Senin, 24 Oktober 2016



Belajar Bahasa Indonesia, Pakai  Jasmerah
Oleh Ketut Serawan

Iseng-iseng setiap masuk kelas baru, saya pasti mengadakan jajak pendapat untuk mengetahui pandangan awal siswa tentang bahasa Indonesia. Hasilnya, hampir semua siswa memandang remeh pelajaran bahasa Indonesia. Alasan mereka, ”Ah sudah biasa, Mas” menggunakan bahasa Indonesia baik di rumah, di sekolah, dan dalam pergaulan sehari-hari.
Pandangan ini mengingatkan saya pada sebuah waktu ketika berbincang-bincang dengan seseorang. Meski lupa namanya, namun ada sisa kalimat yang sulit saya lupakan sampai sekarang yaitu ”Produk boleh lokal, tapi kualitas harus internasional. Oleh karena itu, Anda harus menguasai bahasa Inggris.” Demikian ungkapnya sambil menunjukkan mimik meyakinkan, mirip ekspresi pejabat ketika menjual retorika di depan publik.
Semula, saya menyangkal pernyataan itu. Bagaimana mungkin kualitas keinternasionalan hanya dinilai dari sisi kebahasaannya? Namun belakangan, saya baru sadar. Kesadaran ini muncul ketika beberapa keluarga di lingkungan sekitar saya berlomba-lomba memperkenalkan bahasa Inggris kepada anaknya. Bahkan keluarga yang mapan secara ekonomi tak tanggung-tanggung  menyekolahkan anaknya di sekolah internasional yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. Fenomena ini memberikan gambaran kepada kita bahwa betapa kuatnya ekspektasi masyarakat terhadap bahasa Inggris. Sebaliknya, ekspektasi terhadap bahasa Indonesia menjadi kian melemah. Ekspektasi inilah yang menjangkiti siswa saya sekarang.
Para siswa berpandangan bahwa untuk berpikir maju dan memiliki wawasan internasional wajib hukumnya belajar bahasa Inggris. Hal inilah yang menyebabkan para siswa cuek dengan bahasa nasional apalagi bahasa ibunya (bahasa daerah). Padahal keinternasionalan tidak bisa eksis tanpa adanya kenasionalan dan kedaerahan, bukan?
Keinternasionalan mesti ditopang dari wawasan kedaerahan (bahasa ibu) dan wawasan nasional (bahasa nasional) baru kemudian wawasan internasional (bahasa Inggris). Artinya, kita tidak boleh meremehkan bahasa daerah dan bahasa nasional. Kita mesti menguasai bahasa daerah dan bahasa nasional. Pengandaian yang lumrah ialah jika dasar fondasi bangunan kuat, maka untuk mencapai atas (internasional) no problem. Prinsip ini pula yang menyebabkan negara-negara di dunia sekarang megarang mencari lokal jenius (kearifan lokal) untuk dijadikan prinsip dalam menyikapi pengaruh internasional atau global.
Saat ini, kompetisi di dunia internasional justru membutuhkan idiologi atau kesejatian dasar yang kuat. Sementara kita terlalu goyah ikut arus dan melupakan ciri kesejatian kita. ”Bukankah bahasa mencirikan bangsa?” Bukankah ciri kesejatian (budaya) kita tercermin dari bahasa itu sendiri? Kalau memang iya, maka generasi muda (siswa saya) pelan tapi pasti akan kehilangan kesejatiannya.
Alih-alih berpikir maju (berwawasan internasional) namun mengabaikan bahasa kesejatiannya, jelas merupakan bentuk penghianatan terhadap leluhur kita (para pendiri bangsa Indonesia). Ingat jasmerahnya Bung Karno? Sesungguhnya jas ini mengajak kita untuk introspeksi secara kontinyu tentang kesejatian diri kita dalam bingkai berbangsa dan bernegara. Bukankah sumpah pemuda 28 Oktober 1928 telah kita stanakan pada sanggah kita masing-masing? Sepatutnya, kita tidak boleh melupakan bahasa persatuan kita yaitu bahasa Indonesia--meski negeri ini terlalu malu untuk dibicarakan. Malu karena korupsinya yang begitu kronis dan tak beretika.  
Perumpaan yang menggelitik pernah diungkapkan oleh seorang presenter Kompas TV dalam pembukaan talk show. Kalimatnya kurang lebih begini: pada orde baru korupsinya di bawah atau di atas meja sedangkan pada era reformasi sampai mejanya diangkut. Perumpamaan yang menggambarkan betapa ganasnya korupsi era sekarang.
Mengganasnya budaya korupsi telah dirasakan oleh siswa saya. Mereka telah mengkorupsi sejarah bangsanya karena melupakan peran momen Sumpah Pemuda dibenaknya. Hanya saja varian korupsinya berbeda dengan oknum pejabat kita. Siswa saya melakukan lupa dulu (tidak sadar) baru korupsi, sedangkan oknum pejabat  melakukan korupsi dulu (sadar) baru kemudian lupa. Penyakit lupa inilah yang membangkitkan spirit toleransi kita untuk memaklumi dan memaafkan orang. Karena itu, orang-orang di negeri kita berkompetisi untuk melakukan kesalahan. Kan bangsa kita dikenal sangat toleransi dan pemaaf!
Lalu tanggung jawab sebagai guru bahasa Indonesia? Ya, saya harus (1) menerapi siswa saya agar sembuh dari penyakit lupa, (2) menyadarkan mereka tentang prasasti Sumpah Pemuda, (3) mengajak belajar bahasa Indonesia, dan (4) menciptakan fanatisme berbahasa Indonesia di kalangan siswa. Caranya?
Setiap pelajaran bahasa Indonesia, semua siswa wajib mengenakan jasmerah. Fungsinya agar siswa selalu ingat peran bahasa Indonesia dalam sejarah perjuangan bangsa. Dari ingat akan memunculkan kesadaran belajar bahasa Indonesia. Tidak hanya sadar, lama kelamaan tertanam rasa fanatisme berbahasa Indonesia di kalangan siswa. Wah.. ternyata gampang. Bila perlu mulai sekarang, semua warga Indonesia wajib mengenakan jasmerah kapan dan di mana pun agar selalu eling dari kesalahan.

0 komentar:

Posting Komentar