Senin, 24 Oktober 2016



KTSP: HINDARKAN ANAK DARI KEKERASAN

Oleh
Ketut Serawan, S.Pd. (Guru SMP Cipta Dharma)

Menjadi siswa sekarang ini merupakan beban tersendiri. Hal ini dirasakan siswa terutama yang tinggal di kota. Di samping harus rutin sekolah setiap hari, mereka juga tak luput dari kegiatan seabrek lainnya. Misalnya les privat, ikut bimbingan belajar dan ekstra kurikuler hingga waktu untuk bergaul, bermain, beristirahat kadang tak sempat mereka rasakan.

Setiap anak (siswa) pasti ingin menikmati masa hidup yang sewajarnya. Misalnya, beristirahat secukupnya, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebayanya, bermain, berekreasi, dan berkreasi maupun bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hal ini sebetulnya telah diatur secara tegas dalam UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Bab III, pasal 11). Namun kenyataannya, kerasnya kompetisi hidup di kota membuat anak harus kehilangan hak-hak mereka. Mereka (anak-anak) harus digenjot untuk belajar dan belajar tanpa kenal lelah demi satu alasan “masa depan”.
Tanpa bermaksud menuding siapa pun, kenyataan memang bahwa negara, pemerintah, masyarakat, sekolah maupun orang tua (ortu) siswa pasti menginginkan anak yang bermutu-- yang punya masa depan. Oleh karena itulah, kita menjadikan anak kita sebagai pemain dalam kurikulum, pemain dalam kebijakan pemerintah, menjadi pemain ambisi kompetisi sekolah, hingga pemain untuk memenangkan target yang besar dari ortu. Tentu di pihak anak kondisi ini menjadi beban. Namun kita kadang tidak mau memahaminya. Kita asyik memainkan mereka hingga mengabaikan hak-haknya. Kita merampas hak-hak mereka untuk harga kualitas dan masa depan. Hal ini berarti kita telah melakukan tindak kekerasan sebagai mana yang didefinisikan oleh WHO (WHO, 1999) yaitu  penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,  ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan  atau sekelompok orang  atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Pada dasarnya, ada beberapa faktor yang mendorong munculnya kekerasan pada anak. Dalam seminar yang bertemakan Melalui Hardiknas 2 Mei 2007 Kita Tingkatkan Pemahaman Publik Mengenai Perlindungan Anak dalam Dunia Pendidikan (28/04/07), Mangku Pastika pernah mengungkapkan bahwa salah satu faktor pemicu munculnya kekerasan pada anak ialah kurikulum. Menurutnya kurikulum yang padat dengan ambisi target yang kompleks telah membuat anak kita tumbuh stress. Melihat kuantitasnya, barangkali kurikulum 1994 dan sebelumnya masuk dalam kasus ini.

Kita tentu tidak menginginkan anak kita menjadi korban kekerasam kurikulum. Kita menginginkan pemerintah--dengan tim perumus kurikulumnya--memikirkan dan mempertimbangkan hak-hak anak dalam memproduksi kurikulum. Kita membutuhkan pemerintah yang mampu memproduksi kurikulum secara sederhana. Sederhana secara kuantitas tanpa mengabaikan kualitas. Dari  kesederhanaan inilah kita berharap anak-anak bisa memenuhi kebutuhan pendidikan dan kebutuhan lainnya secara proposional tanpa rasa stress (psikis) yang berlebihan. Dalam konteks inilah, kehadiran Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP) menjadi signifikan.   
KTSP telah memunculkan reformasi yang penting dalam dunia pendidikan kita. Kalau dikelompokkan, paling tidak ada  dua reformasi penting yang dilakukan KTSP yaitu reformasi waktu dan reformasi materi. Reformasi waktu dapat kita lihat secara konkret pada pengurangan jam belajar dalam kelas. Untuk SMP yang dulunya satu jam pelajaran 45 menit sekarang diciutkan menjadi 40 menit. Sementara itu, di tingkat SMU masih tetap 45 menit. Selain itu, jam tatap muka mata pelajaran dalam seminggu juga mengalami penyusutan. Misalnya, pelajaran bahasa Indonesia yang semula 5 jam dalam seminggu disusutkan menjadi 4 jam. Begitu juga bahasa Inggris (semula 5 jam sekarang sudah diciutkan menjadi 4 jam). Terkait dengan penyusutan waktu, maka KTSP mereformasi materi kurikulum dengan cara merampingkan Kompetensi Dasar (KD). Di luar materi (KD), pemerintah juga melebur beberapa mata pelajaran yang serumpun menjadi satu. Contohnya, IPA terpadu (peleburan Kimia, Fisika, Biologi) dan IPS Terpadu (Geograpi, Sejarah, Pkn, Ekonomi).  
Bagi siswa, perampingan pada KTSP berdampak terhadap tiga hal. Pertama, dari segi waktu, siswa sekarang bisa bernapas lega. Pasalnya, penciutan jam belajar (lima menit) ditambah peleburan beberapa mata pelajaran cukup memberikan waktu luang bagi siswa. Waktu ini diharapkan dimanfaatkan dengan istirahat yang cukup, bermain, bersosialisasi dengan lingkungan, mengembangkan diri dan ikut kegiatan positif lainnya. Kedua, dampak perampingan ini juga bisa meningkatkan daya serap siswa terhadap materi pembelajaran. Jumlah KD yang ramping berpengaruh terhadap tingkat kedalaman daya pemahaman siswa. Karena target (KD) yang terbatas tentu membuat siswa lebih fokus dan lebih mampu/ mudah memahami jika dibandingkan dengan KD yang terlalu kompleks. Kita tentu masih ingat dengan adanya kenyataan yang dihadapi oleh beberapa guru pada waktu menerapkan kurikulum sebelumnya (misalnya, kurikulum 1994). Pada zaman itu, guru mengajar berlomba-lomba dengan waktu dan kurang mempedulikan siswa mengerti atau tidak. Alasannya, beban materi yang diselesaikan terlalu kompleks.  
Terkait dengan kompleksitas materi, KTSP juga memberikan keringanan beban belajar siswa. Ini jelas mengingat beban KD yang harus ditanggung siswa kini semakin sedikit. Ketiga, KTSP juga menghindarkan siswa dari rasa jenuh. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, siswa terlalu digodok dengan jam belajar yang lama ditambah beban materi yang begitu kompleks. Kondisi ini jelas membuat siswa sangat jenuh.

Namun kini siswa boleh mengencangkan dahi karena KTSP telah menghindarkan siswa dari kompleksitas materi dan jam belajar yang lama.
Tidak hanya siswa, dampak perampingan dalam KTSP juga berpengaruh terhadap guru dan ortu siswa. Bagi guru, KTSP bisa meningkatkan profesionalisme karena rata-rata waktu pembelajaran yang lebih singkat berpeluang digunakan guru untuk terus mengasah ketajaman intelektualnya. Misalnya, guru bisa menggunakan waktu yang ada dengan lebih banyak membaca, mengadakan penelitian, ikut seminar, dan kegiatan lain yang sifatnya menambah wawasan keguruan. Di samping itu, perampingan KTSP juga meringankan beban guru dari menyiapkan sampai operasionalisasi pembelajaran di kelas. Hal ini rasional mengingat sisa waktu yang dimiliki guru di luar sekolah bertambah panjang. Korelasinya, kini guru lebih siap menyiapkan diri sebelum berlangsungnya proses belajar di kelas. Guru punya waktu lebih untuk mencari referen pembelajaran dan waktu sharing dengan teman seprofesi atau orang yang lebih menguasai bidang ilmu tertentu. Dampak lainnya, guru bisa mengajarkan materi dengan lebih dalam. Sekarang, guru memiliki waktu lebih dalam menyiapkan materi. Di tambah lagi beban KD dalam KTSP yang terbatas. Kondisi ini membuat guru menjadi lebih fokus dalam mengajar. Jadi masuk akal jika guru bisa memberikan materi pembelajaran lebih komprehensif.
Dari kebutuhan ortu, KTSP juga memberikan dampak yang signifikan. Munculnya mata pelajaran terpadu meringankan ortu secara ekonomi (terutama yang tidak menerima BOS) karena jumlah buku pasti lebih sedikit. Yang terpenting lagi, sekaranglah kesempatan ortu punya waktu lebih untuk berkumpul dan bercengkrama dengan anak.  Waktu ini bisa digunakan ortu untuk bermain, berekreasi, mendengarkan curhat dari si anak sambil memberikan pendidikan sopan santun. Pada sisi lain, ortu juga bisa mempelajari dan sekaligus mengontrol pergaulan anak, mengontrol kegiatan anak di rumah maupun di luar rumah. Intinya, dengan waktu lebih ortu bisa menumpahkan perhatian, memahami karakter anak lebih dalam serta meningkatkan rasa kekeluargaan dengan anak.
Nah, melihat sedemikian signifikannya, kita pantas mendukung penerapan KTSP di lapangan. Kita membutuhkan peran semua komponen baik pemerintah, masyarakat, ortu, guru untuk menyukseskan pengaplikasiannya. Kita berharap pelaksanaan KTSP berjalan dengan lancar sehingga kita bisa melihat anak didik kita tersenyum setiap hari.

0 komentar:

Posting Komentar