Senin, 03 Mei 2021

 

Tajamkan UU ITE, Stop Unggah Konten Berbau Bullying!



Foto: k-nitizens.blogspot.com


Cyberbullying (penindasan dunia maya) kini mendapat sorotan masyarakat. Belakangan ini, eksistensinya di dunia jejaring sosial kian mengkhawatirkan. Hampir setiap hari, ada saja konten-konten bullying menghiasi medsos, mulai dari kategori ringan, sedang hingga berat.

“Saking seringnya, masyarakat menganggap kasus cyberbullying menjadi sesuatu yang biasa (sepele).” Itulah komentar yang meluncur dari seorang Ketut Ngurah Jelantik. Pelajar asal SMANSA Denpasar ini menilai bahwa eksistensi cyberbullying seolah-olah sudah menjadi menu wajib di medsos. Karena itu, masyarakat menjadi tidak sadar dengan bahaya cyberbullying ini.  

Padahal, menurut pria bertubuh atletis ini, cyberbullying merupakan kasus serius karena berdampak buruk bagi korban, misalnya cemas, depresi, stress, tak percaya diri, bahkan bunuh diri. Namun sayangnya, pelaku cyberbullying dan termasuk masyarakat belum banyak yang menyadarinya.  

Senada dengan hal ini, Putu Ngurah Satria mengemukakan bahwa maraknya kasus cyberbullying di dunia medsos disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain keluarga, sekolah, kelompok sebaya dan lain sebagainya. Pria yang kini duduk di bangku kelas XI di SMANSA Denpasar ini menilai bahwa faktor ketidakharmonisan di lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan teman akan menciptakan rasa negatif seperti kecewa, dendam, marah, frustasi dan lain-lainnya. Perasaan negatif inilah yang dianggap menjadi bibit saling membully. ”Kapan dan dimana pun, kita harus berusaha menjaga keharmoisan,” ujar pria berkacamata ini.

Hal berbeda dikemukakan oleh Ni Wayan Srimandi. Maraknya kasus cyberbullying justru karena nihilnya contoh bermedsos yang baik. Dara berambut pirang ini mengungkapkan bahwa saat ini sulit mencari orang yang memiliki etika bermedia sosial yang baik, termasuk dari kalangan orang dewasa/ tua. “Akibatnya, anak-anak maupun remaja menjadi korban krisis panutan. Mereka menjadi ikut-ikutan meramaikan cyberbullying di medsos,” terang gadis yang hobi baca ini.

Karena itu, Srimandi mengusulkan agar ada tindakan hukum yang tegas untuk meredam kasus cyberbullying ini. Ia mengusulkan agar UU ITE terus ditajamkan atau disempurnakan. Dara yang tergabung dalam klub jurnalistik SMANSA Denpasar ini mengusulkan agar UU ITE lebih rinci dan tegas mengatur orang mengunggap atau membuat status di medsos. “Jika ada yang mengunggah konten-konten bullying, harus segera ditindak dengan UU ITE. Sanksinya harus lebih berat supaya orang berhati-hati menggungah konten bullying,” tuturnya dengan raut muka serius.

Hal serupa juga dikemukan oleh Ngurah Jelantik. Untuk mencegah maraknya cyberbullying, pihak keluarga dan sekolah harus berkolaborasi menanamkan pendidikan karakter yang lebih mantap kepada para siswa, terutama pendidikan agama dan budi pekerti. Keduanya harus saling mendukung. “Di rumah tugas ortu untuk menanamkan etika, moral, sopan santun. Sedangkan, di sekolah tugas tenaga pendidik (guru),” tandasnya.

Tidak cukup mendidik, keluarga dan sekolah harus menciptakan komunikasi yang baik dengan anak-anak, sehingga tercipta keterbukaan, perhatian, cinta, kehangatan, dan kasih sayang. Jika demikian adanya, maka rumah dan sekolah akan menjadi tempat yang ramah dan menyenangkan bagi anak-anak. “Kalau sudah nyaman, kecil peluang anak-anak akan terjerumus ke dunia cyberbullying,” pungkasnya.

Namun, Ngurah Satria berpandangan lain. Menurutnya, pendidikan karakter di rumah dan sekolah belum cukup. Ia lebih berkeyakinan bahwa faktor pergaulan anak lebih menentukan anak terjerumus dalam cyberbullying. Karena itulah, ortu dan sekolah harus mengetahui ruang lingkup pergaulan anak. “Justru pengaruh negatif paling kuat datangnya dari pergaulan teman-teman sebayanya, bukan keluarga atau sekolah. Ortu dan sekolah juga harus tahu pergaulan si anak. Bila memungkinkan, ortu atau guru masuk menjadi anggota atau grup (medsos) dari anak-anak sehingga dapat membaca gerak-gerik perilaku anak-anak,” tuturnya dengan nada serius.

Menurut Srimandi, apa pun alasannya, cyberbullying  harus dilawan karena dampaknya sangat serius terhadap korban, termasuk pelakunya. Cyberbullying akan menciptakan korban mengalami kerusakan mental, misalnya penakut, rendah hati, trauma, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan pelaku. Mereka akan tumbuh berwatak preman, gelandangan, agresif, brutal, dan lain sebagainya. “Baik korban maupun pelakunya, tidak ada baiknya untuk bangsa ini. Keduanya akan menjadi akan menjadi maaf “sampah” keluarga, masyarakat, dan negara. Padahal, semua anak-anak adalah aset bangsa untuk memajukan negara ini,” terangnya seperti pejabat atau politikus.

Srimandi juga menambahkan bahwa semua pihak harus aktif melacak sinyal-sinyal cyberbullying di medsos. Jika menemukan kasus cyberbullying, semua pihak (siapa pun) harus aktif melaporkan kepada pihak berwajib, sehingga cepat mendapat penanganan baik terhadap korban maupun pelaku. “Jangan menunggu esok atau lusa. Segera laporkan! Tindakan kita sangat berguna untuk menyelamatkan mental anak-anak negeri ini,” paparnya. (Maica)

 

 

Bullying: Dilema Guru Dalam Mendidik

           

Foto: reqnews.com

Belakangan ini, dunia medsos tidak hanya diramaikan oleh kasus bullying antara pelajar dengan pelajar atau pelajar dengan guru. Namun, jejak digital juga merekam bahwa kasus bullying juga dilakukan oknum guru terhadap anak didiknya. Beberapa oknum guru melakukan bully baik secara verbal maupun fisik. Jumlah kasusnya di dunia maya mungkin tidak terlalu banyak. Namun, kenyataan di sekolah (di kelas) jumlah kasusnya pasti banyak. Hanya saja, siswa enggan untuk merekam dan mengunggahnya di medsos.

Berbeda dengan kasus bullying yang dilakukan pelajar, bully yang dilakukan guru tergolong unik. Bukannya mendapat kecaman dari para nitizen, guru justru sering mendapat pembenaran. Hal ini disebabkan oleh guru berkedudukan sebagai pendidik. Sebagai pendidik, guru seolah-olah diberikan hak istimewa untuk menjalankan tugasnya, termasuk dengan melakukan tindakan membully.

Posisi guru ini diperkuat lagi oleh yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Karena itulah, semenjak ramai beredar tentang video kekerasan (bullying) guru yang berujung ke pengadilan, banyak guru naik pitam. Para guru kompak membuat statemen mirip spanduk iklan di dunia maya. Isinya kurang lebih begini, ”Orangtua Yang  Anaknya Tidak Mau Ditegur Guru di Sekolah, Silakan Didik Sendiri, Bikin Kelas Sendiri, Buat Rapor dan Ijazah Sendiri”. Kalimat spanduk ini menjadi booming atau viral di medsos.

Banyak masyarakat menilai bahwa ungkapan berupa spanduk itu sebagai bentuk emosional guru, karena beberapa oknum guru dilaporkan ke polisi atas tuduhan kekerasan (bullying). Akibatnya, guru menjadi tidak nyaman menjalankan tugasnya.

Yurisprudensi MA memang menjamin perlindungan guru agar nyaman menjalankan tugasnya. Namun di sisi lain, perlindungan ini rawan diselewengkan oleh oknum guru untuk berbuat seenaknya (termasuk membully) terhadap siswa, dengan alasan mendidik.

Jika guru melakukan bully terhadap siswa akan berdampak kurang baik terhadap karakter siswa. Bukan saja berdampak buruk terhadap siswa yang dibully, tetapi bisa dijadikan contoh oleh para siswa yang lainnya. Para siswa korban menjadi terganggu perkembangan mental/ psikologisnya. Sementara siswa lainnya akan menganggap bahwa tindakan bullying yang dilakukan guru adalah sebuah kebenaran. Mereka (terutama anak-anak) akan meniru tindakan guru dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.

Bullying yang dilakukan oleh guru memang dilema (serba sulit). Banyak siswa menafsirkan positif untuk mendidik karakter siswa. Namun, tidak sedikit pula siswa meresponnya sebagai sebuah kebenaran. Karena guru berkedudukan sebagai orang yang digugu dan ditiru. Bagi anak-anak, tindakan-tindakan bullying yang dilihat sehari-hari akan ditafsirkan menjadi sebuah kebenaran. Anak-anak akan menirukan kepada lingkungannya. Artinya, guru menjadi stimulus berbuat bully secara langsung. Kalau sampai begitu, bullying yang dilakukan guru gagal mencapai tujuan mendidik.

Karena itu, lebih baik guru menghindarkan diri sebisa mungkin dari sikap dan tindakan membully. Apa pun alasannya, bully akan menjadi tontonan bagi siswa. Tontonan yang nantinya menginspirasi siswa untuk melakukan bully.        

Sebagai publik figur, guru harus mengedepankan profesionalisme dan kesabaran. Sebisa mungkin, guru dapat mengendalikan diri bukan mengumbar egonya. Aksi spanduk di medsos beberapa bulan lalu, mencerminkan sebuah unjuk emosional dari para guru. Barangkali hal-hal emosional ini tidak seharusnya dipublikasikan di medsos.

Namun demikian, pihak yang terlibat kasus bullying di sekolah juga harus dewasa. Ortu dan siswa harus tetap sabar dan berusaha santun dalam menyelesaikan masalah. Baik pihak guru, ortu, maupun siswa harus sama-sama mengedepankan unsur ramah. Bukan menonjolkan egonya masing-masing.

Karena itulah, perlu adanya komunikasi yang baik antara pihak guru, ortu, dan siswa. Semuanya harus saling terbuka, hangat berdiskusi, dan mengutamakan penyelesaian yang terbaik. Komunikasi ini dapat dibangun apabila ada keterbukaan antara pihak-pihak yang terkait.

Guru, ortu, dan siswa harus terbuka untuk saling mengkritisi. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kelemahan masing-masing pihak yang menjadi sumber kasus bullying. Jika komunikasi ini dapat dibangun dengan baik, ke depan pendidikan kita akan dapat dibersihkan dari kasus bullying. Sehingga, sekolah menjadi ramah, nyaman dan menjadi lingkungan yang menyenangkan. (Puspaningayu)

 

 

Ni Made Suprapti Restiyani

Jangan Memamerkan Kelemahan Orang!

 

Kamu pernah dibully? Mungkin Kamu akan menjawab, “Tidak”. Sesungguhnya, hampir semua orang pernah dibully. Hanya saja, banyak orang tidak menyadarinya. Hal inilah yang dialami oleh Restiyani. Siswa yang memiliki nama lengkap Ni Made Suprapti Restiyani ini ternyata pernah mengalami pahitnya dibully oleh teman-temannya baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

Dara yang kini duduk di bangku kelas XI SMANSA Denpasar ini mengaku bahwa kasus bullynya tidak terlalu serius. Namun demikian, ia enggan membeberkan detail kasusnya itu. Bahkan, ia mengalami bully tidak sekali. Seingatnya, lebih dari dua kali, ia mengalami bully selama sekolah di SMANSA Denpasar. Hanya saja, kasusnya tidak berat. Hanya tindakan verbal/ ucapan saja. “Biasalah kasus anak remaja, malu nyelasinnya,” terang dara yang lahir 23 Oktober 2002 ini.

Meskipun tergolong kasus ringan, namun ia tetap merasakan betapa tidak enaknya dibully. Ia mengalami perasaan tidak nyaman seperti takut, kesal, marah, dan lain sebagainya. “Padahal, ringan, lho. Bagaimana kalau berat? Wajar saja sampai ada yang mengakhiri hidupnya,” ujar dara berzodiak Virgo ini.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar kita tidak menjadi pelaku atau korban bully. Dara yang hobi makan ayam goreng ini menyerukan kepada semua orang (anak-anak, remaja, dewasa) untuk menjaga lingkungan yang menyenangkan baik di keluarga, sekolah, dan terlebih lagi dengan teman sebaya. “Baik-baiklah kita dengan siapa pun. Kalau mendengar atau melihat kasus bullying baik di dunia nyata maupun di medsos segera laporkan kepada pihak-pihak terkait. Jangan malah ikut-ikuti membully!” papar dara yang bertubuh langsing ini.

Ia juga menyarankan bahwa kalau memiliki masalah, sebaiknya segera diselesaikan dengan kekeluargaan dan kepala dingin. Bukan malah dipamer-pamerkan kepada teman atau diunggah di media sosial. Menurutnya, kebanyakan orang belum bisa menyaring konten status yang akan diunggah di medsos. “Janganlah mengunggah status yang sifatnya mengandung pembully-an banyak orang. Pikir-pikirlah sebelum mengunggah status di medsos,” sarannya.

Dara ini juga memberikan tips agar kita dapat menerima kekurangan orang lain. Bukan mengungkit-ungkitnya. Menurut dara berambut lurus ini, kebanyakan bully itu muncul bermula dari mengungkit-ungkit atau membesarkan-membesarkan kelemahan seseorang. “Semua orang pasti mempunyai kelemahan. Namun, kelemahan itu harus kita lengkapi atau bantu untuk dikuatkan lagi. Jangan malah mengolok-oloknya! Inilah yang membuat orang menjadi down,” sarannya.

Tips lainnya ialah sadar. Dara yang berwajah oval ini mengemukakan bahwa semua orang harus memiliki kesadaran yang baik. Kesadaran ini penting dimiliki baik oleh pelaku maupun korban. “Kalau  hendak membully, sadarlah itu akan menyakitkan. Kalau sudah jadi korban, sadarlah untuk keluar dari masalah itu dengan kuat dan terbuka kepada orang yang bisa membantumu. Yang tak kalah pentingnya lagi, selalu berdoa kepada Tuhan agar terhindar dari pelaku atau korban bully,” terangnya dengan raut muka serius. (Maica) 

 

Mengungkap Cyberbullying Dalam Aib 

 


Judul          : AIB # Cyberbullying

Produser      : Amar Mukhi

Sutradara    : Amar Mukhi

Pemeran      : Yuniza Icha ( Sarah ), Damita Argoebie (Angel ), Wendy Wilson (Donna), Harris Illano ( Antoni ), Michael Lie (Cupy), Baron Wilschut       ( Bondan ), Shoumaya Tazkiyyah ( Ciska ), Ade Ayu Sudrajat ( Bianca ).

Produksi      : Surya Films
            
       Anami Films

Genre          : Horor, Drama, Thriller

Rating                   : 21 +

Durasi                   : 75 menit

Tanggal Rilis         : 2 Agustus 2018

 

Indonesia sempat digemparkan dengan adanya beberapa kasus bullying yang beredar di dunia maya. Kasus ini memberikan inspirasi kepada Amar Mukhi untuk mengangkat kasus tersebut ke layar lebar dan berharap dapat menjadi pelajaran bagi remaja nakal lewat karyanya berjudul “AIB #Cyberbullying ”.     

Film Aib mengembangkan motivasi “Stop Bullying” yang dikemas dalam bentuk horor. Berbeda dari film horor pada umumnya, film Aib mengambil tema Webcam sebagai jalan ceritanya.

Cerita ini dimulai dari 8 orang sahabat SMA, yang terjebak dalam ambisi untuk menjatuhkan salah satu dari mereka yaitu Bianca. Bianca (Caca) digambarkan sebagai anak yang cerdas dan menoreh banyak prestasi. Hal inilah membuat sahabatnya merasa iri padanya.Tak disangka adanya postingan dari sahabatnya menjadi maut tersendiri untuk Caca. Pembullyan dengan menyebarkan aibnya dalam postingan itu membuatnya depresi dan memaksanya untuk bunuh diri.

Namun, ketegangan dalam cerita ini terjadi 1 tahun kemudian. Ketika Angel, Donna, Ciska, Bondan, Sarah, Antoni, dan tak lupa Cupy sedang melakukan video call bersama. Terdapat kejanggalan yang ditemukan Sarah (peran utama) di situ, adanya kontak lain yang  nimbrug dalam obrolan mereka mejadi kesan seram. Di sinilah permainan berujung kematian dibuat. Dimana mereka harus saling menteror satu sama lain agar bisa terlepas dari jerat permainan sadis. Kematian yang tidak wajar membuat mereka stress dan bertindak semaunya saling menjatuhkan dan membuka aib teman sendiri. Apa yang mereka hadapi sekarang adalah balasan dari apa yang mereka perbuat, tak mungkin bisa dicegah dan tak mungkin bisa dilawan.

Meskipun terbilang sadis, Film Aib punya keunggulan loh! Salah satunya pesan yang mereka sampaikan sangat mudah ditangkap penontonnya. Ditambah dukungan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dalam pembuatannya menjadi point plus. Apalagi karakter tokoh serta angel dan gambaran runtut yang diberikan menjadi kelebihan total di sini.

Keunggulan lain dari Film Aib juga berada pada Soundtrack yang dibawakan oleh Young Lex, Ft. Masgib (Jangan Dianggap Remeh), menjadi penutup yang manis dalam film ini. Sayangnya, sebagian besar bahasa yang diangkat berupa umpatan dan perkataan vulgar, ada adegan tak senonoh, alurnya mudah ditebak, dan horornya kurang mateng.

Terlepas dari kekurangannya, film ini layak untuk dipertontonkan kepada para remaja dan juga orangtua, untuk menjaga agar kasus bully tidak makin marak di negeri ini. (Eva)


 

Kasus Bullying, Tanggung Jawab Siapa?

Kasus bullying di dunia pendidikan (sekolah) seolah-olah sulit diredam. Belakangan, kasus ini semakin menggeliat. Sekolah yang semestinya sebagai tempat membentuk karakter, justru dikotori oleh beberapa oknum siswa untuk membully. Para siswa tidak hanya membully  sesama temannya, bahkan terhadap gurunya. Fenomena ini sering kita lihat dalam dunia medsos.

Dunia medsos seolah-olah sudah dibajak oleh para pembully untuk menunjukkan eksistensinya. Karena strategis, pemanfaatan medsos ini membuat kasus bullying dengan mudah menyebar. Efeknya, menginspirasi para-para pembully  yang lainnya.

Kini dunia medsos menjadi momok menakutkan bagi masyarakat terutama bagi pelajar (anak dan remaja). Mereka menjadi kurang nyaman memanfaatkan medsos. Banyak yang khawatir kalau sewaktu-sewaktu dirinya menjadi korban atau mungkin menjadi pelaku.

Bullying pada umumnya dipicu oleh penampilan fisik. Ketika seorang anak memiliki perbedaan fisik dengan anak lain pada umumnya, para bully dapat menjadikannya bahan untuk mengintimidasi anak tersebut. Kedua, faktor RAS. Umumnya terjadi ketika seorang anak berbeda memasuki satu lingkungan dan dianggap sebagai minoritas. Ketiga, orientasi seksual. Seseorang yang teridentifikasi sebagai lesbian, gay, dan transgender sering kali mendapatkan perilaku bullying.

Keempat, bullying disebabkan karena terlihat lemah. Bullying melibatkan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Selain karena lemah, faktor kurang gaul juga menjadi penyebab bullying. Karena memiliki sedikit teman dapat terlihat lebih lemah dan membuat para bully berpikir dapat mendominasi mereka.

Kasus Bullying awalnya mungkin hanya untuk seru-seruan. Namun, jangka panjangnya, bullying dapat memberikan dampak terhadap korban, mulai dari gangguan psikologis, trauma, bahkan tidak mau bergaul. Lebih parahnya lagi, ingin mengakhiri hidupnya.

Mengingat dampaknya yang begitu luar biasa, sudah sepatutnya kasus bullying harus ditangkal. Apa pun alasannya, kasus bullying tidak boleh dibiarkan bertumbuh. Karena akan mengancam (merusak) perkembangan mental regenerasi yang menjadi aset negara ini. Bullying harus diperangi oleh semua kalangan, terutama pihak sekolah.

Sekolah harus mampu menangkal tindakan bully baik yang bersifat preventif (pencegahan) maupun kuratif (penyembuhan). Dalam konteks inilah, sekolah harus memiliki strategi-strategi jitu agar pelajar terhindar kasus bullying, sehingga anak-anak menjadi nyaman bersekolah.

Di samping itu, pemerintah (legislatif) dituntut untuk mengkaji ulang UU ITE. Kalau bisa UU ITE lebih khusus dan tegas mengatur tentang penyebaran konten-konten bullying. Ketegasan ini harus dibarengi sanksi-sanksi yang lebih berat, sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk mengunggah informasi atau video-video berbau bullying.

Tidak cukup dengan pemerintah (legislatif), sekolah perlu bekerja sama dengan pihak masyarakat. Jangan sampai masyarakat malah menuduh sekolah mandul dalam membentuk pendidikan karakter kepada pelajar. Membantu sekolah lebih berharga dibandingkan saling lempar tanggung jawab.

Sekolah juga membutuhkann kerja sama dengan pihak kepolisian, lembaga perlindungan anak, dan terutama dengan keluarga. Karena keluarga merupakan pendidikan pertama, tempat membangun dasar karakter siswa. Artinya, orang tua memiliki tanggung jawab besar pula terhadap munculnya kasus bullying.  

           

 

Merah Putih, Berkibarlah Setiap Hari di Boatku!

 

Foto: nasional.republika.co.id
Ciri paling identik dari peringatan 17 Agustus adalah pemasangan bendera merah putih pada setiap rumah masyarakat Indonesia. Pemasangan bendera ini berlangsung kurang lebih sebulan, sepanjang bulan Agustus. Setelah itu, bendera dilepas dan disimpan, menunggu pengibaran setahun lagi.

Namun, berbeda dengan pemilik speed boat di Pantai Sanur. Mereka memasang bendera pada boatnya tidak terbatas momen peringatan hari kemerdekaan. Setiap hari, bendera merah putih berkibar pada bagian badan boatnya. Bahkan, saking lamanya, warna bendera menjadi usang dan sobek pada beberapa permukaannya.

Itulah yang tampak pada boat milik I Ketut Gidran Adiani. Nelayan yang memulai kariernya saat berumur 12 tahun ini memasang bendera di boatnya beberapa tahun lalu. Ia tidak melepasnya dengan alasan bahwa bendera merah putih sebagai simbol semangatnya bekerja sebagai pemancing ikan, mengantarkan para wisatawan, dan juga snorkeling. “Semangat 17 Agustus harus tetap dinyalakan untuk berjuang menghidupi keluarga saya,” terang pria berumur 52 tahun ini.

Berbeda dengan Mangku Darta. Pimpinan organisasi perusahaan boat Sri Rejeki ini memang menyarankan bawahnya untuk selalu memasang bendera merah putih walaupun bukan menjelang 17 Agustus. Ia ingin menyadarkan kepada pemilik-pemilik boat yang bernaung dibawahnya bahwa kekayaan laut yang dinikmatinya merupakan sumber daya milik negara Indonesia. “Pemasangan bendera merah putih ini sebagai simbol rasa berterima kasih kepada tanah air tercinta,” ujarnya.

Namun demikian, Darta menambahkan bahwa momen peringatan 17 Agustus tetap dipandang istimewa. Ia menuturkan bahwa nelayan di bawah naungannya biasa merayakan dengan atraksi-atraksi bahari menggunakan speed boat. Boat ini didandani dengan atribut berbau 17 Agusutus, berbeda dengan hari biasanya. Atraksi ini sudah berlangsung kurang lebih 25 tahun lalu. Mereka tergabung dalam rangkaian peringatan yang bernama Sanur Festival (sanfest).

Selain organisasi Sri Rejeki, perkumpulan boat milik Glory Expert juga memasang bendera setiap hari pada boatnya.  Menurut  Kadek Maryana, salah satu anggota dari  Glory Expert menjelaskan bahwa pemasangan bendera merah putih wajib hukumnya. Apalagi bagi transportasi di laut. Ia menjelaskan bahwa perairan Indonesia rawan dimasuki oleh nelayan atau kapal asing. Pemasangan bendera merah putih bertujuan agar mudah mengenali nelayan dari Indonesia, sehingga petugas lebih mudah menjalankan tugasnya. “Bayangkan kalau tidak ada benderanya, polisi air jadi sulit membedakan antara nelayan Indonesia atau asing,” terangnya.

Namun demikian, Maryana juga menuturkan bahwa pemasangan bendera pada badan transportasi laut sebagai wujud sikap nasionalisme yang tinggi dari para nelayan. Menurutnya, rata-rata nelayan di Bali bangga dengan negara tercinta, Indonesia. (Cok Is)

 

Penjual Atribut Jalanan, Alarm Nasionalisme, dan Makna Kemerdekaan

 


Foto: antarafoto.com
Pagi itu (12/7/19), perempatan Toh Pati arah Denpasar-Batubulan masih krodit. Liburan sekolah tak menyurutkan jumlah kendaraan melewati jalur ini. Selalu penuh dan sesak.  Apalagi ketika lampu merah menyala. Pemandangan itu tampak jelas. Satu per satu kenderaan berhenti. Susul-menyusul tiada henti, membentuk barisan seperti ular.  

Momen inilah yang dimanfaatkan oleh Ugus untuk mengadu nasib. Pria 29 tahun ini melompat kecil dari pinggir jalan, lalu masuk menyelinap disela-sela mobil dan sepeda motor, sambil tangannya menjajakan pernak-pernik 17 Agustusan. Bendera merah putih, dengan tiang pendek berwarna kuning keemasan dan ketupat dengan motif merah putih. “Lima ribu, Bu. Lima ribu, Pak”, ucapnya dari satu kenderaan ke kendaraan lainnya. Ada yang langsung menyambarnya dengan recehan Rp 5.000. Namun, banyak pula yang mengacuhkannya.

Begitu lampu hijau akan menyala, kembali ia menyelinap dengan cepat bak pencuri menuju pinggir jalan. Mukanya tetap menyimpan raut panik. Ia harus waspada, karena sewaktu-waktu Satpol PP Kota Denpasar bisa saja menyeretnya tanpa kompromi. Ia sangat menyadari hal itu, tetapi tetap nekad berjualan dan mencuri start di tempat itu. Entah sampai kapan.

Ugus terbentur kasus modal. Ia jelas tak sanggup mengontrak tempat khusus untuk menjual pernak-pernik karyanya itu. Maka, jalanan menjadi pilihan alternatif. Untuk menutupi ongkos produksi dan tenaga, ia juga harus mencuri start terlalu jauh. Ia sudah berjualan sejak awal bulan (10 Juli), 1 bulan sebelum puncaknya 17 Agustus. Strategi ini dilakukannya untuk menghindari persaingan dengan penjual atribut 17 Agustus yang biasa mulai marak di pinggir jalan (akhir Juli-Agustus).

Rata-rata per hari Ugus dapat meraih penghasilan berkisar Rp 150.000-Rp 200.000. Penghasilan ini diperolehnya dari beberapa tempat. Selain Toh Pati, ia juga berjualan di area Ubung, Nusa Dua, dan Marlboro. Di Toh Pati saja, Ugus berjualan 2 kali yaitu pukul 08.00-10.00 dan pukul 13.00-15.00. Sisanya, Ubung, Nusa Dua dan Marlboro.

Di samping untuk mengais rejeki, motif jualannya juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menebarkan virus-virus nasionalisme kepada masyarakat. “Saya ingin mengingatkan kepada masyarakat bahwa peringatan 17 Agustus sudah dekat. Saya ibaratnya alarm untuk mengingatkan orang tentang peristiwa bersejarah itu,” ujarnya.  

Cara pandang Ugus mendapat apresiasi luar biasa dari Ida Bagus Yoga Adi Putra, S.H., MKn. Wakil Ketua DPD Partai Gerinda Bali ini mengakui bahwa keberadaan penjual atribut 17 Agustus memiliki peranan ganda. Di satu sisi, mereka pintar memanfaatkan momen untuk berjualan. Disisi lainnya, mereka menjadi petunjuk bahwa peringatan kemerdekaan sudah dekat. “Seringkali kita lupa dengan peringatan 17 Agustus. Namun, dengan melihat penjual atribut itu, ingatan kita langsung konek,” terangnya.

Hal senada juga dikemukan oleh Ida Bagus Putu Sukarta, S.E., M.Si. Mantan Ketua DPD Partai Gerindra Bali ini mengatakan bahwa penjual atribut ini merupakan referensi sejarah. Menurutnya, sejarah tidak selalu berkaitan dengan buku-buku, video, monumen dan benda-benda mati lainnya. Anggota DPR RI ini menyebutkan bahwa orang dapat dijadikan referensi. “Dengan melihat keberadaan penjual atribut itu, maka secara otomatis kita terbayang dengan masa-masa sulit para pejuang kemederkaan kita tempo dulu. Jadi, penjual atribut dapat dikatakan sebagai referensi sejarah,” paparnya dengan nada serius.

Sukarta juga menambahkan bahwa penjual atribut 17 Agustus merupakan sosok ekonom kreatif. Menurutnya, untuk mendapatkan penghasilan tidak harus dengan sekolah tinggi. Sekolah tinggi bukan jaminan. Malah, sekolah tinggi banyak menghasilkan pengangguran, karena tidak kreatif. Sebaliknya, penjual-pejual atribut biasanya berpendidikan rendah. Namun, karena situasi dan tuntutan hidup, mereka menjadi berani dan kreatif. “Penjual atribut itu mirip seperti pahlawan kita dulu. Hanya bermodalkan keberanian dan tuntutan. Bayangkan, hanya menggunakan bambu runcing mereka berani menghadapi penjajah yang senjatanya sudah lengkap dan modern,” tuturnya.

Karena itu, Yoga menyebut penjual atribut itu sebagai sosok inspiratif. Ia memaparkan bahwa semangatnya tidak jauh berbeda dengan para pahlawan kita. Hanya beda kondisi,tempat, dan target. Kalau pahlawan berjuang mati-matian di medan perang untuk meraih kemerdekaan, bebas dari penjajahan. Sementara itu, para penjual atribut berjuang di jalanan untuk mencapai kemerdekaan ekonomi keluarga, bebas dari kemiskinan.

Dengan demikian, keberadaan penjual atribut itu juga sekaligus cermin bahwa bangsa kita belum seratus persen merdeka. Karena masih banyak masyarakat kita yang belum merasakan kemerdekaan (terbelenggu kemiskinan). Karena itulah, eksistensi penjual atribut jalanan merupakan simbol memaknai kemerdekaan tiada henti. Sukarta menjelaskan bahwa “nyawa” kemerdekaan harus berkelanjutan. “Kemerdekaan harus terus dijaga, dipelihara, dan diisi dengan semangat pembangunan untuk mencapai cita-cita luhur. Ini justru yang sulit,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Yoga menyarankan kepada generasi milenial agar pantang menyerah menghadapi situasi hidup. Ia menyarankan agar kaum muda sebagai ujung tombak negara selalu semangat, tangguh, kreatif, inovatif dan kompetitif. “Tirulah para pahlawan kita, termasuk penjual atribut jalanan untuk memerdekaan kehidupannya,” tutupnya. (Eva)