pikir siswa sedemikian rupa, anggapan diskriminatif dari siswa (atau meremehkan mata pelajaran tertentu) dalam memandang ilmu (mata pelajaran) akan bisa diminalisir. Jadi tidak ada alasan bagi siswa untuk berpikir ilmu ini penting dan ilmu itu kurang penting.   

Dampak lain yang ditimbulkan dari penanaman cara berpikir seperti ini adalah meminimalisir garis kontras minat dan bakat siswa. Kalau pola pikir siswa memandang ilmu/ pelajaran sama penting, tidak ada alasan bagi siswa menjadikan minat dan bakat sebagai penghambat dalam belajar. Mereka (siswa) tentunya memberikan keadaan yang sama kondusif dalam setiap pembelajaran. 

Tinggal menunggu guru yang kreatif dalam menerapkan metode dan teknis pembelajaran. Kalau bisa metode dan teknis pembelajaran dalam kelas melibatkan siswa secara emosional. Jadi tidak ada salahnya bila guru mengajak siswa berdemokrasi menentukan skenario pembelajaran. Sistem demokrasi ini dimaksudkan untuk menyerap aspirasi siswa dalam pembelajaran. Apa yang dibutuhkan siswa. Pola pembelajaran seperti apa dinginkan siswa. Berdasarkan langkah ini, barulah guru mengolah skenario pembelajaran secara matang.

Kelebihan cara demokratis ini ialah untuk menjaga interes/ rasa ketertarikan siswa sepanjang pembelajaran. Hal ini rasional mengingat siswa terlibat secara emosional dalam skenario pembelajaran. Dengan melibatkan emosional siswa berarti keputusan skenario pembelajaran dianggap aspiratif—sesuai keinginan siswa. Konskuensinya, mood belajar siswa akan terpelihara kemudian memberikan kontribusi terhadap kelas yang kondusif.

Faktor lain yang perlu dimiliki guru adalah mampu menjadi radar/ pengendali dalam kelas. Ini ada kaitannya dengan jumlah siswa dalam kelas. Dalam satu kelas, ada satu guru berhadapan dengan tiga puluhan bahkan lima puluhan siswa. Bayangkan kalau semua siswa ribut. Apa yang terjadi pada guru? Hitungan di atas kertas jelas kekuatan suara guru akan kalah. Kalau ini yang terjadi kelas otomatis menjadi kacau. 

Di sinilah pentingnya guru berperan sebagai presenter/ pengendali. Salah satu kehebatan presenter adalah mampu mengendalikan audien atau penonton dalam kondisi yang riuh. Presenter biasanya tanggap dalam melihat situasi emosional audien. Kuncinya berawal dari menjalin kontak komunikasi kemudian serta merta menggiring audien pada kondisi yang terkontrol. Guru pun bisa menerapkannya dalam komunikasi pembelajaran.

Jadi, ada banyak cara yang bisa dilakukan guru guna “menjinakkan” siswa yang ribut. Intinya, guru dituntut bertindak kreatif. Guru dituntut memiliki solusi-solusi yang variatif dalam menangani siswa. Tentunya solusi-solusi kreatif itu tetap pada koridor kemanusiaan tanpa ada unsur kekerasan.

0 komentar:

Posting Komentar