Belajar Bahasa Indonesia, Pakai Jasmerah
Oleh Ketut
Serawan
Iseng-iseng
setiap masuk kelas baru, saya pasti mengadakan jajak pendapat untuk mengetahui
pandangan awal siswa tentang bahasa Indonesia. Hasilnya, hampir semua siswa
memandang remeh pelajaran bahasa Indonesia. Alasan mereka, ”Ah sudah biasa,
Mas” menggunakan bahasa Indonesia baik di rumah, di sekolah, dan dalam
pergaulan sehari-hari.
Pandangan
ini mengingatkan saya pada sebuah waktu ketika berbincang-bincang dengan
seseorang. Meski lupa namanya, namun ada sisa kalimat yang sulit saya lupakan sampai
sekarang yaitu ”Produk boleh lokal, tapi kualitas harus internasional. Oleh karena itu, Anda harus menguasai
bahasa Inggris.” Demikian ungkapnya sambil menunjukkan mimik meyakinkan, mirip
ekspresi pejabat ketika menjual retorika di depan publik.
Semula,
saya menyangkal pernyataan itu. Bagaimana mungkin kualitas keinternasionalan
hanya dinilai dari sisi kebahasaannya? Namun belakangan, saya baru sadar. Kesadaran
ini muncul ketika beberapa keluarga di lingkungan sekitar saya berlomba-lomba memperkenalkan
bahasa Inggris kepada anaknya. Bahkan keluarga yang mapan secara ekonomi tak
tanggung-tanggung menyekolahkan anaknya
di sekolah internasional yang menggunakan pengantar bahasa Inggris. Fenomena
ini memberikan gambaran kepada kita bahwa betapa kuatnya ekspektasi masyarakat
terhadap bahasa Inggris. Sebaliknya, ekspektasi terhadap bahasa Indonesia
menjadi kian melemah. Ekspektasi inilah yang menjangkiti siswa saya sekarang.
Para
siswa berpandangan bahwa untuk berpikir maju dan memiliki wawasan internasional
wajib hukumnya belajar bahasa Inggris. Hal inilah yang menyebabkan para siswa cuek
dengan bahasa nasional apalagi bahasa ibunya (bahasa daerah). Padahal
keinternasionalan tidak bisa eksis tanpa adanya kenasionalan dan kedaerahan,
bukan?
Keinternasionalan
mesti ditopang dari wawasan kedaerahan (bahasa ibu) dan wawasan nasional
(bahasa nasional) baru kemudian wawasan internasional (bahasa Inggris). Artinya,
kita tidak boleh meremehkan bahasa daerah dan bahasa nasional. Kita mesti menguasai bahasa daerah dan
bahasa nasional. Pengandaian yang lumrah ialah jika dasar fondasi bangunan
kuat, maka untuk mencapai atas (internasional) no problem. Prinsip ini
pula yang menyebabkan negara-negara di dunia sekarang megarang mencari
lokal jenius (kearifan lokal) untuk dijadikan prinsip dalam menyikapi pengaruh internasional
atau global.
Saat
ini, kompetisi di dunia internasional justru membutuhkan idiologi atau
kesejatian dasar yang kuat. Sementara
kita terlalu goyah ikut arus dan melupakan ciri kesejatian kita. ”Bukankah
bahasa mencirikan bangsa?” Bukankah ciri kesejatian (budaya) kita tercermin
dari bahasa itu sendiri? Kalau memang iya, maka generasi muda (siswa saya) pelan
tapi pasti akan kehilangan kesejatiannya.
Alih-alih
berpikir maju (berwawasan internasional) namun mengabaikan bahasa kesejatiannya,
jelas merupakan bentuk penghianatan terhadap leluhur kita (para pendiri bangsa
Indonesia). Ingat jasmerahnya Bung Karno? Sesungguhnya jas ini mengajak kita
untuk introspeksi secara kontinyu tentang kesejatian diri kita dalam bingkai
berbangsa dan bernegara. Bukankah sumpah pemuda 28 Oktober 1928 telah kita
stanakan pada sanggah kita masing-masing? Sepatutnya, kita tidak boleh
melupakan bahasa persatuan
kita yaitu bahasa Indonesia--meski negeri ini terlalu malu untuk dibicarakan. Malu
karena korupsinya yang begitu kronis dan tak beretika.
Perumpaan
yang menggelitik pernah diungkapkan oleh seorang presenter Kompas TV dalam
pembukaan talk show. Kalimatnya kurang lebih begini: pada orde baru
korupsinya di bawah atau di atas meja sedangkan pada era reformasi sampai
mejanya diangkut. Perumpamaan yang menggambarkan betapa ganasnya korupsi era
sekarang.
Mengganasnya
budaya korupsi telah dirasakan oleh siswa saya. Mereka telah mengkorupsi
sejarah bangsanya karena melupakan peran momen Sumpah Pemuda dibenaknya. Hanya
saja varian korupsinya berbeda dengan oknum pejabat kita. Siswa saya melakukan lupa
dulu (tidak sadar) baru korupsi, sedangkan oknum pejabat melakukan korupsi dulu (sadar) baru kemudian
lupa. Penyakit lupa inilah yang membangkitkan spirit toleransi kita untuk
memaklumi dan memaafkan orang. Karena itu, orang-orang di negeri kita berkompetisi untuk melakukan
kesalahan. Kan bangsa kita dikenal sangat toleransi dan pemaaf!
Lalu
tanggung jawab sebagai guru bahasa Indonesia? Ya, saya harus (1) menerapi siswa
saya agar sembuh dari penyakit lupa, (2) menyadarkan mereka tentang prasasti
Sumpah Pemuda, (3) mengajak belajar bahasa Indonesia, dan (4) menciptakan
fanatisme berbahasa Indonesia di kalangan siswa. Caranya?
Setiap
pelajaran bahasa Indonesia, semua siswa wajib mengenakan jasmerah. Fungsinya
agar siswa selalu ingat peran bahasa Indonesia dalam sejarah perjuangan bangsa.
Dari ingat akan memunculkan kesadaran belajar bahasa Indonesia. Tidak hanya
sadar, lama kelamaan tertanam rasa fanatisme berbahasa Indonesia di kalangan
siswa. Wah.. ternyata gampang. Bila perlu mulai sekarang, semua warga Indonesia
wajib mengenakan jasmerah kapan dan di mana pun agar selalu eling dari
kesalahan.
0 komentar:
Posting Komentar