Kasus
Overload Sekolah Negeri, Salah Siapa?
Oleh
I Ketut Serawan, S.Pd.
Seremonial
penerimaan siswa baru di Denpasar selalu berakhir dengan kemenangan sekolah
negeri. Dari 60 lebih SMP yang ada di Denpasar, 12 sekolah negeri selalu berhasil
meraup siswa melebihi kuota. Bahkan tak jarang, beberapa sekolah negeri
tertentu memperoleh siswa 2 kali dari kuota yang ditetapkan. Sebaliknya, SMP
swasta yang menunggu muntah-muntahan siswa, hanya gigit jari menerima
kekalahan, karena sulit memenuhi target kuota.
Sejujurnya,
dari aspek SDA (kualitas dan kuantitas fasilitas sekolah) dan SDM
(kualitas-kuantitas guru) baik negeri maupun swasta di Denpasar hampir sama.
Tidak ada perbedaan yang tajam. Buktinya, banyak SMP swasta memperoleh nilai
akreditasi A. Salah satunya adalah SMP Cipta Dharma. Artinya, secara standar
mutu tidak ada perbedaan yang signifikan.
Faktor
Pemicu Overload
Tingginya
ambisi masyarakat berebutan kursi sekolah negeri disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu mind set ortu yang keliru, unsur pembiaran dari pemerintah,
permainan oknum pejabat, makelarisasi, dan ego publik tertentu. Pertama, mind
set keliru dari ortu mencakup anggapan sekolah negeri lebih murah dan
sukses mencetak SDM berkualitas. Faktanya,
tidak sedikit sekolah negeri di Denpasar SPP-nya lebih mahal dari sekolah
swsta. Fakta lainnya, sekolah negeri bisa mencetak SDM berkualitas karena
memang menerima siswa yang sebelumnya memang berkualitas. Bayangkan, jika
sekolah swasta menerima keadaan seperti negeri tentu hasilnya jauh lebih hebat.
Menerima sisa dari negeri saja, swasta masih bisa bersaing dengan sekolah
negeri.
Kedua, pemerintah sebagai
regulator tidak menjalankan perannya secara maksimal. Ketika terjadi
penggelembungan kuota, pemerintah tidak menindak tegas sekolah yang
bersangkutan. Justru, ada unsur pembiaran secara sengaja. Semua publik pasti
mengetahuinya. Jika beredar rumor sekolah negeri favorit tempat anak-anak pejabat, pantas kita
maklumi. Itulah sebabnya, pihak pemerintah (disdikpora) menjadi kikuk.
Ketiga, oknum pejabat juga
menjadi biang pelanggaran kuota di sekolah negeri. Dengan taring kekuasaannya,
tak jarang mereka tidak lepas dari desakan kelompok masyarakat yang ego untuk
menempatkan anaknya di sekolah negeri tertentu. Kelompok masyarakat model ini
kongsi dengan pejabat untuk mendapat surat rekomendasi agar anaknya diterima di
sekolah yang dituju. Keempat, makelar penerimaan siswa baru berpengaruh
menambah jumlah overload (namun sulit dibuktikan). Modusnya, transaksi
kursi. Konon, untuk satu kursi SMP negeri favorit di Denpasar harganya bisa
mencapai 25 jutaan. Si tukang makelar tentu sudah punya koneksi dengan
orang-orang yang punya pengaruh di jajaran pemerintah kota Denpasar.
Lalu, apakah sekolah
negeri pantas berbangga hati dengan kasus overload? Jawaban tentu tidak.
Sekolah negeri pasti menginginkan jumlah kuota yang normal. Hanya saja, kepala
sekolah dan guru-gurunya tidak berdaya dengan ”surat sakti” dari oknum pejabat.
Sebagai bawahan, mereka tidak
punya opsi lain kecuali menerima meskipun melampaui kuota.
Mengantisipasi Kasus Overload
Dampak dari kelebihan
kuota pasti akan merugikan sekolah yang bersangkutan. Pelan tapi pasti, sekolah
itu akan mengalami kemorosotan kualitas. Faktanya, salah satu SMPN di Denpasar yang
dulunya paling top prestasinya kini menjadi turun karena kasus overload kuota.
Rasionalnya, kelebihan kuota akan berpengaruh terhadap hasil status sekolah
ketika diakreditasi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya racun overload
kuota harus dihilangkan untuk kesehatan kompetisi dan eksistensi mutu sekolah.
Siapakah yang pantas melenyapkan hama ini?
Pertama, tentu lembaga pengawas dari pemerintah
(disdikpora). Lembaga ini punya otoritas dan wewenang dalam mengawasi
penerimaan siswa baru mulai dari sistem, observasi, hingga menindak tegas mafia
serta memberikan sanksi tegas kepada sekolah yang melanggar. Namun harus
diingat, lembaga ini harus mau bekerja, bernyali, tegas, dan tak pandang bulu.
Kedua, lembaga independen ombudsman. Lembaga ini paling diandalkan oleh publik karena berada di luar
pemerintahan. Taringnya terbukti disegani dibandingkan dengan lembaga pengawas
dari pemerintah. Sayangnya, terlihat pada awal eksistensinya. Belakangan taring
ombudsman kelihatan tumpul. Publik tentu ingin tahu, apa faktor di balik
tumpulnya ombudsman.
Ketiga, masyarakat tentu punya andil besar dalam
mengawasi kasus kelebihan kuota di Denpasar. Jika menemukan indikasi penyelewengan,
segera posting lewat medsos yang daya jangkauannya begitu luas dan
cepat. Keempat, peran media massa diharapkan tetap konsisten memberitakan
hiruk-pikuk indikasi penyelewengan penerimaan siswa baru tanpa takut oleh
intimidasi dari pihak siapa pun.
Jika keempat komponen ini
kooperatif, publik yakin kasus penyelewengan yang berujung pada kelebihan kuota
pada SMP negeri dapat diatasi dengan optimal. Sebaliknya, jika sama-sama egois,
takut, dan bahkan ikut menjadi pelaku penyelewengan, maka cerita overload kuota
di SMP negeri pasti terus berlanjut, tidak terkendali dan akan menggila.
0 komentar:
Posting Komentar