RUMAH PENDIDIKAN KITA RAWAN KEKERASAN
Oleh
Ketut
Serawan, S.Pd. (Guru SMP Cipta Dharma)
Hasil
penelitian Unicef di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara pada
tahun 2006 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar (80 %)
dilakukan oleh guru. Jika data ini benar berarti ada pergeseran (penyimpangan) esensi pola pendidikan
yang dilakukan oleh guru di sekolah. Kasarnya, beberapa strategi dan pendekatan
pendidikan yang digunakan guru sudah dianggap kurang relevan.
Kita
memang harus mengakui bahwa selama ini pendidikan kita lebih condong ke
perplocoan ranah kognitif. Perplocoan ini berimplikasi pada ukuran kualitas
kecerdasan akademis saja. Jarang guru memperhatikan kecerdasan spiritual siswa
ataupun kecerdasan emosional siswa misalnya. Karena bagaimana pun juga,
kenyataan di lapangan hanya membutuhkan kualitas akademis. Dalam melamar
sekolah unggulan misalnya, persyaratan utama yang dipakai adalah angka-angka
akademis.
Mau
tidak mau guru pun lebih menekankan pada aspek pengajaran. Tindakan ini jelas
beralasan. Di samping alasan kebutuhan di lapangan, alasan waktu juga menjadi
pembenaran tersendiri bagi guru. Untuk aktivitas pengajaran saja, guru kadang tidak
memiliki waktu yang cukup. Pasalnya, beban materi diajarkan guru begitu
kompleks sedangkan waktu pengajaran terbatas. Di lain pihak, pemerintah terus menuntut
kualitas pendidikan (akademis). Wajar saja, keseharian guru hanya berkutat pada
pencapaian target pengajaran seperti yang diamanatkan kurikulum.
Tuntutan
waktu pengajaran dan alasan lapangan dengan sendirinya berpengaruh pada pola dan
perilaku guru dalam proses pendidikan. Ego menyelesaikan materi pengajaran, alasan
lapangan dan bayang-bayang tuntutan pemerintah berpeluang menciptakan
kecelakaan emosional pada guru. Sadar atau tidak sadar, guru pun menghalalkan
cara-cara mendidik yang tidak relevan (baca: kekerasan). Misalnya, tanpa
disadari guru menciptakan kondisi psikis siswa menjadi tertekan, takut, dan stress.
Kondisi seperti ini sering luput dari perhatian guru. Guru lebih ego kepada bagaimana
materi pembelajaran bisa terselesaikan, dikuasai siswa, dan mampu
mengejewantahkan target pengajaran sesuai acuan pasal indikator yang ditetapkan.
Idealnya,
antara target pendidikan dan praktek pencapaiannya memang mesti berjalan seimbang.
Target pendidikan semestinya diraih dengan praktek pendidikan tanpa unsur kekerasan.
Jika keduanya berjalan proposional, maka kita boleh bermimpi dapat mewujudkan kecerdasan
pada siswa. Tentu saja bukan hanya kecerdasan akademis melainkan kecerdasan
berbagai lini (spiritual, emosional) secara seimbang, menyeluruh dan
integratif. Harapan ini tentu sejalan dengan amanat dalam Sisdiknas yaitu
pendidikan untuk menciptakan manusia seutuhnya.
Oleh
karena itu, sudah sepantasnya guru menerapkan model pendidikan yang benar,
terarah, up to date, dan bebas dari
unsur kekerasan. Di sinilah pentingnya guru kian dituntut cepat dan tanggap
terhadap perkembangan zaman. Guru dituntut cepat beradaptasi dengan dinamika
zaman sehingga pola-pola pendidikan kekinian bisa dikuasai dan diterapkan dalam
praktek pendidikan.
Sebenarnya
sulit menentukan standar pendidikan yang relevan (bersih dari kekerasan).
Takarannya masih subjektif. Tergolong kekerasan atau bukan kadang-kadang
tergantung ukuran antara pihak yang mendidik dengan yang didik. Definisi
kekerasan (terutama tentang kekerasan psikis) pada UU RI No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT juga terbuka menimbulkan interpretasi yang subjektif. Walaupun
demikian, kita tetap mencoba mengacu pada standar kekerasan yang bersifat
global. Persisnya standar kekerasan yang telah ditetapkan oleh Unicef. Hal ini
penting agar guru tidak terus terjerumus dalam praktek pendidikan yang berbau kekerasan.
Kita
harus segera selamatkan anak-anak kita dari praktek-praktek kekerasan dalam
bentuk apa pun. Oleh karena itu, guru harus mempunyai inisiatif dan itikad baik
mau mendapatkan informasi model pendidikan ala Unicef secepat mungkin. Perburuan
ini akan lebih efektif jika dibantu oleh pihak-pihak terkait (Depdikbud
misalnya). Kita harapkan instansi tersebut proaktif dan cepat tanggap membantu
penyebarannya ke tangan guru. Harapan kita guru cepat paham, kemudian
mengaplikasikanya di lapangan.
Tidak
cukup kerjasama guru dengan pihak Depdikbud saja. Guru juga membutuhkan pihak
tertentu untuk menyukseskan pendidikan bebas kekerasan. Kalau memang mendesak
dan sangat diperlukan, guru atau sekolah membutuhkan seorang psikolog di
sekolah. Peran psikolog adalah sebagai partner
guru BP dan guru-guru lainnya dalam mengatasi masalah pendidikan dan kekerasan
di sekolah. Psikolog ini berbeda sedikit perannya dengan guru BP. Kalau guru BP
orientasinya pada siswa, sedangkan psikolog bisa siswa dan guru.
Di
samping peran psikolog, guru/ sekolah juga perlu tim penyuluh baik dari
pemerintah maupun dari LSM. Tugasnya ialah mensosialisasikan lebih intens tentang
anti kekerasan terhadap anak. Dari hasil penyuluhan, guru diharapkan tetap ajeg
berjalan di garis antikekerasan dalam mendidik.
Peran
yang tak kalah pentingnya juga ialah orang tua siswa. Guru/ sekolah penting menjalin
hubungan kekeluargaan dengan orang tua siswa. Lewat hubungan kekeluargaan, orang
tua siswa diharapkan dapat memberikan informasi yang detail tentang individual
siswa. Informasi ini selanjutnya dimanfaatkan guru dalam memperlakukan individu
siswa sehingga terhindar dari kekerasan. Seandainya guru mengalami hambatan
dalam memperlakukan anak, orang tua siswa sekaligus bisa dijadikan partner dalam mengatasi masalah secara
kekeluargaan.
Jadi tidak bijak jika perang
terhadap kekerasan di sekolah hanya dibebankan kepada guru (sekolah) saja. Guru
(sekolah) membutuhkan peran aktif pihak-pihak tertentu dalam menyukseskan
pendidikan yang bebas kekerasan. Pemerintah, psikolog, orang tua siswa,
masyarakat umum bisa menjadi mitra kerja sekaligus sebagai pengontrol terhadap kinerja
guru dalam menjalankan praktek pendidikan di sekolah. Jika kerjasama ini berjalan optimal, kita
yakin angka kekerasan dalam dunia pendidikan akan bisa diminalisir.
0 komentar:
Posting Komentar