Senin, 24 Oktober 2016



Bercermin dari Pura

Oleh I Ketut Serawan

            Setengah abad lebih, buku pelajaran sekolah menanamkan kekeliruan konsep pada siswa. Kekeliruan konsep yang dimaksud adalah menuliskan “pura sebagai tempat ibadah umat Hindu.” Kekeliruan ini berlangsung lama karena buku-buku itu mengalami cetak ulang hingga sekarang. Dampaknya, terbentuklah pola pikir bahwa pura merupakan satu-satunya tempat ibadah (suci) umat Hindu.
            Kekeliruan berpikir ini tidak hanya menjangkiti regenerasi muda (siswa), melainkan juga orang umum. Mereka beranggapan bahwa semua umat Hindu di nusantara (bahkan di dunia) menggunakan pura sebagai tempat ibadah. Anggapan ini muncul akibat perbandingan dengan agama lain. Agama Islam memiliki masjid sebagai tempat ibadah dan berlaku di seluruh dunia. Begitu juga agama Kristen yang memiliki gereja untuk seluruh umatnya di dunia.
            Meskipun sama-sama impor, agama Hindu rupanya tidak mau mengintervensi ciri atau identitas umat tempatnya tumbuh. Sebaliknya, agama Hindu mengangkat derajat adat, tradisi, dan budaya tempatnya tumbuh untuk berdampingan hidup harmonis. Di sinilah letak humanisnya agama Hindu. Hindu tidak mau melenyapkan ciri/ identitas asli umatnya.
Produk Budaya
            Pura adalah fakta betapa Hindu bukan pembasmi identitas asli umatnya. Pura merupakan produk budaya hasil terjemahan jati diri orang Bali dengan nilai-nilai Hindu. Dengan demikian, pura menjadi tempat ibadah khusus untuk umat Hindu Bali saja.
            Keliru jika kita memahami pura menjadi tempat ibadah untuk semua umat Hindu. Kalau misalnya umat Hindu lain (di luar Bali, bukan orang Bali) menggunakan pura sebagai tempat ibadah, umat Hindu Bali patut merasa bangga. Sebab produk budaya itu telah mendapat apresiasi dari orang lain. Artinya, produk itu dianggap bernilai. Hanya saja, bagi pihak yang mengadopsi mentah-mentah akan dipertanyakan tentang kualitas filter keyakinan dan kreativitas kedaerahannya. Tidakkah pura bertentangan dengan konsep budaya setempat? Apakah pura representatif dalam mengakomodir nilai-nilai identitas asli umat setempat? Tidakkah umat setempat memiliki filterisasi budaya tersendiri untuk mengadaptasi diri dengan nilai-nilai Hindu?
            Sebagai produk budaya, pura tidak ubahnya seperti rumah adat. Rumah adat pada masing-masing daerah di Indonesia memiliki nama, struktur, dan bentuk yang berbeda-beda. Padahal perannya sama yaitu untuk melindungi penghuninya dari ancaman panas, dingin, hujan, serangan binatang, dan lain sebagainya. Ciri kedaerahlah yang menyebabkan produk rumah menjadi berbeda-beda. Ciri ini dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya ciri geografis, faktor ketersediaan bahan di alam lingkungan, adat, tradisi, dan kemampuan kreativitas manusianya.
            Begitu juga dengan pura. Lahir dari kelokaljeniusan orang Bali dan lingkungannya. Berkat kelokaljeniusannya, orang Bali mampu mengintegrasikan nilai budaya dan agama Hindu menjadi produk yang bernama pura.
            Hindu luar Bali, tentu memiliki kelokalan dan ciri lingkungan yang tidak sama dengan orang Bali. Perbedaan ini semestinya menjadikan Hindu luar Bali berbeda (punya ciri khas). Hindu Jawa selayaknya memiliki tempat ibadah dengan nama, struktur, dan bentuk yang khas Jawa. Hindu Batak mempunyai tempat ibadah yang berbeda dengan Hindu Bali atau Jawa. Perbedaan ini akan menyebabkan Hindu menjadi beragam dan indah. Namun, filosofi hidupnya tetap mengacu pada ajaran weda.
            Ide ini kelihatan mudah tetapi pasti akan menimbulkan polemik terutama di kalangan penganut agama yang homogen dan termasuk umat Hindu Bali yang telanjur nyaman dengan puranya. Bagi penganut non-Hindu, konsep ketakseragaman tempat ibadah ini tentu akan menjadi bahan ejekan yang empuk. Mereka akan menyebut Hindu sebagai agama yang tak jelas. Padahal kita tahu bahwa kita suci (weda) tidak pernah mengatur secara baku nama, struktur, dan bentuk tempat ibadah. Kalau toh ada, prinsip desa, kala, patra tetap memberi celah penafsiran konstektual tentang tempat ibadah. Artinya, perbedaan tempat ibadah tidak pantas untuk diperdebatkan.
Bercermin dari Pura
            Orang Bali dengan ciri khas puranya memberikan beberapa cerminan. Pertama, leluhur Bali cerdas dalam berkeyakinan. Dikatakan cerdas karena mereka tidak menerima mentah-mentah ajaran Hindu dengan nilai budaya yang melekat padanya. Di tanah kelahirannya (India), Hindu tentu mengandung nilai budaya India. Namun begitu hidup di Bali, nilai-nilai itu mampu difilterisasi sekaligus diadaptasi ala Bali. Inilah bukti bahwa leluhur (pendahulu) Bali sebelumnya sudah punya keyakinan. Kalau tidak, orang Bali pasti tunduk dengan nilai-nilai Hindu India seutuhnya.
            Orang Bali pantas berbangga atas kecerdasan leluhurnya. Faktor inilah yang menyebabkan orang Bali tumbuh menjadi umat Hindu yang berkarakter. Hindu Bali lahir berbeda dengan Hindu India, termasuk dalam hal tempat ibadah (pemujaan). Hindu India memiliki tempat ibadah yang umum bernama kuil yang secara struktur dan bentuk berbeda dengan pura.
            Kedua, penghargaan atas sikap pluralisme. Beragama dengan kitab yang sama tidak harus menimbulkan perilaku yang seragam. Ini jelas bertentangan dengan fakta kehidupan umat di dunia. Setiap negara tentu memiliki beragam kultur tersendiri. Belum lagi, satu negara terdiri atas berbagai daerah dengan multikultur. Secara hak asasi, masing-masing kultur ini berhak hidup dan eksis di dunia.
            Ketiga, Hindu bukan agama penjajah. Hindu sangat memahami nilai-nilai budaya lokal umatnya. Hindu tidak pernah memaksakan ambisi untuk menyeragamkan umat di dunia. Terbukti dalam sejarah penyebarannya di nusantara, Hindu tidak sedikit pun menggunakan cara-cara kekerasan. Karena karakter Hindu fleksibel. Jika agama disebarkan dengan cara paksa apalagi dengan kekerasan (dengan penaklukan dan darah), besar kemungkinan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya radikal, kaku, dan arogan. Maka tidak mengherankan jika agama tersebut masuk ke tengah masyarakat dengan melenyapkan identitas asli umatnya. Nilai kebenaran dimonopoli. Hanya ada satu kebenaran mutlak dan seragam yaitu nilai yang hendak disebarkan. Inilah yang disebut sebagai agama penjajah.  Sebaliknya, Hindu adalah tamu yang ramah. Hindu masuk ke tengah lingkungan dengan mengikuti desa, kala, patra yang berlaku pada masyarakat tersebut. Hindu memberi ruang interpretasi dan adaptasi sosiokultural asli umatnya. Itulah sebabnya, identitas atau keaslian umat tetap terpelihara dengan baik.
            Begitulah. Pura adalah cermin kecerdasan beragama, cermin pluralisme, dan cermin humanisme. Tiga unsur ini sepatutnya menjadi inspirasi dunia. Meskipun nilai agama dianggap sebagai kebenaran tertinggi, bukan berarti kita membabi buta menerimanya. Persfektif kultur akan membei respon yang berbeda. Dunia seharusnya insaf dan menyadari hal ini. Kita pantas merasa malu jika menerima sesuatu dengan copy-paste. Lalu untuk apa Tuhan menciptakan akal (pikiran) pada manusia? Dalam konteks inilah, pura membuka mata dunia bahwa beragama membutuhkan kecerdasan akal, kecerdasan pluralisme, dan kecerdasan humanisme bukan semata-mata sebagai alat untuk memvonis benar atau salah.
            Negara Indonesia harusnya menyadari fakta di atas. Tidak patut menempatkan Hindu sebagai agama yang mono. Oleh karena itu, saatnya buku-buku pelajaran yang menuliskan pura sebagai sebagai tempat ibadah umat Hindu yang beredar harus dikoreksi lagi. Umat Hindu (terutama kaum intelektual dan pejabat strategis) di nusantara harus melayangkan koreksi kepada pemerintah. Dengan harapan, ke depan tidak ada buku-buku yang menuliskan pura sebagai tempat ibadah umat hindu (yang memberi makna satu-satunya). Kalau Indonesia memang negara majemuk, tentu negeri ini bisa mengambil hikmah pluralisme dari pura. Penulis adalah Guru swasta di Denpasar. Beberapa artikelnya pernah  dimuat di Bali Post dan media lainnya.

BIODATA PENULIS
Nama              : I Ketut Serawan, S.Pd
TTL                 : Sakti, 15 April 1979
Alamat                        : Jl. Batuyang Gang Pipit
                              Permai No. 7 Batubulan,
                               Kab. Gianyar-Bali
Telp.                : 081338584553
Email                 : wanwansolusion@gmail.com                                                          : wanwansolusion@gmail.com
Facebook        : Ketut Serawan

Pendidikan                  :
1. SDN 6 Sakti Kec. Nusa Penida tamat 1992
2. SMPN 2 Nusa Penida tamat 1995
3. SMUN 1 Semarapura 1998
4. IKIP Negeri Singaraja 2003
Pekerjaan                   : Guru Sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar-Bali
Aktivitas Kebahasaan/Kesastraan:
1.      Pemenang 5 terbaik Mengarang Cerpen Berbahasa Indonesia RRI Singaraja 2001
2.      Juri dalam Lomba Baca Puisi Pelajar Se-Kabupaten Buleleng 2002
3.      Juri dalam Lomba Pidato Pelajar Se-Kabupaten Buleleng 2002
4.      Juara III Guru SMP Berprestasi Kota Denpasar 2014
5.      Pemenang Juara I Lomba Menulis Artikel Festival Bhagavadgita 2015
6.      Pemenang juara Harapan III Lomba Menulis Artikel Kebahasaan dan Kesastraan Balai Bahasa Provinsi Bali Kategori Umum 2016
7.      Menulis beberapa artikel di media cetak. Beberapa artikelnya pernah dimuat di Harian Bali Post dan media lainnya.



           

0 komentar:

Posting Komentar