Jika Anak Tunarungu Mesti Belajar di Sekolah Umum
Oleh
I
Ketut Serawan
Memasuki tahun pelajaran 2008/2009, sebuah SMP
swasta di Denpasar menerima satu anak tunarungu lulusan SLB/ B Wonosobo. Seperti
sekolah umum lainnya, sekolah ini tidak melakukan persiapan khusus apa pun. Hal
ini disebabkan sekolah tidak mempunyai rencana sama sekali menerima siswa deaf personality yang memerlukan layanan
khusus. Bagaimana persoalan ini mesti ditangani?
Seiring
dengan meningkatnya jumlah sekolah umum menerapkan model pembelajaran
integratif/ inklusif, animo orang tua menyekolahkan anak tunarungu ke sekolah
umum kian meningkat. Faktor ini didorong karena integrasi anak-anak tunarungu
di kelas berpendengaran normal dipandang amat baik secara akademis maupun
sosial. Dengan kata lain, sekolah umum dipandang strategis dalam pembentukan
pribadi yang lebih berkualitas (utuh dan penuh).
Namun
demikian, bukan berarti semua anak tunarungu bisa sembarangan menempuh
pendidikan di jalur sekolah umum. Paling tidak ada 2 hal yang harus
diperhatikan. Pertama, faktor kesiapan mental anak itu sendiri. Faktor ini penting
diketahui guna menghindarkan anak dari dampak frustasi sosial. Efek frustasi
sosial menyebabkan anak tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, pemarah, mudah
tersinggung, dan pemurung. Faktor ini sering diabaikan oleh orang tua yang
memiliki anak tunarungu. Mereka sering memaksakan anaknya belajar di sekolah umum
semata-mata karena gengsi, malu dikatakan anaknya memiliki kemampuan terbatas.
Kedua,
rekomendasi dari pihak SLB. Rekomendasi ini merupakan gambaran kesiapan/
kemampuan anak. Hanya pihak SLB yang paling memahami standar kemampuan anak
didiknya. Mereka tahu apakah anak didiknya memenuhi kriteria standar seperti
yang disyaratkan oleh sekolah umum. Kalau sudah terpenuhi, berarti pihak
sekolah siap melepas anak didiknya ke sekolah umum.
Pemenuhan
kedua hal di atas tidak serta merta memuluskan anak tunarungu dalam proses
pengembangan diri di sekolah umum. Kita harus menyadari bahwa anak tunarungu merupakan
pribadi berkebutuhan khusus. Mereka tetap harus dilayani lebih dari anak normal
lainnya. Dalam pemenuhan layanan khusus inilah, sekolah menemukan kendala.
Pasalnya, sekolah umum tidak memiliki karakter seperti SLB. Pihak sekolah
(tenaga pendidik) tidak memahami seluk-beluk ketunarunguan, kurang memahami
psikologi anak tunarungu, tidak menguasai strategi dan metode pengajaran ala
tunarungu.
Solusi global
Terkait
dengan hal ini, Marcellinus (2008) memberikan solusi secara global guna
meminimalisir kendala-kendala tersebut. Menurutnya, sekolah umum bisa
memberikan layanan khusus dengan beberapa cara. Pertama, mendudukkan anak
tunarungu pada tempat yang memungkinkan dapat melihat gerak-gerik bibir guru
yang sedang berbicara dengan mudah. Tidak disarankan menempatkan anak di bangku
belakang atau hindari menghadap sinar terang.
Kedua, guru berbicara dengan
wajar dengan gamatikal lengkap, tidak memperlambat kecepatan ucapan, tidak
terlalu keras terutama jika anak sedang memakai alat bantu dengar, tidak berkeliling
kelas saat berbicara, dan tidak berbicara sambil menulis di papan tulis.
Ketiga, penampilan guru tidak mengurangi konsentrasi anak (misalnya, make up berlebihan atau banyak
perhiasan). Keempat, jika dalam pembelajaran ada diskusi, berikan kesempatan
yang cocok agar ia mendapat pandangan yang leluasa.
Kelima, menulis tugas-tugas
dan petunjuk-petunjuk di papan tulis/ dikertas catatan kepada anak tunarungu.
Keenam, membiasakan menjelaskan ulang guna meyakinkan bahwa ia benar-benar
telah memahami. Ketujuh, bekerja sama dengan tenaga profesional lainnya yang
bertanggung jawab atas pendidikan anak tunarungu.
Dari
ketujuh solusi yang ditawarkan oleh Marcellius, semuanya menyentuh pada aspek
strategi dan metode pembelajaran saja. Tidak menyinggung bagaimana aplikasi
strategi dan metode pembelajaran menyentuh aspek pribadi anak tunarungu. Padahal
keduanya bersifat komplementer. Penerapan strategi dan metode yang tidak memperhatikan
faktor psikologi siswa akan menghambat keberhasilan proses pembelajaran. Oleh karena
itu, penting bagi guru untuk memahami kepribadian
anak tunarungu.
Ciri kepribadian
Menurut
Sanders (dalam Priyo Widiyanto, 2008), ciri khas kepribadian anak tunarungu,
yakni: (1) emotional immaturity
(ketidakmatangan emosi), (2) rigidity
(kekakuan), (3) social/ cultural improverishment (pemiskinan
sosial/ kultural), (4) narrow
intellectual functioning (fungsi
intelektual yang terbatas). Ciri khas kepribadian ini memunculkan objek sikap
sebagai berikut: (1) withdrawl (menarik
diri), (2) self appraisal (penilaian
diri) yang negatif, (3) depression
(depresi), (4) over optimism
(optimisme berlebihan), (5) tension
(ketegangan), (6) reaction to
rehabilitation (reaksi negatif terhadap rehabilitasi), (7) job worry (kecemasan kerja), (8) sensitivity (mudah tersinggung), (9) cover up (suka menutup-nutupi), (10) eccentric reaction (reaksi aneh).
Bagi guru, pemahaman kepribadian ini
memberikan banyak manfaat. Mulai dari penentuan strategi dan metode
pembelajaran, pemilihan bahan ajar, pengelolaan kelas, sampai ke model layanan.
Semua unsur pembelajaran ini mesti senafas dengan kepribadian dan kebutuhan
anak tunarungu. Strategi dan metode pembelajaran, bahan ajar, perlakuan,
pengelolaan kelas yang diterapkan harus menyentuh karakteristik dan kebutuhan anak
tunarungu. Sehingga mereka (anak tunarungu) bisa merasakan layanan pendidikan
yang representatif--yang bisa mengantar mereka mencapai komando tujuan
pembelajaran secara optimal.
Tidak
hanya guru, semua warga sekolah harus memahami kepribadian anak tunarungu. Kepala
sekolah, TU, Satpam dan terlebih lagi adalah siswa normal yang merupakan bagian
dari lingkungan sosial kesehariannya. Dari pemahaman kepribadian inilah
diharapkan akan tumbuh sikap, pengertian, cinta-kasih dan perhatian dari pihak
sekolah. Tidak ada alasan bagi sekolah untuk memarginalkan mereka dalam
pergaulan sosial (interaksi sosial) di lingkungan sekolah. Namun sebaliknya, selalu
empatik membantu (menstimulus—memotivasi) mereka menjadi insan yang integratif
baik di kelas maupun di luar kelas.
Demikianlah,
penting sekali sekolah memahami seluk-beluk ketunarunguan, memahami kepribadian
dan strategi serta metode pembelajaran anak tunarungu. Hal ini bertujuan agar sekolah
bisa memberikan perhatian dan layanan pendidikan khusus. Dari perhatian dan
layanan khusus inilah kita berharap mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi yang utuh, memiliki pengetahuan, wawasan, kemampuan dan perilaku yang
standar dengan anak normal pada umumnya. Sehingga kelak mereka tumbuh menjadi pribadi
yang mandiri, percaya diri dan eksis di tengah masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar