Senin, 24 Oktober 2016



Menjajal Kemampuan Siswa dalam Membaca (Indah)Puisi

Meletakkan tindakan apresiatif dalam pembelajaran sastra merupakan dasar yang diidealkan oleh kalangan masyarakat sastra. Itulah sebabnya, para perancang kurikulum khususnya mata pelajaran bahasa dan sastra menyediakan ruang atau konteks untuk membangun komunikasi apresiasi antara guru dengan siswanya. Sinkronisasi ini terlihat pada beberapa kompetensi sastra yang dirumuskan dalam silabus pembelajaran. Contoh salah satu redaksional kompetensi dasar yang bisa diambil misalnya “Membaca Indah Puisi Bebas”.
Bagi saya, kompetensi dasar (KD) ini cukup fenomenal jika dikaitkan dengan realitas bersastra di lapangan. Di Bali dan di Denpasar pada khususnya, acara lomba baca puisi merupakan kegiatan sastra yang paling tinggi frekuensi pelaksanaannya. Bukan hanya tahunan, semesteran bahkan dalam tempo beberapa bulan bisa masuk surat permintaan menjadi peserta pembaca puisi di sekolah tempat saya mengajar. Hal ini tentu menuntut tanggung jawab dari guru bahasa dan sastra Indonesia seperti saya. Belum lagi, tuntutan untuk menjadi yang terbaik (menjadi juara). Pasalnya, sekolah saya merupakan salah satu sekolah swasta di Denpasar yang mampu bersaing dengan kemampuan sekolah negeri dalam bidang membaca puisi. Tanggung jawab besar saya adalah menjaga kelanjutan reputasi itu melalui pembibitan secara regenerasi.
Kebetulan KD Membaca Indah Puisi muncul di kelas VII, maka kesempatan itu saya manfaatkan untuk membentuk kemampuan dasar membaca puisi pada anak-anak. Karena dalam satu kelas rata-rata jumlah siswa pertahunnya 30, kesempatan bagi saya menjajaki satu persatu siswa untuk membaca puisi sesuai dengan kemampuan mereka seadanya. Satu persatu saya minta membaca di depan kelas, namun saya potong sesuai keperluan penjajakan saya. Awalnya, saya terkejut ketika mendapati hampir seratus persen siswa yang membacakan puisi di depan kelas dengan pakem baca persis seperti pembacaan puisi sewaktu saya SD, 18 tahun yang lalu. Konkretnya, puisi dibaca dengan lagu/nada konvensional, gerak yang berlebihan, berusaha menunjuk/ mengejawantahkan referen yang ada dalam puisi (misalnya, kalau ada kata langit maka gerak tangan harus menunjuk ke atas langit), dan tentunya miskin ekspresi.
Penjajakan kemampuan membaca puisi saya lakukan setiap tahunnya hingga sekarang. Kondisinya tidak beda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Terhadap kondisi ini, saya terapkan beberapa strategi untuk membongkar total  pakem pembacaan ala SD tempo dulu itu.
Pertama, saya tampil sebagai sampel pembaca puisi dengan berbekal pengalaman pernah menjadi juara baca puisi sewaktu mahasiswa, teori di kampus, dan pengalaman pernah menjadi juri baca puisi tingkat kabupaten. Ketiga hal tersebut saya kombinasikan dan terbukti membantu saya menjalani peran sebagai seorang pembaca puisi di depan kelas. Target sampel saya sederhana; membuat semua siswa terdiam, serius menyimak gaya pembacaan saya, dan belajar memberi apresiasi lewat bahasa yang jujur yaitu riuh tepuk tangan.
Kedua, menetapkan kriteria dasar dalam membaca puisi. Kriteria itu meliputi vokal, intonasi, gerak, dan ekspresi. Biasanya tahap ini saya buka dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya jawab keempat kriteria tersebut. Tidak lupa memberikan penjelasan dengan contoh pembacaan yang sebenarnya.
Ketiga, menginformasikan target dasar pembelajaran yakni siswa memiliki kemampuan dasar dalam membaca puisi. Target dasar saya sangat sederhana yaitu siswa bisa membaca puisi dengan mengharmoniskan unsur vokal, intonasi, gerak dan ekspresi. Saya biasanya memberikan ilustrasi sederhana, misalnya (1) ketika anda mengucapkan kata-kata yang bernada marah bagaimana vokal dan intonasi yang sepantasnya anda munculkan? (2) Jika anda sudah memunculkan vokal dan intonasi, bagaimana reaksi bahasa tubuh/ gesture anda (baca:gerak)? Lalu bagaimana sepantasnya ekspresi/ raut muka anda? Saya ambil beberapa siswa sebagai sampel pembanding.
Keempat, memberikan satu teks puisi kepada masing-masing siswa. Pemilihan teks puisi ini didasarkan pada tingkat kesesuian diksi, simbol-simbol, dan memungkinkan pembacaan yang lebih bervariasi. Selanjutnya, saya ajak siswa mulai membahas unsur fisik dan batin puisi tersebut. Baru saya latih membaca puisi tanpa memberikan nada/ lagu seperti pakem SD.
Kelima, siswa membaca di depan kelas secara bergiliran. Sisanya, memberikan kritikan, komentar, dan penilaian berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hasil penilaian diujicobakan kembali. Kali ini dibawah arahan saya secara langsung. Tahap berikutnya, saya memberikan siswa memantapkan praktek pembacaan di rumah. Terakhir, saya memberikan kesempatan satu persatu membaca puisi di depan kelas untuk keperluan nilai ulangan. Pada kesempatan ini pula, saya tetap memberikan komentar, kritikan, dan saran kepada siswa yang bersangkutan.
Dari cara inilah, muncul juara-juara pembaca puisi yang notabene dulunya tidak pernah punya latar belakang sebagai pembaca puisi.
I Ketut Serawan, S.Pd., Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar-Bali. Beberapa artikelnya dimuat di Harian Bali Post dan Tabloid Wiyata Mandala.

0 komentar:

Posting Komentar