Senin, 24 Oktober 2016



Jika Anak Tunarungu Mesti Belajar di Sekolah Umum

Oleh
I Ketut Serawan

Memasuki tahun pelajaran 2008/2009, sebuah SMP swasta di Denpasar menerima satu anak tunarungu lulusan SLB/ B Wonosobo. Seperti sekolah umum lainnya, sekolah ini tidak melakukan persiapan khusus apa pun. Hal ini disebabkan sekolah tidak mempunyai rencana sama sekali menerima siswa deaf personality yang memerlukan layanan khusus. Bagaimana persoalan ini mesti ditangani?

Seiring dengan meningkatnya jumlah sekolah umum menerapkan model pembelajaran integratif/ inklusif, animo orang tua menyekolahkan anak tunarungu ke sekolah umum kian meningkat. Faktor ini didorong karena integrasi anak-anak tunarungu di kelas berpendengaran normal dipandang amat baik secara akademis maupun sosial. Dengan kata lain, sekolah umum dipandang strategis dalam pembentukan pribadi yang lebih berkualitas (utuh dan penuh).

Namun demikian, bukan berarti semua anak tunarungu bisa sembarangan menempuh pendidikan di jalur sekolah umum. Paling tidak ada 2 hal yang harus diperhatikan. Pertama, faktor kesiapan mental anak itu sendiri. Faktor ini penting diketahui guna menghindarkan anak dari dampak frustasi sosial. Efek frustasi sosial menyebabkan anak tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, pemarah, mudah tersinggung, dan pemurung. Faktor ini sering diabaikan oleh orang tua yang memiliki anak tunarungu. Mereka sering memaksakan anaknya belajar di sekolah umum semata-mata karena gengsi, malu dikatakan anaknya memiliki kemampuan terbatas. 

Kedua, rekomendasi dari pihak SLB. Rekomendasi ini merupakan gambaran kesiapan/ kemampuan anak. Hanya pihak SLB yang paling memahami standar kemampuan anak didiknya. Mereka tahu apakah anak didiknya memenuhi kriteria standar seperti yang disyaratkan oleh sekolah umum. Kalau sudah terpenuhi, berarti pihak sekolah siap melepas anak didiknya ke sekolah umum.

Pemenuhan kedua hal di atas tidak serta merta memuluskan anak tunarungu dalam proses pengembangan diri di sekolah umum. Kita harus menyadari bahwa anak tunarungu merupakan pribadi berkebutuhan khusus. Mereka tetap harus dilayani lebih dari anak normal lainnya. Dalam pemenuhan layanan khusus inilah, sekolah menemukan kendala. Pasalnya, sekolah umum tidak memiliki karakter seperti SLB. Pihak sekolah (tenaga pendidik) tidak memahami seluk-beluk ketunarunguan, kurang memahami psikologi anak tunarungu, tidak menguasai strategi dan metode pengajaran ala tunarungu.

Solusi global
Terkait dengan hal ini, Marcellinus (2008) memberikan solusi secara global guna meminimalisir kendala-kendala tersebut. Menurutnya, sekolah umum bisa memberikan layanan khusus dengan beberapa cara. Pertama, mendudukkan anak tunarungu pada tempat yang memungkinkan dapat melihat gerak-gerik bibir guru yang sedang berbicara dengan mudah. Tidak disarankan menempatkan anak di bangku belakang atau hindari menghadap sinar terang. 

Kedua, guru berbicara dengan wajar dengan gamatikal lengkap, tidak memperlambat kecepatan ucapan, tidak terlalu keras terutama jika anak sedang memakai alat bantu dengar, tidak berkeliling kelas saat berbicara, dan tidak berbicara sambil menulis di papan tulis. 

Ketiga, penampilan guru tidak mengurangi konsentrasi anak (misalnya, make up berlebihan atau banyak perhiasan). Keempat, jika dalam pembelajaran ada diskusi, berikan kesempatan yang cocok agar ia mendapat pandangan yang leluasa. 

Kelima, menulis tugas-tugas dan petunjuk-petunjuk di papan tulis/ dikertas catatan kepada anak tunarungu. Keenam, membiasakan menjelaskan ulang guna meyakinkan bahwa ia benar-benar telah memahami. Ketujuh, bekerja sama dengan tenaga profesional lainnya yang bertanggung jawab atas pendidikan anak tunarungu.

Dari ketujuh solusi yang ditawarkan oleh Marcellius, semuanya menyentuh pada aspek strategi dan metode pembelajaran saja. Tidak menyinggung bagaimana aplikasi strategi dan metode pembelajaran menyentuh aspek pribadi anak tunarungu. Padahal keduanya bersifat komplementer. Penerapan strategi dan metode yang tidak memperhatikan faktor psikologi siswa akan menghambat keberhasilan proses pembelajaran. Oleh karena itu,  penting bagi guru untuk memahami kepribadian anak tunarungu.

Ciri kepribadian
Menurut Sanders (dalam Priyo Widiyanto, 2008), ciri khas kepribadian anak tunarungu, yakni: (1) emotional immaturity (ketidakmatangan emosi), (2) rigidity (kekakuan), (3) social/ cultural improverishment (pemiskinan sosial/ kultural), (4) narrow intellectual functioning (fungsi intelektual yang terbatas). Ciri khas kepribadian ini memunculkan objek sikap sebagai berikut: (1) withdrawl (menarik diri), (2) self appraisal (penilaian diri) yang negatif, (3) depression (depresi), (4) over optimism (optimisme berlebihan), (5) tension (ketegangan), (6) reaction to rehabilitation (reaksi negatif terhadap rehabilitasi), (7) job worry (kecemasan kerja), (8) sensitivity (mudah tersinggung), (9) cover up (suka menutup-nutupi), (10) eccentric reaction (reaksi aneh).

Bagi guru, pemahaman kepribadian ini memberikan banyak manfaat. Mulai dari penentuan strategi dan metode pembelajaran, pemilihan bahan ajar, pengelolaan kelas, sampai ke model layanan. Semua unsur pembelajaran ini mesti senafas dengan kepribadian dan kebutuhan anak tunarungu. Strategi dan metode pembelajaran, bahan ajar, perlakuan, pengelolaan kelas yang diterapkan harus menyentuh karakteristik dan kebutuhan anak tunarungu. Sehingga mereka (anak tunarungu) bisa merasakan layanan pendidikan yang representatif--yang bisa mengantar mereka mencapai komando tujuan pembelajaran secara optimal.

Tidak hanya guru, semua warga sekolah harus memahami kepribadian anak tunarungu. Kepala sekolah, TU, Satpam dan terlebih lagi adalah siswa normal yang merupakan bagian dari lingkungan sosial kesehariannya. Dari pemahaman kepribadian inilah diharapkan akan tumbuh sikap, pengertian, cinta-kasih dan perhatian dari pihak sekolah. Tidak ada alasan bagi sekolah untuk memarginalkan mereka dalam pergaulan sosial (interaksi sosial) di lingkungan sekolah. Namun sebaliknya, selalu empatik membantu (menstimulus—memotivasi) mereka menjadi insan yang integratif baik di kelas maupun di luar kelas.

Demikianlah, penting sekali sekolah memahami seluk-beluk ketunarunguan, memahami kepribadian dan strategi serta metode pembelajaran anak tunarungu. Hal ini bertujuan agar sekolah bisa memberikan perhatian dan layanan pendidikan khusus. Dari perhatian dan layanan khusus inilah kita berharap mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang utuh, memiliki pengetahuan, wawasan, kemampuan dan perilaku yang standar dengan anak normal pada umumnya. Sehingga kelak mereka tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri dan eksis di tengah masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar