Menjajal Kemampuan Siswa dalam Membaca (Indah)Puisi
Meletakkan tindakan apresiatif dalam
pembelajaran sastra merupakan dasar yang diidealkan oleh kalangan masyarakat
sastra. Itulah sebabnya, para perancang kurikulum khususnya mata pelajaran
bahasa dan sastra menyediakan ruang atau konteks untuk membangun komunikasi
apresiasi antara guru dengan siswanya. Sinkronisasi ini terlihat pada beberapa
kompetensi sastra yang dirumuskan dalam silabus pembelajaran. Contoh salah satu
redaksional kompetensi dasar yang bisa diambil misalnya “Membaca Indah Puisi
Bebas”.
Bagi
saya, kompetensi dasar (KD) ini cukup fenomenal jika dikaitkan dengan realitas
bersastra di lapangan. Di Bali dan di Denpasar pada khususnya, acara lomba baca
puisi merupakan kegiatan sastra yang paling tinggi frekuensi pelaksanaannya.
Bukan hanya tahunan, semesteran bahkan dalam tempo beberapa bulan bisa masuk
surat permintaan menjadi peserta pembaca puisi di sekolah tempat saya mengajar.
Hal ini tentu menuntut
tanggung jawab dari guru bahasa dan sastra Indonesia seperti saya. Belum lagi,
tuntutan untuk menjadi yang terbaik (menjadi juara). Pasalnya, sekolah saya
merupakan salah satu sekolah swasta di Denpasar yang mampu bersaing dengan kemampuan
sekolah negeri dalam bidang membaca puisi. Tanggung jawab besar saya adalah
menjaga kelanjutan reputasi itu melalui pembibitan secara regenerasi.
Kebetulan
KD Membaca Indah Puisi muncul di kelas VII, maka kesempatan itu saya manfaatkan
untuk membentuk kemampuan dasar membaca puisi pada anak-anak. Karena dalam satu
kelas rata-rata jumlah siswa pertahunnya 30, kesempatan bagi saya menjajaki
satu persatu siswa untuk membaca puisi sesuai dengan kemampuan mereka seadanya.
Satu persatu saya minta
membaca di depan kelas, namun saya potong sesuai keperluan penjajakan saya.
Awalnya, saya terkejut ketika mendapati hampir seratus persen siswa yang
membacakan puisi di depan kelas dengan pakem baca persis seperti pembacaan
puisi sewaktu saya SD, 18 tahun yang lalu. Konkretnya, puisi dibaca dengan
lagu/nada konvensional, gerak yang berlebihan, berusaha menunjuk/
mengejawantahkan referen yang ada dalam puisi (misalnya, kalau ada kata langit
maka gerak tangan harus menunjuk ke atas langit), dan tentunya miskin ekspresi.
Penjajakan
kemampuan membaca puisi saya lakukan setiap tahunnya hingga sekarang. Kondisinya
tidak beda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. Terhadap kondisi ini, saya
terapkan beberapa strategi untuk membongkar total pakem pembacaan ala SD tempo dulu itu.
Pertama,
saya tampil sebagai sampel pembaca puisi dengan berbekal pengalaman pernah
menjadi juara baca puisi sewaktu mahasiswa, teori di kampus, dan pengalaman
pernah menjadi juri baca puisi tingkat kabupaten. Ketiga hal tersebut saya
kombinasikan dan terbukti membantu saya menjalani peran sebagai seorang pembaca
puisi di depan kelas. Target sampel saya sederhana; membuat semua siswa
terdiam, serius menyimak gaya pembacaan saya, dan belajar memberi apresiasi
lewat bahasa yang jujur yaitu riuh tepuk tangan.
Kedua,
menetapkan kriteria dasar dalam membaca puisi. Kriteria itu meliputi vokal, intonasi, gerak, dan
ekspresi. Biasanya tahap ini saya buka dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk bertanya jawab keempat kriteria tersebut. Tidak lupa memberikan
penjelasan dengan contoh pembacaan yang sebenarnya.
Ketiga,
menginformasikan target dasar pembelajaran yakni siswa memiliki kemampuan dasar
dalam membaca puisi. Target dasar saya sangat sederhana yaitu siswa bisa
membaca puisi dengan mengharmoniskan unsur vokal, intonasi, gerak dan ekspresi.
Saya biasanya memberikan ilustrasi sederhana, misalnya (1) ketika anda
mengucapkan kata-kata yang bernada marah bagaimana vokal dan intonasi yang
sepantasnya anda munculkan? (2) Jika anda sudah memunculkan vokal dan intonasi,
bagaimana reaksi bahasa tubuh/ gesture anda (baca:gerak)? Lalu bagaimana
sepantasnya ekspresi/ raut muka anda? Saya ambil beberapa siswa sebagai sampel
pembanding.
Keempat,
memberikan satu teks puisi kepada masing-masing siswa. Pemilihan teks puisi ini
didasarkan pada tingkat kesesuian diksi, simbol-simbol, dan memungkinkan
pembacaan yang lebih bervariasi. Selanjutnya, saya ajak siswa mulai
membahas unsur fisik dan batin puisi tersebut. Baru saya latih membaca puisi
tanpa memberikan nada/ lagu seperti pakem SD.
Kelima,
siswa membaca di depan kelas secara bergiliran. Sisanya, memberikan kritikan, komentar, dan
penilaian berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hasil
penilaian diujicobakan kembali. Kali ini dibawah arahan saya secara langsung.
Tahap berikutnya, saya memberikan siswa memantapkan praktek pembacaan di rumah.
Terakhir, saya memberikan kesempatan satu persatu membaca puisi di depan kelas
untuk keperluan nilai ulangan. Pada kesempatan ini pula, saya tetap memberikan
komentar, kritikan, dan saran kepada siswa yang bersangkutan.
Dari
cara inilah, muncul juara-juara pembaca puisi yang notabene dulunya tidak
pernah punya latar belakang sebagai pembaca puisi.
I Ketut
Serawan, S.Pd., Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma
Denpasar-Bali. Beberapa artikelnya dimuat di Harian Bali Post dan Tabloid
Wiyata Mandala.
0 komentar:
Posting Komentar