Senin, 24 Oktober 2016



RUMAH PENDIDIKAN KITA RAWAN KEKERASAN

Oleh
Ketut Serawan, S.Pd. (Guru SMP Cipta Dharma)

Hasil penelitian Unicef di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar (80 %) dilakukan oleh guru. Jika data ini benar berarti  ada pergeseran (penyimpangan) esensi pola pendidikan yang dilakukan oleh guru di sekolah. Kasarnya, beberapa strategi dan pendekatan pendidikan yang digunakan guru sudah dianggap kurang relevan.
Kita memang harus mengakui bahwa selama ini pendidikan kita lebih condong ke perplocoan ranah kognitif. Perplocoan ini berimplikasi pada ukuran kualitas kecerdasan akademis saja. Jarang guru memperhatikan kecerdasan spiritual siswa ataupun kecerdasan emosional siswa misalnya. Karena bagaimana pun juga, kenyataan di lapangan hanya membutuhkan kualitas akademis. Dalam melamar sekolah unggulan misalnya, persyaratan utama yang dipakai adalah angka-angka akademis.
Mau tidak mau guru pun lebih menekankan pada aspek pengajaran. Tindakan ini jelas beralasan. Di samping alasan kebutuhan di lapangan, alasan waktu juga menjadi pembenaran tersendiri bagi guru. Untuk aktivitas pengajaran saja, guru kadang tidak memiliki waktu yang cukup. Pasalnya, beban materi diajarkan guru begitu kompleks sedangkan waktu pengajaran terbatas. Di lain pihak, pemerintah terus menuntut kualitas pendidikan (akademis). Wajar saja, keseharian guru hanya berkutat pada pencapaian target pengajaran seperti yang diamanatkan kurikulum.
Tuntutan waktu pengajaran dan alasan lapangan dengan sendirinya berpengaruh pada pola dan perilaku guru dalam proses pendidikan. Ego menyelesaikan materi pengajaran, alasan lapangan dan bayang-bayang tuntutan pemerintah berpeluang menciptakan kecelakaan emosional pada guru. Sadar atau tidak sadar, guru pun menghalalkan cara-cara mendidik yang tidak relevan (baca: kekerasan). Misalnya, tanpa disadari guru menciptakan kondisi psikis siswa menjadi tertekan, takut, dan stress. Kondisi seperti ini sering luput dari perhatian guru. Guru lebih ego kepada bagaimana materi pembelajaran bisa terselesaikan, dikuasai siswa, dan mampu mengejewantahkan target pengajaran sesuai acuan pasal indikator yang ditetapkan.
Idealnya, antara target pendidikan dan praktek pencapaiannya memang mesti berjalan seimbang. Target pendidikan semestinya diraih dengan praktek pendidikan tanpa unsur kekerasan. Jika keduanya berjalan proposional, maka kita boleh bermimpi dapat mewujudkan kecerdasan pada siswa. Tentu saja bukan hanya kecerdasan akademis melainkan kecerdasan berbagai lini (spiritual, emosional) secara seimbang, menyeluruh dan integratif. Harapan ini tentu sejalan dengan amanat dalam Sisdiknas yaitu pendidikan untuk menciptakan manusia seutuhnya.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya guru menerapkan model pendidikan yang benar, terarah, up to date, dan bebas dari unsur kekerasan. Di sinilah pentingnya guru kian dituntut cepat dan tanggap terhadap perkembangan zaman. Guru dituntut cepat beradaptasi dengan dinamika zaman sehingga pola-pola pendidikan kekinian bisa dikuasai dan diterapkan dalam praktek pendidikan.
Sebenarnya sulit menentukan standar pendidikan yang relevan (bersih dari kekerasan). Takarannya masih subjektif. Tergolong kekerasan atau bukan kadang-kadang tergantung ukuran antara pihak yang mendidik dengan yang didik. Definisi kekerasan (terutama tentang kekerasan psikis) pada UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga terbuka menimbulkan interpretasi yang subjektif. Walaupun demikian, kita tetap mencoba mengacu pada standar kekerasan yang bersifat global. Persisnya standar kekerasan yang telah ditetapkan oleh Unicef. Hal ini penting agar guru tidak terus terjerumus dalam praktek pendidikan yang berbau kekerasan.
Kita harus segera selamatkan anak-anak kita dari praktek-praktek kekerasan dalam bentuk apa pun. Oleh karena itu, guru harus mempunyai inisiatif dan itikad baik mau mendapatkan informasi model pendidikan ala Unicef secepat mungkin. Perburuan ini akan lebih efektif jika dibantu oleh pihak-pihak terkait (Depdikbud misalnya). Kita harapkan instansi tersebut proaktif dan cepat tanggap membantu penyebarannya ke tangan guru. Harapan kita guru cepat paham, kemudian mengaplikasikanya di lapangan.
Tidak cukup kerjasama guru dengan pihak Depdikbud saja. Guru juga membutuhkan pihak tertentu untuk menyukseskan pendidikan bebas kekerasan. Kalau memang mendesak dan sangat diperlukan, guru atau sekolah membutuhkan seorang psikolog di sekolah. Peran psikolog adalah sebagai partner guru BP dan guru-guru lainnya dalam mengatasi masalah pendidikan dan kekerasan di sekolah. Psikolog ini berbeda sedikit perannya dengan guru BP. Kalau guru BP orientasinya pada siswa, sedangkan psikolog bisa siswa dan guru.
Di samping peran psikolog, guru/ sekolah juga perlu tim penyuluh baik dari pemerintah maupun dari LSM. Tugasnya ialah mensosialisasikan lebih intens tentang anti kekerasan terhadap anak. Dari hasil penyuluhan, guru diharapkan tetap ajeg berjalan di garis antikekerasan dalam mendidik.
Peran yang tak kalah pentingnya juga ialah orang tua siswa. Guru/ sekolah penting menjalin hubungan kekeluargaan dengan orang tua siswa. Lewat hubungan kekeluargaan, orang tua siswa diharapkan dapat memberikan informasi yang detail tentang individual siswa. Informasi ini selanjutnya dimanfaatkan guru dalam memperlakukan individu siswa sehingga terhindar dari kekerasan. Seandainya guru mengalami hambatan dalam memperlakukan anak, orang tua siswa sekaligus bisa dijadikan partner dalam mengatasi masalah secara kekeluargaan.
            Jadi tidak bijak jika perang terhadap kekerasan di sekolah hanya dibebankan kepada guru (sekolah) saja. Guru (sekolah) membutuhkan peran aktif pihak-pihak tertentu dalam menyukseskan pendidikan yang bebas kekerasan. Pemerintah, psikolog, orang tua siswa, masyarakat umum bisa menjadi mitra kerja sekaligus sebagai pengontrol terhadap kinerja guru dalam menjalankan praktek pendidikan di sekolah.  Jika kerjasama ini berjalan optimal, kita yakin angka kekerasan dalam dunia pendidikan akan bisa diminalisir.

0 komentar:

Posting Komentar