Senin, 24 Oktober 2016



UAS SMP Kota Denpasar Berlangsung Guyu-guyu

Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.

Setiap evaluasi bersama yang diselenggarakan oleh pihak dinas hampir tidak pernah absen dari aksi kecurangan. Begitu juga UAS SMP se-Kota Denpasar yang berlangsung 5-11 April 2015 kemarin. UAS yang diselenggarakan serentak oleh pihak disdikpora kota Denpasar ini sarat dengan praktek ketakjujuran. Hampir separuh lebih siswa telah mendapatkan bocoran soal atau kunci jawaban. Itulah sebabnya, UAS SMP Kota Denpasar kemarin terkesan berlangsung guyu-guyu (asal-asalan, tidak serius, dan bersifat formalitas saja).
Dari hasil pemeriksaan UAS kota Denpasar menunjukkan bahwa beberapa SMP di Denpasar banyak siswanya mendapat nilai sempurna 100. Celakanya, nilai ini diraih oleh mayoritas anak yang kemampuan sehari-harinya di bawah standar. Sebuah nilai yang tidak logis.
Entah mengapa setiap soal-soal produk dinas pendidikan belakangan cenderung rawan dengan praktek kecurangan (bocoran soal/ kunci). Jangankan satu paket, soal-soal yang mencapai 20 paket seperti ujian pemantapan kota Denpasar kemarin juga tidak luput dari isu kebocoran.

Sumber Kebocoran
            Mayoritas siswa menuturkan bahwa kebocoran bersumber pada: oknum guru les (yang ikut tim perumus soal), anak pejabat strategis di kota Denpasar, anak yang keluarganya bekerja di disdikpora kota Denpasar, dan oknum lembaga bimbingan belajar tertentu. Kasus kebocoran soal/ kunci melalui guru les dan bimbingan belajar sangat rasional. Hal ini mengingat pendidikan kita memang sangat komersial dan kapitalis. Untuk menjaga daya komersial, kualitas, dan populeritas guru privat serta bimbingan belajar – angka kuantitatif adalah media promosi terbesar. Mereka tidak mempedulikan garis komando kejujuran. Baginya, angka-angka besar (meskipun fiktif) dijadikan simbolisasi kualitas walaupun diraih dengan cara-cara yang culas.
            Kebocoran soal/ kunci lewat oknum pejabat bersifat personal. Motif awalnya pasti menginginkan anaknya sendiri meraih hasil UAS dengan optimal. Motif lainnya mungkin karena oknum pejabat tersebut pesimis dengan kemampuan anaknya sendiri. Bisa jadi, anaknya merupakan eks salah satu orang yang terlibat lingkaran transaksi jual beli kursi (atau dari membegal dengan jabatannya). Kebocoran personal ini biasanya menjadi meluber ketika anak pejabat tersebut aktif melakukan penyebaran lewat teman-teman satu sekolah maupun luar sekolah. Faktor inilah yang menyebabkan kasus kebocoran menjadi cepat, menggurita, dan berantai.
            Kebocoran soal/ kunci sangat berbahaya dan berdampak pada beberapa hal. Pertama, sekolah dalam dinamikanya dipandang sebagai kendaraan pendidikan yang dungu. Sekolah tak lebih sebagai tempat transaksi jasa pendidikan yang kapitalis, tempat menghabiskan rutinitas belajar mengajar yang biasa, dan cap prestise tertentu. Kedua, kebocoran soal/ kunci telah meremehkan peran, wibawa, dan kharisma guru. Ujian akhir bukan merupakan rangkaian integratif pemahaman materi selama 3 tahun. Sebaliknya, menghapus peran guru selama 3 tahun melakukan kontak PBM dengan anak-anak. Ketiga, kemalasan yang menggurita. Isu kebocoran setiap tahunnya merupakan pendidikan pembusukan kepada regenerasi berikutnya. Anak-anak semakin malas belajar. Keempat, tumbuhnya pola pikir siswa yang serba instan dan menghalalkan segala cara. Ujian teori memang lebih mengacu pada ranah kompetensi kognitif dan mengabaikan aspek proses. Itulah sebabnya, yang dikejar anak-anak sekarang anak adalah hasil akhir dengan menghalalkan segala cara. Jika dibandingkan dengan mencontek, kasus kebocoran jauh lebih tidak bermartabat karena akan menjadi pupuk yang menyuburkan anak tumbuh menjadi preman, begal, dan koruptor.
            Sejatinya, kasus kebocoran soal/ kunci sudah menjadi masalah klasik. Kasus ini hampir setiap tahun terjadi ketika menjelang UN pada tahun-tahun sebelumnya. Para praktisi pendidikan, dinas pendidikan, pelaku pendidikan, sekolah, LSM pendidikan, pemerintah, dan masyarakat sesungguhnya telah mengetahuinya. Mereka sengaja membutakan mata, menulikan telinga, dan menutup hidungnya. Karena semua pihak ini sama-sama merasa diuntungkan. Angka-angka pendidikan yang tinggi (meskipun fiktif) merupakan prestise/ pencintraan bagi semua kalangan yang disebutkan di atas. Orang tua, pemerintah, dinas pendidikan, sekolah, akan merasa bangga sekali jika anak didiknya meraih nilai yang tinggi. Namun kita tidak sadar, ternyata selama ini anak didik kita telah terpuruk dalam lubang kehancuran pendidikan mental. Efek kecurangan secara global telah membunuh jiwa kompetitif yang sehat pada regenerasi kita. Padahal inilah modal dasar untuk dapat bersaing di pasar globalisasi.

UAS Kota Denpasar Harus Dikaji Ulang
            Ketika UN telah berubah menjadi Enas sekarang, pemerintah sebetulnya ingin mengembalikan lebih optimal peran evaluasi kepada sekolah masing-masing. Karena pemerintah sadar, hubungan keseharian guru dengan siswa telah menciptakan ikatan emosional, ikatan statistik kemampuan akademik, dan ikatan karakter. Pihak sekolahlah yang paling persis tahu tentang kemampuan anak didiknya. Logisnya, sekolahlah yang patut dan berwenang untuk membuat alat evaluasi. Meskipun dinas berkilah, soal-soal itu sudah melalui prosedur MKKS misalnya, tetap soal-soal ini tidak representatif karena mengabaikan karakteristik sekolah yang bervariasi.
            Keputusan dinas kota menjadi pelaku evaluasi UAS tahun ini tampaknya berbau politis. Dinas tentu tidak menginginkan riak-riak kasus sekolah membuat soal yang ideal dan menjatuhkan anak didik tertentu. Karena memang harus diakui, ada beberapa sekolah yang karakteristik gurunya killer dan idealis. Tafsiran lain, dinas sengaja mengambil alih UAS karena lembaga ini dipandang strategis dalam menularkan kasus-kasus kebocoran. Harapannya, hasil UAS di kota Denpasar menjadi sangat baik. Kemudian, inilah yang dijadikan ladang pencintraan pendidikan di Denpasar.
            Jika ingin menyelamatkan anak didik kita pada rel kejujuran, sudah saatnya UAS harus dikawal oleh semua elemen. Oknum-oknum pelaku kebocoran harus segera ditangani. Jangan biarkan mereka makin menggurita dan meracuni lebih sistematis anak didik kita. Semua kalangan harus pro aktif memberantas mafia kebocoran ini. Masyarakat, sekolah, pemerintah, LSM pendidikan, dan Ombudsman misalnya bisa bekerja sama mengontrol eksistensi oknum-oknum ini. Kedua, kembalikan pelaku UAS ke sekolah masing-masing. Catatan tahun lalu memberikan gambaran bahwa situasi UAS yang diselenggarakan sekolah justru memberikan efek belajar yang lebih serius pada anak. Soal-soal UAS yang diujikan dijamin tidak bocor. Sekolah sangat kuat menjaga kode etik guru dan bersih dari praktek kecurangan. Itulah sebabnya, hasil UAS buatan sekolah lebih mendekati stastistik kemampuan anak sesungguhnya. Tidak seperti hasil UAS sekarang dan hasil UN tahun-tahun sebelumnya, anak lebih banyak mendapat nilai ”siluman”. Ketiga, untuk mengembalikan fungsi hakiki sekolah, otoritas lebih luas memang pantas diberikan kepada sekolah. Pihak dinas (pemerintah) sepantasnya hanya sebagai regulator, fasilitator, partner untuk memajukan pendidikan karakter anak. Jangan bawa bau busuk program UN pemerintah pusat yang nyata-nyata sudah melawan palu dari MA. Penulis adalah Guru swasta (SMP Cipta Dharma) di Denpasar. Beberapa artikelnya pernah  dimuat di Bali Post dan media lainnya. Hp. 081338584553

0 komentar:

Posting Komentar