Minggu, 30 Oktober 2016



Kasus Overload Sekolah Negeri, Salah Siapa?
Oleh 
I Ketut Serawan, S.Pd.

Seremonial penerimaan siswa baru di Denpasar selalu berakhir dengan kemenangan sekolah negeri. Dari 60 lebih SMP yang ada di Denpasar, 12 sekolah negeri selalu berhasil meraup siswa melebihi kuota. Bahkan tak jarang, beberapa sekolah negeri tertentu memperoleh siswa 2 kali dari kuota yang ditetapkan. Sebaliknya, SMP swasta yang menunggu muntah-muntahan siswa, hanya gigit jari menerima kekalahan, karena sulit memenuhi target kuota.

Sejujurnya, dari aspek SDA (kualitas dan kuantitas fasilitas sekolah) dan SDM (kualitas-kuantitas guru) baik negeri maupun swasta di Denpasar hampir sama. Tidak ada perbedaan yang tajam. Buktinya, banyak SMP swasta memperoleh nilai akreditasi A. Salah satunya adalah SMP Cipta Dharma. Artinya, secara standar mutu tidak ada perbedaan yang signifikan.

Faktor Pemicu Overload
Tingginya ambisi masyarakat berebutan kursi sekolah negeri disebabkan oleh beberapa faktor yaitu mind set ortu yang keliru, unsur pembiaran dari pemerintah, permainan oknum pejabat, makelarisasi, dan ego publik tertentu. Pertama, mind set keliru dari ortu mencakup anggapan sekolah negeri lebih murah dan sukses mencetak SDM berkualitas. Faktanya, tidak sedikit sekolah negeri di Denpasar SPP-nya lebih mahal dari sekolah swsta. Fakta lainnya, sekolah negeri bisa mencetak SDM berkualitas karena memang menerima siswa yang sebelumnya memang berkualitas. Bayangkan, jika sekolah swasta menerima keadaan seperti negeri tentu hasilnya jauh lebih hebat. Menerima sisa dari negeri saja, swasta masih bisa bersaing dengan sekolah negeri.

Kedua, pemerintah sebagai regulator tidak menjalankan perannya secara maksimal. Ketika terjadi penggelembungan kuota, pemerintah tidak menindak tegas sekolah yang bersangkutan. Justru, ada unsur pembiaran secara sengaja. Semua publik pasti mengetahuinya. Jika beredar rumor sekolah negeri  favorit tempat anak-anak pejabat, pantas kita maklumi. Itulah sebabnya, pihak pemerintah (disdikpora) menjadi kikuk.

Ketiga, oknum pejabat juga menjadi biang pelanggaran kuota di sekolah negeri. Dengan taring kekuasaannya, tak jarang mereka tidak lepas dari desakan kelompok masyarakat yang ego untuk menempatkan anaknya di sekolah negeri tertentu. Kelompok masyarakat model ini kongsi dengan pejabat untuk mendapat surat rekomendasi agar anaknya diterima di sekolah yang dituju. Keempat, makelar penerimaan siswa baru berpengaruh menambah jumlah overload (namun sulit dibuktikan). Modusnya, transaksi kursi. Konon, untuk satu kursi SMP negeri favorit di Denpasar harganya bisa mencapai 25 jutaan. Si tukang makelar tentu sudah punya koneksi dengan orang-orang yang punya pengaruh di jajaran pemerintah kota Denpasar.

Lalu, apakah sekolah negeri pantas berbangga hati dengan kasus overload? Jawaban tentu tidak. Sekolah negeri pasti menginginkan jumlah kuota yang normal. Hanya saja, kepala sekolah dan guru-gurunya tidak berdaya dengan ”surat sakti” dari oknum pejabat. Sebagai bawahan, mereka tidak punya opsi lain kecuali menerima meskipun melampaui kuota.

Mengantisipasi Kasus Overload
Dampak dari kelebihan kuota pasti akan merugikan sekolah yang bersangkutan. Pelan tapi pasti, sekolah itu akan mengalami kemorosotan kualitas. Faktanya, salah satu SMPN di Denpasar yang dulunya paling top prestasinya kini menjadi turun karena kasus overload kuota. Rasionalnya, kelebihan kuota akan berpengaruh terhadap hasil status sekolah ketika diakreditasi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya racun overload kuota harus dihilangkan untuk kesehatan kompetisi dan eksistensi mutu sekolah. Siapakah yang pantas melenyapkan hama ini?

Pertama, tentu lembaga pengawas dari pemerintah (disdikpora). Lembaga ini punya otoritas dan wewenang dalam mengawasi penerimaan siswa baru mulai dari sistem, observasi, hingga menindak tegas mafia serta memberikan sanksi tegas kepada sekolah yang melanggar. Namun harus diingat, lembaga ini harus mau bekerja, bernyali, tegas, dan tak pandang bulu. Kedua, lembaga independen ombudsman. Lembaga ini paling diandalkan oleh publik karena berada di luar pemerintahan. Taringnya terbukti disegani dibandingkan dengan lembaga pengawas dari pemerintah. Sayangnya, terlihat pada awal eksistensinya. Belakangan taring ombudsman kelihatan tumpul. Publik tentu ingin tahu, apa faktor di balik tumpulnya ombudsman.

Ketiga, masyarakat tentu punya andil besar dalam mengawasi kasus kelebihan kuota di Denpasar. Jika menemukan indikasi penyelewengan, segera posting lewat medsos yang daya jangkauannya begitu luas dan cepat. Keempat, peran media massa diharapkan tetap konsisten memberitakan hiruk-pikuk indikasi penyelewengan penerimaan siswa baru tanpa takut oleh intimidasi dari pihak siapa pun.

Jika keempat komponen ini kooperatif, publik yakin kasus penyelewengan yang berujung pada kelebihan kuota pada SMP negeri dapat diatasi dengan optimal. Sebaliknya, jika sama-sama egois, takut, dan bahkan ikut menjadi pelaku penyelewengan, maka cerita overload kuota di SMP negeri pasti terus berlanjut, tidak terkendali dan akan menggila.           

0 komentar:

Posting Komentar