Ilustrasi Foto (www.balipost.com) |
Apa reaksi Anda jika ada peserta
didik (siswa) yang kesehariannya biasa-biasa saja, tetapi lulus jalur prestasi
dalam seleksi sekolah negeri? Ingat, kemampuan akademiknya di bawah standar, lho. Pun prestasi terkait potensi diri
(minat-bakat) tidak ada. Namun, dalam list
pengumuman PPDB SMP Negeri kota Denpasar (Bali) kemarin namanya terpampang
lolos sebagai salah satu siswa berprestasi. Pasti kaget, heran dan kecewa,
bukan?
Perasaan
ini paling kuat dirasakan terutama oleh para siswa lain, teman yang masih satu
kelas dan satu SD dengan yang bersangkutan. Lalu, jangan tanya reaksi ortu
siswa terutama dari kalangan emak-emak atau para ibu di SD tersebut. Pasti
hebohlah.
Para
emak-emak ini tidak kuasa membendung rasa kecewanya. Maklumlah. Namanya juga
emak-emak. Hee..heee. Mereka kukuh tidak bisa menerima kenyataan tersebut.
Sambil menuliskan biodata anaknya di formulir pendaftaran sekolah swasta
(tempat penulis bekerja), salah satu emak-emak itu terus “ngedumel”.
Menurutnya,
dari 5 siswa yang lolos jalur prestasi (di asal sekolah anaknya), hanya 3 orang
yang tidak mendapat penolakan. Pasalnya, tiga orang itu memang dianggap memiliki
kemampuan yang layak menduduki singgasana kursi prestasi. Akan tetapi, 2 orang
sisanya menjadi sorotan oleh warga sekolah di tempat SD anaknya, karena
kemampuannya jauh di bawah ekspektasi.
Second
Teacher,
Piagam Siluman dan Juri Kepantasan
Penulis
juga tidak habis pikir dengan ibu-ibu (ortu siswa) di kota. Mereka seolah-olah
menjadi second teacher. Kadang-kadang
mereka tidak hanya mengantongi statistik kemampuan harian anaknya. Pun
mengetahui kemampuan global anak orang lain.
Karena
itulah, ketika sistem PPDB meloloskan siswa justru para ibu yang melontarkan
statemen penolakan. Para ibu merasa lebih tahu dibandingkan dengan sistem
aplikasi PPDB. “Semua siswa yang lolos jalur prestasi, pasti punya bukti
prestasi (piagam) yang dilampirkan, Bu. Sistem tinggal mengkalkulasi poin-poin tersebut
apa adanya dan menyatakan lulus,” terangku sedikit mengompori.
Bukan
emak namanya kalau perbincangan langsung berhenti begitu saja. Si ibu selalu
punya cara untuk bertahan dan membela diri. Ia bertahan dengan jawaban halu. Jawaban yang sifatnya spekulan. Kasarnya,
menduga-dugalah. Sang ibu menduga kuat bahwa ada orang dalam (punya jabatan,
power, dan otoritas) yang berjasa meloloskan anak yang bersangkutan.
Bagaimana
cara “sang penyelamat” (baca: orang dalam) mengelabui atau menundukkan sistem
sehingga si anak yang bersangkutan bisa lolos? Kali ini, sang ibu tidak bisa
menarasikan secara rinci sepak terjang sang penyelamat yang dimaksud. Apalagi
menunjukkan bukti-bukti otentik terkait dengan indikasi keterlibatan “orang
dalam” dalam kasus penyelamatan tersebut.
Karena
itu, penulis menyebutnya dengan dalil yang halu.
Masih miskin dukungan data atau fakta. Sebetulnya, dalil ibu ini sudah sering
penulis dengar dari tahun ke tahun dalam pesta PPDB di Kota Denpasar. “Orang
dalam” selalu dijadikan kambing hitam jika peserta didik yang lolos dianggap
tidak memenuhi ekspektasi publik. Penulis tidak tahu apakah tuduhan ini sebagai
bahasa kekalahan atau bahasa korban kecurangan. Entahlah.
Dugaan
lain, sang ibu menyebut ada kemungkinan proses pemalsuan piagam prestasi yang
dilakukan oleh pihak orang tua siswa (yang lolos). Namun, sang ibu pun tidak
bisa menjelaskan secara detail (teknis) indikasi pemalsuan piagam prestasi
tersebut. Apakah ada orang tertentu atau sekelompok orang yang piawai memalsukan
piagam? Atau jangan-jangan ada sindikat pemalsuan dokumen semacam piagam
prestasi? Ah, kok jadinya serem banget, sih. Heh.
Tiba-tiba
penulis teringat dengan rumor yang pernah dihembuskan oleh beberapa siswa
(alumni) di tempat saya mengajar. Tahun-tahun sebelumnya, muncul rumor ada
pihak otoritas (orang dalam) menerbitkan atau mengeluarkan “piagam siluman”.
Piagam prestasi yang tidak sesuai dengan kemampuan konkret si siswa. Proses
mendapatkannya juga tanpa jerih payah. Konon, hanya butuh relasi dan tentu saja
uang pelicin yang memadai.
Apakah
benar atau tidak? Hingga sekarang belum ada satu pun yang mengungkapkan
kebenaran rumor tersebut. Namun, rumor ini selalu berhembus di kalangan
masyarakat tertentu—ketika memasuki musim PPDB di Kota Denpasar. Beberapa
kalangan masyarakat mungkin menganggap bahwa kasus “piagam siluman” ini seperti
kasus kentut yang sulit dibuktikan secara kasat mata.
Atau
jangan-jangan rumor “piagam siluman” itu hanya ungkapan latah dari masyarakat
yang anaknya tidak lolos jalur prestasi. Mereka sirik karena putra/ putrinya
tidak lulus jalur prestasi, maka “orang dalam” dijadikan kambing hitam. Eits…Tunggu
dulu! Tidak semua siswa yang lolos jalur prestasi dituduhkan melibatkan “orang
dalam”, lho. Khusus kepada siswa yang
dinilai tidak kompeten (tidak berprestasi), tetapi tembus jalur prestasi.
Persis seperti dikemukan oleh sang ibu sebelumnya.
Yang
persis tahu siswa itu berprestasi atau tidak tentu teman satu sekolah,
khususnya teman satu kelas, guru dan orang tua/ wali siswa. Para warga satu
sekolah inilah yang menjadi juri awal (juri kepantasan), sebelum diloloskan
oleh sistem PPDB. Apa pun yang terjadi dengan si siswa, warga sekolah tetap
sebagai “juri kepantasan”, tetapi tidak memiliki otoritas atau kewenangan
menganulir keputusan sistem PPDB. Posisi seperti inilah yang justru membuat
pesta PPDB menjadi menarik dan mirip drama. Ada drama rasa kecewa, senang,
apriori dan tentu saja dagel-dagelan serta rumor.
Pertanyaan
selanjutnya, mungkin tidak ada tindak kecurangan dalam PPDB Kota Denpasar tahun
ini? Untuk menjawab potensi penyelewengan (kecurangan) tersebut, ada baiknya
kita mengetahui data-data penting yang berpeluang menjadi faktor pendorong.
Misalnya, Denpasar merupakan kota dengan jumlah pelajar SD tertinggi di Bali.
BPS Provinsi Bali mencatat bahwa per tahun 2020, Kota Denpasar mengantongi
jumlah pelajar SD sebanyak 87.703 (lebih tinggi dari Kabupaten Buleleng).
Tahun
2021, jumlah siswa tamatan SD mencapai 13.000. Namun, hanya 4.000 siswa yang
tertampung di sekolah negeri, yang tersebar di 14 SMP Negeri (https://www.balipost.com/news/2021/08/20/210954/Denpasar-akan-Bangun-Dua-SMP.html).
Sisanya, sebanyak 9 ribu ditampung di SMP swasta, yang berjumlah 70 sekolah.
Tahun 2022, SMPN 15 Denpasar akan mulai beroperasi dan siap menerima siswa
baru.
Jumlah
15 sekolah negeri mungkin masih belum memadai untuk mengatasi padatnya jumlah
tamatan pelajar SD di Kota Denpasar. Kondisi ini tentu membuat persaingan perebutan
kursi sekolah negeri semakin ketat dan keras. Masyarakat Kota Denpasar
berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Apalagi saat ini fondasi
ekonomi masyarakat masih dalam kondisi kedodoran
setelah dihantam pandemi selama kurang lebih 2 tahun.
Minimnya
daya tampung dan anjloknya ekonomi masyarakat akan menyebabkan ambisi
masyarakat Kota Denpasar sangat kuat untuk memilih sekolah negeri yang murah. Kondisi
inilah yang memunculkan kompetisi yang kian ketat dan keras. Kerasnya kompetisi
untuk merebut kursi sekolah negeri berpeluang mendorong sejumlah orang memenuhi
ambisinya—walaupun mungkin dengan cara yang curang (ilegal). Perlu diingat
bahwa persaingan jalur prestasi tidak hanya melibatkan kompetitor dalam Kota
Denpasar, tetapi juga dari kabupaten lainnya di Bali.
Mengingat
kompetisi yang begitu ketat dan keras, mungkin saja “piagam prestasi siluman
(bodong)” itu ada. Bahkan, jangan-jangan telah membentuk market (black market atau
secret market). Eksistensinya rapi dan
hanya orang-orang tertentu yang persis tahu. Mirip seperti dugaan sang ibu dan
publik pada umumnya.
Jika
market piagam siluman ini tetap eksis, penulis yakin drama kecurangan akan
tetap mewarnai pesta PPDB di Kota Denpasar ke depannya. Lalu, bagaimana solusinya?
Di
samping sebagai pelaku, masyarakat berposisi sebagai kontrol sosial (pengawas).
Peran aktif masyarakat sangat diharapkan untuk memurnikan kasus kecurangan PPDB
di Kota Denpasar. Apabila ditemukan indikasi kecurangan, masyarakat sepatutnya
melaporkan kepada pihak berwenang. Bukankah Disdikpora Bali sudah bekerja sama
dengan pihak Ombudsman untuk membuka posko pengaduan terkait kasus PPDB.
Laporan
masyarakat menjadi bahan yang sangat berharga bagi pihak Ombudsman untuk
meningkatkan kualitas sistem dan teknis PPDB pada masa berikutnya. Sayangnya,
kebanyakan masyarakat memilih diam dan aman (alias koh). Mereka justru nyaman membingkai kasus kecurangan tersebut
menjadi rumor dan dagel-dagelan.
Jika
demikian halnya, risiko drama kecurangan bisa jadi akan terus berlanjut entah
sampai kapan. Hal ini akan mencederai rasa keadilan pada publik. Setiap pesta
PPDB (jalur prestasi) akan ada drama sakit hati atau kecewa. Sebaliknya, pihak
yang mencurangi sistem akan merasa senang—walaupun mereka sebetulnya akan
mengikis rasa optimisme (karakter mandiri) sang anak.
Dalam
budaya masyarakat yang koh ngomong
(enggan bicara), persoalan pemurnian sistem PPDB menjadi dilematis. Di satu
sisi, masyarakat menginginkan sistem dan pelaksanaan PPDB berlangsung jujur dan
adil, sesuai prosedur. Di sisi lain, masyarakat kurang kooperatif untuk
melaporkan indikasi kecurangan di lapangan. Contoh kecil, ya, kasus jalur
prestasi yang dikemukakan oleh sang ibu sebelumnya.
Menjembati
ini, penting adanya sistem PPDB yang lebih transparan dan bisa dikroscek
langsung oleh pihak publik. Misalnya, sistem PPDB menyediakan rincian poin
lengkap dengan bukti upload piagam. Data ini bisa dibuka bebas oleh pihak siapa
pun.
Kedua,
sertifikat atau piagam prestasi yang diupload
harus ditambahkan dengan link pihak penyelenggara. Siapa lembaga penyelenggara
lomba tersebut, lengkap dengan waktu, tempat, nama juri (bila diperlukan) dan
daftar hasil pemenangnya. Jadi, begitu masyarakat mengklik link itu, mereka
langsung dihadapkan dengan bukti otentik daftar pemenang.
Jika
ada tautan seperti itu, mungkin sistem juga langsung menolak ketika calon
pelamar mengupload scan piagam prestasinya. Sebab, namanya
tidak terdata dalam daftar pemenang yang tertera.
Ketiga,
perlu ruang pembuktian jika diperlukan. Pihak panitia PPDB sebaiknya memiliki
tim independen (yang kompeten di bidang tertentu) untuk menguji kemampuan real si anak. Teknisnya, semua calon
siswa yang akan lolos jalur prestasi dipanggil terlebih dahulu untuk melakukan kegiatan
wawancara dan testing sesuai bidang
prestasi masing-masing.
Kegiatan
wawancara dan testing ini sifatnya mengkonfirmasi, mengecek ulang dan
mensinkronkan hasilnya dengan piagam yang dilampirkan. Untuk meningkatkan
keyakinan publik, akan lebih bagus jika hasil wawancara dan testing tersebut direkam dan diunggah
sebagai lampiran pendukung.
Semoga
dijadikan pertimbangan oleh pihak otoritas perancang dan penyelenggara PPDB di
Bali khususnya Kota Denpasar—sehingga ke depan kualitas sistem dan pelaksanaannya
semakin jurdil (jujur-adil) serta sesuai dengani ekspektasi publik. (Penulis, Guru SMP Cipta Dharma Denpasar,
Bali)
0 komentar:
Posting Komentar