Bercermin dari Pura
Oleh I Ketut
Serawan
Setengah
abad lebih, buku pelajaran sekolah menanamkan kekeliruan konsep pada siswa.
Kekeliruan konsep yang dimaksud adalah menuliskan “pura sebagai tempat ibadah
umat Hindu.” Kekeliruan ini berlangsung lama karena buku-buku itu mengalami
cetak ulang hingga sekarang. Dampaknya, terbentuklah pola pikir bahwa pura
merupakan satu-satunya tempat ibadah (suci) umat Hindu.
Kekeliruan
berpikir ini tidak hanya menjangkiti regenerasi muda (siswa), melainkan juga
orang umum. Mereka beranggapan bahwa semua umat Hindu di nusantara (bahkan di
dunia) menggunakan pura sebagai tempat ibadah. Anggapan ini muncul akibat
perbandingan dengan agama lain. Agama Islam memiliki masjid sebagai tempat
ibadah dan berlaku di seluruh dunia. Begitu juga agama Kristen yang memiliki
gereja untuk seluruh umatnya di dunia.
Meskipun
sama-sama impor, agama Hindu rupanya tidak mau mengintervensi ciri atau
identitas umat tempatnya tumbuh. Sebaliknya, agama Hindu mengangkat derajat
adat, tradisi, dan budaya tempatnya tumbuh untuk berdampingan hidup harmonis.
Di sinilah letak humanisnya agama Hindu. Hindu tidak mau melenyapkan ciri/
identitas asli umatnya.
Produk Budaya
Pura
adalah fakta betapa Hindu bukan pembasmi identitas asli umatnya. Pura merupakan
produk budaya hasil terjemahan jati diri orang Bali
dengan nilai-nilai Hindu. Dengan demikian, pura menjadi tempat ibadah khusus
untuk umat Hindu Bali saja.
Keliru
jika kita memahami pura menjadi tempat ibadah untuk semua umat Hindu. Kalau
misalnya umat Hindu lain (di luar Bali, bukan
orang Bali) menggunakan pura sebagai tempat
ibadah, umat Hindu Bali patut merasa bangga. Sebab produk budaya itu telah
mendapat apresiasi dari orang lain. Artinya, produk itu dianggap bernilai.
Hanya saja, bagi pihak yang mengadopsi mentah-mentah akan dipertanyakan tentang
kualitas filter keyakinan dan kreativitas kedaerahannya. Tidakkah pura
bertentangan dengan konsep budaya setempat? Apakah pura representatif dalam
mengakomodir nilai-nilai identitas asli umat setempat? Tidakkah umat setempat memiliki filterisasi budaya
tersendiri untuk mengadaptasi diri dengan nilai-nilai Hindu?
Sebagai produk budaya,
pura tidak ubahnya seperti rumah adat. Rumah adat pada masing-masing daerah di
Indonesia memiliki nama, struktur, dan bentuk yang berbeda-beda. Padahal
perannya sama yaitu untuk melindungi penghuninya dari ancaman panas, dingin,
hujan, serangan binatang, dan lain sebagainya. Ciri kedaerahlah yang
menyebabkan produk rumah menjadi berbeda-beda. Ciri ini dipengaruhi oleh banyak
faktor, misalnya ciri geografis, faktor ketersediaan bahan di alam lingkungan,
adat, tradisi, dan kemampuan kreativitas manusianya.
Begitu juga dengan pura.
Lahir dari kelokaljeniusan orang Bali dan lingkungannya. Berkat
kelokaljeniusannya, orang Bali mampu mengintegrasikan nilai budaya dan agama Hindu
menjadi produk yang bernama pura.
Hindu luar Bali, tentu
memiliki kelokalan dan ciri lingkungan yang tidak sama dengan orang Bali.
Perbedaan ini semestinya menjadikan Hindu luar Bali berbeda (punya ciri khas).
Hindu Jawa selayaknya memiliki tempat ibadah dengan nama, struktur, dan bentuk
yang khas Jawa. Hindu Batak mempunyai tempat ibadah yang berbeda dengan Hindu
Bali atau Jawa. Perbedaan ini akan menyebabkan Hindu menjadi beragam dan indah.
Namun, filosofi hidupnya tetap mengacu pada ajaran weda.
Ide ini kelihatan mudah
tetapi pasti akan menimbulkan polemik terutama di kalangan penganut agama yang
homogen dan termasuk umat Hindu Bali yang telanjur nyaman dengan puranya. Bagi
penganut non-Hindu, konsep ketakseragaman tempat ibadah ini tentu akan menjadi
bahan ejekan yang empuk. Mereka akan menyebut Hindu sebagai agama yang tak
jelas. Padahal kita tahu bahwa kita suci (weda) tidak pernah mengatur secara
baku nama, struktur, dan bentuk tempat ibadah. Kalau toh ada, prinsip
desa, kala, patra tetap memberi celah penafsiran konstektual tentang tempat
ibadah. Artinya, perbedaan tempat ibadah tidak pantas untuk diperdebatkan.
Bercermin dari Pura
Orang Bali dengan ciri khas puranya memberikan
beberapa cerminan. Pertama, leluhur Bali cerdas dalam berkeyakinan. Dikatakan
cerdas karena mereka tidak menerima mentah-mentah ajaran Hindu dengan nilai
budaya yang melekat padanya. Di tanah kelahirannya (India), Hindu tentu
mengandung nilai budaya India. Namun begitu hidup di Bali, nilai-nilai itu
mampu difilterisasi sekaligus diadaptasi ala Bali. Inilah bukti bahwa leluhur
(pendahulu) Bali sebelumnya sudah punya keyakinan. Kalau tidak, orang Bali
pasti tunduk dengan nilai-nilai Hindu India seutuhnya.
Orang Bali pantas berbangga
atas kecerdasan leluhurnya. Faktor inilah yang menyebabkan orang Bali tumbuh
menjadi umat Hindu yang berkarakter. Hindu Bali lahir berbeda dengan Hindu
India, termasuk dalam hal tempat ibadah (pemujaan). Hindu India memiliki tempat
ibadah yang umum bernama kuil yang secara struktur dan bentuk berbeda dengan
pura.
Kedua, penghargaan atas
sikap pluralisme. Beragama dengan kitab yang sama tidak harus menimbulkan
perilaku yang seragam. Ini jelas bertentangan dengan fakta kehidupan umat di
dunia. Setiap negara tentu memiliki beragam kultur tersendiri. Belum lagi, satu
negara terdiri atas berbagai daerah dengan multikultur. Secara hak asasi,
masing-masing kultur ini berhak hidup dan eksis di dunia.
Ketiga, Hindu bukan agama
penjajah. Hindu sangat memahami nilai-nilai budaya lokal umatnya. Hindu tidak
pernah memaksakan ambisi untuk menyeragamkan umat di dunia. Terbukti dalam
sejarah penyebarannya di nusantara, Hindu tidak sedikit pun menggunakan
cara-cara kekerasan. Karena karakter Hindu fleksibel. Jika agama disebarkan
dengan cara paksa apalagi dengan kekerasan (dengan penaklukan dan darah), besar
kemungkinan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya radikal, kaku, dan arogan. Maka
tidak mengherankan jika agama tersebut masuk ke tengah masyarakat dengan
melenyapkan identitas asli umatnya. Nilai kebenaran dimonopoli. Hanya ada satu
kebenaran mutlak dan seragam yaitu nilai yang hendak disebarkan. Inilah yang disebut
sebagai agama penjajah. Sebaliknya,
Hindu adalah tamu yang ramah. Hindu masuk ke tengah lingkungan dengan mengikuti
desa, kala, patra yang berlaku pada masyarakat tersebut. Hindu memberi ruang
interpretasi dan adaptasi sosiokultural asli umatnya. Itulah sebabnya,
identitas atau keaslian umat tetap terpelihara dengan baik.
Begitulah. Pura adalah cermin kecerdasan beragama,
cermin pluralisme, dan cermin humanisme. Tiga unsur ini sepatutnya menjadi
inspirasi dunia. Meskipun nilai agama dianggap sebagai kebenaran tertinggi,
bukan berarti kita membabi buta menerimanya. Persfektif kultur akan membei
respon yang berbeda. Dunia seharusnya insaf dan menyadari hal ini. Kita pantas merasa malu jika menerima
sesuatu dengan copy-paste. Lalu untuk apa Tuhan menciptakan akal
(pikiran) pada manusia? Dalam konteks inilah, pura membuka mata dunia bahwa
beragama membutuhkan kecerdasan akal, kecerdasan pluralisme, dan kecerdasan
humanisme bukan semata-mata sebagai alat untuk memvonis benar atau salah.
Negara Indonesia harusnya menyadari fakta di atas.
Tidak patut menempatkan Hindu sebagai agama yang mono. Oleh karena itu, saatnya buku-buku pelajaran yang
menuliskan pura sebagai sebagai tempat ibadah umat Hindu yang beredar harus
dikoreksi lagi. Umat Hindu (terutama kaum intelektual dan pejabat strategis) di
nusantara harus melayangkan koreksi kepada pemerintah. Dengan harapan, ke depan
tidak ada buku-buku yang menuliskan pura sebagai tempat ibadah umat hindu (yang
memberi makna satu-satunya). Kalau Indonesia memang negara majemuk, tentu
negeri ini bisa mengambil hikmah pluralisme dari pura. Penulis adalah Guru
swasta di Denpasar. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Bali Post dan media lainnya.
BIODATA PENULIS
Nama : I Ketut Serawan, S.Pd
TTL : Sakti, 15 April 1979
Alamat : Jl.
Batuyang Gang Pipit
Permai No. 7
Batubulan,
Kab. Gianyar-Bali
Telp. : 081338584553
Facebook :
Ketut Serawan
Pendidikan :
1. SDN 6 Sakti Kec. Nusa Penida tamat 1992
2. SMPN 2 Nusa Penida tamat 1995
3. SMUN 1 Semarapura 1998
4. IKIP Negeri Singaraja 2003
Pekerjaan : Guru Sastra Indonesia di SMP Cipta
Dharma Denpasar-Bali
Aktivitas
Kebahasaan/Kesastraan:
1.
Pemenang 5 terbaik Mengarang Cerpen
Berbahasa Indonesia RRI Singaraja 2001
2.
Juri dalam Lomba Baca Puisi Pelajar
Se-Kabupaten Buleleng 2002
3.
Juri dalam Lomba Pidato Pelajar
Se-Kabupaten Buleleng 2002
4.
Juara III Guru SMP Berprestasi Kota
Denpasar 2014
5.
Pemenang Juara I Lomba Menulis Artikel
Festival Bhagavadgita 2015
6.
Pemenang juara Harapan III Lomba Menulis
Artikel Kebahasaan dan Kesastraan Balai Bahasa Provinsi Bali Kategori Umum 2016
7. Menulis
beberapa artikel di media cetak. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Harian
Bali Post dan media lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar