UAS
SMP Kota Denpasar Berlangsung Guyu-guyu
Oleh
I
Ketut Serawan, S.Pd.
Setiap evaluasi
bersama yang diselenggarakan oleh pihak dinas hampir tidak pernah absen dari
aksi kecurangan. Begitu juga UAS SMP se-Kota Denpasar yang berlangsung 5-11 April
2015 kemarin. UAS yang diselenggarakan serentak oleh pihak disdikpora kota
Denpasar ini sarat dengan praktek ketakjujuran. Hampir separuh lebih siswa
telah mendapatkan bocoran soal atau kunci jawaban. Itulah sebabnya, UAS SMP Kota Denpasar kemarin
terkesan berlangsung guyu-guyu (asal-asalan, tidak serius, dan bersifat
formalitas saja).
Dari hasil pemeriksaan UAS kota Denpasar
menunjukkan bahwa beberapa SMP di Denpasar banyak siswanya mendapat nilai
sempurna 100. Celakanya, nilai ini diraih oleh mayoritas anak yang kemampuan
sehari-harinya di bawah standar. Sebuah nilai yang tidak logis.
Entah mengapa setiap soal-soal produk dinas
pendidikan belakangan cenderung rawan dengan praktek kecurangan (bocoran soal/
kunci). Jangankan satu paket, soal-soal yang mencapai 20 paket seperti ujian
pemantapan kota Denpasar kemarin juga tidak luput dari isu kebocoran.
Sumber Kebocoran
Mayoritas siswa menuturkan bahwa kebocoran
bersumber pada: oknum guru les (yang ikut tim perumus soal), anak pejabat
strategis di kota Denpasar, anak yang keluarganya bekerja di disdikpora kota
Denpasar, dan oknum lembaga bimbingan belajar tertentu. Kasus kebocoran soal/ kunci
melalui guru les dan bimbingan belajar sangat rasional. Hal ini mengingat pendidikan
kita memang sangat komersial dan kapitalis. Untuk menjaga daya komersial,
kualitas, dan populeritas guru privat serta bimbingan belajar – angka kuantitatif
adalah media promosi terbesar. Mereka tidak mempedulikan garis komando
kejujuran. Baginya, angka-angka besar (meskipun fiktif) dijadikan simbolisasi
kualitas walaupun diraih dengan cara-cara yang culas.
Kebocoran soal/ kunci lewat oknum pejabat bersifat
personal. Motif awalnya pasti
menginginkan anaknya sendiri meraih hasil UAS dengan optimal. Motif lainnya mungkin
karena oknum pejabat tersebut pesimis dengan kemampuan anaknya sendiri. Bisa
jadi, anaknya merupakan eks salah satu orang yang terlibat lingkaran transaksi
jual beli kursi (atau dari membegal dengan jabatannya). Kebocoran personal ini
biasanya menjadi meluber ketika anak pejabat tersebut aktif melakukan
penyebaran lewat teman-teman satu sekolah maupun luar sekolah. Faktor inilah
yang menyebabkan kasus kebocoran menjadi cepat, menggurita, dan berantai.
Kebocoran soal/ kunci sangat
berbahaya dan berdampak pada beberapa hal. Pertama, sekolah dalam dinamikanya
dipandang sebagai kendaraan pendidikan yang dungu. Sekolah tak lebih sebagai
tempat transaksi jasa pendidikan yang kapitalis, tempat menghabiskan rutinitas
belajar mengajar yang biasa, dan cap prestise tertentu. Kedua, kebocoran soal/
kunci telah meremehkan peran, wibawa, dan kharisma guru. Ujian akhir bukan
merupakan rangkaian integratif pemahaman materi selama 3 tahun. Sebaliknya, menghapus
peran guru selama 3 tahun melakukan kontak PBM dengan anak-anak. Ketiga,
kemalasan yang menggurita. Isu kebocoran setiap tahunnya merupakan pendidikan
pembusukan kepada regenerasi berikutnya. Anak-anak semakin malas belajar.
Keempat, tumbuhnya pola pikir siswa yang serba instan dan menghalalkan segala
cara. Ujian teori memang lebih mengacu pada ranah kompetensi kognitif dan
mengabaikan aspek proses. Itulah sebabnya, yang dikejar anak-anak sekarang anak
adalah hasil akhir dengan menghalalkan segala cara. Jika dibandingkan dengan
mencontek, kasus kebocoran jauh lebih tidak bermartabat karena akan menjadi
pupuk yang menyuburkan anak tumbuh menjadi preman, begal, dan koruptor.
Sejatinya, kasus kebocoran
soal/ kunci sudah menjadi masalah klasik. Kasus ini hampir setiap tahun terjadi
ketika menjelang UN pada tahun-tahun sebelumnya. Para praktisi pendidikan,
dinas pendidikan, pelaku pendidikan, sekolah, LSM pendidikan, pemerintah, dan
masyarakat sesungguhnya telah mengetahuinya. Mereka sengaja membutakan mata, menulikan telinga,
dan menutup hidungnya. Karena semua pihak ini sama-sama merasa diuntungkan.
Angka-angka pendidikan yang tinggi (meskipun fiktif) merupakan prestise/
pencintraan bagi semua kalangan yang disebutkan di atas. Orang tua, pemerintah,
dinas pendidikan, sekolah, akan merasa bangga sekali jika anak didiknya meraih
nilai yang tinggi. Namun kita tidak sadar, ternyata selama ini anak didik kita
telah terpuruk dalam lubang kehancuran pendidikan mental. Efek kecurangan
secara global telah membunuh jiwa kompetitif yang sehat pada regenerasi kita.
Padahal inilah modal dasar untuk dapat bersaing di pasar globalisasi.
UAS Kota Denpasar Harus Dikaji Ulang
Ketika UN telah berubah menjadi Enas sekarang,
pemerintah sebetulnya ingin mengembalikan lebih optimal peran evaluasi kepada
sekolah masing-masing. Karena pemerintah sadar, hubungan keseharian guru dengan
siswa telah menciptakan ikatan emosional, ikatan statistik kemampuan akademik,
dan ikatan karakter. Pihak sekolahlah yang paling persis tahu tentang kemampuan
anak didiknya. Logisnya, sekolahlah yang patut dan berwenang untuk membuat alat
evaluasi. Meskipun dinas berkilah, soal-soal itu sudah melalui prosedur MKKS
misalnya, tetap soal-soal ini tidak representatif karena mengabaikan
karakteristik sekolah yang bervariasi.
Keputusan dinas kota
menjadi pelaku evaluasi UAS tahun ini tampaknya berbau politis. Dinas tentu
tidak menginginkan riak-riak kasus sekolah membuat soal yang ideal dan
menjatuhkan anak didik tertentu. Karena memang harus diakui, ada beberapa sekolah
yang karakteristik gurunya killer dan idealis. Tafsiran lain, dinas
sengaja mengambil alih UAS karena lembaga ini dipandang strategis dalam
menularkan kasus-kasus kebocoran. Harapannya, hasil UAS di kota Denpasar
menjadi sangat baik. Kemudian, inilah yang dijadikan ladang pencintraan
pendidikan di Denpasar.
Jika ingin menyelamatkan
anak didik kita pada rel kejujuran, sudah saatnya UAS harus dikawal oleh semua
elemen. Oknum-oknum pelaku kebocoran harus segera ditangani. Jangan biarkan
mereka makin menggurita dan meracuni lebih sistematis anak didik kita. Semua
kalangan harus pro aktif memberantas mafia kebocoran ini. Masyarakat, sekolah, pemerintah,
LSM pendidikan, dan Ombudsman misalnya bisa bekerja sama mengontrol eksistensi
oknum-oknum ini. Kedua, kembalikan pelaku UAS ke sekolah masing-masing. Catatan
tahun lalu memberikan gambaran bahwa situasi UAS yang diselenggarakan sekolah
justru memberikan efek belajar yang lebih serius pada anak. Soal-soal UAS yang
diujikan dijamin tidak bocor. Sekolah sangat kuat menjaga kode etik guru dan
bersih dari praktek kecurangan. Itulah sebabnya, hasil UAS buatan sekolah lebih
mendekati stastistik kemampuan anak sesungguhnya. Tidak seperti hasil UAS
sekarang dan hasil UN tahun-tahun sebelumnya, anak lebih banyak mendapat nilai
”siluman”. Ketiga, untuk mengembalikan fungsi hakiki sekolah, otoritas lebih
luas memang pantas diberikan kepada sekolah. Pihak dinas (pemerintah) sepantasnya
hanya sebagai regulator, fasilitator, partner untuk memajukan pendidikan
karakter anak. Jangan bawa bau busuk program UN pemerintah pusat yang
nyata-nyata sudah melawan palu dari MA. Penulis adalah Guru swasta (SMP
Cipta Dharma) di Denpasar. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Bali Post dan media lainnya. Hp.
081338584553
0 komentar:
Posting Komentar